Kesenian Barong merupakan bentuk teater rakyat di Banyuwangi yang memadukan unsur tari, musik, dan cerita. Cerita Barong dibagi menjadi empat bagian yang masing-masing menampilkan tokoh-tokoh seperti Singa bersayap, ksatria, keluarga, dan pejabat desa. Tradisi ini diciptakan oleh leluhur bernama Buyut Chili dan menggantikan ritual Seblang yang kemudian dipindahkan ke desa lain.
1. Kesenian Barong
Simbol Dalam Tradisi Using
Bentuk dan sosok Barong ternyata bukan semata milik masyarakat Indonesia. Sosok
mahluk “angker” bermata bulat merah dan bertaring itu juga ada dan dikenal di negara-
negara Indochina lainnya seperti; China, Korea dan Jepang. Sementara di Indonesia sendiri,
selain di Banyuwangi Barong juga “hidup” dan berkembang di Bali.
Namun demikian, sosok Barong dari masing-masing tempat dan wilayah itu berbeda-beda,
baik bentuk, aksesori maupun fungsi dan kegunaannya. Di Banyuwangi khususnya didalam
komunitas masyarakat Using Kemiren, sosok Barong banyak mengandung komponen-
komponen khas Using, mulai dari arsitektur ruang pertunjukannya, tokoh-tokoh yang
memainkan, musik, tari dan berbagai isi ajaran serta nilai-nilai moral dari dialog para
tokoh yang memainkan, syarat dengan kandungan nilai-nilai budaya Using.
Dalam sebuah makalah berjudul; “Kesenian Singo Barong” yang ditulis oleh Drs Totok
Hariyanto, disebutkan bahwa kesenian Singo Barong atau yang lazim disebut “Barong”
adalah sebuah bentuk teater rakyat yang memadukan unsur-unsur; tari, musik dan lagu
serta alur cerita yang telah baku yang ditentukan secara turun-temurun.
Dalam pentas pertunjukan, alur cerita kesenian Barong dibagi menjadi empat bagian.
Bagian pertama yang diberi judul; “Singo Barong”, menampilkan Barong sebagai tokoh
utama. Tokoh Singo Barong ini merupakan sosok seekor Singa besar yang bermahkota dan
bersayap, yang bernama; “Sinar Udara”. Selain Barong sebagai tokoh utama, bagian ini juga
menampilkan tokoh wanita cantik yang bernama; Ja’ripah. Selain itu, juga ada tiga tokoh
lain yang diceritakan sebagai tiga orang bersaudara, yakni; Beledhes (Juru Tambur),
Beledhung (Juru Layar) dan Beledhus (Juru Kemudi). Dan seorang tokoh lagi yang bernama;
Tiang Irris.
Bagian kedua yang diberi judul; “Buto-butoan”, menampilkan tokoh utama seorang ksatria
yang bernama; Panji Sumirah. Mendampingi tokoh Panji Sumirah ini, juga kembali muncul
tokoh tiga bersaudara; Beledhes, Beledhung, Beledhus, serta dua orang yang berperan
sebagai Raksasa dan empat orang yang memerankan sosok Jin. Pada bagian ini juga tampil
sosok Burung Garuda. Pada bagian ketiga diberi judul; “Suwarti”, tokoh-tokoh yang
ditampilkan adalah; Pak Suwarti, Mbok Suwarti, Suwarti, Suwarno, Pak Janoko, Tokoh
Gandrung, dan dua orang yang berperan sebagai sosok ayam. Lalu pada bagian keempat
yang berjudul; “Tuan-tuanan”, tokoh yang tampil adalah; Pak Mantri, Londaya, Siti Ambari
dan Siti Sundari serta Jongos (tukang kebun).
Konon, kesenian Barong ini diciptakan oleh seorang leluhur masyarakat Desa Kemiren yang
bernama; Buyut Chili. Setelah Buyut Chili berhasil menciptakan kesenian ini, ritual adat
Seblang yang sebelumnya digelar secara rutin di wilayah ini kemudian dipindahkan ke
sebelah selatan desa atau tepatnya di Desa Olehsari. Menurut penuturan masyarakat,
dipindahkannya Seblang ke Desa Olehsari itu adalah atas permintaan Dhanyang Desa yang
menyusup ke raga seorang penari Seblang. Ketika itu sang Dhanyang berpesan; “Saiki ring
Kemiren wis ono Barong, mula iku Seblang sun elih nyang Uli-ulian (Olehsari). Mulai saiki,
2. Barong ojo dimainaken ring Uli-ulian, sebab uwong bisa mati kabeh. Lan sebalike, ojo ana
maning Seblang main ring Kemiren, sebab uwong bisa lara kabeh,” (Sekarang di Kemiren
sudah ada kesenian Barong, sebab itu Seblang aku pindahkan ke Uli-ulian. Mulai sekarang,
Barong jangan dimainkan di Uli-ulian, sebab orang bisa mati semua. Dan sebaliknya,
jangan ada lagi Seblang main di Kemiren, sebab orang bisa sakit semua). (eko budi
setianto)