Modul 2 - Bagaimana membangun lingkungan belajar yang mendukung transisi PAUD...
Sustainability Ekologi
1. 1
STUDI HUBUNGAN POLA PENGEMBANGAN TANAMAN KOPI DENGAN
SUSTAINABILITY EKOLOGI ALAS GUMITIR
Studi Kasus : Alas Gumitir Desa Kalibaru Manis Kecamatan Kalibaru Kabupaten
Banyuwangi
Tri Cahyono, 2012
Pendahuluan
Hutan merupakan salah satu bentuk sumberdaya alam yang tak ternilai
harganya. Dari hutan, manusia mampu memperoleh keping-keping rupiah lantaran
produk utama hutan beraneka ragam. Mulai dari sumberdaya mineral hingga
sumberdaya hayati berupa pepohonan. Namun, pengelolaan hutan untuk tujuan
komersial haruslah diimbangi dengan ekplorasi yang bijak. Hal ini dimaksudkan untuk
menjaga kelangsungan kehidupan berbagai macam flora dan fauna yang ada di hutan itu
sendiri serta untuk menjaga keberlangsungan sumberdaya hutan yang notabene
bermanfaat terhadap kehidupan manusia dalam jangka panjang.
Untuk menjaga keberlangsungan ekosistem hutan, pemerintah menetapkan UU
No.5 tahun 1990 dan Kepres No. 32 tahun 1990 tentang kawasan lindung. Namun,
penetapan undang-undang dan keputusan dari pemerintah tersebut hanya nampak
sebagai lembaran-lembaran tumpul. Hal ini dapat diidentifikasi dari tingginya angka
pengerusakan di Indonesia. Hingga tahun 2012, total luasan hutan Indonesia tinggal 45
juta Ha dimana tahun sebelumnya mencapai 136 juta Ha (Kementerian Kehutanan,
2012). Pembalakan liar ini salah satunya dilatarbelakangi oleh adanya pengambilan
kepemilikan hutan (pihak HPH).
Memang, pemangkasan hutan secara besar-besaran memberikan dampak yang
cukup signifikan terhadap peningkatan devisa negara. Namun jika dicermati lebih jauh,
pengerusakan ini berimplikasi pada pengurangan aset dalam jangka panjang. Dan tentu
saja, berkurangnya aset memberikan dampak kelangkaan terhadap sumberdaya yang
ada. Sebagai contoh, dengan adanya pengerusakan hutan maka sumber-sumber mata
air bersih menjadi langka. Kelangkaan inilah yang berakibat pada peningkatan biaya-
biaya harian masyarakat disekitar hutan.
Kondisi kelangkaan akibat pengerusakan hutan semakin diperparah oleh adanya
krisis ekonomi tahun 1997/1998. Krisis multidimensi yang menghantam Indonesia pada
tahun 1990-an menyebabkan masyarakat melirik hutan sebagai tempat strategis
meraup rupiah. Hamparan bumi indonesia yang dulunya tampak hijau menjadi pucat
2. 2
lantaran tanaman-tanamannya dijarah dan dibakar secara masal. Penjarahan dan
pembakaran hutan tersebut awalnya untuk konversi sebagai lahan pertanian. Namun,
kenyataanya degradasi kualitas lahan semakin meningkat. Dan akibatnya masyarakat
semakin memperluas daerah jarahannya untuk mencari tanah-tanah ideal sebagai lahan
pertanian.
Kondisi pengerusakan hutan secara sistemik seperti ini bukan hanya terjadi
dalam lingkup kabupaten maupun provinsi. Tetapi, pengerusakan telah menjamah
daerah-daerah terpencil di pelosok Indonesia. Sebagai contoh di Desa Kalibaru Manis
Kecamatan Kalibaru Kabupaten Banyuwangi. Pengerusakan hutan bermula ketika
adanya pemanenan pohon pinus pada tahun 2000. Pinus-pinus yang usianya sudah
sangat tua, oleh pihak perhutani sengaja di tebang lantaran getah yang dihasilkan mulai
menurun. Setelah penebangan, lahan-lahan pinus dibiarkan sementara waktu untuk
mengistirahatkan tanah sebelum dilakukan penanaman kembali (reboisasi). Yang
menjadi permasalahan, tanah-tanah yang dibiarkan tersebut oleh sebagian besar
masyarakat dimanfaatkan untuk lahan pertanian (jagung, ketela pohon, ketela rambat
dan kacang tanah).
Beberapa tahun berlalu, tahan-tahan yang awalnya hanya sebatas dimanfaatkan
sebagai lahan pertanian biasa, akhirnya dimanfaatkan sebagai lahan tanaman kopi.
Memang, kopi yang dihasilkan kualitasnya lumayan bagus lantaran berada pada daerah
pegunungan. Yang menjadi perso’alan, pihak perhutani mengalami kesulitan mengambil
hak miliknya kembali yangmana akan dimanfaatkan sebagai lahan hutan pinus.
Akhirnya, ada sebuah gagasan menarik dimana pihak perhutani membuat kesepakatan
dengan masyarakat yaitu berupa kontrak informal yang mewajibkan masyarakat
menanam pinus di sela-sela tanaman kopi. Nantinya, ketika pinus tersebut sudah besar
dan siap panen, masyarakat akan mendapatkan imbalan Rp 2.000 – Rp 3.000 untuk tiap-
tiap pohon pinus yang di panen.
Setelah pohon pinus berusia satu tahun, gejolak ekonomi terjadi kembali di
Indonesia. Kenaikan harga minyak bumi mengakibatkan masyarakat menebangi pinus
secara bertahap untuk dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Dan akhirnya hutan-hutan
yang dulunya tidak pernah dijamahpun menjadi korban penebangan liar. Hutan
heterogen yang dulunya berdampingan dengan hutan pinus (homogen) secara berkala
mulai ditebangi dan mulai dimanfaatkan sebagai lahan-lahan tanaman kopi.
Penebangannya pun dilakukan secara terkoordinir dengan sebuah sistem unik yang
3. 3
dikenal dengan istilah “girikan” (gotong-royong membersihkan hutan untuk dijadikan
lahan perkebunan kopi).
Sistem penebangan hutan secara terkoordinir tersebut memang memberikan
dampak ambiguitas. Dimana selain meningkatkan kerjasama dan menumbuhkan rasa
kekeluargaan yang semakin erat dikalangan warga, namun disisi lain dalam jangka
panjang hal tersebut cenderung mengganggu kelangsungan ekologi hutan.
Melihat fenomena tersebut, maka tujuan utama dari tulisan ini adalah untuk
mempelajari mengenai hubungan pola pengembangan tanaman kopi dengan
keberlangsungan ekologi di Alas Gumitir Desa Kalibaru Manis Kecamatan Kalibaru
Kabupaten Banyuwangi. Adapaun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah kualitatif fenomenologi. Mudjiyanto dan Kenda (2010) mengungkapkan,
metode fenomenologi mendeskripsikan pengalaman, bukan menjelaskan atau
menganalisisnya. Sehingga, dalam penelitian fenomenologi, teori akan lahir dengan
sendirinya atau dilahirkan dari apa yang diperoleh setelah penelitian berlangsung.
Gambaran Umum Pemanfaatan Alas Gumitir oleh Masyarakat Sebelum Dijadikan
Areal perkebunan Kopi
Alas Gumitir merupakan salah satu daerah pegunungan yang berlokasi di Desa
Kalibaru Manis Kecamatan Kalibaru Kabupaten Banyuwangi. Secara administratif, Alas
Gumitir berada di dua kabupaten yaitu Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jember.
Namun, sebagian besar pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat Banyuwangi
utamanya yang tinggal di Desa Kalibaru Manis. Sebelum dijadikan area perkebunan kopi,
Alas Gumitir merupakan hutan belantara yang menyimpan berbagai macam
keanekaragaman flora dan fauna. Dulu masyarakat setempat memanfaatkan Alas
Gumitir sebagai kawasan untuk mencari rotan, memasang tandon-tandon air yang
disalurkan ke perkampungan-perkampungan yang ada di sekitar, mencari buah aren
(kolang-kaling), mencari buah kemiri, mencari tunas-tunas bambu (rebung) dan lain
sebagainya.
Pemanfaatan hutan secara tradisional tersebut dilatarbelakangi oleh aktivitas
harian masyarakat yang bekerja sebagai petani dan sebagai pedagang di pasar
tradisional dengan memanfaatkan hasil hutan sebagai barang dagangannya. Barang-
barang yang dibawa ke pasar sebagian besar berupa produk primer seperti labu siam,
tanaman pakis, kemiri, rebung dan olahan buah aren (kolang-kaling). Semenjak
4. 4
terjadinya penebangan hutan pinus yang berada di kawasan satelit Alas Gumitir,
pemanfaatan hutan mulai bertransformasi menjadi kawasan perkebunan kopi. Hal ini
dimulai dari adanya penanaman kopi di area bekas hutan pinus oleh masyarakat yang
akhirnya merambah Alas Gumitir. Pembabatan hutan yang dilakukan oleh masyarakat
bersifat terkoordinir. Koordinasi tersebut tidak sebatas pada pembabatan hutan semata
tetapi sudah mengarah pada pembagian lokasi yang menjadi hak milik masing-masing
individu.
Pembagian tersebut ditentukan melalui sistem “girikan” yang diprogram seperti
arisan. Sistem “girikan” merupakan inovasi gotong-royong yangmana pesertanya sama-
sama membantu membabat hutan tanpa ada imbalan. Bagi pihak yang mendapat
giliran, umumnya hanya menyediakan konsumsi bagi para anggota yang sama-sama
bekerja membabat hutan. Adanya program tersebut, hingga saat ini telah memperluas
wilayah babatan hutan yang dimanfaatkan sebagai perkebunan kopi.
Terganggunya Sustainability Ekologi Alas Gumitir
Sebelum terjadinya pembabatan hutan, berbagai macam flora dan fauna yang
ada di Alas Gumitir sangatlah banyak. Tanaman hutan seperti gaharu, pohon paku-
pakuan, anggrek macan, kedondong hutan dan lain sebagainya dulu masih sangat
mudah di jumpai. Bahkan hewan-hewan liar seperti merak, burung enggang, harimau
(macan tutul, macan kumbang, dan bahkan harimau jawa pernah di jumpai). Namun
dengan adanya pembabatan hutan tersebut, flora dan fauna unik tersebut mulai jarang
di temukan.
Awal pembabatan hutan, masyarakat sering menjumpai merak dan bangkai-
bangkai hewan liar bekas santapan binatang buas. Bahkan tidak jarang masyarakat
pembabat hutan yang membawa pulang anak merak dan kijang liar sehabis pulang dari
kegiatan girikan. Dari sana nampak jelas bahwasannya pembabatan hutan bukannya
semakin menjaga keberlangsungan ekosistem tetapi malah mengganggu
keberlangsungan ekosistem hutan. Sumber-sumber mata air yang dulunya sangat
banyak, namun saat ini mulai mengalami kekeringan. Alam dkk (2010) menungkapkan,
adanya pengerusakan hutan yang digunakan sebagai lahan-lahan komersial (tanaman
komoditas ekonomi) oleh masyarakat memang menguntungkan secara temporary,
namun dalam jangka panjang cenderung merugikan karena terjadi kelangkaan
sumberdaya alam.
5. 5
Pendapat Alam dkk memang sangat realistis, hal ini nampak pada
terdegradasinya kualitas tanah dan berkurangnya sumber-sumber mata air bersih yang
notabene sangat dibutuhkan oleh masyarakat guna mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Selain itu, kerusakan hutan yang dijadikan sebagai lahan perkebunan kopi menjadikan
tanah-tanah sekitar tidak stabil. Hal ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan
terjadinya berbagai macam bencana. Beberapa bencana yang sering terjadi yaitu tanah
longsor dan banjir ketika musim penghujan tiba.
Tidak berhenti pada kelangkaan sumberdaya alam komersial, tetapi flora dan
fauna yang beragam juga mengalami degradasi. Tak jarang kera-kera liar dan beberapa
hewan liar lainnya semakin meraja lela mengerusak tanaman kopi lantaran makanan
alamiahnya mulai sulit dijumpai. Tentunya, pengelolaan hutan yang dilakukan secara arif
dan bijak harus sering di promosikan secara menarik agar sustainability ekologi hutan
semakin terjaga dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam jangka
panjang.
Daftar Pustaka
Alam dkk. 2010. Ekonomi Sumberdaya Hutan. Laboratorium Kebijakan dan
Kewirausahaan Hutan Universitas Hasanuddin. Makasar.
Kementerian Kehutanan. 2012. Sisa Hutan Indonesia Hanya 45 Juta Hektare. Republika
Online.
Mudjiyanto, Bambang dan Kenda. 2010. Metode Fenomenologi Sebagai Salah Satu
Metodologi Penelitian Kualitatif dalam Komunikologi. Jurnal Penelitian Komunikasi
dan Opini Publik. Jakarta.
UU No.5 tahun 1990 dan Kepres No. 32 tahun 1990 Tentang Kawasan Lindung.
6. 6
LAMPIRAN
Gambar Lokasi Perkebunan Kopi Alas Gumitir
Sumber : Data Lapang, 2012
Gambar Lokasi Perkebunan Kopi yang sebagian adalah Jalan Raya
Sumber : Data Lapang, 2012