SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  10
1


Sumber : Koloniaal Verslag over het jaar 1906

                      CELEBES EN ONDERHOORIGHEDEN

Sejak saat pengiriman laporan tentang wilayah ini dalam laporan sebelumnya (Juni
1905), Sulawesi Selatan menjadi medan peristiwa sangat penting di bidang politik yang
bersumber pada pandangan permusuhan yang ditunjukkan terhadap pemerintah oleh
Bone dan Luwu dan tindakan bersenjata yang tidak bisa dihindari sebagai akibatnya oleh
kita. Sebelum memulai tindakan pemaksaan terhadap daerah-daerah tersebut, sebaliknya
sengketa tentang persoalan lain di Sulawesi Selatan terjadi.
        Kondisi tegang di Goa yang telah bersekutu dengan Bone, Sidenreng dan Luwu
dan tidak segan untuk menghasut para bupati di wilayah pemerintah untuk melawan kita
(yang kondisinya semakin buruk ketika berita menyebar bahwa pasukan pendudukan di
Pare-Pare diserang oleh musuh) seperti juga desas-desus serangan yang dirancang oleh
orang-orang Bone di wilayah pemerintah dan penyerangan yang dirancang terhadap
ibukota Makasar oleh orang-orang Goa, (72) mengarah pada penambahan garnisun dan
pada pendudukan Camba, sehingga pada akhir Juli jumlah pasukan mencapai 5 kompi
infanteri dan satu peleton kavaleri di Makasar dan 150 orang di setiap tempat di
Pangkajene, Camba dan Balangnipa (Sinjai). Pasukan ini disiapkan bagi tujuan defensif,
sementara bagi tindakan ofensif jika diperlukan masih bisa disediakan pasukan yang telah
disiapkan di Jawa.
        Sementara itu tujuan yang dilontarkan dalam Laporan Kolonial tahun 1905
halaman 64 ditanggapi untuk mencegah kesepakatan bersenjata dengan pengajuan
tuntutan kepada para penguasa Bone dan Luwu yang membangkang, dan terutama
menyangkut Bone. Pada tanggal 21 Juni 1905 di atas kapal panser Holland yang diikuti
dengan kapal Zeeland dan kapal panser de Ruyter dengan tujuan Bajowa yang terletak di
teluk Bone, residen pembantu J.A.G. Brugman, kontrolir bagi hubungan politik dengan
para penguasa pribumi O.M. Goudhart, bupati Maros, kapten Melayu di Makasar dan
utusan kepala di kantor urusan pribumi berangkat. Setibanya di sana pada tanggal 22, tiga
pejabat terakhir mendarat untuk menyampaikan tuntutan yang diajukan. Sambutan
dilakukan oleh raja di depan sekelompok orang bersenjata dengan ancaman dan
penyumpahan; penyerahan surat bisa dilakukan oleh utusan kita tanpa gangguan. Pada
tanggal 29 Juni syahbandar Bajowa menyampaikan jawaban raja di atas kapal Holland,
yang memuat syarat-syarat demikian sehingga semua usaha untuk mengubah
pandangannya tampaknya dianggap sia-siap. Kepada syahbandar saat itu sebuah
pemberitahuan yang dimuat dalam surat residen bagi raja disampaikan bahwa daerah
Bone akan ditutup bagi semua ekspor-impor. Jawaban raja hanya memuat percampuran
penyesalan dan ketidakadilan. Baru kemudian pengiriman pasukan ekspedisi terjadi yang
emnurut keputusan pemerintah tanggal 14 Juni 1905 nomor 1 terdiri atas 2 ½ batalyon
infanteri, 1 kompi marsose, 1 kesatuan kavaleri, 2 seksi artileri (meriam tembak cepat), 2
seksi pasukan zeni, 1 kesatuan pekerja zeni dan 1 brigade telepon di samping kesatuan
pembantu( dinas kesehatan, administrasi militer) dan tenaga pengangkut. Dari angkatan
laut ditunjuk untuk terlibat dalam ekspedisi ini kapal-kapal perang Hertog Hendrik,
Koningin Regentes, de Ruyter, Zeeland, Serdang dan Borneo, perahu pengawas Brak,
kapal uap pemerintah Kwartel, dan perahu polisi dan komunikasi Tjantik II, yang akan
2


membantu tentara dalam pendaratan dan persoalan lain, sebagian untuk memblokade di
pantai Bone dan Luwu yang pada awal Juli ditutup bagi semua aktivitas ekspor-impor
(Lembaran Negara 1905 nomor 364 dan 367). Sebagai pimpinan pasukan ekspedisi ini
diangkat Kolonel Infanteri C.A. van Loenen, yang juga membawahi semua pasukan yang
ada di Sulawesi Selatan. Kekuasaan sipil umum tetap diserahkan kepada gubernur di
wilayah itu. Sebagai tujuan ekspedisi dimaksudkan untuk mematahkan semua perlawanan
bersenjata di Bone, menduduki dan mencoba menangkap sosok raja dan para
bangsawannya, apabila mereka melarikan diri serta semua pusaka kerajaan; selanjutnya
untuk membantu menenangkan dan menegakkan ketertiban atas seluruh daerah, seperti
juga kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan yang bisa membantu Bone. Gerakan
dilakukan ke Luwu ketika kerajaan ini menolak untuk memenuhi tuntutan yang diajukan
oleh pemerintah, seoperti juga untuk membantu menegakkan keamanan, ketertiban dan
kepatuhan kepada perintah dan instruksi kita dan selanjutnya membantu pemerintahan
Sulawesi Selatan dalam melaksanakan semua aturan pemerintah yang dipandang perlu.
Oleh Gubernur Jenderal keinginan dilontarkan agar penghancuran kampung dan harta
benda seperti halnya perampokan yang dianggap tidak perlu dilarang, dan selanjutnya
dalam semua aspek tindakan yang sah saja yang diambil.
       Mengingat harapan dilontarkan bahwa meskipun ada usaha Bone untuk
mengalihkan perselisihan ini menjadi sebuah perang suci di antara sebagian besar
penduduk yang tidak mau memusuhi kita, sebelum korps ekspedisi muncul di perairan
Bone, pengumuman disebarkan yang menjelaskan tujuan tindakan bersenjata kita secara
singkat dengan memberitahukan bahwa mereka yang tidak melakukan perlawanan juga
tidak perlu takut pada hukuman sehingga tergantung pada sikap penduduk apakah para
serdadu akan memperlakukan mereka sebagai lawan atau kawan. Pada saat yang sama
kepada berabgaikerajaan tindakan kita diberitahukan dan dengan tegas mereka
diperingatkan agar mengambil sikap netral. Tetapi langkah ini tidak begitu berhasil dan
mereka saling bersekutu atau memberikan bantuan senjata, yang sebagian besar dianggap
berasal dari ikatan kekeluargaan yang ada di antara para pemimpin sebagian besar
kerajaan.
       Dugaan yang segera dibuktikan setelah awal operasimiliter bahwa banyak
pimpinan yang tidak mau ikut bergabung dalam kelompok perlawanan ini memberikan
peluang yang menguntungkan bagi ekspedisi. Pada tanggal 18 Juli seluruh kekuatan yang
diangkut dengan kapal-kapal KPM bergabung di pelabuhan Bajowa. (74) Pada tanggal 19
dengan tujuan untuk mencari sarana terakhir bagi penyelesaian damai, sebuah ultimatum
disampaikan yang selain tuntutan tersebut juga memuat ganti rugi biaya pengangkutan
ekspedisi dan pembuatan kontrak politik baru. Sambil menunggu jawaban dari raja,
daerah pantai antara muara Cenrana dan tanjung Patiro dipantau. Dengan ini terbukti
bahwa bagi pendaratan pasukan hanya dipertimbangkan daerah pantai antara Tippuluwe
dan Bajowa dan yang di dekat Patiro, tetapi Tipulluwe sudah dipertahankan kuat
sehingga suatu pendaratan di tempat ini mungkin memerlukan pengorbanan besar.
Karena itu prioritas diberikan pada pendaratan di dekat tanjung Patiro, di mana tidak ada
pertahanan yang dibuat dan keuntungan diperoleh untuk bisa tiba di belakang garis
pertahanan Tippuluwe-Bajowa tanpa kerugian berarti. Setelah pada tangagl 20 Juli
jawaban penolakan diberikan pada ultimatum itu, sebagian armada melancarkan
pendaratan di depan Bajowa dan pasukan mendarat di tanjung Patiro, tanpa menemui
3


perlawanan. Suatu penembakan dari salah satu kubu telah mengakibatkan beberapa
kematian pada musuh. Pada hari yang sama dan hari-hari selanjutnya usaha dicoba untuk
mencapai jalan kuda yang mengarah ke Watampone tetapi gagal. Hambatan lahan ini
(bako-bako) terbukti begitu hebat sehingga dengan memperhatikan kurangnya air tawar,
suatu gerakan lebih lanjut di sini tidak dianjurkan. Karena itu diputuskan untuk mendarat
di dekat kampung Bena (sebelah utara Bajowa). Setelah pasukan yang mendarat kembali
diangkut dengan kapal-kapal milik KPM yang ditempatkan di sana, orang-orang kembali
ke pelabuhan Bajowa untuk bisa menunggu saat yang menguntungkan bagi pendaratan.
        Di bawah perlindungan tembakan meriam dari tujuh kapal perang (dalam armada
enam kapal perang yang semula disiapkan bagi ekspedisi Bone, kemudian juga
bergabung kapal Asahan yang sebelumnya ikut terlibat dalam operasi militer di Pare-
Pare) dan rakit bersenjata, dan dibantu oleh dua kesatuan pendarat angkatan laut, pasukan
kita pada tanggal 28 Juli di bawah tembakan gencar musuh ikut mendarat. Kampung
Bena yang dipertahankan dengan kuat dikuasai dan musuh yang masuk lewat kampung
Lanru dipukul mundur dengan kerugian besar.
        Juga orang-orang Wajo terlibat dalam pasukan pertahanan. Orang Bone yang
jumlah kekuatannya ditafsirkan sebanyak 2000 orang, termasuk 300 dengan
bersenjatakan senapan dan 300 pasukan berkuda, meninggalkan 461 orang terbunuh
termasuk 10 orang pimpinan mereka, 11 orang terluka bersama sejumlah besar senjata
api dan senjata tajam di medan pertempuran (75). Menurut berita-berita yang masuk
kemudian, kerugian musuh seluruhnya berjumlah 1000 orang, sehingga setidaknya
sebagian pasukan Bone telah dihancurkan. Di pihak kita seorang perwira terbunuh
(letnan-2 F. Potharst), dua serdadu di bawah pangkat ini dan seorang juru dayung dari
KPM sementara 25 orang serdadu bawahan dan seorang pendayung terluka. Patroli yang
telah pertempuran ini memeriksa kampung-kampung sekitarnya, menemukan semuanya
telah ditinggalkan dan tidak ada lagi jejak musuh.
        Pukulan yang diberikan pada pasukan Bone ini seperti yang terbukti dari kondisi
lebih lanjut, telah hampir mematahkan perlawanan yang dipimpin oleh punggawa (putra
mahkota sekaligus panglima pasukan). Pada tanggal 30 Juli pasukan berangkat ke
kompleks kampung Watampone, tempat tinggal raja Lapawawoi Karaeng Segeri. Hanya
dalam terobosan dan dalam pemeriksaan rumah-rumah, beberapa tembakan dilepaskan.
Dalam pengejaran musuh ini seorang anggota militer terbunuh. Di kampung-kampung itu
semua orang melarikan diri secara terburu-buru.
        Atas berita bahwa raja bersama anggota keluarga dan pengikutnya telah melarikan
diri ke Pasempa, pada tanggal 2 Agustus bersama semua pasukan yang ada kekuatan
utama berangkat ke sana dan pada tanggal 3 Agustus kampung ini direbut yang hanya
dikuasai oleh puluhan musuh. Di rumah raja, beberapa benda perak miliknya ditemukan
seperti juga kontrak dengan pemerintah. Untuk mengejar raja dan para pengikutnya,
setelah itu daerah ini diperiksa oleh pasukan kita. Kampung Umalan, Palongki, Palimpa,
Wampotu dan Amati dikunjungi tetapi tanpa hasil memadai. Pada tanggal 6 Agustus
kekuatan induk kembali ke Watampone, di mana panglima menerima berita tentang
tindakan ofensif orang-orang Bone di daerah timur dan kehadiran gerombolan musuh di
Camba.
        Di tanah-tanah pemerintah pada pertengahan pertama bulan Juli, para bupati
Bunggoro dan Lebakkang (Pangkajene) ditangkap, yang terbukti bahwa mereka
4


menyembunyikan unsur-unsur yang memusuhi kita, sementara para pangeran Goa Daeng
Ago dan Andi Baloso (sejak itu ditangkap dan meninggal di Surabaya; paman dan
kemenakan raja) yang selalu mengobarkan kerusuhan di Lebakang, ditemukan di
rumahnya dan melalui Makasar dibawa ke Surabaya. Jika benih-benih pertama telah
ditaburkan bagi perlawanan di Goa, yang akan membawa kondisi serupa pada para bupati
lainnya, hal itu mengakibatkan Pangkajene pada tanggal 12 Juli diduduki oleh
gerombolan sebanyak 30-40 orang, di bawah pimpinan La Upa, seorang putra bekas
bupati Lebakkang yang wafat pada tahun 1902. Tetapi mereka dipukul mundur dengan
kerugian 5 orang terbunuh termasuk panglimanya, setelah itu ketenangan berhasil
dipulihkan. Serangan spontan ini mengakibatkan korban kita seorang tewas (sersan
Eropa) dan seorang terluka.
        Pada tanggal 30 Juli pasukan pendudukan Balangnipa bertempur dengan orang-
orang Bone, yang melancarkan serangan di daerah timur, dan mengakibatkan kerugian 34
orang tewas. Peristiwa ini juga meminta kita korban 2 orang terbunuh (seorang serdadu
Eropa dan pribumi) dan tiga orang terluka termasuk Kapten K.J.C. Rijnen. Sehubungan
dengan ini garnisun Balangnipa (segera setelah kembalinya pasukan utama di
Watampone pada tanggal 6 Agustus) diperkuat dengan satu kompi, tetapi sementara itu
para pemimpin di Bone Selatan pada tanggal 4 Agustus menyerahkan diri, tetapi oleh
pemerintah diajukan sebagai tuntutan penyerahan berbagai benda pusaka dan ragam
hiasnya. Karena sudah puas dan pasukan garnisun dianggap cukup untuk menegakkan
keamanan, beberapa hari kemudian kesatuan yang ditempatkan kembali bergabung
dengan pasukan utama di Watampone.
        Juga di daerah utara sementara itu gerombolan musuh masuk. Karena lahan yang
sangat tidak rata, sebaliknya tidak ada lagi hubungan dengan kesatuan Camba. Segera
setlah itu mereka kembali atas inisiatif sendiri ke Bone. Dengan tujuan untuk membatasi
tindakan keras orang-orang Goa di perbatasan selatan, kesatuan dari Makasar dikirim ke
Takalar dan daerah selatan tetapi yang pasukannya tidak perlu menggunakan senjata.
Sementara itu dari Watampone pengiriman patroli tetap diteruskan, yang mengakibatkan
bahwa banyak pimpinan menyerha, yakni pada tanggal 8 Agustus lima dari 7 anggota
hadat (termasuk perdana menteri), sementara pada tanggal 10 semua pusaka kerajaan
terpenting, simbol kekuasaan diserahkan kepada panglima. Juga penduduk sebagian
kembali ke kampung dan terhadap para serdadu ditunjukkan sikap damai (77).
Selanjutnya karena tuntutan bagi penyerahan senjata api dikabulkan, pada pertengahan
Agustus kondisi di Bone telah pulih sehingga bisa dilakukan pengaturan pemerintahan
sementara dan kekuatan induk dipindahkan ke Pampanua, dari situ aksi dimulai terhadap
Wajo, Sopeng dan Lamuru (daerah taklukkan Bone) yang telah bersekutu dengan Bone.
Di Watampone tiga kompi ditinggalkan sebagai pendudukan dan mayor komandan
sebagai penguasa sipil Bone pada tanggal 21 diangkat oleh gubernur (disetujui dengan
keputusan pemerintah tanggal 10 Oktober 1905 nomor 30). Bersama aturan-aturan
pemerintah yang dibuat dan pampasan perang yang dibebankan kepada Bone sebesar f 70
ribu, para kepala adat menerimanya (juga setelah tawar-menawar).
        Kekuatan induk pasukan ekspedisi melalui Lanca dan Timurung pada tanggal 23
Agustus mencapai Pampanua, dengan kapal Tjantik II, yang setelah tembak-menembak di
muara Cenrana dikosongkan oleh penduduk, sungai itu dilayari. Penempatan kesatuan
dengan cara yang mudah dan memadai bisa dijamin. Dari Watampone pasukan militer
5


mengunjungi Wajo pada tanggal 25 Agustus. Penduduk terbukti berpandangan baik dan
segera lima dari enam orang pimpinannya menandatangani Pelakat Pendek. Kepada ratu
Sopeng, sekaligus patola Wajo, yang telah menolak untuk tampil dalam sebuah
pertemuan yang diadakan pada tanggal 16 September oleh kepala pemerintah wilayah di
Sengkang untuk menyelesaikan masalah pemerintahan di Wajo dan Sopeng, suatu denda
dijatuhkan sementara diputuskan untuk memasuki daerahnya, juga karena terbukti bahwa
rakyat dari Sopeng ikut terlibat dalam pertempuran pertama di dekat Pare-Pare dan
serangan di kabupaten pegunungan pada bulan Juli 1905 (lihat di bawah). Tetapi kondisi
di Sopeng dianggap sangat tenang dan datu bersedia menandatangani Pelakat Pendek.
        Kondisi darurat ini memungkinkan pengiriman 2 kompi ke Luwu pada
pertengahan pertama bulan September,m dengan perintah untuk menyampaikan
ultimatum pada kerajaan itu dan dengan tidak dipenuhinya tuntutan yang diajukan,
dipaksa tunduk kepada pemerintah dengan kekuatan senjata. Karena juga di sini tidak
bisa dicapai secara damai, pasukan pada tanggal 11 September di bawah perlindungan
tembakan meriam kapal dan dibantu oleh kesatuan pendarat dari kapal Hertog Hendrik
dan de Ruyter, mendarat di dekat Belandai, setelah itu Palopo yang berada di dekatnya
diduduki (78). Kondisi ini mengorbankan 7 orang terluka termasuk seorang perwira
(letnan laut klas-01 J.A. van Zadelhoff, yang kemudian meninggal karena luka-lukanya)
di pihak kita. Musuh yang bertahan di mesjid dan banyak tempat lain, menderita kerugian
besar. Dengan suatu pukulan di sini (seperti halnya di Bone) perlawanan terorganisir bisa
dipatahkan. Para pemimpin utama menyerahkan diri dan menyerahkan senjatanya. Pada
tanggal 18 September, juga ratu Luwu We Kamnbo Daeng ri-Sumpa, menandatangani
Pelakat Pendek dan menerima tuntutan yang diajukan, termasuk pembayaran pampasan
perang, seperti juga penyerahan daerah Poso (Laporan Kolonial tahun 1905 halaman 64),
tetapi sekarang tanpa ganti rugi, sementara hak itu diambil karena perlawanan bersenjata
yang dilakukan. Atas daerah ini seorang penguasa sipil diangkat dengan kedudukan di
Palopo, dan pendaftaran penduduk dimulai.
        Daerah Lamuru pada hari-hari terakhir bulan September dikunjungi oleh pasukan
dari Watampone dan kesatuan dari Camba. Perlawanan tidak dialami; datu dan anggota
hadat mengajukan penyerahan diri (27 September) dan setuju untuk membayar pampasan
perang. Sementara itu pada pertengahan Agustus kepada pasukan pendudukan di
Balangnipa dan Camba diperintahkan untuk memasuki Bone, sementara sehubungan
dengan pergerakan induk pasukan ekspedisi ke Wajo, juga perintah diberikan kepada
kesatuan Pare-Pare untuk bertindak agresif. Kedua kesatuan itu tidak menemui banyak
perlawanan, tetapi tidak juga pasukan dari Pare-Pare yang pada tanggal 17 Agustus
menyerang benteng yang diduduki dan dip-ertahankan di aliran kanan sungai Marasang,
dekat Pabarasang dan dekat Lojawi. Dengan korban 11 orang terluka, di antaranya dua
orang perwira (letnan-2 D.C. de Groot dan J.A. van Helsdingen) kubu-kubu itu dikuasai.
Musuh meninggalkan 28 orang terbunuh dengan senjata api dan senjata tajam di tangan
kita. Kesatuan terus bergerak menuju Masepe dan Amparida, dan menjelang akhir
Agustus bisa mencapai hubungan dengan pasukan Bone.
        Karena kini akibat kekalahan yang diderita, perlawanan di Sidenreng bisa
dikatakan lumpuh, kesatuan Pare-Pare pada awal September (bersama dengan satu kompi
marsose) melewati daerah Ajataparang menuju wilayah Masenrempulu, untuk mengejar
raja Bone yang menurut berita-berita terpercaya menarik diri ke utara. Di mana-mana
6


perlawanan tidak dialami, sehingga pada tanggal 13 Oktober pasukan mencapai Kolosi di
daerah Duri (Masenrempulu), di mana keesokan harinya (79) juga kesatuan dari Palopo
tiba (kesatuan ini yang kembali ke Palopo pada tanggal 20 Oktober, menempuh jalannya
melalui tanah-tanah Toraja. Kesempatan ini dimanfaatkan untuk membersihkan daerah
itu dari orang-orang Sidenreng, yang telah tinggal di sarang-sarang perompak yang
diperkuat. Orang-orang Toraja berpandangan sangat positif kepada kita dan tidak lupa
menunjukkan tempat persembunyian para perampok yang meresahkan mereka kepada
pasukan kita. Pada tanggal 23 dan 24 Oktober dari Pampanua masih ada dua kesatuan
yang berangkat ke Pitampanua, sebuah daerah taklukkan Bone di pantai di utara muara
Cenrana, untuk mnelacak raja yang melarikan diri. Salah satu kesatuan ini mengalami
perlawanan di dekat Paria di Wajo; musuh didesak dan meninggalkan 20 orang terbunuh,
di antaranya semua pemimpin perlawanan. Seperti yang terbukti dari uraian di atas,
kesatuan ini tidak menemukan raja itu). Setelah para pemimpin Duri menandatangani
Pelakat Pendek tanda penyerahan, pasukan marsose dan sebagian infanteri atas kabar
bahwa raja Bone berangkat ke Cema di Wajo, bergerak ke sana dan pada tanggal 17
Oktober menembaki pertahanan musuh yang sangat kuat di lereng Bambapuang, diduga
dari raja Bone. Setelah pertempuran sengit, pertahanan itu direbut. Musuh meninggalkan
50 orang tewas sementara di pihak kita 10 anggota militer di bawah pangkat perwira
terluka.
        Pada tanggal 22 Oktober pasukan mencapai Maiwa (di mana raja yang baru
tampil La Sapewaki, putra sulung almarhum penguasa La Pakonting menandatangani
Pelakat Pendek) sementara keesokan harinya pasukan marsose juga tiba di sana dari
Rapang, sehingga pada tanggal 26 orang berangkat ke Cema. Setelah musuh diusir dari
beberapa pangkalan di lahan perbukitan yang terletak di sekitar kampung ini, pasukan
yang pada tanggal 27 Oktober di Awo diperkuat dengan kesatuan lain yang semula
ditinggalkan di Kolosi tetapi kemudian berangkat ke sana, pada tanggal 28 Oktober tiba
di Cema. Selama hari-hari berikutnya di sekitar tempat ini berulang kali hubungan
dicapai dengan pos-pos terdepan gerombolan Lapawawoi, yang semakin lama semakin
terdesak dan diperlemah oleh kematian anggota hadat Bone Aru Macege (yang kemudian
menyerah di Pompanoa), pada tanggal 18 November oleh Letnan-1 C.H. Eilers diserang,
pada kesempatan ini punggawa terbunuh sementara raja dan anggota keluarga yagn
menyertainya ditangkap. Para tahanan ini dibawa ke Makasar, di mana pada tanggal 12
Desember juga tiba dua putra dan tiga orang cucu raja, yang pada tanggal 10 sebelumnya
telah menyerah di Larompong di Luwu. Pada tanggal 14 Desember semuanya diangkut
ke Batavia (80) yang dengan keputusan pemerintah tanggal 23 Maret 1906 nomor 15
Lapawawooi diturunkan dari jabatannya sebagai raja Bone dan dibebaskan dari
pemerintahan atas daerah itu, sementara kepadanya dan putra-putra serta cucu-cucunya
yang dimaksudkan di atas demi kepentingan keamanan dan ketertiban umum di wilayah
Celebes dan Sekitarnya, ditunjukkan ibukota Bandung (Priangan) sebagai tempat tinggal.
        Meskipun perlawanan di Bone telah berakhir pad abulan Agustus, pengiriman
patroli selalu tetapi diperlukan untuk menumpas gerombolan petualang yang sering
menimbulkan gangguan pada penduduk yang setia dan bila mungkin menghancurkannya.
Pada umumnya dengan hasil baik tindakan terhadap mereka diambil, sehingga keamanan
orang dan barang pada akhir tahun 1905 bisa disebut menguntungkan. Untuk itu juga
7


perbaikan komunikasi antara Bone Utara dan Bone Selatan melalui pembukaan sebuah
jalan dari Pampanua lewat Wtampone ke Balangnipa berlangsung.
        Larangan ekspor-impor di Bone dan Luwu dicabut dengan Peraturan tanggal 26
Oktober 1905 (Lembaran Negara nomor 538). Selanjutnya dalam keputusan pemerintah
tanggal 16 November 1905 nomor 5 pemerintahan sipil dan militer di Bone, Sopeng dan
Wajo dipegang oleh satu tangan dan pemerintahan diserahkan kepada perwira yang
memegang komando daerah di Pampanua, sementara akhirnya dengan pencabutan
peraturan pemerintah sementara yang ditetapkan pada bulan Agustus sehubungan dengan
Bone, dalam keputusan pemerintah tanggal 2 Desember 1905 nomor 34 sebagai tindakan
sementara Bone, Wajo, dan Sopeng bersama-sama dengan nama Bone (ibukota
Pampanua), seperti juga Luwu (ibukota Palopo) dijadikan sebagai afdeeling di wilayah
Celebes dan Sekitarnya. Afdeeling Bone dibagi dalam tiga Onderafdeeling yakni Bone,
Wajo dan Sopeng, dan diletakkan di bawah pemerintahan seorang asisten residen yang
fungsinya dipegang oleh perwira komandan tersebut, sementara pemerintahan atas tiga
onderafdeeling dan afdeeling Luwu diserahkan kepada para perwira yang memegang
komando lokal di Watampone, Singkang, Watang Sopeng dan Palopo, dengan jabatan
pemegang kuasa sipil. Sejak itu kekuasaan sipil atas Sopeng Barat (Sopeng ri-aja) yang
daerahnya di Watang Sopeng sulit untuk diperintah, seperti juga atas daerah Baru, untuk
sementara diserhakan kepada perwira paling senior yang memegang komando di sana, di
bawah pimpinan pejabat pemerintah yang ditempatkan di Pare-Pare pada bulan Maret
1906 (keputusan pemerintah tanggal 31 Maret 1906 nomor 18).
        Setelah semua pemimpin Bone, Wajo (aro matowa atau penguasa utama yang
menghadap kepada penguasa sipil tanggal 24 Oktober di Bone; di Wajo kondisi tetap
tenang kecuali pada bulan Pebruari 1906, ketika daerah taklukkannya Belawa menolak
untuk membayar andilnya dalam pampasan perang. Suatu kesatuan militer yang dikirim
ke sana hanya mengalami perlawanan ringan), Sopeng dan Luwu (81) telah mengajukan
penyerahannya, Gubernur Jenderal menganggap saatnya telah tiba untuk membuat
perhitungan dengan Hoa. Berita-berita tentang rencana perlawanan Goa baru terdengar
setelah suatu denda dijatuhkan pada daerah ini mengenai pengiriman senjata ke Jampuwa
di Sawito (Ajataparang). Peristiwa ini menyebabkan banyak agitasi di Goa, terutama di
antara para pangeran muda yang berkomplot untuk menentang intervensi pemerintah.
Raja sendiri pada mulanya berusaha keras untuk meredakan suasana itu, tetapi di bawah
pengaruh lingkungan sekitarnya segera bangkit pada perlawanan pasif. Kerjasama untuk
menghukum perampokan yang dilakukan di afdeeling Takalar oleh orang-orang Goa
pada bulan April 1905, meskipun ada tekanan kita yang mendesak tetapi tidak
dikabulkan. Surat-surat dari petugas pemerintah kita tidak lagi diterima, sementara dua
orang bupati kita yang paling berpengaruh yakni di Bontain dan Binamu, dipaksa untuk
memihak kepada Goa. Selain itu suatu gerombolan yang berasal dari daerah Goa di
Gantarang-Matinggi pada bulan Juli 1905 melakukan perampokan dan penjarahan di
Onderafdeeling Bergregentschappen, dan membakar sejumlah rumah di sana, tanpa ada
usaha serius dari pihak Goa untuk menangkap para terdakwa ini. Dengan adanya
kelemahan ini, raja dipanggil oleh gubernur Celebes menjelang 17 Oktober untuk
mempertanggungjawabkan sikapnya. Ketika dia tidak muncul, pasukan ekspedisi yang
ada dan sementara itu dibawa ke Makasar, bersama dengan pasukan dari wilayah
pemerintah bergerak memasuki Goa. Perlawanan pada mulanya tidak dijumpai dan
8


gubernur yang mendampingi pasukan ini oleh raja diterima di rumahnya di Jongaya.
Tetapi tuntutan pemerintah belum disampaikan ketika Karaeng Beroangin (ipar raja dan
panglima pasukan Goa) mengangkat senjata dan raja yang sebelumnya berjanji akan
mematuhi semua tuntutan, seperti halnya penduduk melarikan diri dari Jongaya (19
Oktober). Di sini musuh pertama-tama dijumpai dan dipukul di dekat Jongaya dan
kemudian di kampung Pakatto, pada kesempatan ini mereka menderita kerugian 73 orang
tewas dan 7 orang terluka, sementara di pihak kita dua orang serdadu di bawah pangkat
perwira terbunuh dan 3 orang perwira (Kapten E. den Dooren de Jong, Letnan-2 J.
Beumer dan perwira kesehatan klas-2 H.C. Nauta) dan 13 serdadu di bawah pangkat
perwira terluka (82). Kemudian pasukan berangkat ke Bonglangi, menurut informasi
pertahanan utama musuh. Baik di sini maupun di tempat-tempat yang dikunjungi
perlawanan dilancarkan.
        Tindakan tegas ini ternyata membawa dampak. Segera penduduk yang patuh
kembali ke kampungnya, sementara pada tanggal 25 Oktober ratu Baru, saudari raja
bersama suaminya Karaeng Beroanging dan beberapa pangeran lain dan pada tanggal 1
November perdana menteri bersama suaminya dan Karaeng Barombong, kemenakan raja
(para kepala perlaweanan) menghadap kepada gubernur Celebes. Perdana menteri
membawa mahkota emas yang dikenal sebagai pusaka dengan nama salak dan Karaeng
Barombong juga membawa pusakanya. Sebuah usaha yang dilakukan oleh pasukan yang
diangkut ke Galesong untuk menangkap raja yang disinyalir berada di Limbung,
mengalami kegagalan dengan korban 2 orang terluka di pihak kita, sementara musuh
menderita kira-kira 40 orang terbunuh. Juga perjalanan yang kemudian dilakukan dengan
tujuan yang sama dari berbagai pangkalan di Goa tidak membawa hasil yang diharapkan.
Raja dalam rombongan saudaranya Karaeng Bontonompo dan dua orang putranya, raja-
raja Supa dan Alieta (yang telah diturunkan) pertama-tama berangkat ke Baru dan sejak
akhir Desember menuju Masenrempulu dan Ajataparang. Kesatuan yang dikirim ke
daerah ini untuk mengejarnya seperti yang kemudian terbukti berulang kali menghadapi
perlawanan sengit, tanpa berhasil mengejar mereka yang melarikan diri sampai sekarang.
Di Goa keamanan dan ketertiban tidak lagi terganggu; patroli yang menjelajahi daerah ini
di mana-mana menerima sambutan persahabatan dari pihak penduduk, yang di mana-
mana bekerja bagi mereka dan pemerintahan buruk dengan banyak pemungutan dan kerja
wajib sejak bertahun-tahun terbukti berakhir dengan intervensi kita. Pada tanggal 26
November, asisten residen dilantik yang untuk sementara bersama hadat (yang
menandatangani Pelakat Pendek pada tanggal 19 Maret 1906) menjalankan pemerintahan
atas nama raja yang melarikan diri. Pada bulan Maret 1906 pasukan pendudukan di
daerah Goa sebagian besar ditarik.
        Tinakan kita di Sulawesi Selatan sampai sekarang menjadi keberhasilan besar. Di
semua daerah yang dikunjungi oleh pasukan militer, orang menciptakan kondisi baru,
dimulai pembukaan jalan-jalan perhubungan yang diperlukan dan pendaftaran penduduk,
pampasan perang yang dibebankan pada umumnya dibayar sepenuhnya dan sejumlah
besar senjata api diserahkan (83). Karena diduga bahwa tugas pasukan ekspedisi kini
telah terpenuhi, pasifikasi lebih lanjut atas daerah-daerah yang diduduki oleh pasukan
kita bisa diserahkan kepada para pejabat sipil dan militer wilayah, yang dibantu oleh
sebagian pasukan kita, dalam keputusan pemerintah tanggal 16 November 1905 nomor 6
terhitung sejak 4 Desember 1905 dengan pembebasan Kolonel van Loenen dari
9


jabatannya sebagai panglima, komando dan staf umum ekspedisi dibubarkan. Segera
terbukti bahwa di beberapa daerah kelompok perlawanan tidak sepenuhnya bisa
meninggalkan maksudnya. Misalnya di Sopeng dan Luwu, seperti juga di beberapa
daerah di Masenrempulu dan Ajataparang.

Sopeng
Setelah kepergian pasukan dari daerah ini (akhir September) suatu kelompok perlawanan
yang terorganisir dengan baik di bawah pimpinan sule datu Baso Pata Bau Aru Baluse,
watanglipu (panglima pasukan Sopeng) dan La Mappe, penguasa bagian utara Mario-ri-
awa, sekali lagi muncul di daerah ini. Oleh kesatuan militer dari Singkang dan Pampanua,
bersama dengan satu kompi dari Makasar, tiga pangkalan (dekat Sololung, Saring dan
Macopae) direbut pada tanggal 5-10 November, di pihak kita seorang pribumi terbunuh
dan 7 orang terluka, sementara musuh yang terbukti diperkuat dengan orang-orang dari
Sidenreng dan Baru (karena itu Baru harus dibebani dengan pampasan perang), 41 orang
terbunuh dan 4 orang terluka. Pada tanggal 19 Desember La Mapped an watanglipu
menyerah dan pada tanggal 6 Januari 1906 sule datu menghadap bersama anggota
kerabatnya, kepada asisten residen Bone. Pada tanggal 30 April segerombolan sebanyak
120 orang mencoba untuk membunuh penguasa sipil Sopeng, yang sedang dalam
perjalanan bersama beberapa orang pimpinan. Satu patroli yang lengkap berhasil
membunuh 40 orang penyerang dan menangkap 50 orang lainnya. Sejak itu ketenangan
di Sopeng tidak lagi terganggu.

Luwu
Pada hari-hari pertama bulan November, penguasa sipil Luwu berangkat ke daerah
taklukkan kerajaan itu, dengan tujuan untuk memantau kondisi umum di sana dan
membuka hubungan dengan para kepala dan penduduk. Pada umumnya orang
menunjukkan pandangan persahabatan, teapi di Wotu baik dengan palemba uragi
(kepala) maupun dengan penduduk hubungan tidak bisa dibuka, dan orang masih
menunjukkan sikap mengancam ketika utusan dari penguasa sipil itu mendekati
kampung. Suatu kesatuan pasukan di Luwu yang pada tanggal 23 Oktober berangkat ke
daerah Poso dengan tujuan untuk memperkuat pasukan yang ditempatkan di sana (84)
kemudian juga dalam perjalanan kembalinya pada tanggal 16 November di Wotu
terbentur perlawanan sengit, yang terbukti diorganisir oleh putra sulung palemba uragi.
Tetapi musuh dipukul dengan kerugian besar, dengan korban seorang serdadu Eropa
terbunuh dan lima orang terluka di pihak kita. Karena kesatuan ini kekurangan amunisi,
perbekalan dan sarana pengobatan, penguasa sipil yang sementara ini kembali ke Palopo
pada tanggal 18 dengan kapal Borneo berangkat ke Wotu. Pada tanggal 20 kapal
pemburu dari Borneo menyusuri sungai ini yang diperkuat dan ditebari rintangan, tetapi
terbukti kampung itu telah ditinggalkan. Keesokan harinya kesatuan itu kembali ke
Palopo.
        Sementara itu ketenangan di sana terganggu secara serius oleh opu pabicara
(salah satu anggota hadat) yang menunjukkan sikap sangat berkuasa dan selain itu
menolak untuk menyerahkan senapan yang dimilikinya. Dalam sebuah pertempuran
dengan kesatuan patroli yang dikirim kepadanjya dan pengikutnya (12 November) opu
pabicara bersama 61 orang pengikutnya terbunuh, sementara 12 orang terluka yang
10


berhasil kita tangkap dengan 4 orang meninggal setelah itu. Kemudian terbukti bahwa
pabicara telah merekrut rakyat bersenjata dan mendapatkan senapan dari Suli. Patroli
yang dikirim ke Suli dan Baramasa karena alasan itu sebaliknya menjumpai semua
kondisi tenang.
        Sehubungan dengan berita bahwa utusan Luwu yang tinggal di daerah Poso,
Ambe Maä, mengorganisir perlawanan baru di Wotu, pada tanggal 29 Desember kembali
suatu kesatuan dikirim ke sana. Pada tanggal 1 Januari 1906 mereka merebut sebuah
benteng yang diduduki secara kuat di kampung Teruwe, di mana empat orang musuh
terbunuh dan kita menderita dua orang terluka (termasuk perwira kesehatan klas-1 dr.
C.K. Göllner). Pada tanggal 2 pasukan berangkat ke Baubunta yang terletak tiga hari
berjalan di sebelah timur laut Palopo di sungai Rongkong, yang sangat diperkuat dan
sebagai akibat cuaca yang sangat tidak menguntungkan, sangat terhambat dan tidak bisa
bergerak maju. Semua usaha yang dilakukan dari tanggal 3 sampai 14 Januari untuk
menyeberangi sungai dan menaklukkan perbentengan musuh tetap tanpa hasil. Sementara
itu penguasa sipil bersama pasukan militer yang diperlukan, yang diangkut dengan kapal
Serdang dan Siboga, pada tanggal 30 Januari tanpa mengalami perlawanan mendarat di
Burau dan dengan dibantu oleh kesatuan pendarat dari kapal ini, bergerak ke Jalaja yang
diperkuat, tempat tinggal Ambe Maä, yang kampungnya berhasil direbut. Pada
kesempatan ini musuh menderita 7 orang tewas, seorang terluka, 2 meriam, 12 lila dan
banyak senjata api serta senjata lainnya, seperti juga persediaan amunisi (85) yang
berhasil kita rampas, dengan korban 19 orang terluka di pihak kita. Pada hari
sebelumnya, kesatuan itu tiba di sungai Rongkong dengan mengepung sisi pertahanan
musuh (yang terbukti sepanjang 2 ½ kilometer dan terdiri atas 9 perbentengan yang
dihubungkan dengan galian parit) di tepi aliran kiri sungai itu; yang kampungnya telah
direbut pada tanggal 5 Pebruari. Musuh meninggalkan 99 orang terbunuh termasuk 4
orang kepala adat, 5 orang terluka dan 10 orang ditangkap, sementara kita menderita 12
orang terluka. Dari tanggal 2 sampai 10 Pebruari seluruh daerah dari Jalaja sampai
Rongkong dijelajahi oleh pasukan militer, tanpa mengalami perlawanan sedikitpun. Pada
akhir Pebrauri banyak pemimpin berpengaruh dan dua orang anggota keluarga Ambe
Maä dan pada tanggal 19 Maret dia sendiri menyerahkan diri. Meskipun masih ada
beberapa orang kepala adat di tanah Toraja, masih ada gerombolan Sidenreng yang
melakukan perampokan, sejak itu di Luwu kondisi tenang tidak perlu dikhawatirkan lagi.

Contenu connexe

En vedette

Lect w7 152_abbrev_ intro to acids and bases_alg
Lect w7 152_abbrev_ intro to acids and bases_algLect w7 152_abbrev_ intro to acids and bases_alg
Lect w7 152_abbrev_ intro to acids and bases_algchelss
 
Lect w2 152 - rate laws_alg
Lect w2 152 - rate laws_algLect w2 152 - rate laws_alg
Lect w2 152 - rate laws_algchelss
 
Lect w10 abbrev_ thermochemistry_alg
Lect w10 abbrev_ thermochemistry_algLect w10 abbrev_ thermochemistry_alg
Lect w10 abbrev_ thermochemistry_algchelss
 
Lect w3 152_d2 - arrhenius and catalysts_alg (1)
Lect w3 152_d2 - arrhenius and catalysts_alg (1)Lect w3 152_d2 - arrhenius and catalysts_alg (1)
Lect w3 152_d2 - arrhenius and catalysts_alg (1)chelss
 
Lect w9 152 - buffers and ksp_alg
Lect w9 152 - buffers and ksp_algLect w9 152 - buffers and ksp_alg
Lect w9 152 - buffers and ksp_algchelss
 
Lect w8 152 - ka and kb calculations_abbrev_alg
Lect w8 152 - ka and kb calculations_abbrev_algLect w8 152 - ka and kb calculations_abbrev_alg
Lect w8 152 - ka and kb calculations_abbrev_algchelss
 
Lect w4 152 - rate and mechanisms_alg (1)
Lect w4 152 - rate and mechanisms_alg (1)Lect w4 152 - rate and mechanisms_alg (1)
Lect w4 152 - rate and mechanisms_alg (1)chelss
 
Lect w6 152_abbrev_ le chatelier and calculations_1_alg
Lect w6 152_abbrev_ le chatelier and calculations_1_algLect w6 152_abbrev_ le chatelier and calculations_1_alg
Lect w6 152_abbrev_ le chatelier and calculations_1_algchelss
 
D07 abbrev arrhenius and catalysts_alg
D07 abbrev arrhenius and catalysts_algD07 abbrev arrhenius and catalysts_alg
D07 abbrev arrhenius and catalysts_algchelss
 
Kol. verslag amboina
Kol. verslag amboinaKol. verslag amboina
Kol. verslag amboinaTaufik Ahmad
 
Farah Irani_PwC Experience award (1)
Farah Irani_PwC Experience award (1)Farah Irani_PwC Experience award (1)
Farah Irani_PwC Experience award (1)Farah Irani
 
Historia del moviment obrer d'origen marxista
Historia del moviment obrer d'origen marxistaHistoria del moviment obrer d'origen marxista
Historia del moviment obrer d'origen marxistabenienge
 
Segundo grupo
Segundo grupoSegundo grupo
Segundo gruporibp3
 

En vedette (20)

Lect w7 152_abbrev_ intro to acids and bases_alg
Lect w7 152_abbrev_ intro to acids and bases_algLect w7 152_abbrev_ intro to acids and bases_alg
Lect w7 152_abbrev_ intro to acids and bases_alg
 
Lect w2 152 - rate laws_alg
Lect w2 152 - rate laws_algLect w2 152 - rate laws_alg
Lect w2 152 - rate laws_alg
 
Lect w10 abbrev_ thermochemistry_alg
Lect w10 abbrev_ thermochemistry_algLect w10 abbrev_ thermochemistry_alg
Lect w10 abbrev_ thermochemistry_alg
 
Lect w3 152_d2 - arrhenius and catalysts_alg (1)
Lect w3 152_d2 - arrhenius and catalysts_alg (1)Lect w3 152_d2 - arrhenius and catalysts_alg (1)
Lect w3 152_d2 - arrhenius and catalysts_alg (1)
 
Tok
TokTok
Tok
 
Lect w9 152 - buffers and ksp_alg
Lect w9 152 - buffers and ksp_algLect w9 152 - buffers and ksp_alg
Lect w9 152 - buffers and ksp_alg
 
Lect w8 152 - ka and kb calculations_abbrev_alg
Lect w8 152 - ka and kb calculations_abbrev_algLect w8 152 - ka and kb calculations_abbrev_alg
Lect w8 152 - ka and kb calculations_abbrev_alg
 
natchuda
natchudanatchuda
natchuda
 
Tok
TokTok
Tok
 
Lect w4 152 - rate and mechanisms_alg (1)
Lect w4 152 - rate and mechanisms_alg (1)Lect w4 152 - rate and mechanisms_alg (1)
Lect w4 152 - rate and mechanisms_alg (1)
 
Lect w6 152_abbrev_ le chatelier and calculations_1_alg
Lect w6 152_abbrev_ le chatelier and calculations_1_algLect w6 152_abbrev_ le chatelier and calculations_1_alg
Lect w6 152_abbrev_ le chatelier and calculations_1_alg
 
D07 abbrev arrhenius and catalysts_alg
D07 abbrev arrhenius and catalysts_algD07 abbrev arrhenius and catalysts_alg
D07 abbrev arrhenius and catalysts_alg
 
Kol. verslag amboina
Kol. verslag amboinaKol. verslag amboina
Kol. verslag amboina
 
Sunrise localização
Sunrise localizaçãoSunrise localização
Sunrise localização
 
2 feliz dia del niño
2 feliz dia del niño2 feliz dia del niño
2 feliz dia del niño
 
Farah Irani_PwC Experience award (1)
Farah Irani_PwC Experience award (1)Farah Irani_PwC Experience award (1)
Farah Irani_PwC Experience award (1)
 
Custos01
Custos01Custos01
Custos01
 
Sunrise
SunriseSunrise
Sunrise
 
Historia del moviment obrer d'origen marxista
Historia del moviment obrer d'origen marxistaHistoria del moviment obrer d'origen marxista
Historia del moviment obrer d'origen marxista
 
Segundo grupo
Segundo grupoSegundo grupo
Segundo grupo
 

SEJARAH BONE

  • 1. 1 Sumber : Koloniaal Verslag over het jaar 1906 CELEBES EN ONDERHOORIGHEDEN Sejak saat pengiriman laporan tentang wilayah ini dalam laporan sebelumnya (Juni 1905), Sulawesi Selatan menjadi medan peristiwa sangat penting di bidang politik yang bersumber pada pandangan permusuhan yang ditunjukkan terhadap pemerintah oleh Bone dan Luwu dan tindakan bersenjata yang tidak bisa dihindari sebagai akibatnya oleh kita. Sebelum memulai tindakan pemaksaan terhadap daerah-daerah tersebut, sebaliknya sengketa tentang persoalan lain di Sulawesi Selatan terjadi. Kondisi tegang di Goa yang telah bersekutu dengan Bone, Sidenreng dan Luwu dan tidak segan untuk menghasut para bupati di wilayah pemerintah untuk melawan kita (yang kondisinya semakin buruk ketika berita menyebar bahwa pasukan pendudukan di Pare-Pare diserang oleh musuh) seperti juga desas-desus serangan yang dirancang oleh orang-orang Bone di wilayah pemerintah dan penyerangan yang dirancang terhadap ibukota Makasar oleh orang-orang Goa, (72) mengarah pada penambahan garnisun dan pada pendudukan Camba, sehingga pada akhir Juli jumlah pasukan mencapai 5 kompi infanteri dan satu peleton kavaleri di Makasar dan 150 orang di setiap tempat di Pangkajene, Camba dan Balangnipa (Sinjai). Pasukan ini disiapkan bagi tujuan defensif, sementara bagi tindakan ofensif jika diperlukan masih bisa disediakan pasukan yang telah disiapkan di Jawa. Sementara itu tujuan yang dilontarkan dalam Laporan Kolonial tahun 1905 halaman 64 ditanggapi untuk mencegah kesepakatan bersenjata dengan pengajuan tuntutan kepada para penguasa Bone dan Luwu yang membangkang, dan terutama menyangkut Bone. Pada tanggal 21 Juni 1905 di atas kapal panser Holland yang diikuti dengan kapal Zeeland dan kapal panser de Ruyter dengan tujuan Bajowa yang terletak di teluk Bone, residen pembantu J.A.G. Brugman, kontrolir bagi hubungan politik dengan para penguasa pribumi O.M. Goudhart, bupati Maros, kapten Melayu di Makasar dan utusan kepala di kantor urusan pribumi berangkat. Setibanya di sana pada tanggal 22, tiga pejabat terakhir mendarat untuk menyampaikan tuntutan yang diajukan. Sambutan dilakukan oleh raja di depan sekelompok orang bersenjata dengan ancaman dan penyumpahan; penyerahan surat bisa dilakukan oleh utusan kita tanpa gangguan. Pada tanggal 29 Juni syahbandar Bajowa menyampaikan jawaban raja di atas kapal Holland, yang memuat syarat-syarat demikian sehingga semua usaha untuk mengubah pandangannya tampaknya dianggap sia-siap. Kepada syahbandar saat itu sebuah pemberitahuan yang dimuat dalam surat residen bagi raja disampaikan bahwa daerah Bone akan ditutup bagi semua ekspor-impor. Jawaban raja hanya memuat percampuran penyesalan dan ketidakadilan. Baru kemudian pengiriman pasukan ekspedisi terjadi yang emnurut keputusan pemerintah tanggal 14 Juni 1905 nomor 1 terdiri atas 2 ½ batalyon infanteri, 1 kompi marsose, 1 kesatuan kavaleri, 2 seksi artileri (meriam tembak cepat), 2 seksi pasukan zeni, 1 kesatuan pekerja zeni dan 1 brigade telepon di samping kesatuan pembantu( dinas kesehatan, administrasi militer) dan tenaga pengangkut. Dari angkatan laut ditunjuk untuk terlibat dalam ekspedisi ini kapal-kapal perang Hertog Hendrik, Koningin Regentes, de Ruyter, Zeeland, Serdang dan Borneo, perahu pengawas Brak, kapal uap pemerintah Kwartel, dan perahu polisi dan komunikasi Tjantik II, yang akan
  • 2. 2 membantu tentara dalam pendaratan dan persoalan lain, sebagian untuk memblokade di pantai Bone dan Luwu yang pada awal Juli ditutup bagi semua aktivitas ekspor-impor (Lembaran Negara 1905 nomor 364 dan 367). Sebagai pimpinan pasukan ekspedisi ini diangkat Kolonel Infanteri C.A. van Loenen, yang juga membawahi semua pasukan yang ada di Sulawesi Selatan. Kekuasaan sipil umum tetap diserahkan kepada gubernur di wilayah itu. Sebagai tujuan ekspedisi dimaksudkan untuk mematahkan semua perlawanan bersenjata di Bone, menduduki dan mencoba menangkap sosok raja dan para bangsawannya, apabila mereka melarikan diri serta semua pusaka kerajaan; selanjutnya untuk membantu menenangkan dan menegakkan ketertiban atas seluruh daerah, seperti juga kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan yang bisa membantu Bone. Gerakan dilakukan ke Luwu ketika kerajaan ini menolak untuk memenuhi tuntutan yang diajukan oleh pemerintah, seoperti juga untuk membantu menegakkan keamanan, ketertiban dan kepatuhan kepada perintah dan instruksi kita dan selanjutnya membantu pemerintahan Sulawesi Selatan dalam melaksanakan semua aturan pemerintah yang dipandang perlu. Oleh Gubernur Jenderal keinginan dilontarkan agar penghancuran kampung dan harta benda seperti halnya perampokan yang dianggap tidak perlu dilarang, dan selanjutnya dalam semua aspek tindakan yang sah saja yang diambil. Mengingat harapan dilontarkan bahwa meskipun ada usaha Bone untuk mengalihkan perselisihan ini menjadi sebuah perang suci di antara sebagian besar penduduk yang tidak mau memusuhi kita, sebelum korps ekspedisi muncul di perairan Bone, pengumuman disebarkan yang menjelaskan tujuan tindakan bersenjata kita secara singkat dengan memberitahukan bahwa mereka yang tidak melakukan perlawanan juga tidak perlu takut pada hukuman sehingga tergantung pada sikap penduduk apakah para serdadu akan memperlakukan mereka sebagai lawan atau kawan. Pada saat yang sama kepada berabgaikerajaan tindakan kita diberitahukan dan dengan tegas mereka diperingatkan agar mengambil sikap netral. Tetapi langkah ini tidak begitu berhasil dan mereka saling bersekutu atau memberikan bantuan senjata, yang sebagian besar dianggap berasal dari ikatan kekeluargaan yang ada di antara para pemimpin sebagian besar kerajaan. Dugaan yang segera dibuktikan setelah awal operasimiliter bahwa banyak pimpinan yang tidak mau ikut bergabung dalam kelompok perlawanan ini memberikan peluang yang menguntungkan bagi ekspedisi. Pada tanggal 18 Juli seluruh kekuatan yang diangkut dengan kapal-kapal KPM bergabung di pelabuhan Bajowa. (74) Pada tanggal 19 dengan tujuan untuk mencari sarana terakhir bagi penyelesaian damai, sebuah ultimatum disampaikan yang selain tuntutan tersebut juga memuat ganti rugi biaya pengangkutan ekspedisi dan pembuatan kontrak politik baru. Sambil menunggu jawaban dari raja, daerah pantai antara muara Cenrana dan tanjung Patiro dipantau. Dengan ini terbukti bahwa bagi pendaratan pasukan hanya dipertimbangkan daerah pantai antara Tippuluwe dan Bajowa dan yang di dekat Patiro, tetapi Tipulluwe sudah dipertahankan kuat sehingga suatu pendaratan di tempat ini mungkin memerlukan pengorbanan besar. Karena itu prioritas diberikan pada pendaratan di dekat tanjung Patiro, di mana tidak ada pertahanan yang dibuat dan keuntungan diperoleh untuk bisa tiba di belakang garis pertahanan Tippuluwe-Bajowa tanpa kerugian berarti. Setelah pada tangagl 20 Juli jawaban penolakan diberikan pada ultimatum itu, sebagian armada melancarkan pendaratan di depan Bajowa dan pasukan mendarat di tanjung Patiro, tanpa menemui
  • 3. 3 perlawanan. Suatu penembakan dari salah satu kubu telah mengakibatkan beberapa kematian pada musuh. Pada hari yang sama dan hari-hari selanjutnya usaha dicoba untuk mencapai jalan kuda yang mengarah ke Watampone tetapi gagal. Hambatan lahan ini (bako-bako) terbukti begitu hebat sehingga dengan memperhatikan kurangnya air tawar, suatu gerakan lebih lanjut di sini tidak dianjurkan. Karena itu diputuskan untuk mendarat di dekat kampung Bena (sebelah utara Bajowa). Setelah pasukan yang mendarat kembali diangkut dengan kapal-kapal milik KPM yang ditempatkan di sana, orang-orang kembali ke pelabuhan Bajowa untuk bisa menunggu saat yang menguntungkan bagi pendaratan. Di bawah perlindungan tembakan meriam dari tujuh kapal perang (dalam armada enam kapal perang yang semula disiapkan bagi ekspedisi Bone, kemudian juga bergabung kapal Asahan yang sebelumnya ikut terlibat dalam operasi militer di Pare- Pare) dan rakit bersenjata, dan dibantu oleh dua kesatuan pendarat angkatan laut, pasukan kita pada tanggal 28 Juli di bawah tembakan gencar musuh ikut mendarat. Kampung Bena yang dipertahankan dengan kuat dikuasai dan musuh yang masuk lewat kampung Lanru dipukul mundur dengan kerugian besar. Juga orang-orang Wajo terlibat dalam pasukan pertahanan. Orang Bone yang jumlah kekuatannya ditafsirkan sebanyak 2000 orang, termasuk 300 dengan bersenjatakan senapan dan 300 pasukan berkuda, meninggalkan 461 orang terbunuh termasuk 10 orang pimpinan mereka, 11 orang terluka bersama sejumlah besar senjata api dan senjata tajam di medan pertempuran (75). Menurut berita-berita yang masuk kemudian, kerugian musuh seluruhnya berjumlah 1000 orang, sehingga setidaknya sebagian pasukan Bone telah dihancurkan. Di pihak kita seorang perwira terbunuh (letnan-2 F. Potharst), dua serdadu di bawah pangkat ini dan seorang juru dayung dari KPM sementara 25 orang serdadu bawahan dan seorang pendayung terluka. Patroli yang telah pertempuran ini memeriksa kampung-kampung sekitarnya, menemukan semuanya telah ditinggalkan dan tidak ada lagi jejak musuh. Pukulan yang diberikan pada pasukan Bone ini seperti yang terbukti dari kondisi lebih lanjut, telah hampir mematahkan perlawanan yang dipimpin oleh punggawa (putra mahkota sekaligus panglima pasukan). Pada tanggal 30 Juli pasukan berangkat ke kompleks kampung Watampone, tempat tinggal raja Lapawawoi Karaeng Segeri. Hanya dalam terobosan dan dalam pemeriksaan rumah-rumah, beberapa tembakan dilepaskan. Dalam pengejaran musuh ini seorang anggota militer terbunuh. Di kampung-kampung itu semua orang melarikan diri secara terburu-buru. Atas berita bahwa raja bersama anggota keluarga dan pengikutnya telah melarikan diri ke Pasempa, pada tanggal 2 Agustus bersama semua pasukan yang ada kekuatan utama berangkat ke sana dan pada tanggal 3 Agustus kampung ini direbut yang hanya dikuasai oleh puluhan musuh. Di rumah raja, beberapa benda perak miliknya ditemukan seperti juga kontrak dengan pemerintah. Untuk mengejar raja dan para pengikutnya, setelah itu daerah ini diperiksa oleh pasukan kita. Kampung Umalan, Palongki, Palimpa, Wampotu dan Amati dikunjungi tetapi tanpa hasil memadai. Pada tanggal 6 Agustus kekuatan induk kembali ke Watampone, di mana panglima menerima berita tentang tindakan ofensif orang-orang Bone di daerah timur dan kehadiran gerombolan musuh di Camba. Di tanah-tanah pemerintah pada pertengahan pertama bulan Juli, para bupati Bunggoro dan Lebakkang (Pangkajene) ditangkap, yang terbukti bahwa mereka
  • 4. 4 menyembunyikan unsur-unsur yang memusuhi kita, sementara para pangeran Goa Daeng Ago dan Andi Baloso (sejak itu ditangkap dan meninggal di Surabaya; paman dan kemenakan raja) yang selalu mengobarkan kerusuhan di Lebakang, ditemukan di rumahnya dan melalui Makasar dibawa ke Surabaya. Jika benih-benih pertama telah ditaburkan bagi perlawanan di Goa, yang akan membawa kondisi serupa pada para bupati lainnya, hal itu mengakibatkan Pangkajene pada tanggal 12 Juli diduduki oleh gerombolan sebanyak 30-40 orang, di bawah pimpinan La Upa, seorang putra bekas bupati Lebakkang yang wafat pada tahun 1902. Tetapi mereka dipukul mundur dengan kerugian 5 orang terbunuh termasuk panglimanya, setelah itu ketenangan berhasil dipulihkan. Serangan spontan ini mengakibatkan korban kita seorang tewas (sersan Eropa) dan seorang terluka. Pada tanggal 30 Juli pasukan pendudukan Balangnipa bertempur dengan orang- orang Bone, yang melancarkan serangan di daerah timur, dan mengakibatkan kerugian 34 orang tewas. Peristiwa ini juga meminta kita korban 2 orang terbunuh (seorang serdadu Eropa dan pribumi) dan tiga orang terluka termasuk Kapten K.J.C. Rijnen. Sehubungan dengan ini garnisun Balangnipa (segera setelah kembalinya pasukan utama di Watampone pada tanggal 6 Agustus) diperkuat dengan satu kompi, tetapi sementara itu para pemimpin di Bone Selatan pada tanggal 4 Agustus menyerahkan diri, tetapi oleh pemerintah diajukan sebagai tuntutan penyerahan berbagai benda pusaka dan ragam hiasnya. Karena sudah puas dan pasukan garnisun dianggap cukup untuk menegakkan keamanan, beberapa hari kemudian kesatuan yang ditempatkan kembali bergabung dengan pasukan utama di Watampone. Juga di daerah utara sementara itu gerombolan musuh masuk. Karena lahan yang sangat tidak rata, sebaliknya tidak ada lagi hubungan dengan kesatuan Camba. Segera setlah itu mereka kembali atas inisiatif sendiri ke Bone. Dengan tujuan untuk membatasi tindakan keras orang-orang Goa di perbatasan selatan, kesatuan dari Makasar dikirim ke Takalar dan daerah selatan tetapi yang pasukannya tidak perlu menggunakan senjata. Sementara itu dari Watampone pengiriman patroli tetap diteruskan, yang mengakibatkan bahwa banyak pimpinan menyerha, yakni pada tanggal 8 Agustus lima dari 7 anggota hadat (termasuk perdana menteri), sementara pada tanggal 10 semua pusaka kerajaan terpenting, simbol kekuasaan diserahkan kepada panglima. Juga penduduk sebagian kembali ke kampung dan terhadap para serdadu ditunjukkan sikap damai (77). Selanjutnya karena tuntutan bagi penyerahan senjata api dikabulkan, pada pertengahan Agustus kondisi di Bone telah pulih sehingga bisa dilakukan pengaturan pemerintahan sementara dan kekuatan induk dipindahkan ke Pampanua, dari situ aksi dimulai terhadap Wajo, Sopeng dan Lamuru (daerah taklukkan Bone) yang telah bersekutu dengan Bone. Di Watampone tiga kompi ditinggalkan sebagai pendudukan dan mayor komandan sebagai penguasa sipil Bone pada tanggal 21 diangkat oleh gubernur (disetujui dengan keputusan pemerintah tanggal 10 Oktober 1905 nomor 30). Bersama aturan-aturan pemerintah yang dibuat dan pampasan perang yang dibebankan kepada Bone sebesar f 70 ribu, para kepala adat menerimanya (juga setelah tawar-menawar). Kekuatan induk pasukan ekspedisi melalui Lanca dan Timurung pada tanggal 23 Agustus mencapai Pampanua, dengan kapal Tjantik II, yang setelah tembak-menembak di muara Cenrana dikosongkan oleh penduduk, sungai itu dilayari. Penempatan kesatuan dengan cara yang mudah dan memadai bisa dijamin. Dari Watampone pasukan militer
  • 5. 5 mengunjungi Wajo pada tanggal 25 Agustus. Penduduk terbukti berpandangan baik dan segera lima dari enam orang pimpinannya menandatangani Pelakat Pendek. Kepada ratu Sopeng, sekaligus patola Wajo, yang telah menolak untuk tampil dalam sebuah pertemuan yang diadakan pada tanggal 16 September oleh kepala pemerintah wilayah di Sengkang untuk menyelesaikan masalah pemerintahan di Wajo dan Sopeng, suatu denda dijatuhkan sementara diputuskan untuk memasuki daerahnya, juga karena terbukti bahwa rakyat dari Sopeng ikut terlibat dalam pertempuran pertama di dekat Pare-Pare dan serangan di kabupaten pegunungan pada bulan Juli 1905 (lihat di bawah). Tetapi kondisi di Sopeng dianggap sangat tenang dan datu bersedia menandatangani Pelakat Pendek. Kondisi darurat ini memungkinkan pengiriman 2 kompi ke Luwu pada pertengahan pertama bulan September,m dengan perintah untuk menyampaikan ultimatum pada kerajaan itu dan dengan tidak dipenuhinya tuntutan yang diajukan, dipaksa tunduk kepada pemerintah dengan kekuatan senjata. Karena juga di sini tidak bisa dicapai secara damai, pasukan pada tanggal 11 September di bawah perlindungan tembakan meriam kapal dan dibantu oleh kesatuan pendarat dari kapal Hertog Hendrik dan de Ruyter, mendarat di dekat Belandai, setelah itu Palopo yang berada di dekatnya diduduki (78). Kondisi ini mengorbankan 7 orang terluka termasuk seorang perwira (letnan laut klas-01 J.A. van Zadelhoff, yang kemudian meninggal karena luka-lukanya) di pihak kita. Musuh yang bertahan di mesjid dan banyak tempat lain, menderita kerugian besar. Dengan suatu pukulan di sini (seperti halnya di Bone) perlawanan terorganisir bisa dipatahkan. Para pemimpin utama menyerahkan diri dan menyerahkan senjatanya. Pada tanggal 18 September, juga ratu Luwu We Kamnbo Daeng ri-Sumpa, menandatangani Pelakat Pendek dan menerima tuntutan yang diajukan, termasuk pembayaran pampasan perang, seperti juga penyerahan daerah Poso (Laporan Kolonial tahun 1905 halaman 64), tetapi sekarang tanpa ganti rugi, sementara hak itu diambil karena perlawanan bersenjata yang dilakukan. Atas daerah ini seorang penguasa sipil diangkat dengan kedudukan di Palopo, dan pendaftaran penduduk dimulai. Daerah Lamuru pada hari-hari terakhir bulan September dikunjungi oleh pasukan dari Watampone dan kesatuan dari Camba. Perlawanan tidak dialami; datu dan anggota hadat mengajukan penyerahan diri (27 September) dan setuju untuk membayar pampasan perang. Sementara itu pada pertengahan Agustus kepada pasukan pendudukan di Balangnipa dan Camba diperintahkan untuk memasuki Bone, sementara sehubungan dengan pergerakan induk pasukan ekspedisi ke Wajo, juga perintah diberikan kepada kesatuan Pare-Pare untuk bertindak agresif. Kedua kesatuan itu tidak menemui banyak perlawanan, tetapi tidak juga pasukan dari Pare-Pare yang pada tanggal 17 Agustus menyerang benteng yang diduduki dan dip-ertahankan di aliran kanan sungai Marasang, dekat Pabarasang dan dekat Lojawi. Dengan korban 11 orang terluka, di antaranya dua orang perwira (letnan-2 D.C. de Groot dan J.A. van Helsdingen) kubu-kubu itu dikuasai. Musuh meninggalkan 28 orang terbunuh dengan senjata api dan senjata tajam di tangan kita. Kesatuan terus bergerak menuju Masepe dan Amparida, dan menjelang akhir Agustus bisa mencapai hubungan dengan pasukan Bone. Karena kini akibat kekalahan yang diderita, perlawanan di Sidenreng bisa dikatakan lumpuh, kesatuan Pare-Pare pada awal September (bersama dengan satu kompi marsose) melewati daerah Ajataparang menuju wilayah Masenrempulu, untuk mengejar raja Bone yang menurut berita-berita terpercaya menarik diri ke utara. Di mana-mana
  • 6. 6 perlawanan tidak dialami, sehingga pada tanggal 13 Oktober pasukan mencapai Kolosi di daerah Duri (Masenrempulu), di mana keesokan harinya (79) juga kesatuan dari Palopo tiba (kesatuan ini yang kembali ke Palopo pada tanggal 20 Oktober, menempuh jalannya melalui tanah-tanah Toraja. Kesempatan ini dimanfaatkan untuk membersihkan daerah itu dari orang-orang Sidenreng, yang telah tinggal di sarang-sarang perompak yang diperkuat. Orang-orang Toraja berpandangan sangat positif kepada kita dan tidak lupa menunjukkan tempat persembunyian para perampok yang meresahkan mereka kepada pasukan kita. Pada tanggal 23 dan 24 Oktober dari Pampanua masih ada dua kesatuan yang berangkat ke Pitampanua, sebuah daerah taklukkan Bone di pantai di utara muara Cenrana, untuk mnelacak raja yang melarikan diri. Salah satu kesatuan ini mengalami perlawanan di dekat Paria di Wajo; musuh didesak dan meninggalkan 20 orang terbunuh, di antaranya semua pemimpin perlawanan. Seperti yang terbukti dari uraian di atas, kesatuan ini tidak menemukan raja itu). Setelah para pemimpin Duri menandatangani Pelakat Pendek tanda penyerahan, pasukan marsose dan sebagian infanteri atas kabar bahwa raja Bone berangkat ke Cema di Wajo, bergerak ke sana dan pada tanggal 17 Oktober menembaki pertahanan musuh yang sangat kuat di lereng Bambapuang, diduga dari raja Bone. Setelah pertempuran sengit, pertahanan itu direbut. Musuh meninggalkan 50 orang tewas sementara di pihak kita 10 anggota militer di bawah pangkat perwira terluka. Pada tanggal 22 Oktober pasukan mencapai Maiwa (di mana raja yang baru tampil La Sapewaki, putra sulung almarhum penguasa La Pakonting menandatangani Pelakat Pendek) sementara keesokan harinya pasukan marsose juga tiba di sana dari Rapang, sehingga pada tanggal 26 orang berangkat ke Cema. Setelah musuh diusir dari beberapa pangkalan di lahan perbukitan yang terletak di sekitar kampung ini, pasukan yang pada tanggal 27 Oktober di Awo diperkuat dengan kesatuan lain yang semula ditinggalkan di Kolosi tetapi kemudian berangkat ke sana, pada tanggal 28 Oktober tiba di Cema. Selama hari-hari berikutnya di sekitar tempat ini berulang kali hubungan dicapai dengan pos-pos terdepan gerombolan Lapawawoi, yang semakin lama semakin terdesak dan diperlemah oleh kematian anggota hadat Bone Aru Macege (yang kemudian menyerah di Pompanoa), pada tanggal 18 November oleh Letnan-1 C.H. Eilers diserang, pada kesempatan ini punggawa terbunuh sementara raja dan anggota keluarga yagn menyertainya ditangkap. Para tahanan ini dibawa ke Makasar, di mana pada tanggal 12 Desember juga tiba dua putra dan tiga orang cucu raja, yang pada tanggal 10 sebelumnya telah menyerah di Larompong di Luwu. Pada tanggal 14 Desember semuanya diangkut ke Batavia (80) yang dengan keputusan pemerintah tanggal 23 Maret 1906 nomor 15 Lapawawooi diturunkan dari jabatannya sebagai raja Bone dan dibebaskan dari pemerintahan atas daerah itu, sementara kepadanya dan putra-putra serta cucu-cucunya yang dimaksudkan di atas demi kepentingan keamanan dan ketertiban umum di wilayah Celebes dan Sekitarnya, ditunjukkan ibukota Bandung (Priangan) sebagai tempat tinggal. Meskipun perlawanan di Bone telah berakhir pad abulan Agustus, pengiriman patroli selalu tetapi diperlukan untuk menumpas gerombolan petualang yang sering menimbulkan gangguan pada penduduk yang setia dan bila mungkin menghancurkannya. Pada umumnya dengan hasil baik tindakan terhadap mereka diambil, sehingga keamanan orang dan barang pada akhir tahun 1905 bisa disebut menguntungkan. Untuk itu juga
  • 7. 7 perbaikan komunikasi antara Bone Utara dan Bone Selatan melalui pembukaan sebuah jalan dari Pampanua lewat Wtampone ke Balangnipa berlangsung. Larangan ekspor-impor di Bone dan Luwu dicabut dengan Peraturan tanggal 26 Oktober 1905 (Lembaran Negara nomor 538). Selanjutnya dalam keputusan pemerintah tanggal 16 November 1905 nomor 5 pemerintahan sipil dan militer di Bone, Sopeng dan Wajo dipegang oleh satu tangan dan pemerintahan diserahkan kepada perwira yang memegang komando daerah di Pampanua, sementara akhirnya dengan pencabutan peraturan pemerintah sementara yang ditetapkan pada bulan Agustus sehubungan dengan Bone, dalam keputusan pemerintah tanggal 2 Desember 1905 nomor 34 sebagai tindakan sementara Bone, Wajo, dan Sopeng bersama-sama dengan nama Bone (ibukota Pampanua), seperti juga Luwu (ibukota Palopo) dijadikan sebagai afdeeling di wilayah Celebes dan Sekitarnya. Afdeeling Bone dibagi dalam tiga Onderafdeeling yakni Bone, Wajo dan Sopeng, dan diletakkan di bawah pemerintahan seorang asisten residen yang fungsinya dipegang oleh perwira komandan tersebut, sementara pemerintahan atas tiga onderafdeeling dan afdeeling Luwu diserahkan kepada para perwira yang memegang komando lokal di Watampone, Singkang, Watang Sopeng dan Palopo, dengan jabatan pemegang kuasa sipil. Sejak itu kekuasaan sipil atas Sopeng Barat (Sopeng ri-aja) yang daerahnya di Watang Sopeng sulit untuk diperintah, seperti juga atas daerah Baru, untuk sementara diserhakan kepada perwira paling senior yang memegang komando di sana, di bawah pimpinan pejabat pemerintah yang ditempatkan di Pare-Pare pada bulan Maret 1906 (keputusan pemerintah tanggal 31 Maret 1906 nomor 18). Setelah semua pemimpin Bone, Wajo (aro matowa atau penguasa utama yang menghadap kepada penguasa sipil tanggal 24 Oktober di Bone; di Wajo kondisi tetap tenang kecuali pada bulan Pebruari 1906, ketika daerah taklukkannya Belawa menolak untuk membayar andilnya dalam pampasan perang. Suatu kesatuan militer yang dikirim ke sana hanya mengalami perlawanan ringan), Sopeng dan Luwu (81) telah mengajukan penyerahannya, Gubernur Jenderal menganggap saatnya telah tiba untuk membuat perhitungan dengan Hoa. Berita-berita tentang rencana perlawanan Goa baru terdengar setelah suatu denda dijatuhkan pada daerah ini mengenai pengiriman senjata ke Jampuwa di Sawito (Ajataparang). Peristiwa ini menyebabkan banyak agitasi di Goa, terutama di antara para pangeran muda yang berkomplot untuk menentang intervensi pemerintah. Raja sendiri pada mulanya berusaha keras untuk meredakan suasana itu, tetapi di bawah pengaruh lingkungan sekitarnya segera bangkit pada perlawanan pasif. Kerjasama untuk menghukum perampokan yang dilakukan di afdeeling Takalar oleh orang-orang Goa pada bulan April 1905, meskipun ada tekanan kita yang mendesak tetapi tidak dikabulkan. Surat-surat dari petugas pemerintah kita tidak lagi diterima, sementara dua orang bupati kita yang paling berpengaruh yakni di Bontain dan Binamu, dipaksa untuk memihak kepada Goa. Selain itu suatu gerombolan yang berasal dari daerah Goa di Gantarang-Matinggi pada bulan Juli 1905 melakukan perampokan dan penjarahan di Onderafdeeling Bergregentschappen, dan membakar sejumlah rumah di sana, tanpa ada usaha serius dari pihak Goa untuk menangkap para terdakwa ini. Dengan adanya kelemahan ini, raja dipanggil oleh gubernur Celebes menjelang 17 Oktober untuk mempertanggungjawabkan sikapnya. Ketika dia tidak muncul, pasukan ekspedisi yang ada dan sementara itu dibawa ke Makasar, bersama dengan pasukan dari wilayah pemerintah bergerak memasuki Goa. Perlawanan pada mulanya tidak dijumpai dan
  • 8. 8 gubernur yang mendampingi pasukan ini oleh raja diterima di rumahnya di Jongaya. Tetapi tuntutan pemerintah belum disampaikan ketika Karaeng Beroangin (ipar raja dan panglima pasukan Goa) mengangkat senjata dan raja yang sebelumnya berjanji akan mematuhi semua tuntutan, seperti halnya penduduk melarikan diri dari Jongaya (19 Oktober). Di sini musuh pertama-tama dijumpai dan dipukul di dekat Jongaya dan kemudian di kampung Pakatto, pada kesempatan ini mereka menderita kerugian 73 orang tewas dan 7 orang terluka, sementara di pihak kita dua orang serdadu di bawah pangkat perwira terbunuh dan 3 orang perwira (Kapten E. den Dooren de Jong, Letnan-2 J. Beumer dan perwira kesehatan klas-2 H.C. Nauta) dan 13 serdadu di bawah pangkat perwira terluka (82). Kemudian pasukan berangkat ke Bonglangi, menurut informasi pertahanan utama musuh. Baik di sini maupun di tempat-tempat yang dikunjungi perlawanan dilancarkan. Tindakan tegas ini ternyata membawa dampak. Segera penduduk yang patuh kembali ke kampungnya, sementara pada tanggal 25 Oktober ratu Baru, saudari raja bersama suaminya Karaeng Beroanging dan beberapa pangeran lain dan pada tanggal 1 November perdana menteri bersama suaminya dan Karaeng Barombong, kemenakan raja (para kepala perlaweanan) menghadap kepada gubernur Celebes. Perdana menteri membawa mahkota emas yang dikenal sebagai pusaka dengan nama salak dan Karaeng Barombong juga membawa pusakanya. Sebuah usaha yang dilakukan oleh pasukan yang diangkut ke Galesong untuk menangkap raja yang disinyalir berada di Limbung, mengalami kegagalan dengan korban 2 orang terluka di pihak kita, sementara musuh menderita kira-kira 40 orang terbunuh. Juga perjalanan yang kemudian dilakukan dengan tujuan yang sama dari berbagai pangkalan di Goa tidak membawa hasil yang diharapkan. Raja dalam rombongan saudaranya Karaeng Bontonompo dan dua orang putranya, raja- raja Supa dan Alieta (yang telah diturunkan) pertama-tama berangkat ke Baru dan sejak akhir Desember menuju Masenrempulu dan Ajataparang. Kesatuan yang dikirim ke daerah ini untuk mengejarnya seperti yang kemudian terbukti berulang kali menghadapi perlawanan sengit, tanpa berhasil mengejar mereka yang melarikan diri sampai sekarang. Di Goa keamanan dan ketertiban tidak lagi terganggu; patroli yang menjelajahi daerah ini di mana-mana menerima sambutan persahabatan dari pihak penduduk, yang di mana- mana bekerja bagi mereka dan pemerintahan buruk dengan banyak pemungutan dan kerja wajib sejak bertahun-tahun terbukti berakhir dengan intervensi kita. Pada tanggal 26 November, asisten residen dilantik yang untuk sementara bersama hadat (yang menandatangani Pelakat Pendek pada tanggal 19 Maret 1906) menjalankan pemerintahan atas nama raja yang melarikan diri. Pada bulan Maret 1906 pasukan pendudukan di daerah Goa sebagian besar ditarik. Tinakan kita di Sulawesi Selatan sampai sekarang menjadi keberhasilan besar. Di semua daerah yang dikunjungi oleh pasukan militer, orang menciptakan kondisi baru, dimulai pembukaan jalan-jalan perhubungan yang diperlukan dan pendaftaran penduduk, pampasan perang yang dibebankan pada umumnya dibayar sepenuhnya dan sejumlah besar senjata api diserahkan (83). Karena diduga bahwa tugas pasukan ekspedisi kini telah terpenuhi, pasifikasi lebih lanjut atas daerah-daerah yang diduduki oleh pasukan kita bisa diserahkan kepada para pejabat sipil dan militer wilayah, yang dibantu oleh sebagian pasukan kita, dalam keputusan pemerintah tanggal 16 November 1905 nomor 6 terhitung sejak 4 Desember 1905 dengan pembebasan Kolonel van Loenen dari
  • 9. 9 jabatannya sebagai panglima, komando dan staf umum ekspedisi dibubarkan. Segera terbukti bahwa di beberapa daerah kelompok perlawanan tidak sepenuhnya bisa meninggalkan maksudnya. Misalnya di Sopeng dan Luwu, seperti juga di beberapa daerah di Masenrempulu dan Ajataparang. Sopeng Setelah kepergian pasukan dari daerah ini (akhir September) suatu kelompok perlawanan yang terorganisir dengan baik di bawah pimpinan sule datu Baso Pata Bau Aru Baluse, watanglipu (panglima pasukan Sopeng) dan La Mappe, penguasa bagian utara Mario-ri- awa, sekali lagi muncul di daerah ini. Oleh kesatuan militer dari Singkang dan Pampanua, bersama dengan satu kompi dari Makasar, tiga pangkalan (dekat Sololung, Saring dan Macopae) direbut pada tanggal 5-10 November, di pihak kita seorang pribumi terbunuh dan 7 orang terluka, sementara musuh yang terbukti diperkuat dengan orang-orang dari Sidenreng dan Baru (karena itu Baru harus dibebani dengan pampasan perang), 41 orang terbunuh dan 4 orang terluka. Pada tanggal 19 Desember La Mapped an watanglipu menyerah dan pada tanggal 6 Januari 1906 sule datu menghadap bersama anggota kerabatnya, kepada asisten residen Bone. Pada tanggal 30 April segerombolan sebanyak 120 orang mencoba untuk membunuh penguasa sipil Sopeng, yang sedang dalam perjalanan bersama beberapa orang pimpinan. Satu patroli yang lengkap berhasil membunuh 40 orang penyerang dan menangkap 50 orang lainnya. Sejak itu ketenangan di Sopeng tidak lagi terganggu. Luwu Pada hari-hari pertama bulan November, penguasa sipil Luwu berangkat ke daerah taklukkan kerajaan itu, dengan tujuan untuk memantau kondisi umum di sana dan membuka hubungan dengan para kepala dan penduduk. Pada umumnya orang menunjukkan pandangan persahabatan, teapi di Wotu baik dengan palemba uragi (kepala) maupun dengan penduduk hubungan tidak bisa dibuka, dan orang masih menunjukkan sikap mengancam ketika utusan dari penguasa sipil itu mendekati kampung. Suatu kesatuan pasukan di Luwu yang pada tanggal 23 Oktober berangkat ke daerah Poso dengan tujuan untuk memperkuat pasukan yang ditempatkan di sana (84) kemudian juga dalam perjalanan kembalinya pada tanggal 16 November di Wotu terbentur perlawanan sengit, yang terbukti diorganisir oleh putra sulung palemba uragi. Tetapi musuh dipukul dengan kerugian besar, dengan korban seorang serdadu Eropa terbunuh dan lima orang terluka di pihak kita. Karena kesatuan ini kekurangan amunisi, perbekalan dan sarana pengobatan, penguasa sipil yang sementara ini kembali ke Palopo pada tanggal 18 dengan kapal Borneo berangkat ke Wotu. Pada tanggal 20 kapal pemburu dari Borneo menyusuri sungai ini yang diperkuat dan ditebari rintangan, tetapi terbukti kampung itu telah ditinggalkan. Keesokan harinya kesatuan itu kembali ke Palopo. Sementara itu ketenangan di sana terganggu secara serius oleh opu pabicara (salah satu anggota hadat) yang menunjukkan sikap sangat berkuasa dan selain itu menolak untuk menyerahkan senapan yang dimilikinya. Dalam sebuah pertempuran dengan kesatuan patroli yang dikirim kepadanjya dan pengikutnya (12 November) opu pabicara bersama 61 orang pengikutnya terbunuh, sementara 12 orang terluka yang
  • 10. 10 berhasil kita tangkap dengan 4 orang meninggal setelah itu. Kemudian terbukti bahwa pabicara telah merekrut rakyat bersenjata dan mendapatkan senapan dari Suli. Patroli yang dikirim ke Suli dan Baramasa karena alasan itu sebaliknya menjumpai semua kondisi tenang. Sehubungan dengan berita bahwa utusan Luwu yang tinggal di daerah Poso, Ambe Maä, mengorganisir perlawanan baru di Wotu, pada tanggal 29 Desember kembali suatu kesatuan dikirim ke sana. Pada tanggal 1 Januari 1906 mereka merebut sebuah benteng yang diduduki secara kuat di kampung Teruwe, di mana empat orang musuh terbunuh dan kita menderita dua orang terluka (termasuk perwira kesehatan klas-1 dr. C.K. Göllner). Pada tanggal 2 pasukan berangkat ke Baubunta yang terletak tiga hari berjalan di sebelah timur laut Palopo di sungai Rongkong, yang sangat diperkuat dan sebagai akibat cuaca yang sangat tidak menguntungkan, sangat terhambat dan tidak bisa bergerak maju. Semua usaha yang dilakukan dari tanggal 3 sampai 14 Januari untuk menyeberangi sungai dan menaklukkan perbentengan musuh tetap tanpa hasil. Sementara itu penguasa sipil bersama pasukan militer yang diperlukan, yang diangkut dengan kapal Serdang dan Siboga, pada tanggal 30 Januari tanpa mengalami perlawanan mendarat di Burau dan dengan dibantu oleh kesatuan pendarat dari kapal ini, bergerak ke Jalaja yang diperkuat, tempat tinggal Ambe Maä, yang kampungnya berhasil direbut. Pada kesempatan ini musuh menderita 7 orang tewas, seorang terluka, 2 meriam, 12 lila dan banyak senjata api serta senjata lainnya, seperti juga persediaan amunisi (85) yang berhasil kita rampas, dengan korban 19 orang terluka di pihak kita. Pada hari sebelumnya, kesatuan itu tiba di sungai Rongkong dengan mengepung sisi pertahanan musuh (yang terbukti sepanjang 2 ½ kilometer dan terdiri atas 9 perbentengan yang dihubungkan dengan galian parit) di tepi aliran kiri sungai itu; yang kampungnya telah direbut pada tanggal 5 Pebruari. Musuh meninggalkan 99 orang terbunuh termasuk 4 orang kepala adat, 5 orang terluka dan 10 orang ditangkap, sementara kita menderita 12 orang terluka. Dari tanggal 2 sampai 10 Pebruari seluruh daerah dari Jalaja sampai Rongkong dijelajahi oleh pasukan militer, tanpa mengalami perlawanan sedikitpun. Pada akhir Pebrauri banyak pemimpin berpengaruh dan dua orang anggota keluarga Ambe Maä dan pada tanggal 19 Maret dia sendiri menyerahkan diri. Meskipun masih ada beberapa orang kepala adat di tanah Toraja, masih ada gerombolan Sidenreng yang melakukan perampokan, sejak itu di Luwu kondisi tenang tidak perlu dikhawatirkan lagi.