Dokumen tersebut membahas tentang Forum Penelitian Agro Ekonomi Volume 34 Nomor 2, Desember 2016 yang berisi lima artikel. Artikel-artikel tersebut membahas topik tentang relevansi konsep dan gerakan pertanian keluarga beserta karakteristiknya di Indonesia, kebijakan insentif untuk petani muda berdasarkan pembelajaran dari berbagai negara, transformasi pertanian dan krisis air di Bali dalam perspektif ekologi politik, penerapan kon
Analisis varinasi (anova) dua arah dengan interaksi
Fae 34-2 family farming yuti
1. ISSN 0216 – 4361
Terakreditasi LIPI
Sertifikat Nomor: 643/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
forum
penelitian
agro ekonomi
Volume 34 Nomor 2, Desember 2016
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
RELEVANSI KONSEP DAN GERAKAN PERTANIAN
KELUARGA (FAMILY FARMING) SERTA KARAKTERISTIKNYA
DI INDONESIA
Syahyuti 87-101
KEBIJAKAN INSENTIF UNTUK PETANI MUDA: Pembelajaran
dari Berbagai Negara dan Implikasinya bagi Kebijakan di
Indonesia
Sri Hery Susilowati 103-123
TRANSFORMASI PERTANIAN DAN KRISIS AIR DI BALI
DALAM PERSPEKTIF EKOLOGI POLITIK
Herlina Tarigan 125-141
PENERAPAN KONSEP MANAJEMEN RANTAI PASOK
PADA PRODUK UNGGAS
Saptana, Rangga Ditya Yofa 143-161
KINERJA PEMANFAATAN MEKANISASI PERTANIAN DAN
IMPLIKASINYA DALAM UPAYA PERCEPATAN PRODUKSI
PANGAN DI INDONESIA
Rizma Aldillah 163-177
2. FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI
Volume 34 Nomor 2, Desember 2016 ISSN 0216 – 4361
Terakreditasi No.643/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI (FAE) adalah media komunikasi ilmiah yang memuat tinjauan kritis
(critical review) hasil-hasil penelitian, gagasan-gagasan ataupun konsepsi-konsepsi orisinal dalam bidang sosial
ekonomi pertanian dari para peneliti Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) dan lembaga
lainnya. FAE diakreditasi oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan Sertifikat Akreditasi No.
643/AU3/P2MI-LIPI/07/2015. FAE diterbitkan dua kali setahun, yaitu pada bulan Juli dan Desember, oleh Pusat
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian
Pertanian.
Penanggung Jawab
Kepala Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Dewan Redaksi
Ketua
Prof. Dr. Tahlim Sudaryanto, M.S. (PSEKP/Ekonomi Pertanian)
Wakil Ketua merangkap Anggota
Dr. Ir. Muchjidin Rachmat, M.S. (PSEKP/Ekonomi Pertanian)
Anggota
Dr. Ir. Sri Hery Susilowati, M.S. (PSEKP/Ekonomi Pertanian)
Dr. Ir. Saptana, M.Si. (PSEKP/Ekonomi Pertanian)
Dr. Ir. Rita Nur Suhaeti, M.Si. (PSEKP/Sosiologi Perdesaan)
Dr. Ir. Syahyuti, M.Si. (PSEKP/Sosiologi Pertanian)
Mitra Bestari sebagai Penelaah Ahli Tetap
Dr. Ir. Andin H. Taryoto, M.Sc. (STP Bogor/Sosial Pertanian, Penyuluhan)
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr. (Institut Pertanian Bogor/Sosiologi Ekonomi)
Prof. Dr. Bonar M. Sinaga (Institut Pertanian Bogor/Ekonomi Pertanian, Makro)
Prof. Dr. Ir. Effendi Pasandaran (Jaringan Komunikasi Irigasi/Ekonomi Pertanian)
Prof. Ir. H. Luthfi Fatah, M.S., Ph.D. (Universitas Lambung Mangkurat/Ekonomi Sumber Daya Alam)
Prof. Dr. Ir. Masyhuri (Universitas Gajah Mada/Ekonomi Pertanian, Agribisnis)
Prof. Dr. Ir. Nuhfil Hanani, M.S. (Universitas Brawijaya/Ekonomi Pertanian, Ketahanan Pangan)
Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, M.S. (Institut Pertanian Bogor/Ekonomi Pertanian, Agribisnis)
Prof. Dr. Ir. Sumardjo Siswosoekarto, M.S. (Institut Pertanian Bogor/Sosial Pertanian, Penyuluhan)
Prof. Dr. Ir. Tjeppy D. Soedjana, M.Sc. (Puslitbangnak/Ekonomi Pertanian, Peternakan)
Redaksi Pelaksana
Dr. Ir. Ening Ariningsih, M.Si.
Dr. Ir. Herlina Tarigan, M.Si.
N. Sri Sunari, S.E.
Annisa Rika Rachmita, S.P.
Ibnu Salman
Alamat Penerbit/Redaksi
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Jalan A. Yani 70, Bogor 16161
Telp. (0251) 8333964
Fax. (0251) 8314496
E-mail : pse@litbang.pertanian.go.id
publikasi_psekp@yahoo.co.id
Website : http://www.pse.litbang.pertanian.go.id
3. KATA PENGANTAR
Forum Penelitian Agro Ekonomi (FAE) Vol.34 No.2 bulan Desember 2016 merupakan edisi kedua
dari terbitan tahun 2016. FAE adalah media ilmiah komunikasi yang memuat critical review hasil-hasil
penelitian, gagasan-gagasan atau konsepsi-konsepsi dalam bidang sosial ekonomi pertanian dari
para peneliti Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) atau lembaga-lembaga lainnya.
FAE terakreditasi sesuai dengan SK dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan
Sertifikat Akreditasi No.643/AU3/P2MI-LIPI/07/2015. Dalam edisi ini FAE memuat lima artikel yang
membahas topik-topik tentang pertanian keluarga, petani muda, ekologi politik, manajemen rantai
pasok, dan mekanisasi pertanian.
Edisi ini diawali dengan tulisan Syahyuti yang membahas pentingnya membangun kesadaran
tentang pentingnya fokus pembangunan pertanian pada pertanian keluarga yang merupakan bagian
terbesar dari komunitas pertanian kita. Selanjutnya Sri Hery Susilowati secara khusus mereview
pengalaman di beberapa negara dalam melaksanakan kebijakan untuk menarik petani muda ke
sektor pertanian. Dalam tulisan tersebut disimpulkan bahwa kebijakan bantuan finansial kepada
petani muda masih pro dan kontra. Untuk kasus Indonesia, kebijakan untuk meningkatkan akses
terhadap permodalan dan penguasaan lahan lebih diperlukan. Dalam tulisan ketiga, dengan
menggunakan perspektif ekologi politik dan kasus di Bali, Herlina Tarigan menyimpulkan bahwa
perkembangan pariwisata di Bali telah berdampak pada masalah lingkungan, alih fungsi lahan, krisis
air dan peluruhan kelembagaan Subak. Penulis menyarankan agar pariwisata di Bali lebih difokuskan
pada eko-wisata, agro-wisata dan kultur-wisata.
Artikel keempat dalam edisi ini yang ditulis oleh Saptana dan Rangga mereview penerapan konsep
manajemen rantai pasok dalam agribisnis perunggasan. Penulis menekankan bahwa penggunaan
analisis manajemen rantai pasok pada produk perunggasan dapat meningkatkan efisiensi
distribusi produk perunggasan melalui keterpaduan proses produk dan antar pelaku dalam
rantai pasok. Edisi ini ditutup dengan tulisan dari Rizma Aldilah tentang mekanisasi pertanian.
Penulis menyimpulkan bahwa perkembangan alat dan mesin pertanian (alsintan) di Indonesia
memerlukan pemetaan yang baik berkaitan dengan kebutuhan dan ketersediaannya, serta
peningkatan kelembagaan untuk meningkatkan efektivitasnya.
Seluruh jajaran Redaksi FAE mengucapkan terima kasih kepada para penulis yang dengan penuh
kesabaran telah mengikuti seluruh rangkaian proses penerbitan edisi ini. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada mitra bestari yang telah bersedia mereview dan memberikan masukan terhadap
draft awal dari artikel-artikel tersebut.
Bogor, Desember 2016
Ketua Dewan Redaksi
4. ISSN 0216 - 4361
forum
penelitian
agro ekonomi
Volume 34 Nomor 2, Desember 2016
DAFTAR ISI
RELEVANSI KONSEP DAN GERAKAN PERTANIAN KELUARGA (FAMILY FARMING)
SERTA KARAKTERISTIKNYA DI INDONESIA
Syahyuti 87-101
KEBIJAKAN INSENTIF UNTUK PETANI MUDA: Pembelajaran dari Berbagai Negara dan
Implikasinya bagi Kebijakan di Indonesia
Sri Hery Susilowati 103-123
TRANSFORMASI PERTANIAN DAN KRISIS AIR DI BALI DALAM PERSPEKTIF EKOLOGI
POLITIK
Herlina Tarigan 125-141
PENERAPAN KONSEP MANAJEMEN RANTAI PASOK PADA PRODUK UNGGAS
Saptana, Rangga Ditya Yofa 143-161
KINERJA PEMANFAATAN MEKANISASI PERTANIAN DAN IMPLIKASINYA DALAM UPAYA
PERCEPATAN PRODUKSI PANGAN DI INDONESIA
Rizma Aldillah 163-177
Terakreditasi No. 643/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
5. RELEVANSI KONSEP DAN GERAKAN PERTANIAN KELUARGA (FAMILY FARMING) SERTA KARAKTERISTIKNYA DI INDONESIA
Syahyuti
87
RELEVANSI KONSEP DAN GERAKAN PERTANIAN KELUARGA (FAMILY
FARMING) SERTA KARAKTERISTIKNYA DI INDONESIA
Family Farming Concept and Movement Relevance and Their
Characteristics in Indonesia
Syahyuti*
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Jln. Tentara Pelajar No. 3B, Bogor 16111, Jawa Barat, Indonesia
*Korespondensi penulis. E-mail: syahyuti@gmail.com
Naskah diterima: 3 Agustus 2016 Direvisi: 18 Agustus 2016 Disetujui 31 Oktober 2016
ABSTRACT
The United Nations established 2014 as the international year of family farming aimed to encourage public
awareness and understanding on family farming issues and how to find effective ways to support them. Family
farming is run by the majority of farmers in the world and it contributes greatly to food provision, environmental
health, poverty alleviation, and farmers’ welfare. Indonesia also needs to support family farming because of its
unique characteristics. This paper reviews various topics related with family farming. Indonesia needs to increase
knowledge to all stakeholders related to with family farming in terms of cooperation, movement and program to
sustain and develop it in the future. Therefore, we need a family farming index in accordance with all
stakeholders’ views. Indonesian family farming index consists of input, process, and output aspects.
Keywords: family farming, index, small farmers
ABSTRAK
PBB telah menetapkan tahun 2014 sebagai tahun internasional pertanian keluarga dengan tujuan menarik
perhatian masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang permasalahan pertanian keluarga
dan menemukan cara yang efektif untuk mendukungnya. Pertanian keluarga dijalankan oleh sebagian besar
petani di dunia dan terbukti memberikan sumbangan yang besar bagi penyediaan pangan, kesehatan lingkungan,
pengentasan kemiskinan, dan kesejahteraan petani. Indonesia juga membutuhkan kesadaran dan perlunya
dukungan terhadap pertanian keluarga karena memiliki karakter masalah pertanian keluarga yang khas. Tulisan
ini merupakan tinjauan review dari berbagai bahan. Indonesia membutuhkan peningkatan pengetahuan bagi
seluruh pihak terkait dengan pertanian keluarga agar dapat membangun kerja sama, gerakan, dan program untuk
menjaga dan mengembangkannya ke depan. Untuk itu dibutuhkan sebuah indeks pertanian keluarga yang bisa
menjadi pegangan dan kesepakatan semua pihak. Indeks pertanian keluarga untuk Indonesia merupakan sebuah
variabel komposit yang mencakup aspek input, proses, dan sekaligus output dari pertanian keluarga.
Kata kunci: indeks, pertanian keluarga, petani kecil
PENDAHULUAN
Pertanian keluarga (family farming)
merupakan gerakan internasional yang di
Indonesia masih menjadi wacana baru, di mana
berbagai pihak sedang berupaya mendapat
pemahaman dan agenda kerja yang jelas.
Badan dunia PBB telah menetapkan tahun 2014
sebagai tahun internasional pertanian keluarga
(International Year of Family Farming) yang
dikenal dengan “IYFF 2014”, dengan tujuan “...
to reposition family farming at the centre of
agricultural, environmental and social policies in
the national agendas by identifying gaps and
opportunities to promote a shift towards a more
equal and balanced development. to defend and
strengthen family farming as a viable alternative
to eradicate the hunger, malnutrition and poverty
suffered by 1000 million people worldwide”
(WRF 2015)
Kegiatan IYFF 2014 terdiri dari berbagai
bentuk aktivitas, yaitu promosi, diskusi, dan kerja
sama di level nasional, regional, dan global
untuk meningkatkan kesadaran, pemahaman,
dan tantangan yang dihadapi oleh petani skala
kecil (smallholders) dan menemukan cara yang
efektif untuk mendukung pertanian keluarga.
Sebagai gerakan internasional, IYFF 2014
didukung pula oleh organisasi World Rural
Forum (WRF) dan 360 lembaga swadaya
masyarakat (non goverment organization) di
seluruh dunia (Quintana 2014).
6. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 34 No. 2, Desember 2016: 87-10188
Indonesia memiliki kondisi pembangunan
pertanian yang juga membutuhkan kesadaran
dan perlunya dukungan terhadap pertanian
keluarga. Namun demikian, karakter masalah
pertanian keluarga yang dihadapi Indonesia
memiliki persoalan sendiri sehingga harus
didekati dengan strategi yang agak berbeda.
Semenjak dahulu, Indonesia cenderung
menerima dan mengadopsi berbagai konsep
yang menjadi gerakan internasional terutama
yang disebarkan oleh lembaga resmi dunia.
Contohnya, konsep pengentasan kemiskinan,
gender, pertanian berkelanjutan, ketahanan
pangan, kedaulatan pangan, pertanian ramah
lingkungan, penyuluhan partisipatif, Millenium
Development Goals (MDG), dan pemberdayaan.
Beberapa ide telah menjadi agenda nasional
secara resmi dan masuk dalam dokumen
kebijakan pemerintah. Ide tersebut telah menjadi
tujuan nasional yang diikuti dengan program dan
proyek, dilengkapi dengan strategi, pendekatan,
dan pengembangan indikator untuk mengukur
pencapaiannya. Namun, khusus untuk ide dan
gerakan pertanian keluarga, saat ini masih pada
tahap awal pengenalan dan sosialisasi. Dari sisi
konsep, beberapa ide dan gerakan dalam
pembangunan pertanian dan perdesaan selama
ini dalam beberapa elemen relatif sejalan
dengan konsep “pertanian keluarga”.
Tulisan ini berupaya memaparkan apa dan
bagaimana ide, tujuan, serta strategi pertanian
keluarga yang diperjuangkan oleh forum
internasional. Selanjutnya, dipaparkan bagai-
mana relevansi dan urgensi kegiatan ini di
Indonesia karena kondisi pertanian Indonesia
yang khas, serta karakteristik dasar dan
rumusan untuk pengukuran level keberhasilan
pertanian keluarga di Indonesia. Pada bagian
akhir juga disampaikan usulan untuk pengu-
kuran indeks pertanian keluarga, sehingga
kegiatan ini menjadi lebih sistematis dijalankan
dan terukur kemajuannya.
KONSEPSI DAN GERAKAN PERTANIAN
KELUARGA (FAMILY FARMING)
Kelahiran konsep dan gerakan “family
farming” diawali di Spanyol ketika timbul
ketakutan akan hilangnya pertanian keluarga
digantikan oleh perusahaan korporet besar yang
menimbulkan banyak kerusakan alam dan
ketimpangan ekonomi. Dalam pengertian yang
sangat umum, pertanian keluarga (family
farming) adalah “... a farm owned and operated
by family“, atau pertanian yang dimiliki dan
dikelola oleh keluarga, bukan oleh perusahaan
(WRF 2015). Menurut batasan yang digunakan
USDA, pertanian keluarga memproduksi
komoditas pertanian untuk dijual maupun cukup
untuk kebutuhan keluarga sendiri, sedangkan
tenaga kerja berasal dari dalam keluarga dan
dari luar (hired labor).
Batasan FAO (2014) paling banyak digu-
nakan, pertanian keluarga didefinisikan sebagai
“form of organizing crop and forest production as
well as fishery, livestock raising, and
aquaculture, which is managed and directed by
a family, which mainly depends on family labor
of both women and men. The family and the
holding are linked, co-evolve, and combine
economic, environmental, reproductive, social,
and cultural functions.” Ini merupakan gambaran
sebuah pertanian yang dikelola dengan berbagai
prinsip yang selaras dengan alam dan harmonis
pada komunitas, dengan tetap menyandarkan
kepada bertani sebagai sebuah aktivitas yang
menyenangkan dan memiliki kedalaman sosio-
kultural (way of life).
Pertanian keluarga diberikan harapan yang
sangat besar sehingga ada jargon bahwa
“pertanian keluarga adalah alternatif masa
depan dunia” (family farming - our alternative for
the future”). Sidang Umum Perserikatan Bangsa-
bangsa (PBB) pada tanggal 5–7 Oktober 2011
menghasilkan sebuah Final Declaration of
Family Farming World Conference yang
menetapkan tahun 2014 sebagai Tahun
Internasional Pertanian Keluarga (International
Year of Family Farming/IYFF). Ini merupakan
wujud pengakuan atas pentingnya pertanian
keluarga dalam menjaga pasokan pangan dunia,
mengurangi kemiskinan global, serta mening-
katkan ketahanan pangan dan gizi di dunia (FAO
2014). Perayaan Tahun Internasional Pertanian
Keluarga juga bertujuan untuk meningkatkan
perhatian dunia kepada pertanian keluarga dan
pertanian skala kecil atas peran penting
keduanya dalam menghapuskan kelaparan,
meningkatkan mata pencaharian petani,
memperbaiki pengelolaan sumber daya alam,
melindungi lingkungan dan mencapai pemba-
ngunan yang berkelanjutan, khususnya di
perdesaan. Pertanian keluarga akan memenuhi
fungsi untuk memenuhi pangan dunia (feeds the
world), menciptakan kesejahteraan (generates
well being), memerangi kemiskinan (combats
poverty), serta melindungi biodiversitas dan
lingkungan (protects biodiversity and the
environment) (Quintana 2014).
Tujuan selengkapnya gerakan IYFF 2014
adalah untuk (1) mendukung pembangunan
pertanian, lingkungan, dan kebijakan sosial yang
kondusif untuk mewujudkan pertanian keluarga;
(2) meningkatkan pengetahuan, komunikasi, dan
7. RELEVANSI KONSEP DAN GERAKAN PERTANIAN KELUARGA (FAMILY FARMING) SERTA KARAKTERISTIKNYA DI INDONESIA
Syahyuti
89
kesadaran publik; (3) memperoleh pemahaman
yang lebih baik terhadap kebutuhan, potensi,
serta hambatan teknis pertanian keluarga; serta
(4) menciptakan sinergi untuk keberlanjutannya
(Quintana 2014). Pada hakekatnya, “... family
farming as a guarantee of food security and food
sovereignty and a source of economic, social
and territorial development” (WRF 2015).
Penetapan Tahun Internasional Pertanian
Keluarga 2014 tidak terlepas dari upaya
menempatkan kembali posisi pertanian keluarga
di dalam pusat kebijakan-kebijakan pertanian,
lingkungan, dan sosial dalam agenda nasional
dengan mengidentifikasi kesenjangan dan
peluang-peluang menuju pembangunan yang
lebih berkeadilan dan seimbang. Dalam kegiatan
ini, semakin banyak diskusi dan kerja sama di
tingkat nasional, regional, dan global untuk
meningkatkan kesadaran dan pemahaman
terhadap berbagai tantangan yang dihadapi
petani kecil, serta membantu mengidentifikasi
cara-cara yang efesien untuk mendukung
keluarga-keluarga petani/nelayan kecil, di
antaranya dengan mendukung terbangunnya
kebijakan-kebijakan yang kondusif bagi perta-
nian berkelanjutan. Selain itu, untuk mencapai
pemahaman yang lebih baik mengenai
kebutuhan pertanian keluarga, potensi-potensi
dan hambatan serta adanya jaminan dukungan
teknis.
Pertanian keluarga meliputi berbagai kegi-
atan pertanian berbasis keluarga dan yang
terkait dengan bidang-bidang pembangunan
perdesaan. Pertanian keluarga sebenarnya
adalah sebuah perangkat untuk mengoor-
dinasikan produksi di pertanian, kehutanan,
perikanan laut dan darat, serta kegiatan
penggembalaan yang dikelola dan dijalankan
oleh sebuah keluarga, baik perempuan maupun
laki-laki, serta mengandalkan tenaga kerja
keluarga (Toader dan Roman 2015).
Pertanian keluarga mempunyai peran penting
dalam kehidupan sosial ekonomi, lingkungan,
dan budaya karena pertanian keluarga dan
pertanian skala kecil tidak dapat dilepaskan dari
ketahanan pangan dunia. Pertanian keluarga
memelihara produk-produk pangan tradisional
dan menyumbang kepada keseimbangan gizi,
menjaga keanekaragaman pertanian dunia dan
pemanfaatan sumber daya alam secara ber-
kelanjutan. Gerakan ini merupakan sebuah
peluang untuk mendorong perekonomian lokal,
khususnya jika telah tercipta kebijakan-kebijakan
yang bertujuan kepada perlindungan sosial dan
kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu,
sudah selayaknya para pemerintah di dunia
mendukung pertanian keluarga melalui
kebijakan-kebijakan nasionalnya, kemudian
bersama-sama di tingkat regional dan dunia
bersinergi memajukan pertanian keluarga.
Gerakan pertanian keluarga memberikan
perhatian kepada petani, keluarga petani, dan
buruh tani; satu objek yang selama ini agak
terabaikan karena pemerintah lebih mengu-
tamakan pencapaian produksi, produktivitas,
dan swasembada komoditas tanaman pangan.
Berbagai referensi menunjukkan jargon
positif terhadap pertanian keluarga, di antaranya
adalah “Family farming is our alternative for the
future”, “Family farming feeding the world, caring
for the earth”. Konsep “family farming” sebagai
konsep yang paling baru sesungguhnya dapat
dipandang sebagai bungkus baru dari isi yang
sedikit banyak sejalan dengan berbagai konsep
lain, di antaranya adalah konsep “peasant”
dalam konteks vis a vis terhadap “farmer”, atau
petani kecil dalam kontra dengan petani besar.
Konsep lain adalah “pertanian akroekologis” dan
“pertanian rakyat”, serta juga relatif sejalan
dengan konsep bertani sebagai way of life
versus bertani sebagai bisnis.
Menurut Bastian (2011), pertanian keluarga
menggunakan energi lebih murah, sensitif pada
risiko, dan memproteksi lingkungan. Bahkan,
studi Medina et al. (2015) di Brazil melihat
bahwa pertanian keluarga lebih unggul dan
menyebutnya sebagai sektor yang kompetitif
(more competitive sector) karena berkontribusi
langsung kepada pengurangan kemiskinan,
ketahanan pangan, dan pertumbuhan ekonomi.
Pertanian keluarga sangat penting bagi pemba-
ngunan berkelanjutan kehidupan perdesaan dan
juga mempromosikan kehidupan yang sehat
(healthy lifestyle) dan eksis, baik di negara maju
maupun berkembang (Toader dan Roman
2015).
Pada tahun 2016, disepakati untuk
menindaklanjuti gerakan ini melalui tagline
“IYFF+10”, yakni konsensus untuk melanjutkan
gerakan ini sampai 10 tahun ke depan, yakni
tahun 2026 (IFAD 2016). Setiap negara akan
bekerja sama meningkatkan dukungan publik di
bawah Family Farming National Committees di
negara masing-masing, menciptakan pedoman
untuk promosi, serta meningkatkan relasi antara
penelitian dan organisasi-organisasi pertanian
keluarga (Family Farming Organisations).
Organisasi petani didorong untuk mengambil
bagian dalam kebijakan politik serta mampu
bekerja sama dengan lembaga lokal, nasional,
dan internasional. IFAD merupakan pihak utama
dalam mempromosikan dan mengimplemen-
tasikan Program “IYFF” maupun “IYFF+10”.
8. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 34 No. 2, Desember 2016: 87-10190
Sebaran dan Permasalahan Pertanian
Keluarga di Dunia
FAO melaporkan bahwa pertanian keluarga
mencakup lebih dari 570 juta usaha pertanian di
dunia yang dijalankan oleh lebih dari 500 juta
keluarga (Lowder et al. 2014). Semua ini
menyumbang setidaknya 56% dari total produksi
pertanian dunia. “Family farming is the
predominant form of agriculture both in
developed and developing countries” (FAO
2017). Jumlah pertanian keluarga menjadi
dominan karena batasan yang digunakan cukup
luas, yakni mencakup pertanian “... range from
smallholder to medium-scale farmers, and
include peasants, indigenous peoples, traditional
communities, fisher folks, mountain farmers,
pastoralists and many other groups representing
every region and biome of the world (Lowder et
al. 2014; FAO 2017).
Peran pertanian keluarga sangat signifikan.
Di Brazil misalnya, pertanian keluarga
menyumbang 40% dari total produksi pertanian
nasional, hanya dari lahan yang luas totalnya
kurang dari 25% lahan pertanian nasional. Di
Fiji, proporsinya lebih besar, yakni 84%
produksi nasional dari total lahan yang tidak
sampai setengah (47,4% dari total lahan
nasional). Untuk Amerika, pertanian keluarga
menyumbang 84% dari seluruh produksi
nasional, dihasilkan dari 78% lahan, di mana
98% usaha pertanian tergolong sebagai
pertanian keluarga. Data ini menunjukkan bahwa
pertanian keluarga lebih produktif, mampu
memberikan hasil produksi yang lebih besar
dengan luasan lahan yang lebih kecil.
Secara keseluruhan di tingkat dunia, sekitar
1,5 miliar petani hidup dari lahan kecil kurang
dari 2 hektare, 410 juta orang mengumpulkan
hasil hutan dan padang rumput, 100–200 juta
orang menjadi penggembala ternak, 100 juta
orang berprofesi sebagai nelayan kecil, serta
370 juta lainnya merupakan kelompok
masyarakat adat yang sebagian besar bertani
(FAO 2017). Selain itu, masih ada 800 juta
orang bercocok tanam di perkotaan. Pertanian
keluarga merupakan basis produksi pangan
yang berkelanjutan, dengan pengelolaan
lingkungan dan lahan serta keanekaragaman
hayatinya, dan menjadi basis pelestarian
warisan sosial-budaya yang penting dari
bangsa-bangsa dan komunitas perdesaan.
Pertanian keluarga berperan penting di
Eropa, namun jumlahnya mulai menurun. Hal ini
menimbulkan pertanyaan bagaimana kemam-
puan resiliensi (resilience) pertanian keluarga
untuk bertahan dalam jangka panjang sekaligus
beradaptasi terhadap perubahan luar.
Darnhofer et al. (2016) mendapatkan dua
perspektif penyebabnya, yakni peran pertanian
keluarga dalam dinamika ekologi dan peran
aktor petani itu sendiri dalam ranah struktur
sosial masyarakat setempat. Ia mengelompok-
kan ini menjadi dikotomi “structure/agency” dan
“ecological/social”.
Petani keluarga di seluruh dunia sangat
dipengaruhi oleh krisis pangan yang berkaitan
dengan krisis keuangan, bahan bakar, dan
perubahan iklim. Banyak kebijakan publik kurang
tanggap terhadap kebutuhan petani kecil dan
keluarganya. Pencaplokan lahan menjadi
ancaman terbesar bagi pertanian keluarga dan
produksi pangan secara berkelanjutan. Banyak
pertanian keluarga, termasuk petani kecil,
nelayan kecil/tradisional, masyarakat adat, dan
penggembala, terampas asetnya melalui
pengambilalihan (akuisisi) lahan-lahan atau
daerah tangkapan mereka untuk dijadikan
perkebunan tanaman ekspor untuk industri dan
tanaman pangan, atau dijadikan kawasan
komersial. Selain itu, pertanian keluarga
berskala kecil ini mengalami keterbatasan akses
ke pembiayaan dan pasar, memiliki daya tawar
yang lemah atas harga-harga produk mereka,
sedangkan perlindungan dan pemberdayaan
keluarga-keluarga petani kecil masih terbatas
dalam implementasinya.
Selain itu, pemahaman pengambil kebijakan
sering kurang memadai. Di Indonesia misalnya,
dalam UU No. 19 tahun 2013 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, buruh
tani tidak masuk sebagai objek yang dilindungi
dan diberdayakan. Buruh tani umumnya tidak
masuk dalam organisasi (Berdegue 2000),
kurang diperdulikan dalam penyuluhan, bahkan
juga tidak terdata oleh statistik.
Menurut Asin (2014), pertanian keluarga
memiliki banyak sisi-sisi positif. Pertama,
pertanian keluarga memberi makan dunia. Saat
ini, 70% pangan dunia diproduksi oleh family
farmers. Pertanian keluarga sebagian berskala
besar dan sebagian kecil. Pertanian skala kecil
sesungguhnya lebih produktif dalam konteks
output per areal lahan dan juga dalam
penggunaan energi (in terms of output per unit of
land and energy use).
Kedua, pertanian keluarga menciptakan
kesejahteraan. Saat ini, 40% rumah tangga
dunia bergantung dari usaha pertanian. Dari 3
miliar penduduk desa di negara berkembang,
sebanyak 2,5 miliar bekerja di pertanian.
Ketiga, pertanian keluarga melawan
kemiskinan. Menurut data World Bank,
pertumbuhan GDP dari pertanian mampu
mengurangi kemiskinan dua kali lebih banyak
9. RELEVANSI KONSEP DAN GERAKAN PERTANIAN KELUARGA (FAMILY FARMING) SERTA KARAKTERISTIKNYA DI INDONESIA
Syahyuti
91
dibanding sektor lain. Oleh karena itu, pertanian
keluarga diyakini PBB sebagai kunci dalam
memerangi kelaparan (UN’s Zero Hunger
Challenge and the UN post-2015 Sustainable
Development Goals).
Keempat, pertanian keluarga menjaga
keragaman biodiversitas dan lingkungan.
Pertanian keluarga yang menanam beragam
komoditas dan varietas pada satu hamparan
adalah sumber daya genetik yang sangat kaya.
Mereka mengusahakan beragam tanaman
dengan karakteristik yang berbeda, mengguna-
kan benih dan bibit ternak yang adaptif dengan
lingkungan setempat, dengan prinsip agro-
ekologis, sehingga menyokong pertanian yang
sehat (the healthy functioning of ecosystems),
juga lebih tahan terhadap tekanan iklim.
Pertanian keluarga juga berkontribusi kepada
sosio kultural masyarakat desa dengan segala
nilai-nilai kulturalnya. Koltun et al. (2015)
mengingatkan bahwa untuk pertanian keluarga
semestinya tidak menggunakan indikator output
dalam menilainya.
Namun demikian, kondisi yang dihadapi saat
ini secara umum bahwa keberadaan pertanian
keluarga dipengaruhi oleh krisis pangan,
finansial, dan bahan bakar; serta perubahan
iklim (WRF 2016). Kebijakan yang dibuat
pemerintah belum sesuai untuk kebutuhan
pertanian keluarga, di mana model ekonomi dan
kebijakan pemerintah merugikan pertanian
keluarga. Gejala pengambilalihan lahan (land
grabbing) merupakan ancaman terhadap
pertanian keluarga dan produksi pangan
berkelanjutan. Banyak lahan pertanian keluarga
(smallholders, indigenous communities, and
shepherds) diakuisisi untuk usaha tanaman
ekspor. Keluarga-keluarga petani yang lemah
dalam akses dan kontrol pasar serta posisi
tawarnya, berhadapan dengan pihak-pihak yang
kuat .
Petrini et al. (2016) melaporkan bahwa di
Barzil, ekspansi korporat besar pabrik tebu yang
memproduksi ethanol menekan pertanian
keluarga untuk menyewakan atau menjual
lahan-lahan mereka. Namun, para pemangku
kepentingan pembangunan pertanian memiliki
persepsi positif terhadap pertanian keluarga
karena lebih menjamin keragaman biodiversitas,
tidak hanya mendukung sumber daya alam
melainkan merupakan basis strategi untuk
ekonomi nasional. Sementara. penelitian Gregor
(1982) di Amerika dengan menggunakan
multivariate model mendapatkan bahwa
pertanian skala kecil mulai tergerus karena
berbagai sebab mulai dari kurang kompetitif
dalam faktor produksi, juga tidak lagi dilindungi
dari sumber-sumber daya tradisional misalnya
intensifitas tenaga kerja dan efisiensi produksi.
Bersamaan dengan ini tekanan dari pertanian
skala besar yang dikelola sebagai “the factory
farm” juga semakin besar.
Peran Penting Perempuan dan Generasi
Muda dalam Pertanian Keluarga
Perempuan memiliki posisi yang sangat vital
dalam pertanian keluarga. Perempuan
memegang peran penting dalam produksi dan
penyediaan pangan bagi keluarga, menjaga
lingkungan dan tradisi, serta menerapkan teknik-
teknik pertanian yang rendah input kimia sintetis
sehingga efisien. Banyak perempuan yang telah
melakukan praktik pertanian organik/alami. Para
perempuan berada di depan dalam upaya
pelestarian dan pemanfaatan sumber daya
genetika, mulai dari seleksi benih, panen,
penyimpanan, dan sebagainya. Peran tradisional
perempuan selama ini terlibat langsung dalam
proses produksi dan sekaligus menyiapkan
makanan untuk keluarga dan komunitasnya.
Perempuan juga berperan penting dalam
konservasi genetik (genetic conservation), di
mana mereka terlibat langsung dalam
menanam, pemanenan, penyimpanan, dan
pengolahan pangan. Perempuan menjaga
lingkungan dan tradisi, serta menerapkan teknik-
teknik pertanian yang rendah input dan input
yang efisien. Studi Seuneke dan Bock (2015) di
Belanda mendapatkan bahwa perempuan
memiliki kemampuan multifungsi (multifunctional
entrepreneurs). Ada tiga peran utama
perempuan, yaitu membawa praktik baru ke
pertanian, menyediakan akses kepada jaringan,
dan melakukan negosiasi dengan keluarga
petani lain.
Namun, umumnya perempuan kurang
dihargai dalam kebijakan karena kurang sensitif
kepada ketutuhan khas perempuan. Perempuan
juga lemah dalam hal akses kepada lahan,
pasar, pendidikan, dan politik di mana suara
mereka jarang didengar dalam organisasi petani
(farmers’ organizations and in government
bodies). Pada tingkat rumah tangga dan
masyarakat mereka mengalami gender-based
discrimination. Hal ini semua menghalangi
kontribusi mereka kepada pembangunan
pertanian.
FAO mengingatkan bahwa untuk memper-
tahankan eksistensi pertanian keluarga, perlu
perhatian kepada perempuan dan pemuda tani.
Di negara berkembang, perempuan merupakan
43% dari seluruh tenaga kerja pertanian, bahkan
di beberapa negara proporsinya lebih dari 80%
(FAO 2014). Permasalahan perempuan adalah
mereka kurang akses kepada fasilitas kredit
dibandingkan laki-laki. FAO mencatat bahwa
10. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 34 No. 2, Desember 2016: 87-10192
hanya 10% kredit di sub-Sahara Afrika tersedia
untuk perempuan (FAO 2011). Di negara-negara
berkembang, perempuan adalah tulang pung-
gung pertanian, namun mereka belum memiliki
akses yang seimbang.
Generasi muda di pertanian juga berperan
sangat penting bagi keberlanjutan pertanian di
seluruh dunia. Namun, pemuda petani memiliki
keterbatasan dalam dukungan ekonomi dan
pendidikan yang dapat memotivasi mereka agar
memajukan pertanian di desa. Berbagai keter-
batasan itu membuat pertanian tidak menarik
sehingga pemuda lebih memilih meninggalkan
desa tanpa menyadari pentingnya melanjutkan,
menciptakan, dan menghasilkan kehidupan di
lingkungan pertanian mereka sendiri dengan
penuh martabat (Leavy dan Smith 2010).
Golongan muda merupakan masalah sendiri.
Saat ini dengan populasi lebih kurang seperlima
populasi dunia, namun mereka enggan berkarir
di sektor pertanian. Ide yang berkembang untuk
menarik mereka ke dalam pertanian, selain
berusaha mendorongnya menjadi petani secara
langsung, juga ditawarkan untuk profesi lain
yang tidak langsung, yakni pengusaha pangan
(food entrepreneurs), ilmuwan, dan penyuluh
pertanian (extension agents). Namun, untuk
mendapatkan hasil yang lebih signifikan, maka
pemerintah perlu membantu petani muda untuk
akses kepada lahan, kredit perbankan,
pendidikan, serta keterampilan teknis yang
memadai (FAO 2014).
GAMBARAN PERTANIAN KELUARGA DI
INDONESIA
Dalam sepuluh tahun terakhir (2003–2013),
jumlah rumah tangga petani di Indonesia
mengalami penurunan. Hasil pendataan BPS
menunjukkan penurunan rumah tangga petani
dari 31,2 juta pada tahun 2003 menjadi 26,1 juta
rumah tangga pada 2013. Namun, penurunan
jumlah rumah tangga petani diikuti dengan
makin meningkatnya jumlah perusahaan per-
tanian pada periode yang sama, yaitu dari
jumlah 4.011 perusahaan (2003) menjadi 5.486
perusahaan (2013). Dengan kata lain, peru-
sahaan pertanian semakin mendominasi
ekonomi pertanian di Indonesia. Dalam waktu
sepuluh tahun jumlah perusahaan pertanian
meningkat 36,8%, sebaliknya rumah tangga
pertanian gurem turun 25,0% dan juga rumah
tangga pertanian pengguna lahan turun sebesar
15,4%.
Sesuai dengan batasan dalam Sensus
Pertanian 2013, rumah tangga (RT) petani
gurem adalah RT pertanian pengguna lahan
dengan penguasaan <0,5 ha (mencakup lahan
pertanian dan lahan bukan pertanian), RT budi
daya ikan, penangkapan ikan, pemungutan hasil
hutan, penangkapan satwa liar, dan jasa
pertanian bukan pengguna lahan. RT Usaha
Pertanian adalah rumah tangga yang salah satu
atau lebih anggota rumah tangganya mengelola
usaha pertanian dengan tujuan sebagian atau
seluruh hasilnya untuk dijual, baik usaha
pertanian milik sendiri, secara bagi hasil, atau
milik orang lain dengan menerima upah, dalam
hal ini termasuk jasa pertanian.
Tabel 1. Perbandingan jumlah dan perubahan rumah
tangga pertanian, 2003 dan 2013
Aspek ST 2003 ST 2013
Perubahan
(%)
RT petani
gurem
19.015.051 14.248.870 - 25,0
RT usaha
pertanian
pengguna
lahan
30.419.582 25.751.266 -15,4
RT usaha
pertanian
31.232.184 26.135.469 -16,3
Perusahaan
pertanian
4.011 5.486 36,8
Sumber: BPS (2004, 2014)
RT usaha pertanian pengguna lahan adalah
RT usaha pertanian yang melakukan satu atau
lebih kegiatan usaha tanaman padi, palawija,
hortikultura, perkebunan, kehutanan, peter-
nakan, budi daya ikan/biota lain di kolam air
tawar/tambak air payau, dan penangkaran satwa
liar. Perusahaan pertanian berbadan hukum
adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan
jenis usaha di sektor pertanian yang bersifat
tetap, terus menerus yang didirikan dengan
tujuan memperoleh laba. Pendirian perusahaan
dilindungi hukum atau izin dari instansi yang
berwenang minimal pada tingkat kabupaten/
kota, untuk setiap tahapan kegiatan budi daya
pertanian seperti penanaman, pemupukan,
pemeliharaan, dan pemanenan.
Dari segi penguasaan lahan, rata-rata pengu-
asaan lahan untuk di atas 30 ha meningkat
22,8%, sedangkan untuk luasan lainnya
menurun. Ini menunjukkan bahwa petani di
Indonesia semakin timpang dalam penguasaan
lahan. Dengan kata lain, perusahaan pertanian
semakin menyingkirkan pertanian keluarga.
Secara keseluruhan, rumah tangga pertanian
berkurang sebesar 16,3% dalam kurun waktu
sepuluh tahun. Penyebabnya adalah selain
karena perbedaan batasan antarsensus
11. RELEVANSI KONSEP DAN GERAKAN PERTANIAN KELUARGA (FAMILY FARMING) SERTA KARAKTERISTIKNYA DI INDONESIA
Syahyuti
93
pertanian, juga karena petani keluar dari sektor
pertanian karena usaha pertanian tidak
ekonomis dan tidak mencukupi untuk kese-
jahteraan keluarga. Sebagian tetap bertani,
namun hanya menjadi buruh tani. Dalam sensus
pertanian, buruh tani yang tidak mengelola lahan
sendiri, tidak menyewa, dan juga tidak me-
nyakap lahan orang lain; tidak dicatat sebagai
rumah tangga pertanian. Dalam ST 2003, unit
pencacahan mencakup seluruh rumah tangga
yang memiliki kegiatan pertanian, sedangkan
pada ST 2013 hanya rumah tangga yang
melakukan kegiatan pertanian dengan tujuan
untuk usaha, baik dijual maupun ditukar.
Tabel 2. Jumlah RT usaha pertanian berdasarkan
luas penguasaan lahan (juta RT), 2003 dan
2013
Luas
penguasaan
(ha/RT)
ST 2003 ST 2013
Perubahan
(%)
<1 9,4 4,3 -53,8
1–1,9 3,6 3,6 -1,5
2–4,9 6,8 6,7 -1,2
5–9,9 4,8 4,6 -4,8
10–19,9 3,7 3,7 1,0
20–29,9 1,7 1,6 -3,3
>30 1,3 1,6 22,8
Jumlah 31,2 26,1 -16,3
Sumber: BPS (2004, 2014)
Fenomena ini bukan sesuatu yang baru.
Studi Hill (1993) di Eropa dengan menggali data
dari 59.000 unit usaha pertanian di 12 negara,
mendapatkan bahwa lahan pertanian keluarga
juga cenderung semakin kecil dan sumbangan-
nya terhadap pendapatan rumah tangga juga
semakin menurun. Namun, studi Roudart dan
Dave (2017) di Nigeria mendapatkan bahwa
pertanian keluarga sesungguhnya tetap dapat
mengembangkan investasi pada lahan apabila
kondisi yang dihadapi kondusif.
Namun demikian, untuk kasus Indonesia,
sesungguhnya saat ini kekhawatiran terhadap
hilangnya pertanian keluarga belum memiliki
alasan yang sangat kuat karena pertanian
keluarga akan tetap eksis dalam jangka lama
dan sulit dihapuskan. Namun, meskipun masih
dikelola dengan manajemen keluarga dan
mengandalkan tenaga kerja dalam keluarga
sendiri, prinsip bisnis sudah diterapkan termasuk
penggunaan input yang berlebihan untuk
meningkatkan produksi setinggi-tingginya. Aki-
batnya, nilai-nilai kultural keharmonisan bertani
dengan alam, dalam keluarga dan dengan
komunitas menjadi hilang. Diduga bahwa isu
yang lebih prioritas saat ini sesungguhnya
adalah apakah petani dan keluarga petani
terlindungi, sejahtera, dan terhormat sebagai
petani? Dengan kata lain, apakah petani dan
keluarga petani Indonesia saat ini telah hidup
bermartabat?
Meskipun jarang diwacanakan, namun
permasalahan martabat ini diungkap dalam
beberapa dokumen pemerintah. Dalam buku
Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP)
2015–2045 (Kementan 2016) disebutkan bahwa
visi pembangunan jangka panjang pertanian
adalah “Mewujudkan Pertanian Indonesia yang
Bermartabat, Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur
paling lambat pada tahun 2045”. Pertanian yang
bermartabat berkenaan dengan tingkat harkat
kemanusiaan petani Indonesia yang memiliki
kepribadian luhur, harga diri, kebanggaan, serta
merasa terhormat dan dihormati sebagai petani.
Pertanian yang makmur dicirikan oleh kehidupan
seluruh petani yang serba berkecukupan, ter-
bebas dari ancaman rawan pangan dan
kemiskinan, yang merupakan resultante dari
pertanian yang bermartabat, mandiri, maju, dan
adil.
Salah satu kekhususan SIPP adalah adanya
tambahan frasa bermartabat di dalam visinya
(hlm. 6). Disebutkan dalam dokumen ini bahwa
“pembangunan pertanian pertama-tama harus
ditujukan untuk mewujudkan pertanian yang
bermartabat, tentu saja meliputi petani dan
usaha taninya” (hlm. 50), juga “… pengem-
bangan pertanian bermartabat yang memberi
kemakmuran dan keadilan bagi pelaku usaha
pertanian” (hlm. 147).
Negara berkewajiban untuk menjamin
kedaulatan petani dalam mengelola usahanya
serta memberikan perlindungan dan pemberda-
yaan sehingga berusaha tani merupakan
pekerjaan yang layak untuk kemanusiaan dan
dapat menjamin penghidupan yang sejahtera
bagi seluruh keluarga petani. Sebagai insan
yang bermartabat, menjadi petani harus menjadi
pilihan profesi, bukan karena keterpaksaan dan
tidak tersedianya pilihan lain untuk bekerja (hlm.
50).
Kegiatan IYFF-2014 didedikasikan untuk
mengorganisasikan petani-petani di seluruh
dunia (Quintana 2014). Hal ini didukung
Siriwardena (1991) yang menyatakan bahwa
strategi berorganisasi dari keluarga-keluarga
petani menjadi hal pokok (crucial point)
partisipasi mereka dalam pembangunan. Untuk
ini, maka pertanian keluarga membutuhkan
keterlibatan dan komitmen berbagai pihak, yaitu
organisasi petani, pusat-pusat penelitian,
lembaga pendidikan, media, agen-agen
pembangunan, dan berbagai otoritas publik
lainnya. WRF 2015 menyebarkan panduan
12. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 34 No. 2, Desember 2016: 87-10194
nasional untuk menjalankan sistem pertanian
berbasiskan pertanian keluarga serta proses
untuk membangunnya.
PROSPEK PERTANIAN KELUARGA DAN
KELUARGA PETANI KE DEPAN
Sesungguhnya kita menghadapi dua entitas
persoalan yang berbeda, yakni antara “pertanian
keluarga” dengan “keluarga petani”. Objek
pertama berkenaan dengan usaha pertaniannya,
sedangkan objek kedua berkenaan dengan aktor
atau pelakunya, yakni keluarga petani.
Bertolak dari pemahaman yang agak
“longgar” dalam berbagai dokumen sebagai-
mana dipaparkan di atas, maka jumlah pertanian
keluarga di Indonesia sangat besar dan
dominan. Namun, memandang semua perta-
nian keluarga dalam satu kategori akan
menghasilkan pengetahuan yang dangkal.
Untuk dapat memahami lebih baik, seluruh
pelaku usaha pertanian perlu dibedakan atas
tiga kategori yang dibagi atas luas penguasaan
lahan, dengan titik batas penguasaan 0,5 ha dan
2,0 ha. Kedua titik batas ini cukup populer dalam
kategori statistikal di Indonesia, di mana batas
0,5 ha digunakan oleh BPS untuk menyebut
batas maksimum “petani gurem”, sedangkan
batas 2,0 ha digunakan dalam UU No. 19 tahun
2013 sebagai batas penguasaan maksimum
untuk petani yang masuk kategori dilindungi dan
diberdayakan.
Kondisi yang dihadapi dan sasaran ke depan
untuk memberdayakan pertanian keluarga dapat
Tabel 3. Perbedaan karakterteristik dan kebutuhan untuk pengembangan tiga strata pertanian Indonesia
Aspek
Perusahaan pertanian dan
pertanian keluarga ukuran
“besar”
Pertanian keluarga
ukuran “sedang” Pertanian keluarga gurem
Karakteristik:
Luas penguasaan
lahan
>2 ha 0,5–2 ha <0,5 ha
Sumber tenaga kerja Seluruhnya TK upahan dari
luar keluarga
TK keluarga
ditambah TK
upahan
Hanya menggunakan TK dari
dalam keluarga
Tipe manajemen dan
teknologi
Industrial, dan sebagian
intensif
Semiintensif Agroekologis, organik
Tipe teknologi Mekanisasi penuh Semimekanisasi Mekanisasi rendah, lebih
mengutamakan tenaga
manusia
Orientasi usaha Bisnis komersial Bisnis semi-
komersial
Mengutamakan untuk
kebutuhan pangan keluarga
Komoditas yang
ditanam
Komoditas pasar, ekspor,
dll.
Komoditas pasar
dan pangan
keluarga
Menanam komoditas pangan
pokok keluarga
Kebutuhan untuk
pengembangannya:
Kebutuhan lahan Membeli dan sewa (HGU
tanah negara)
Lahan pribadi Lahan terlalu sempit, butuh
perluasan, kepastian hak, dll.
Kebutuhan modal Bunga komersial ke
perbankan
Butuh subsidi Butuh subsidi
Kebutuhan benih Mampu memproduksi
sendiri
Butuh subsidi Butuh subsidi
Kebutuhan pupuk dan
obat-obatan
Mandiri, membeli dgn
harga komersial
Harga disubsidi Subsidi lebih besar
Kebutuhan teknologi Memiliki unit riset sendiri Mengandalkan
pemerintah
Butuh riset dengan
pendekatan berbeda
Kebutuhan informasi Sudah mandiri Penyuluhan dan
media massa
Penyuluhan lebih banyak
dan pemberdayaan
Organisasi Hanya butuh asosiasi Butuh organisasi
(kelompok tani,
Gapoktan, koperasi)
Butuh organisasi yang
berbeda
13. RELEVANSI KONSEP DAN GERAKAN PERTANIAN KELUARGA (FAMILY FARMING) SERTA KARAKTERISTIKNYA DI INDONESIA
Syahyuti
95
menggunakan kategori di atas. Untuk petani
dengan luas >2 ha misalnya yang tidak dicakup
dalam UU No. 19 tahun 2013 karena dipandang
sebagai petani yang sudah mandiri, namun di
dalamnya melibatkan para buruh tani yang tidak
menjadi objek perlindungan.
Satu prasyarat penting untuk kesejahteraan
keluarga petani adalah berapa luas penguasaan
lahan minimal sehingga tercapai pendapatan
yang tidak tergolong sebagai kelompok miskin.
Penelitian Nazam et al. (2011) untuk petani padi
di NTB mendapatkan angka 0,73 ha per KK agar
dapat hidup layak. Jika didasarkan atas Garis
Kemiskinan BPS September 2013, batas
pengeluaran RT di wilayah perdesaan adalah
Rp275.779/kapita/bulan. Sementara, World
Bank menetapkan angka pengeluaran US$1,25/
kapita/hari. Jika rata-rata anggota keluarga
adalah 5 orang per rumah tangga, maka lahan
yang dibutuhkan adalah sebagaimana
dijabarkan dalam Tabel 4 berikut.
Tabel di atas memperlihatkan bahwa
penguasaan lahan milik sendiri minimal per
keluarga agar tidak jatuh ke dalam kelompok
miskin menurut garis BPS adalah 0,38 sampai
0,66 ha untuk pola tanam yang berbeda. Apabila
menggunakan ukuran garis kemiskinan menurut
Bank Dunia, dibutuhkan lahan minimal 0,61
sampai 1,07 ha per keluarga.
Perhatian kepada pertanian keluarga penting
di Indonesia, namun banyak tantangan dan
kendala, yakni pertumbuhan penduduk yang
masih tinggi, keterbatasan sarana dan
prasarana pertanian, konversi lahan sawah
akibat perencanaan tata ruang yang tidak baik,
juga dukungan teknologi dan mekanisasi yang
masih lambat (Septiani 2015). Untuk
memperkuat pertanian keluarga dibutuhkan
gerakan (movements) untuk meningkatkan
pengaruhnya kepada pengambil kebijakan,
kelembagaan dan pasar, untuk akses yang
terjamin kepada sumber daya yang mereka
butuhkan, juga kebutuhan jaminan terhadap
kebijakan yang inklusif dan positif kepada
kelompok marginal (perempuan, petani muda,
masyarakat adat, dan lain-lain).
Tugas pemerintah ke depan adalah
mempromosikan pertanian agroekologis berke-
lanjutan dalam kerangka kerja pertanian
keluarga. Bersamaan dengan itu adalah juga
menjamin akses pertanian keluarga kepada
akses dan kontrol terhadap sumber daya
pertanian, akses pada pasar, mempromosikan
perempuan dan kesetaraan gender, memper-
kuat organisasi pertanian keluarga, dan
mempromosikan kepada generasi muda (Family
Farming Organizations 2011). Menurut Asin
(2014), hal yang dibutuhkan adalah keterlibatan
dan komitmen semua pihak, pendidikan publik
dan advokasi, promosi kebijakan, peningkatan
infrastruktur dan pelayanan di perdesaan,
dukungan langsung untuk perempuan melalui
investasi, kredit, land titling, dan lain-lain;
peningkatan penyerapan tenaga kerja
perdesaan terutama kalangan muda, penelitian
pertanian, pelatihan untuk peningkatan
kapasitas, dan peningkatan kesadaran sosial
tentang peran pertanian keluarga.
Dukungan yang dibutuhkan di Indonesia
adalah investasi pertanian agroekologis,
memberi perhatian pada kearifan lokal,
Tabel 4. Luas penguasaan lahan minimal per rumah tangga petani untuk keluar dari garis kemiskinan
Aspek Satuan Garis BPS
1
Garis World Bank
2
Batas garis kemiskinan Rp/kap/bulan 275.779 450.000
Jumlah anggota keluarga orang/RT 5 5
Pendapatan minimal per tahun Rp/RT 16.546.740 27.000.000
Keuntungan usaha tani padi Rp/ha 12.602.000 12.602.000
Keuntungan usaha tani jagung Rp/ha 18.720.000 18.720.000
Keuntungan usaha tani kedelai Rp/ha 5.365.200 5.365.200
Pendapatan usaha tani:
padi-padi-bera Rp/tahun/ha 25.204.000 25.204.000
padi-padi-jagung Rp/tahun/ha 43.924.000 43.924.000
padi-padi-kedelai Rp/tahun/ha 30.569.200 30.569.200
Kebutuhan lahan minimal per RT:
padi-padi-bera ha/RT 0,66 1,07
padi-padi-jagung ha/RT 0,38 0,61
padi-padi-kedelai ha/RT 0,54 0,88
Sumber: Data primer (hasil analisis sendiri),
1
BPS (2013),
2
Jolliffe D, Prydz EB. (2016)
14. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 34 No. 2, Desember 2016: 87-10196
memberi akses dan kontrol sumber daya (air,
tanah, dan modal) dari korporasi ke komunitas
lokal, serta memperkuat organisasi tani. Konsep
“petani kecil” juga mesti masuk secara tegas
dalam kebijakan dan menjadi agenda penting
pemerintahan. Laporan IFPRI dan ODI (2005)
berjudul “The Future of Small Farms”
menyebutkan bahwa “… small farmers have a
future but will need a variety of technological and
nontechnological interventions to overcome the
challenges they face”. Petani kecil membu-
tuhkan kreativitas untuk menciptakan teknologi
dan kelembagaan yang sesuai dengan mereka.
Dari sisi kebijakan, sudah cukup banyak
landasan kebijakan untuk memperkuat pertanian
keluarga. Dalam UU No. 12 tahun 1992 tentang
Sistem Budidaya Tanaman, terutama setelah
tahun 2013 dengan dikabulkannya uji materil
oleh mahkamah konstitusi yang mengabulkan
permohonan revisi untuk Pasal 9 ayat 3 dan
Pasal 12 ayat 1. Dengan revisi ini, maka
perorangan petani kecil dapat melakukan
pencarian dan pengumpulan plasma nutfah
serta mengedarkan varietas hasil pemuliaan
petani dalam negeri tanpa terlebih dahulu
dilepas oleh pemerintah.
Lalu, UU No. 19 tahun 2013 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, di
mana “Petani” dibatasi sebagai penggarap
maksimal 2 ha, petani pemilik maksimal 2 ha,
serta petani kebun, hortikultura dan lain-lain lain
yang ditetapkan khusus oleh menteri (Pasal 12
ayat 2). Dalam pengertian ini buruh tani tak
bertanah (petani tunakisma) bukan kelompok
yang dilindungi. Implikasinya, mereka juga tidak
termasuk yang akan diberdayakan pemerintah.
Buruh tani juga tidak termasuk sebagai buruh
atau “tenaga kerja”, karena dalam UU No. 13
tahun tentang Ketenagakerjaan tidak ada entry
kata untuk “petani”, dan “buruh tani”, dan
“tenaga kerja pertanian”. Bertolak dari Pasal 1
di mana “Pekerja/buruh adalah setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain”, maka buruh tani
semestinya termasuk. Namun, pekerja atau
buruh yang diperhatikan dalam konteks ini
adalah yang bekerja pada usaha formal yang
terdaftar. UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh juga tidak memuat kata
“petani”, “buruh tani”, dan “pertanian”.
Pemahaman mengenai petani yang lebih
luas tercantum dalam Agenda 21 (United Nation
1992) sebagai berikut: “... all references to
"farmers" include all rural people who derive
their livelihood from activities such as farming,
fishing and forest harvesting. The term "farming"
also includes fishing and forest harvesting.”
Agenda 21 adalah program aksi dunia untuk
pembangunan berkelanjutan yang disepakati
oleh 178 negara, termasuk Indonesia, ketika
diselenggarakan KTT Bumi di Rio de Janeiro
tahun 1992. Sementara, dalam Farm Practices
Protection (Right to Farm) Act (RSBC1996)
Chapter 131, "farmer" didefinisikan sebagai “the
owner or operator of a farm business”. Artinya,
buruh tani tak bertanah yang menggantungkan
hidup dengan menjual tenaga dan mendapat
upah harian adalah juga petani.
Salah satu sumber dukungan tak langsung
untuk eksistensi pertanian keluarga adalah
konsep dari “perdagangan adil” (fair trade).
Namun, sayangnya kebijakan perdagangan
yang baru yakni UU No. 7 tahun 2014 tentang
Perdagangan tidak memuat entry “perdagangan
yang adil”. Namun demikian, pada Pasal 2
tertulis bahwa kebijakan perdagangan disusun
berdasarkan asas “adil dan sehat”.
Perdagangan berkeadilan (fair trade)
merupakan sistem perdagangan alternatif yang
menjalankan prinsip-prinsip tertentu untuk
mencapai kesetaraan dalam perdagangan
internasional. Idenya diawali dari tata
perdagangan di level dunia, namun prinsip ini
juga relevan untuk diterapkan pada level lokal.
Sistem perdagangan adil timbul sebagai reaksi
terhadap sistem perdagangan bebas yang
meminggirkan petani dan perajin di negara
berkembang. Perbedaan utama dengan konsep
“perdagangan bebas” (free trade) adalah karena
fair trade lebih luas dari hanya sekedar aspek
ekonomi, namun juga mencakup pertimbangan
kemanusiaan dan lingkungan.
Setiap barang yang diperdagangkan harus
memperoleh label yang diterbitkan beberapa
organisasi sertifikat perdagangan berkeadilan
(fairtrade certifiers) yaitu Fairtrade International
(sebelumnya dikenal dengan Fairtrade Labelling
Organizations International), IMO, dan Eco-
Social. Beberapa prinsip perdagangan
berkeadilan yang sejalan dengan pertanian
keluarga di antaranya sebagai berikut (WFTO
2013): (1) menciptakan peluang bagi produsen
kecil; (2) tidak semata-mata mengejar keun-
tungan, namun peduli pada kesejahteraan
sosial, ekonomi, dan lingkungan bagi produsen
kecil; (3) adil dalam pembayaran; (4) tidak
memperkerjakan anak-anak dan buruh paksa;
(5) mengutamakan kesetaraan gender dan
kebebasan berserikat bagi produsen; (6) memi-
liki tempat kerja yang sehat; (7) meningkatkan
kapasitas produsen; dan (8) menghormati
keseimbangan ekologis.
Konsep perdagangan berkeadilan tidak
hanya memperhatikan komoditas yang
15. RELEVANSI KONSEP DAN GERAKAN PERTANIAN KELUARGA (FAMILY FARMING) SERTA KARAKTERISTIKNYA DI INDONESIA
Syahyuti
97
diperdagangkan dan pedagangnya, namun juga
produsen. Semangat awalnya adalah untuk
melindungi produsen lemah di negara
berkembang. Produsen kecil dibela sehingga
tetap dapat hidup dan mengambil untung dari
sistem perdagangan yang berjalan.
USULAN RUMUSAN INDEKS PERTANIAN
KELUARGA
Sampai saat ini belum ada pihak yang
secara resmi mengeluarkan pedoman bagai-
mana mengukur pertanian keluarga, baik
sebagai dokumen program maupun hasil
penelitian. Sebuah indeks yang disusun dari
variabel, indikator, serta bobot dan skor sangat
dibutuhkan sebagai alat untuk mengukur
kemajuan, sekaligus juga sebagai pedoman
untuk penyusunan program. Sebagai sebuah
konsep yang relatif baru, saat ini berbagai pihak
sedang menggali bagaimana karakteristik
pertanian keluarga pada berbagai wilayah di
dunia dengan berbagai metode (Suess-Reyes
dan Fuetsch 2016), dan dapat menjadi bahan
untuk penyusunan indeks tersebut.
Dari studi di kawasan Eropa dan Asia
Tengah, karakteristik pertanian keluarga
menurut van der Ploeg (2016) terdiri atas enam
kriteria, yaitu (1) keluarga memiliki kontrol yang
efektif terhadap sumber daya utama pertanian
yang digunakan; (2) tenaga kerja dari dalam
keluarga memainkan peranan yang penting
(pivotal role) dalam manajemen usaha tani;
(3) mampu meningkatkan kesejahteraan petani-
nya; (4) berkontribusi positif kepada ekonomi
lokal dan wilayah; (5) membangun dan
memperkaya ekosistem lokal (local eco-
systems); dan (6) menghindari relasi yang
berlawanan (antagonistic relations) dengan
entitas pertanian keluarga lainnya. Kata kunci
dari ciri pertanian keluarga yang ditemukannya
adalah pembangunan yang inklusif (inclusive
development).
Sebaliknya, juga dipaparkan temuan tentang
ciri pertanian skala besar yang sangat berbeda
dengan pertanian keluarga, yaitu (1) beroperasi
pada kawasan perbukitan dan pegunungan yang
berdampak negatif kepada biodiversitas dan
ekologis; (2) menyebabkan pengurangan secara
masif tenaga kerja produktif di desa; (3) mene-
rapkan pertanian monokultur dengan input
eksternal tinggi dan penggunaan obat-obatan
sehingga menyebabkan pemanasan global,
berkurangnya biodiversitas, polusi air, dan
mengancam kesehatan publik; (4) meningkatkan
risiko bagi kesehatan hewan dan tanaman;
(5) mengancam ketahanan pangan dan kedau-
latan pangan; dan (6) mendegradasi kehidupan
perdesaan.
Dari referensi yang lain, ciri dari pertanian
keluarga menurut FAO (2017) adalah sistem
pertanian yang tidak monokultur (diversified
agricultural systems), menyediakan pangan
tradisional (preserve traditional food products),
berkontribusi kepada keseimbangan antara
jumlah yang dikonsumsi dengan penyelamatan
agribiodiversitas (contributing both to a balanced
diet and the safeguarding of the world’s agro-
biodiversity), melekat pada jaringan komunitas
dan kultur lokal (embedded in territorial networks
and local cultures), menggunakan pendapatan
untuk ekonomi setempat (spend their incomes
mostly within local and regional markets), serta
menggerakkan pertanian dan sekaligus
pekerjaan nonpertanian (generating many
agricultural and non-agricultural jobs).
Berkenaan dengan upaya penyusunan
indeks, ada banyak referensi bagaimana
menyusun indeks yang baik. Sebuah indeks
setidaknya mengandung prinsip “wholeness”
yakni mencakup keseluruhan sisi objek yang
diukur, “exhausiveness” yakni terpisah dengan
jelas antarindikator, juga terukur atau mudah
diukur, dan hasilnya pengukurannya berpotensi
cukup menyebar. Secara prinsip, sesuai dengan
referensi yang banyak digunakan, pertanian
keluarga mestilah memenuhi empat pilar, yaitu
pilar ekonomi, pilar lingkungan, pilar sosial, dan
pilar kultural (Woodley et al. 2009). Dengan
demikian, indeks yang penulis usulkan untuk
mengukur pertanian keluarga adalah seperti
yang dipaparkan pada Tabel 5 .
Nilai akhir indeks adalah rekapitulasi dari
kesepuluh variabel di atas, di mana seluruhnya
merupakan variabel tunggal. Variabel terdiri
atas dua jenis, yaitu (1) angka rasio dari angka
statistik (tingkat skala rasio) berupa hasil bagi
atas luas lahan, nilai (Rupiah), dan jumlah hari
orang kerja (HOK); dan (2) jawaban kategorial
dari persepsi narasumber yang dikelompokkan
atas kategori sedang, rendah, dan tinggi.
Indeks di atas mencakup berbagai segi dari
pertanian keluarga, mulai dari input, proses,
output, dan dampaknya. Tenaga kerja keluarga
merupakan indikator yang sangat penting dalam
pertanian keluarga. Penelitian Johnsen (2004) di
Selandia Baru tentang respons pertanian skala
kecil dalam melakukan penyesuaian penggu-
naan tenaga kerja menemukan satu kesejajaran
dengan evolusi norma-norma kultural lokal (local
cultural norms).
16. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 34 No. 2, Desember 2016: 87-10198
Tabel 5. Indeks pertanian keluarga beserta indikator, variabel, dan metode pengukurannya
Indikator
Variabel yang diukur Metode pengukuran
dan satuan
Nilai
1. Keefektifan kontrol rumah tangga
petani terhadap sumber daya
lahan pertanian
Rasio penguasaan petani
antara sumber daya
pertanian yang dikuasai
terhadap total sumber daya
pertanian yang digunakan
(variabel tunggal)
Luas lahan yang
dikuasai dibagi
dengan total nilai
lahan yang
digunakan (ha)
0–1
2. Penggunaan tenaga kerja
keluarga dalam usaha tani
Rasio jumlah tenaga kerja
yang berasal dari dalam
keluarga dengan total
penggunaan seluruh tenaga
kerja dalam usaha tani
(variabel tunggal)
Jumlah HOK dari
dalam keluarga
dibagi total HOK
dalam usaha tani
(HOK)
0–1
3. Peran usaha pertanian terhadap
kesejahteraan keluarga
Rasio pendapatan dari usaha
pertanian terhadap total
pendapatan rumah tangga
dari seluruh sumber
pendapatan (variabel
tunggal)
Pendapatan dari
pertanian dibagi
dengan total
pendapatan rumah
tangga (Rp)
0–1
4. Kontribusi pertanian terhadap
pengembangan ekonomi lokal
dan wilayah
Rasio peran pertanian
terhadap ekonomi lokal dan
wilayah dibandingkan
terhadap total kontribusinya
(variabel tunggal)
Nilai PDRB pertanian
dibagi dengan total
PDRB wilayah (Rp)
0–1
5. Kontribusi terhadap
pembangunan dan pemeliharaan
ekosistem lokal
Tingkat keterlibatan dalam
menjaga dan
mengembangkan ekosistem
lokal (variabel tunggal)
Jumlah jawaban dari
persepsi nara-
sumber, dikelompok-
kan atas kategori
rendah, sedang, dan
tinggi (%)
1–3
(1 = rendah,
2 = sedang,
3 = tinggi)
6. Relasi dengan sesama pertanian
keluarga lainnya
Tingkat relasi berupa kerja
sama input, usaha, produk,
pemasaran, dll (variabel
tunggal)
Jumlah jawaban dari
persepsi nara-
sumber,
dikelompokkan atas
kategori rendah,
sedang, dan tinggi
(%)
1–3
(1 = rendah,
2 = sedang,
3 = tinggi)
7. Kontribusi usaha pertanian
terhadap golongan marjinal
(perempuan, pemuda, dan
masyarakat adat, dll.)
Rasio kontribusi usaha
pertanian terhadap golongan
marjinal dibandingkan
dengan kontribusi total yang
diberikan (variabel tunggal)
Jumlah serapan
tenaga kerja
pertanian untuk
kelompok marginal
dibagi potensial
serapan (HOK)
0–1
8. Kontribusi terhadap kesetaraan
gender
Tingkat kontribusi dalam
memperbaiki kesetaraan
gender (variabel tunggal)
Jumlah jawaban dari
persepsi nara-
sumber, dikelompok-
kan atas kategori
rendah, sedang, dan
tinggi (%)
1–3
(1 = rendah,
2 = sedang,
3 = tinggi)
9. Kesejahteraan keluarga petani Rasio keluarga petani yang
sejahtera dibandingkan
seluruh keluarga petani
dalam satu wilayah (variabel
tunggal)
Jumlah rumah
tangga sejahtera
dibagi total rumah
tangga (%)
0–1
10. Sumbangan usaha pertanian
terhadap sosio kultural
masyarakat (pengetahuan lokal,
adat istiadat, dll.)
Tingkat kontribusi dalam
menjaga dan
mengembangkan
sosiokultural masyarakat
(variabel tunggal)
Jumlah jawaban dari
persepsi nara-
sumber, dikelompok-
kan atas kategori
rendah, sedang, dan
tinggi (%)
1–3
(1 = rendah,
2 = sedang,
3 = tinggi)
17. RELEVANSI KONSEP DAN GERAKAN PERTANIAN KELUARGA (FAMILY FARMING) SERTA KARAKTERISTIKNYA DI INDONESIA
Syahyuti
99
Demikian pula dengan input ramah ling-
kungan. Studi Rey (2015) pada sistem per-
tanian pegunungan di Romania yang didominasi
oleh pertanian keluarga mendapatkan ciri
absennya penggunaan input kimia sehingga
menghasilkan lingkungan yang sehat (unpolluted
environment). Selanjutnya, studi Baležentis dan
De Witte (2015) yang mempelajari efisiensi
pertanian keluarga yang diukur dengan partial
frontiers and Multi-Directional Efficiency Analysis
(MEA) di Lituania menemukan bahwa tren waktu
memberi dampak positif, sedangkan subsidi
memberi dampak negatif kepada total output
usaha. Faktor waktu berperan positif karena
adanya peningkatan intensitivitas penggunaan
tenaga kerja dalam usaha tani.
PENUTUP
Wacana dan gerakan pertanian keluarga di
Indonesia saat ini masih pada tahap advokasi
kepada lembaga pemerintah, melalui dukungan
lembaga internasional, terutama organisasi Food
and Agricultural Organization (FAO) dan World
Rural Forum (WRF). Ide dan gerakan pertanian
keluarga telah diterima dan menjadi komitmen
dunia internasional sebagai objek sekaligus
strategi untuk mencapai berbagai tujuan
pembangunan pertanian dan perdesaan yang
selama ini telah menarik perhatian dan agenda
pemerintah, yakni penyediaan pangan, pertanian
berkelanjutan, pengentasan kemiskinan, dan
kesejahteraan masyarakat.
Pada sisi keilmuan, objek pertanian keluarga
juga belum banyak dipahami, apalagi dengan
kesadaran bahwa kondisi dan permasalahan di
setiap negara cenderung berbeda. Untuk
Indonesia, sesuai dengan karakteristik pertanian
dipadukan dengan batasan-batasan yang sudah
populer digunakan, maka pertanian keluarga
dapat dibedakan atas tiga kategori, yakni
pertanian keluarga dengan penguasaan di
bawah 0,5 ha, antara 0,5 sampai 2,0 ha, dan di
atas 2,0 ha. Ketiga entitas ini memiliki kondisi
dan permasalahan berbeda sehingga membu-
tuhkan dukungan yang berbeda pula.
Untuk dapat membantu dalam penyusunan
program sekaligus melakukan monitoring dan
evaluasi secara terukur dan sistematis, maka
dibutuhkan satu rumusan indeks pertanian
keluarga yang nantinya bisa disepakati oleh
semua pihak sebagai pedoman bersama.
Dengan didasarkan atas referensi dan diskusi
yang berkembang, maka indeks pertanian
keluarga mencakup berbagai indikator yang
lengkap dengan menggabungkan aspek input,
proses, serta output dan dampak dari
keberadaan pertanian keluarga.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian sebagai pengelola jurnal serta Dewan
Redaksi dan Redaksi Pelaksana yang telah
memberikan saran perbaikan serta melayani
penyempurnaannya. Demikian pula, ucapan
terima kasih disampaikan kepada semua pihak
yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang
telah membantu dalam penyediaan data,
informasi, serta pengetahuan dan temuan-
temuan studi.
DAFTAR PUSTAKA
Asin A. 2014. Family farming: feeding the world,
caring for the earth [Internet]. [cited 2016 Jan 17].
Available from: http://www.astc.org/astc-dimensi
ons/family-farming-feeding-the-world-caring-for-
the-earth/.
Baležentis T, De Witte K. 2015. One-and multi-
directional conditional efficiency measurement –
efficiency in Lithuanian family farms. Eur J Oper
Res. 245(2):612-622.
Bastian CT. 2011. Family farming: a new economic
vision. Am J Agric Econ. 93(1):247-249.
doi:10.1093/ajae/aaq127
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2004. Indonesia:
sensus pertanian 2003. Jakarta (ID): Biro Pusat
Statistika.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Garis kemiskinan
[Internet]. [diunduh 2016 Okt 19]. Tersedia dari:
https://www.bps.go.id/subjek/view/ id/23
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Laporan hasil
sensus pertanian 2013: pencacahan lengkap
[Internet]. [diunduh 2016 Mar 9]. Tersedia dari:
https://st2013.bps.go.id/st2013esya/booklet/at000
0.pdf
Berdegue J. 2000. Systems-oriented agricultural
extension and advisory services for small farmers
in Latin America. Santiago (CL): RIMISP.
Darnhofer I, Lamine C, Strauss A, Navarrete M. 2016.
The resilience of family farms: towards a relational
approach. J Rural Stud. 44:111-122
[FFO] Family Farming Organizations. 2011. Final
declaration family farming world conference:
feeding the world, caring for the earth; 2011 Oct 5-
7; Bilbao, Spain [Internet]. [cited 2015 Feb 11].
Available from: http://www.wocan.org/sites/default/
files/final_declaration.pdf
18. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 34 No. 2, Desember 2016: 87-101100
[FAO] Food and Agriculture Organization of the United
Nations. 2011. Women in agriculture: closing the
gender gap for development [Internet. Rome (IT):
Food and Agriculture Organization of the United
Nations]; [cited 2016 Feb 11]. Available from:
http://www.fao.org/docrep/013/i2050e/i2050e.pdf
[FAO] Food and Agriculture Organization of the United
Nations. 2014. The future of family farming:
empowerment and equal rights for women and
youth [Internet].. Discussion Paper. Global Forum
on Food Security and Nutrition (FSN Forum).
Rome (IT): Food and Agriculture Organization of
the United Nations]; [cited 2015 Oct 11]. Available
from: http://www.fao.org/fsnforum/activities/discus
sions/family-farming
[FAO] Food and Agriculture Organization of the United
Nations. 2017. Family farming knowledge platform.
[Internet]. Rome (IT): Food and Agriculture
Organization of the United Nations; [cited 2015 Oct
10]. Available from: http://www.fao.org/family-
farming/background/en/.
Gregor HF. 1982. Large-scale farming as a cultural
dilemma in U.S. rural development—the role of
capital. Geoforum. 13(1):1-10.
Hill B. 1993. The ‘myth’ of the family farm: defining the
family farm and assessing its importance in the
European community. J Rural Stud. 9(4):359-370.
[IFAD] International Fund for Agricultural
Development. 2016. The international year of
family farming+10: strengthening common action in
favor of family farming after the IYFF [Internet]..
Side event organized by WRF, AFA, COPROFAM;
2016 Feb 18. [cited 2015 Feb 11]. Available from:
https://www.ifad.org/documents/10180/cd380f68-
d78e-4e40-b768-60af1d3ad430
[IFPRI] International Food Policy Research Institute
and [ODI] Overseas Development Institute. 2005.
The future of small farms [Internet]. Proceedings of
a Research Workshop; 2005 Jun 26-29; Wye,
United Kingdom. Jointly organized by International
Food Policy Research Institute (IFPRI)/2020 Vision
Initiative Overseas Development Institute (ODI).
London (UK): Imperial College; [cited 2016 Mar 9].
Available from: http://iri.columbia.edu/~jhansen/
Sonja/10.1.1.139.3719.pdf
Johnsen S. 2004. The redefinition of family farming:
agricultural restructuring and farm adjustment in
Waihemo, New Zealand. J Rural Stud. 20(4):419-
432.
Jolliffe D, Prydz EB. 2016. Estimating international
poverty lines from comparable national thresholds.
World Bank Group, Policy Research Working
Paper. Development Research Group Poverty and
Inequality Team. March 2016. [Internet]. [cited
2016 Mar 11]. Available from:
http://documents.worldbank.org/curated/en/83705
1468184454513/pdf/WPS7606.pdf
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2016. Strategi
induk pembangunan pertanian (SIPP) 2015–2045.
Jakarta (ID): Kementerian Pertanian
Leavy J, Smith S. 2010. Future farmers: youth
aspirations, expectations and life choices.
Discussion Paper 013, June 2010 [Internet]. [cited
2016 Mar 9]. Available from: www.future-
agricultures.org
Lowder SK, Skoet J, Singh S. 2014. What do we
really know about the number and distribution of
farms and family farms worldwide? Background
paper for the State of Food and Agriculture 2014.
ESA Working Paper No. 14-02. Rome (IT): Food
and Agriculture Organization of the United Nations.
Medina G, Almeida C, Novaes E, Godar J, Pokorny B.
2015. Development conditions for family farming:
lessons from Brazil. World Dev. 74:386-396.
Nazam M, Sabiham S, Pramudya B, Widiatmaka,
Rusastra IW. 2011. Penetapan luas lahan
optimum usahatani padi sawah mendukung
kemandirian pangan berkelanjutan di Nusa
Tenggara Barat. J Agro Ekon 29(2): 113–145
Petrini MA, Rocha JV, Brown JC, Bispo RC. 2016.
Using an analytic hierarchy process approach to
prioritize public policies addressing family farming
in Brazil. Land Use Policy. 51:85-94.
Quintana C. 2014. Family farming: feeding the world,
caring for the earth. Dimensions, March/April 2014
[Internet]. [cited 2015 Apr 1]. Available from:
http://www.astc.org/astc-dimensions/family-
farming-feeding-the-world-caring-for-the-earth/.
Rey R. 2015. New challenges and opportunities for
mountain agri-food economy in South Eastern
Europe. A scenario for efficient and sustainable
use of mountain product, based on the family farm,
in an innovative, adapted cooperative associative
system – horizon 2040. Procedia Econ Finance.
22:723-732.
Roudart L, Dave B. 2017. Land policy, family farms,
food production and livelihoods in the Office du
Niger area, Mali. Land Use Policy. 60:313-323.
Septiani P. 2015. Family farming: the case of
Indonesia. Rendiconti Accademia Nazionale delle
Scienze detta dei XL Memorie di Scienze Fisiche e
Naturali 133° [Internet]. [cited 2016 Mar 9];
39(2):251-2. Available from: Error! Hyperlink
reference not valid.
Seuneke P, Bock BB. 2015. Exploring the roles of
women in the development of multifunctional
entrepreneurship on family farms: an
entrepreneurial learning approach. Wageningen J
Life Sci. 74-75:41-50.
Siriwardena SSAL. 1991. Social reality of people's
participation: some experience of people's
participation in a revolving fund for sustainable
family farming in a Sri Lanka irrigation settlement.
Landsc Urban Plan. 20(1-3):123-128.
Suess-Reyes J, Fuetsch E. 2016. The future of family
farming: a literature review on innovative,
sustainable and succession-oriented strategies. J
Rural Stud. 47:117-140.
19. RELEVANSI KONSEP DAN GERAKAN PERTANIAN KELUARGA (FAMILY FARMING) SERTA KARAKTERISTIKNYA DI INDONESIA
Syahyuti
101
Toader M, Roman GV. 2015. Family farming:
examples for rural communities development.
Agric Agric Sci Procedia. 6:89-94.
United Nations. 1992. Agenda 21: United Nations
Conference on Environment and Development;
1992 Jun 3-14; Rio de Janerio, Brazil [Internet].
[cited 2016 Mar 9]. Available from:
https://sustainabledevelopment.un.org/content/doc
uments/Agenda21.pdf
van der Ploeg JD. 2016. Family farming in Europe
and Central Asia: history, characteristics, threats
and potentials. Working Paper No. 153. Brasilia
(BR): UNDP-International Policy Centre for
Inclusive Growth.
Woodley E, Crowley E, de Pryck JD, Carmen A. 2009.
Cultural indicators of indigenous peoples' food and
agro-ecological systems. SRAD Initiatives.
E/C.19/2009/CRP. 3. [Internet]. [cited 2016 Mar 9].
Available from: http://www.un.org/esa/socdev/
unpfii/documents/E_%20C_19_2009_CRP3_en.pdf
[WFTO] World Fair Trade Organizations. 2013. 10
principles of fair trade [Internet]. WR Culemborg
(NL): World Fair Trade Organizations. [cited 2016
Mar 9]. Available from: http://www.wfto.com/
sites/default/files/10-FAIR-TRADE-PRINCIPLES-
2013-(Rio-AGM-and-EGM-2013-approved-
modifications).pdf
[WRF] World Rural Forum. 2015. Terms of reference
for the national guidelines for the governance of
agricultural systems based on family farming. Alava
(ES): World Rural Forum.
[WRF] World Rural Forum. 2016. We need better
public policies for family farming! [Internet]. Alava
(ES): World Rural Forum. [cited 2016 Mar 9].
Available from: https://www.ruralforum.net/en/
news/2016/10/we-need-better-public-policies-for-
family-farming.
20. UCAPAN TERIMA KASIH
Redaksi Forum Penelitian Agro Ekonomi (FAE) mengucapkan terima kasih kepada Mitra Bestari
yang telah membantu sehingga FAE Vol. 34 No. 2 ini dapat terbit. Ucapan terima kasih
dipersembahkan kepada:
1. Dr. Ir. Andin H. Taryoto, M.S. (STP Bogor/Sosial Pertanian/Penyuluham)
2. Prof. Dr. Ir. Effendi Pasandaran (Jaringan Komunikasi Irigasi/Ekonomi Pertanian)
3. Prof. Dr. Ir. Kedi Suradisastra (Forum Komunikasi Profesor Riset/Sosiologi Pertanian)
4. Prof. Dr. Ir. Nuhfil Hanani, M.S. (Universitas Brawijaya/Ekonomi Pertanian/Ketahanan Pangan)
5. Prof. Dr. Ir. Tjeppy D. Soedjana, M.Sc. (Puslitbangnak/Ekonomi Pertanian/Peternakan)
21. PEDOMAN PENULISAN NASKAH
FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI
PERSYARATAN UMUM. Redaksi hanya menerima
naskah yang belum pernah dipublikasikan dan tidak
sedang dalam proses evaluasi penerbitan pada
publikasi lain. Naskah tersebut harus sesuai dengan
misi Forum Penelitian Agro Ekonomi (FAE), yaitu
sebagai media ilmiah komunikasi hasil penelitian yang
berisi review hasil penelitian sosial ekonomi pertanian
di Indonesia. FAE memuat “critical review” hasil-hasil
penelitian para peneliti Pusat Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian dan lembaga lainnya. FAE juga
menampung naskah-naskah yang berupa gagasan-
gagasan ataupun konsepsi-konsepsi orisinal dalam
bidang sosial ekonomi pertanian.
RUANG LINGKUP. Ruang lingkup penulisan adalah
sosial ekonomi pertanian, yang mencakup tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan.
SISTEMATIKA NASKAH. Naskah disusun dengan
urutan sebagai berikut: Judul Naskah, Nama Penulis,
Nama dan Alamat Instansi, Abstrak, Kata Kunci,
Pendahuluan, Sub-Subtopik Bahasan, Penutup,
Ucapan Terima Kasih, Daftar Pustaka, dan Lampiran
(jika ada).
JUDUL NASKAH. Judul merupakan ungkapan yang
mencerminkan isi naskah, bersifat spesifik, efektif, dan
tidak terlalu panjang (10−15 kata). Judul ditulis dalam
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
NAMA PENULIS DAN INSTANSI. Nama Penulis
ditulis secara lengkap di bawah judul tanpa menyebut
gelar, diikuti di bawahnya nama lembaga tempat
penulis bekerja yang ditulis lengkap beserta alamat
pos dan alamat korespondensi elektronik (e-mail). Jika
penulis terdiri lebih dari satu orang dengan alamat
yang sama, maka pencantuman satu alamat e-mail
telah dianggap cukup untuk mewakili alamat penulis
lainnya.
ABSTRAK. Setiap naskah dilengkapi Abstrak yang
terdiri dari dua bahasa, yaitu Indonesia dan Inggris.
Abstrak merupakan ringkasan yang utuh dan lengkap
yang menggambarkan esensi isi keseluruhan tulisan.
Abstrak ditulis paling banyak 200 kata dalam bahasa
Inggris dan 250 kata dalam bahasa Indonesia.
KATA KUNCI. Pemilihan Kata Kunci (3−5 kata)
mengacu pada deskriptor yang tercantum dalam
AGROVOC. Apabila istilah yang dipilih tidak terdapat
dalam AGROVOC, maka Thesaurus lain atau kamus
istilah dapat dipakai sebagai rujukan.
PENDAHULUAN. Pendahuluan berisi latar
belakang/masalah dan tujuan penelitian.
SUB–SUBTOPIK BAHASAN. Berisi bab/subbab
yang merupakan isi utama dari makalah yang sesuai
dengan judul. Pada pembahasan ini disusun secara
sistematis dan koheren.
PENUTUP. Penutup disampaikan secara ringkas dan
padat.
UCAPAN TERIMA KASIH. Ucapan terima kasih
merupakan wujud penghargaan kepada semua pihak
(instansi atau perorangan) yang berkontribusi atau
membantu dalam pendanaan, pelaksanaan
penelitian, dan penulisan naskah jurnal.
DAFTAR PUSTAKA. Jumlah pustaka yang diacu
minimal 25 acuan, diutamakan menggunakan pustaka
yang diterbitkan 10 tahun terakhir dan minimal 80%
berasal dari pustaka primer (terutama jurnal
internasional atau jurnal primer nasional terakreditasi).
Pustaka yang tidak diterbitkan supaya dihindari,
demikian pula pustaka yang berasal dari blogspot dan
Wikipedia. Jumlah pustaka yang merupakan tulisan
sendiri dibatasi maksimal 30% dari total jumlah
pustaka.
BENTUK NASKAH. Naskah diketik pada kertas
ukuran A4 (21,0 × 29,7 cm) dengan jarak 1 spasi.
Batas tepi atas 3 cm dan batas tepi kiri, kanan, dan
bawah masing-masing 2,5 cm. Naskah diketik dengan
menggunakan huruf Arial ukuran 10 untuk teks dan
menggunakan huruf Arial 9 untuk Abstrak dan daftar
Pustaka, menggunakan program Microsoft Word;
tabel dan grafik menggunakan program Microsoft
Excel; sedangkan gambar menggunakan format
JPEG atau TIFF (dalam format yang dapat diedit).
Panjang naskah minimum 14 halaman dan
maksimum 24 halaman, termasuk tabel, gambar,
perhitungan, dan literatur.
BAHASA. Naskah ditulis dengan menggunakan
bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang baku.
Untuk naskah dalam bahasa Indonesia disarankan
untuk mengurangi pemakaian istilah asing dan
disesuaikan dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan dan Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi IV.
TABEL. Tabel diberi judul singkat, jelas, dan diikuti
keterangan tempat dan waktu cakupan data. Jumlah
Contoh tabel:
Tabel 1. Perkembangan produksi padi di Provinsi Jawa Barat, 2008–2013
Tahun
Luas tanam
(ha)
Luas panen
(ha)
Produksi padi
(ton)
Produktivitas
(ton/ha)
Pertumbuhan
produksi (%)
2008 1.832.960 1.650.894 10.342.810 6,27 -
2009 1.911.839 1.825.346 11.272.248 6,18 8,99
2010 2.012.723 1.904.974 11.688.571 6,14 3,69
2011 1.921.739 1.849.205 11.587.155 6,27 -0,87
2012 1.898.814 1.792.955 11.224.622 6,26 -3,13
2013 1.914.025 1.898.455 11.538.472 6,08 2,79
Sumber: Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat (2014)
22. digit yang dipergunakan adalah dua digit di belakang
koma. Posisi Tabel dan judul Tabel ditempatkan di sisi
kiri naskah. Sumber data ditempatkan di bagian kiri
bawah tabel. Garis pemisah dibuat dalam bentuk
horizontal.
GAMBAR DAN GRAFIK. Gambar dan grafik harus
dicetak tebal sehingga memungkinkan direduksi
antara 50–60% dari gambar dan grafik asli. Judul
gambar dan grafik diletakkan di bawahnya tanpa
memengaruhi bagian gambar dan grafik. Posisi
Gambar dan judul Gambar ditempatkan di center
naskah. Sumber data ditempatkan tepat di bawah
gambar sebelum judul Gambar.
SATUAN PENGUKURAN. Satuan pengukuran dalam
teks, grafik, dan gambar memakai sistem internasional
(SI), misalnya cm, kg, km, ha, t, dan lain sebagainya.
Khusus untuk l yang merupakan singkatan dari liter,
digunakan L untuk menghindari kemungkinan tertukar
dengan angka 1. Penulisan angka desimal dipisahkan
dengan tanda koma (,) untuk naskah dalam bahasa
Indonesia, sedangkan untuk bahasa Inggris dengan
tanda titik (.). Penulisan angka ribuan dipisahkan
dengan tanda titik (.) untuk naskah bahasa Indonesia,
sedangkan untuk naskah dalam bahasa Inggris ditulis
dipisahkan dengan tanda koma (,).
PENGUTIPAN PUSTAKA. Gaya pengutipan yang
digunakan dalam naskah mengacu pada Council of
Science Editors (name-year system) dengan
mencantumkan nama (keluarga/akhir) penulis dan
tahun penerbitan, contoh: Suhaeti dan Basuno (2004),
Suryana (2014). Jika ada lebih dari dua penulis maka
nama (keluarga/akhir) penulis pertama diikuti dengan
et al., contoh: Saptana et al. (2005), Susilowati et al.
(2015). Jika terdapat lebih dari satu pustaka yang
diacu secara bersamaan harus diurut berdasarkan
tahun terbitan, contoh: (Hardono 2014; Ariani dan
Saliem 2015). Jika terdapat dua atau lebih pustaka
dengan nama yang sama, tetapi berbeda tahun
terbitan, pisahkan tahun dengan koma, contoh:
(Kariyasa 2011, 2015). Untuk dua kutipan dengan
nama penulis dan tahun yang sama, tambahkan huruf
setelah tahun baik dalam pengutipan dalam teks
maupun dalam Daftar Pustaka, contoh: (Syahyuti
2014a, 2014b). Untuk penulis dengan nama
keluarga/akhir dan tahun terbitan yang sama,
tambahkan inisial pertama pada nama keluarga/akhir
dan pisahkan kedua nama penulis dengan semikolon,
contoh: (Sudaryanto B 2009; Sudaryanto T 2010).
DAFTAR PUSTAKA. Kutipan Pustaka di dalam teks
harus ada di dalam Daftar Pustaka dan sebaliknya
setiap Pustaka yang tercantum dalam Daftar Pustaka
harus dikutip pada teks. Daftar Pustaka disusun
menurut abjad sesuai dengan urutan nama
(keluarga/akhir) penulisnya. Dalam Daftar Pustaka
semua nama penulis dan editor harus ditulis lengkap
dan tidak diperkenankan menggunakan et al.
Disarankan menggunakan program perangkat lunak
Mendeley (http://mendeley.com) menggunakan gaya
sitasi Council of Science Editors (name-year) dengan
style Francis & Taylor. Contoh penulisan Daftar
Pustaka adalah sebagai berikut:
Artikel Jurnal
Dalton T. 2004. Household hedonic model of rice
traits: economic values from farmers in West
Africa. Agric Econ. 31(2-3):149-159.
Suryana A. 2014. Menuju ketahanan pangan
Indonesia berkelanjutan 2025: tantangan dan
penanganannya. Forum Penel Agro Ekon.
32(2):123-135.
Artikel Jurnal Online
Hinloopen J, Vandekerckhove J. 2009. Dynamic
efficiency of Cournot and Bertrand
competition: input versus output spillovers. J
Econ [Internet]. [cited 2015 Nov 17]; 98(2):119-
136. Available from: http://link.springer.com/article/
10.1007/s00712-009-0085-8.
Daru M. 2007. Pemanfaatan kotoran ternak dan
peningkatan sanitasi sumber sumber energi
alternatif dan peningkatan sanitasi lingkungan. J
Teknol Lingkung [Internet]. [diunduh 2007 Mar 7];
1(1):27-32. Tersedia dari: http://ejurnal.bptp.go.id/
index.php/JTL/article/view/150/145.
Buku, Buku dengan Editor, dan Buku Bunga
Rampai
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Survei Sosial
Ekonomi Nasional. Buku 1, Pengeluaran untuk
Contoh gambar:
Sumber: Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat (2014)
Gambar 1. Perkembangan produksi padi di Provinsi Jawa Barat, 2008–2013
23. konsumsi penduduk Indonesia, berdasarkan hasil
Susenas Maret 2015. Jakarta (ID): Badan Pusat
Statistik.
Haryono, Pasandaran E, Rachmat M, Mardianto S,
Sumedi, Saliem HP, Hendriadi A, editors. 2014.
Reformasi kebijakan menuju transformasi
pembangunan pertanian. Jakarta (ID): IAARD
Press.
Henderson JM, Quandt RE. 1980. Microeconomic
theory: a mathematical approach. 3rd ed. Sydney
(AU): McGraw-Hill International Book Company.
Artikel dalam Buku Bunga Rampai
Irawan B. 2013. Dampak El Nino dan La Nina
terhadap produksi padi dan palawija. Dalam:
Soeparno H, Pasandaran E, Syarwani M, Dariah
A, Pasaribu SM, Saad NS, editors. Politik
pembangunan pertanian menghadapi perubahan
iklim. Jakarta (ID): IAARD Press.
Drucker AG, Caracciolo F. 2012. The economic value
of plant genetic resources for food and agriculture.
In: Moeller NI, Stannard C, editors. Identifying
benefit flows studies on the potential monetary and
nonmonetary benefits arising from the international
treaty on plant genetic resources for food and
agriculture. Rome (IT): Food and Agriculture
Organization of the United Nations. p. 11-39.
Prosiding Seminar/Konferensi yang Diterbitkan
Syahyuti, Susilowati SH, Agustian A, Friyatno S,
editors. 2015. Pertanian-bioindustri berbasis
pangan lokal potensial. Prosiding Seminar
Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34; 2014 Nov 4;
Makassar, Indonesia. Jakarta (ID): IAARD Press.
Hughes Jd’A, Kasemsap P, Dasgupta S, Dutta OP,
Ketsa S, Chaikiattiyos S, Linwattana G,
Kosiyachinda S, Chantrasmi V, editors. 2014.
Proceedings of the Regional Symposium on
Sustaining Small-scale Vegetable Production and
Marketing Systems for Food and Nutrition Security;
2014 Feb 25-27; Bangkok, Thailand. Taiwan (TW):
AVDRC–The World Vegetable Center.
Artikel yang Dipresentasikan dalam Seminar/
Konferensi
Tittonell P. 2014. Food security and ecosystem
services in a changing world: it is time for
agroecology. In: Agroecology for food security and
nutrition. Proceedings of the FAO International
Symposium; 2014 Sep 18-19; Rome, Italy. Rome
(IT): FAO. p. 16-35.
Agustian A, Friyatno S. Potensi dan kendala
pengembangan bioenergi (etanol) berbahan baku
ubi kayu di Provinsi Lampung. 2015. Dalam:
Syahyuti, Susilowati SH, Agustian A, Friyatno S,
editors. Pertanian-bioindustri berbasis pangan lokal
potensial. Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan
Sedunia Ke-34; 2014 Nov 4; Makassar, Indonesia.
Jakarta (ID): IAARD Press. hlm. 297-306.
Disertasi/Tesis/Skripsi
Burhani FJ. 2013. Analisis volatilitas harga daging
sapi potong dan daging ayam broiler di Indonesia
[Skripsi]. [Bogor (ID)]: Institut Pertanian Bogor.
Pasaribu SM. 2005. Enhancing the performance of
farmer-managed irrigation systems in the Brantas
River Basin of Indonesia [Dissertation]. [Bangkok
(TH)]: Asian Institute of Technology.
Laporan Penelitian
Ilham N, Yusdja Y, Basuno E, Martindah E, Sartika
RAD. 2013. Ecohealth assessment on poultry
production clusters for the livelihood of
improvement small producers. Final Report
(Indonesia). Bogor (ID): Indonesian Center for
Agricultural Socio Economic and Policy Studies.
Sponsored by International Development
Research Centre.
Dermoredjo SK, Sudaryanto T, Hutabarat BF,
Heriawan R, Pasaribu SM, Hermanto, Iswariyadi
A, Setiyanto A, Elizabeth R, Aldillah R. 2015.
Pemetaan daya saing pertanian Indonesia.
Laporan Akhir Penelitian. Bogor (ID): Pusat Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Artikel dalam Majalah/Surat Kabar
Naipospos TSP. 2016 Feb 22. Skenario impor daging.
Kompas. Opini:6 (kol. 1-5).
PSEKP meracik kebijakan pertanian berbasis riset.
2015 Nov. Majalah Sains Indonesia. 47:58-59.
Weiss R. 2003 Apr 11. Study shows problems in
cloning people: researchers find replicating
primates will be harder than other mammals.
Washington Post (Home Ed.). Sect. A:12 (col. 1).
Pedoman pengutipan pustaka dan penyusunan Daftar
Pustaka selengkapnya dapat dilihat pada
http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/files/journals/26/pe
doman_pustaka.pdf, sedangkan contoh berkas
elektronik (template) sebagai format penulisan dapat
diperoleh pada http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/
files/journals/26/template_FAE.docx.
PENGIRIMAN NASKAH. Naskah hendaknya dikirim
melalui e-mail ke alamat faepsekp@gmail.com
dengan ditujukan kepada Redaksi Pelaksana Forum
Penelitian Agro Ekonomi/Subbidang Pendayagunaan
Hasil, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
(PSEKP), Jln. A. Yani 70, Bogor 16161, Tlp. (0251)
8333964, Faks. (0251) 8314496.
MEKANISME SELEKSI NASKAH: Redaksi
melakukan koreksi dan perbaikan serta mengubah
format sesuai dengan sifat jurnal yang informatif tanpa
mengubah arti dari naskah. Redaksi akan mengem-
balikan naskah kepada penulis untuk diperbaiki sesuai
dengan hasil koreksi Dewan Redaksi dan Mitra
Bestari. Penulis diharapkan segera mengembalikan
perbaikan naskah agar dapat diterbitkan pada
waktunya.
CETAK COBA. Naskah akan mengalami beberapa
kali cetak coba. Untuk cetak coba pertama, akan
dikirimkan ke penulis untuk mendapatkan persetujuan
dan diberi waktu selama tiga hari. Selama tiga hari
tersebut penulis dimohon memeriksa kembali angka,
rumus, tabel, gambar, dan teks.
WAKTU PENERBITAN. FAE diterbitkan dua kali
dalam setahun, yaitu pada bulan Juli dan Desember.
Urutan naskah yang dicetak didasarkan pada
kelancaran proses pemeriksaan oleh Dewan Redaksi
dan perbaikan oleh penulis. Kepada setiap penulis
diberikan dua eksemplar jurnal ditambah dua
eksemplar cetak lepas (reprint).