1. FORMALISASI
HUKUM ISLAM
Salma Nibras Gitaratri 23010200061
Ika Destiana Nugrahaeni 23010200062
Novia Nurjannah 23010200063
Dina Ira Sulistyawati 23010200064
3. PERJUANGAN MEMASUKKAN SYARIAT
ISLAM KE DALAM KONSTITUSI DAN
UNDANGUNDANG DI INDONESIA
1. Perlunya Jaminan Konstitusi
Ada tiga alasan yang mendorong hampir sebagian besar umat Islam menilai penting untuk membicarakan posisi syari’at Islam
dalam konstitusi. Pertama, dalam konsep Negara modern hukum dasar yang akan dijadikan rujukan pembuatan undang-undang
adalah konstitusi. Konstitusi yang jelas dan tertulis akan dijadikan acuan bagi pembuatan undang-undang di bawahnya
mengingat konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam konteks kehidupan bernegara. Dengan adanya pengakuan dan jaminan
mengenai keberadaaan berlakunya hukum Islam dalam Konstitusi, secara konstitusional akan menjadikan sebagai landasan
hukum bagi berbagai peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia untuk menjabarkan lebih lanjut secara teknis
operasional. Kedua konsep Negara Islam dalam literatur klasik ada hubungannya dengan jaminan melaksanakan syari’at Islam
bagi umat Islam. Ketiga adanya anggapan bahwa hukum Islam paling tidak sebagian darinya tidak bisa dilaksanakan tanpa
adanya kekuasaan politik setingkat negara
4. 2. Upaya Memasukkan Syari’at Islam Dalam Konstitusi
Lintasan sejarah masa lalu menunjukkan bahwa upaya memasukkan syari’at Islam dalam konstitusi
sebenanrnya telah muncul sebelum Negara Republik Indonesia resmi dideklarasikan. Ketika masih
sedang dalam rongrongan penjajahan kolonial Belanda para tokoh pergerakan revolusi nusantara telah
berdebat tentang dasar Negara. Sebagian mereka menginginkan agar dasar Negara Indonesia adalah
Islam, sementara yang lain menghendaki agar dasar Negara Indonesia ini nasionalisme. Kompromi
pertama dicapai pada saat para pendiri Negara menyetujui agar Piagam Jakarta yang menggabungkan
unsur nasionalisme dan Islam akan dijadikan sebagai pembukaan konstitusi negara.
5. 3. Upaya Memasukkan Syari’at Islam Dalam
Di era demokrasi, reformasi dan otonomi daerah yang sekarang sedang digalakkan di Indonesia muncul beberapa peraturan daerah yang
dalam pembuatannya mendapat inspirasi dari syari’at Islam. Menurut catatan, sekarang ini lebih dari 20 kabupaten di Indonesia yang
mengeluarkan Peraturan Daerah yang mendapat inspirassi dari syari’at Islam atau yang lebih dikenal dengan sebutan Perda Syari’at. Akan
tetapi Perda-perda tersebut pada umumnya dikritik sebagai Perda yang bermasalah meskipun kalau dilihat dari prosedur penetapannya,
peraturan itu ditetapkan melalui mekanisme yang demokratis dan mendapat dukungan suara mayoritas di Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Hal ini karena bagi para pengritik perdaperda itu melanggar prinsip- prinsip demokrasi. Bahkan di Aceh saja sebagai daerah yang
telah resmi dinyatakan pemberlakuan syari’at Islam dengan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaran Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang salah satunya adalah menyangkut penyelenggaraan kehidupan
beragama sebagaimana yang diamanatkan dalam ketentuan Pasal 3 ayat (2) juga mendapat kritikan dengan alasan melanggar demokrasi
dan Hak asasi manusia.
6. TANTANGAN YANG DIHADAPI UMAT ISLAM
YANG AKAN MENETAPKAN SYARIAT
ISLAM MELALUI ISTITUSI NEGARA
Menetapkan norma-norma syari’at Islam melalui institusi Negara atau qanunisasi mengandung aspek positip dan aspek
negative. Aspek positifnya bisa memberikan standar hukum Islam yang relative seragam. Tapi aspek negatifnya bisa mengurangi
kebebasan hakim dalam memilih ketentuan hukum Islam yang paling cocok untuk kasus tertentu yang dia hadapi. Dalam konteks
Indonesia, hukum Islam yang cocok dengan daerah tertentu belum tentu cocok dengan daerah lain. Hukum Islam yang
dirumuskan dalam kitab-kitab fiqih klasik juga belum tentu cocok dengan kondisi masa kini. Oleh karena itu qonunisasi atau
orang menyebut formalisasi hukum Islam berpotensi mengekang perkembangan hukum Islam yang selalu berkembang akibat
dibukanya pintu ijtihad. Sebab hukum Islam yang ditetapkan oleh Negara dalam bentuk qanun akan cepat ketinggalan zaman.
Seperti Kompilasi Hukum Islam yang dilegalkan atau disahkan penggunaannya melalui instruksi presiden pada tahun 1991.
Kompilasi yang baru berumur satu setengah dasa warsa ini telah menuai banyak kritik dari banyak intelektual muda Islam di
Indonesia karena beberapa bagiannya sudah tidak
relevan dengan perkembangan zaman. Tantangan juga datang dari mereka yang
tidak setuju diformalkannya hukum Islam melaluiundang-undang Negara. Dengan
diundangkannya hukum Islam melalui undang-undang Negara menjadikan
pelaksanaan hukum Islam seoalah-olah tergantung pada Negara.
7. PELUANG SYARIAT ISLAM DALAM IKLIM
DEMOKRASI DI INDONESIA
Di era demokrasi, peluang untuk memasukkan norma-norma yang bersumber dari hukum Islam masih terbuka selama hukum
Islam dipahami sesuai dengan tujuannya atau sesuai dengan maqashid asysyariahnya. Di era demokrasi, hukum Islam juga
berpeluang besar untuk diikutsertakan dalam setiap pembuatan undang-undang asalkan ijtihad untuk mempelajari atau
menerapkan hukum Islam sesuai dengan perkembangan zaman tetap terbuka seluas-luasnya. Meski tujuannya tidak berubah,
sejarah membuktikan bahwa beberapa bagian syari'at atau hukum Islam mengalami evolusi. Di era demokrasi, pada dasarnya
setiap muslim memiliki kesempatan dan kesempatan yang sama untuk memahami dan menerjemahkan hukum-hukum Tuhan.
Jadi bukan hanya ahli hukum dan penguasa saja yang bisa mengaku sebagai khalifatullah seperti yang sering dipahami selama
ini. Oleh karena itu ijtihad harus dimaknai sebagai cerminan pemikiran manusia yang dinamis yang pada akhirnya bermuara
pada konsensus atau kesepakatan. Fazlur Rahman mengatakan: ijtihad harus berupa berbagai upaya pemikiran – ada yang
secaraalami lebih baik dari
yang lain, dan ada yang lebih baik dari yang lain dalam berbagai bidangyang
saling berhadapan dalam arena debat terbuka, yang pada akhirnya
menghasilkan konsensus secara keseluruhan.
9. KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan Negara hukum
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan
tata kehidupan bangsa, negara dan masyarakat yang tertib,
bersih, makmur, dan berkadilan. Pencapaian tujuan tersebut
maka dalam pembentukan hukum nasional nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat menjadi sumberhukum dan Islam
adalah salah satu sumber hukum di Indonesia, selain hukum
Barat dan hukum Adat. Potensi umat Islam menjadi dasar utama
menformalkan hukum Islam. Ada tiga hal yang menjadi alasan
untuk menformalkan hukum Islam. Pertama, hukum Islam yang
berkaitan dengan persoalan ibadah khusus menjadi kewajiban
mutlak setiap muslim dan ini dijamin oleh negara. Kedua, Dari
sudut kuantitatif penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam.
Ketiga, sebagian hukum Islam terutama sebagian rumpun
hukum keluarga sudah menjadi hukum Islam yang dipositifkan.
Dengan demikian formalisasi hukum Islam memiliki landasan
yuridis
.
10. FORMALISASI HUKUM ISLAM
.
Hukum merupakan produk politik atau menurut Daniel S. Lev bahwa yang paling menentukan dalam
proses hukum adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik, maka hukum Islam yang menjadi cita-
cita dan jiwa umat Islam dalam bernegara diperlukan campurtangan kekuasaan dengan melalui
legislasi. Perbedaan pandangan dalam menjadikan nilai-nilai hukum Islam menjadi hukum positif
sering terjadi. Tarik menarik antara kekuatan politk nasionalis dan Islam telah menjadi dua pilar
kekuatan raksasa yang menentukan stabilitas pengelolaan kakuasaan atau penyelenggara
pemerintahan. Tak ada kekuasaan yang benar-benar stabil, selama dua pilar kekuatan tersebut tidak
bersatu dan tanpa kesungguhan menyangga kekuasaan. Di balik itu, stabilitas kebersatuan dari kedua
kekuatan politik, yaitu nasionalis dan Islam, justru menjadi tunpuan bagi stabilitas nasional.Dapat juga
dikatakan bahwa keseimbangan kekuatan (balance of power) nasionalis dan Islam menjadi kestabilan
kekuatan kekuasaan dan percaturan politik. Kekuasaan tergoncang ketika terjadi kerena
ketidakseimbangan atau tergangung terhadap the balance of power. Umat Islam dengan prinsip
penerima otoritas hukum atau prinsip syahadat (terori kredo), tentunya menerima dan mentaati nilai-
nilai hukum yang bersumber dari wahyu itu adalah suatu kemutlkan tanpa membedakan mana nilai-
nilai hukum yang bersifat ibdah khusus dan nilai-nilai hukum ibadah umum (ibadah sosial atau
muamlah). Namun, dalam realitasnya belum sepenuhnya diterima dan berlaku secara efektif.
11. Faktor budaya adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaiamana
hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Komponen budaya terdiri atas nilai-nilai dan
sikap warga
masyarakat yang merupakan pengikat sistem hukum, serta menentukan sistem hukum itu di
tengah-tengah kultur bangsa sebagai keseluruhan.
Kesatuan umat (Ummatan Wahidah)
Tradisi sebagai salah satu tonggak kehidupan masyarakat tidak selalu selamanya
dihapus atau ditolak setelah masyarakat menerima Islam. Menurut Ahmad Azhar Basyir
melestarikan berlakunya adat kebiasaan yang tidak bertentangan dengan hukum Islam pada
hakikatnya merupakan tuntutan kebaikan atau kemasalahatan hidup masyarakat. Oleh karena itu,
hasil ijtihad yang didasarkan pada adat kebiasaan menjadi bagian dari hukum Islam.
Keseimbangan umat (Ummatan Washatha)
Setiap individu diikat oleh persaudaraan dan kasih sayang bagi satu keluarga, suatu
persaudaraan yang universal (ukhuwah) yang tidak terikat dengan batas geografis.Penempatan
umat Islam sebagai umat
yang memposisikan diri sebagai penengah yang dapat membuktikan dirinya menjadi umat yang
memberi rasa kemanan, ketenteraman, kesejukan dan kesejahteraan antra sesama umat
manusia.
Konsep Rahmatan lil Alamin
risalah Islam yang dibawanya bukan bersifat lokal yang terbatas atau tidak parsial,
tetapi memilik prinsip-prinsip universal. Kehidupan umat manusia baik di bidang politik, hukum,
ekonomi maupun sosial budaya nilai keuniversalan Islam selalu terjawantahkan pada setiap
perilaku invidu maupun kolelektifitas.