Dokumen tersebut membahas tentang pencatatan perkawinan menurut hukum positif dan hukum Islam. Pencatatan perkawinan diwajibkan oleh undang-undang agar perkawinan menjadi sah secara hukum dan untuk melindungi hak-hak istri dan anak. Pencatatan penting juga menurut hukum Islam karena dapat mencegah mudharat di kemudian hari. Dokumen tersebut juga membahas tentang harta bersama, per
aspek hukum ttg kepailitan, pkpu, pengadilan niaga
10. hukum pernikahan
1.
2.
3. Pencatatan Perkawinan Menurut Hukum Positif
Menurut Hukum Positif
Landasan hukum keharusan
adanya pencatatan perkawinan
disebutkan dalam Undang-
Undang No. 1 tahun 1974
Tentang Perkawinan pasal 2,
yang intinya bahwa perkawinan
yang tidak dicatat sesuai
prosedur yang berlaku dianggap
tidak berkekuatan hukum
4. Pasal 2 UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan
1) Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Landasan Pencatatan Perkawinan
5. Tujuan Pencatatan Perkawinan
Dilangsungkannya suatu perkawinan di hadapan
Pegawai Pencatat Nikah memiliki beberapa tujuan
diantaranya :
Pertama : Pegawai Pencatat Nikah dapat mengawasi
langsung terjadinya perkawinan tersebut. Mengawasi
di sini dalam artian menjaga jangan sampai
perkawinan tersebut melanggar ketentuan hukum
Islam dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Misalnya, Jika diketahui ada pemalsuan
identitas, memakai wali yang tidak berhak, masih
terikat perkawinan dengan laki-laki/wanita lain, beda
agama atau adanya halangan perkawinan dan
sebagainya, maka Pegawai Pencatat Nikah harus
menolak menikahkan mereka.
6. Kedua : Dapat membatalkan perkawinan (melalui proses
pengadilan), apabila dikemudian hari diketahui setelah
berlangsungnya perkawinan bahwa perkawinan tersebut tidak
memenuhi syarat sahnya perkawinan. Misalnya, isteri masih terikat
perkawinan dengan suaminya yang pertama, atau masih dalam masa
iddah, dan sebagainya.
Ketiga : Dengan adanya pencatatan, maka pernikahan baik secara
hukum agama maupun hukum negara menjadi sah. Dan, ini
penting bagi pemenuhan hak-hak istri dan anak terutama soal
pembagian harta waris, pengakuan status anak dan jika ada
masalah, istri memiliki dasar hukum yang kuat untuk menggugat
suaminya /sebaliknya(fungsi perlindungan bagi istri/suami).
7. Pencatatan Pernikahan Menurut Hukum Islam
Dari sisi dalil naqli tidak ada nash yang secara eksplisit
menyatakan keharusan pencatatan pernikahan.
Namun dari sisi ijtihad dengan mempertimbangkan aspek
mashlahat dan madharat, pencatatan pernikahan menjadi
urgen dengan beberapa argumentasi sebagai berikut :
Kedua : Akan banyak sekali mudharat yang timbul jika tidak
dilakukan pencatatan, misalnya : akan banyak pasangan yang
belum menikah mengaku-ngaku sudah menikah , dengan
adanya buku nikah (pencatatan pernikahan) maka menjadi
alat bukti yang sangat penting.
Dalam ajaran Islam, kemudharatan itu sedapat mungkin
harus dihilangkan
Pertama : melihat tujuan-tujuan dari pencatatan pernikahan
diatas sangat jelas banyak sekali mashlahatnya.
8. Kaedah Fikih Menyatakan : يزال الضرر
اارار ِض اَل او ار اراض اَلDalam Hadits :
Sesuatu yang mendatangkan maudharat harus dihilangkan
Jangan memberi mudharat kepada orang lain dan jangan
menyengaja memudharatkan orang lain
Landasan Syar’i
9. Ketiga : Terdapat nash Al-quran yang memerintahkan
agar setiap transaksi dicatat dengan baik, dalam
firman Allah Ta’ala :
ْمُتْناياادات ااذِإ واُناماآ اينِذَّلا ااهُّياأ ااياف ىًّماسُم ٍلاجاأ ىالِإ ٍْنيادِبُهوُبُتْكا
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
10. Ayat di atas memang tidak berbicara tentang persoalan
pencatatan nikah. Akan tetapi maqasid al-syari’ah yang
dituju pada ayat ini adalah untuk menghindari agar salah
satu pihak di kemudian hari tidak memungkiri apa-apa
yang telah disepakatinya atau mengingkari perjanjian yang
telah dilakukannya dengan pihak lain. Paling tidak bisa
dipahami dari ayat ini bahwa Allah melalui firmannya
diatas berusaha menutup semua kemungkinan yang akan
membawa kemudharatan. Pencatatan perkawinan
merupakan perbuatan hukum yang penting karena akan
menjadi bukti bila terjadi pengingkaran tentang adanya
perkawinan tersebut. Bila transaksi jual beli saja harus
dicatat dalam hukum Islam, apalagi perkawinan yang akan
banyak menimbulkan hak dan kewajiban, tentu
memerlukan pencatatan pula.
11. Keempat : Dalam pandangan hukum Islam, Pemerintah
ataupun penguasa dibenarkan membuat segala jenis
peraturan terutama mengenai hal-hal yang tidak diatur
secara tegas dalam al-Quran dan Hadis Nabi sejauh tidak
bertentangan dengan keduanya. Ada sebuah kaidah yang
menyatakan Bahwa: تصرفاَلمامعلىالراعيةمنوطبالمصلحة
(Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus
berorientasi kepada kemaslahatannya).
12.
13. Pasal 35 UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan
1) Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama.
2) Harta bawaan dari masing-masing suami
dan isteri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah
atau warisan, adalah dibawah
penguasaan masing-masing sepanjang
para pihak tidak menentukan lain.
Menurut Hukum Positif
14. Harta Benda
Dimiliki Masing-
masing Sebelum
Pernikahan/Warisan
Harta Suami
Harta Istri
Diperoleh secara
bersama setelah
Pernikahan
Harta Bersama
(Almaal
Almusytarok)
15.
16.
17. Pasal 38 UU No.1 tahun 1974 tentang
Perkawinan
Perkawinan dapat putus dikarenakan:
a. Kematian,
b. Perceraian dan
c. Atas keputusan Pengadilan.
18. Pasal 39 UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan
1) Perceraian hanya dapat dilakukan didepan
Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup
alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan
dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
3) Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan
diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Perceraian
19. Pasal 19 Peraturan Pemerintah RI No.9 Tahun 1975
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturt-
turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemauannya,
3. Salah satu Pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
Alasan sebagai dasar perceraian
20. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan terhadap pihak lain,
5. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit
yang mengakhibatkan tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami/isteri,
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan
dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dalam rumah tangga.
Alasan sebagai dasar perceraian
21. Pasal 116 Inpres No.1 Tahun 1991
1. Suami melanggar taklik – talak
2. Peralihan agama atau murtad yang
menyebabkan terjadinya ketidakrukunan
dalam rumah tangga.
*Catatan: merupakan tambahan dari undang-undang
Alasan sebagai dasar perceraian
Menurut Kompilasi Hukum Islam*
22.
23. Hukum perceraian/Thalaq dalam Islam :
1. Hukum asalnya makruh kecuali jika diperlukan karena
kondisi tertentu dengan alasan syar’i.
2. Mubah dalam kondisi perilaku istri yang melampaui
batas syar’I dan sulit untuk diperbaiki, maka sebagai
pelajaran dengan cara cerai.
Hukum Perceraian Dalam Islam
24. 3. Mustahab, jika seorang istri mendapat perlakuan
kasar/terjadi kekerasan dari pihak suami dan
membahayakan pihak istri jika pernikahan dilanjutkan
4. Wajib, jika terjadi iilaa : yaitu seorang suami
bersumpah tidak akan pernah menggauli istrinya lagi,
maka ditunggu sampai 4 bulan, jika setelah 4 bulan
masih tidak digauli maka wajib bercerai.
Hukum Perceraian Dalam Islam
25. 5. Haram, jika perceraiannya termasuk perceraian yang
bid’ah (thalaq bid’i) diantaranya menceraikan istri
pada saat sedang haidh.
Hukum Perceraian Dalam Islam
26. Para fuqoha mengatakan bahwa syarat berlakunya
perceraian terbagi kepada tiga bagian, ada yang
berhubungan dengan pihak yang menceraikan (Al
muthalliq), ada yang berhubungan dengan pihak yang
diceraikan (Al muthallaqah) dan ada yang berhubungan
dengan ucapan tahalaq (shigat thalaq).
Syarat Perceraian Dalam Islam
27. Pertama : Syarat sahnya perceraian yang berhubungan
dengan pihak yang menceraikan (Suami) adalah :
1) Dia benar-benar suaminya yang sah melalui akad
nikah yang sah, atau sebagai wakil dari suami yang
sah yang diberi mandat untuk menceraikan.
2) Sudah baligh
3) Berakal/tidak gila
4) Dengan kesadaran penuh untuk menceraikan, bukan
dengan main-main (iseng), marah atau paksaan
orang lain.
28. Kedua : Syarat sahnya perceraian yang berhubungan
dengan pihak yang diceraikan (istri) adalah :
1) Benar-benar terdapat hubungan suami istri dengan pihak
yang menceraikan secara sah baik yang sebenarnya atau
secara hukum, atau dengan kata lain bahwa dia statusnya
sebagai istri dari pihak suami yang menceraikannya, atau
dalam keadaan thalaq raj’i yang memungkinkan kembali
lagi.
2) Penetapan perceraian kepada pihak yang diceraikan baik
berupa isyarat, menyebutkan sifat tertentu atau dengan
niat.
29. Ketiga : Syarat sah yang berhubungan dengan ungkapan
thalaqnya (shigat thalaq), yaitu :
1) Dipastikan atau diduga berat lafadznya ditujukan untuk
menceraikan atau dapat dipahami dari makna yang
terkandung dalam lafadz tersebut tujuannya benar-benar
untuk perceraian.
2) Adanya niat untuk menceraikan dengan lafadz yang
diucapkannya, syarat ini khususnya bagi yang
menceraikan dengan bahasa sindiran (kinayah), karena
bagi yang menceraikan dengan bahasa yang tegas dan
jelas tidak perlu lagi ditinjau kembali dari sisi niatnya.
30. Perceraian dapat terjadi karena diceraikan
oleh pihak suami (muthalliq), atau karena
gugatan istri melalui pengadilan dengan
sebab-sebab yang dibolehkan secara hukum
31. Proses perceraian dianggap terjadi/sah secara syar’I
jika sudah terpenuhi syarat-syarat sebagaimana telah
dijelaskan, tetapi tetap akan lebih mashlahat dilakukan
melalui proses Pengadilan dan dicatatkan sebagaimana
mestinya sesuai aturan Undang-undang, agar
statusnya jelas dan tidak terjadi tindakan yang
merugikan bagi salah satu pihak atau melanggar
secara syar’i
32.
33. Pasal 105 Inpres No.1 Tahun 1991/ KHI,
dibawah pemeliharaan ibunya
Pasal 23 UU No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan anak
bahwa orang tua mempunyai kewajiban
yang sama dalam perlindungan,
pemeliharaan dan kesejahteraan anak.
Menurut Hukum Positif
34. Hak Asuh Anak Dalam Pandangan Hukum Islam.
Syaikh Muhammad Al Munajjid salah seorang ulama
Saudi mengatakan : seorang istri yang diceraikan
suaminya lebih berhak mengasuh anaknya sampai usia 7
tahun selama ia belum menikah lagi, apabila sudah
menikah lagi atau setelah usia 7 tahun maka hak asuh
berpindah kepada pihak yang berikutnya, sebagaimana
dijelaskan dalam hadits nabi.
35. Hak Asuh Anak Dalam Pandangan Hukum Islam.
عنعبدهللابنعمروأنامرأةقالت:يارسولهللاإن
ابنيهذاكانبطنيلهوعاءوثدييلهسقاءوحجريله
حواءوإنأباهطلقنيوأرادأنينتزعهمنيفقاللهارسول
هللاصلىهللاعليهوسلم"أنتأحقبهمالمتنكحي"
والحديثحسنهاأللبانيفيصحيحأبيداود.
36. Hak Asuh Anak Dalam Pandangan Hukum Islam.
Dari Abdullah Bin ‘Amru Ra, bahwasannya ada
seorang wanita mengadu kepada Rasulullah, ia
berkata : wahai Rasulullah sesungguhnya
anakku ini dibesarkan dalam perutku, dan diberi
minum dari air susuku dan ada dalam buaianku,
sementara bapaknya telah menceraikanku dan
dia dia ingin memisahkan ia denganku, maka
Rasulullah menjawab : engkau lebih berhak
mengasuhnya selama belum menikah. (Hadits
dihasankan oleh Albani dalam shahih Abu
Dawud)
37. Hak Asuh Anak Dalam Pandangan Hukum Islam.
Apabila ibunya sudah menikah lagi kepada siapa
hak asuh berikutnya berpindah ?
Sebagian ulama mengatakan nenek dari ibunya
lebih berhak, tetapi Ibnu Taimiyah berpendapat
Bapaknya lebih berhak karena ia lebih dekat
dengan anaknya daripada neneknya.
38. Hak Asuh Anak Dalam Pandangan Hukum Islam.
Begitu juga apabila ibunya meninggal atau
kafir/murtad atau fasik, maka perpindahan hak
kepada Bapaknya.
39. Hak Asuh Anak Dalam Pandangan Hukum Islam.
Sekalipun ibunya lebih berhak mengasuh
anaknya sampai usia 7 tahun, tetapi kedua
orang tuanya tetap mempunyai tanggungjawab
yang sama untuk mendidik dan membesarkan
anaknya.
40.
41. Maha Suci Engkau Ya Alloh dan Dengan Memujimu “ Aku
Bersaksi Bahwa tiada Ilah selain Engkau, Aku memohon
ampunan-Mu dan Aku senantiasa bertaubat hanya Kepada-
Mu