Stunting merupakan masalah gizi kronis pada balita yang ditandai dengan tinggi badan lebih pendek dari anak seusianya. Faktor yang mempengaruhinya antara lain status gizi ibu hamil dan ASI, status sosial ekonomi, serta jumlah anggota keluarga. Prevalensi stunting di Indonesia cenderung statis dan meningkat. Upaya pencegahan perlu dilakukan pemerintah dan masyarakat.
Asuhan Keperawatan Jiwa Perkembangan Psikososial Remaja
Kejadian stunting (1)
1. MAKALAH KEJADIAN STUNTING PADA ANAK USIA
BALITA 0-5 TAHUN
Dibuat untuk memenuhi salah satu mata kuliah SIK
Di susun Oleh :
Agung Sofyan
Faizurrahman Abdi Syukur
Julian Ammar Zaidan
Trie Bintang Pamungkas
Ujang Isa Ansori
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUKABUMI
2019
2. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Stunting adalah masalah gizi kronis pada balita yang ditandai dengan
tinggi badan yang lebih pendek dibandingkan dengan anak seusianya. Anak
yang menderita stunting akan lebih rentan terhadap penyakit dan ketika
dewasa berisiko untuk mengidap penyakit degeneratif. Dampak stunting tidak
hanya pada segi kesehatan tetapi juga mempengaruhi tingkat kecerdasan anak.
Anak merupakan aset bangsa di masa depan. Bisa dibayangkan,
bagaimana kondisi sumber daya manusia Indonesia di masa yang akan datang
jika saat ini banyak anak Indonesia yang menderita stunting. Dapat dipastikan
bangsa ini tidak akan mampu bersaing dengan bangsa lain dalam menghadapi
tantangan global.
Untuk mencegah hal tersebut, pemerintah mencanangkan program
intervensi pencegahan stunting terintegrasi yang melibatkan lintas
kementerian dan lembaga. Pada tahun 2018, ditetapkan 100 kabupaten di 34
provinsi sebagai lokasi prioritas penurunan stunting. Jumlah ini akan
bertambah sebanyak 60 kabupaten pada tahun berikutnya. Dengan adanya
kerjasama lintas sektor ini diharapkan dapat menekan angka stunting di
Indonesia sehingga dapat tercapai target Sustainable Development Goals
(SDGs) pada tahun 2025 yaitu penurunan angka stunting hingga 40%.
3. Stunting menggambarkan status gizi kurang yang bersifat kronik pada
masa pertumbuhan dan perkembangan sejak awal kehidupan. Keadaan ini
dipresentasikan dengan nilai z-score tinggi badan menurut umur (TB/U)
kurang dari -2 standar deviasi (SD) berdasarkan standar pertumbuhan
menurut WHO (WHO, 2010). Secara global, sekitar 1 dari 4 balita mengalami
stunting (UNICEF, 2013). Di Indonesia, berdasarkan hasil riset kesehatan
dasar (Riskesdas) tahun 2013, terdapat 37,2% balita yang mengalami stunting.
Diketahui dari jumlah presentase tersebut, 19,2% anak pendek dan 18,0%
sangat pendek. Prevalensi stunting ini mengalami peningkatan dibandingkan
hasil Riskesdas tahun 2010 yaitu sebesar 35,6%.
Masa balita merupakan periode yang sangat peka terhadap lingkungan
sehingga diperlukan perhatian lebih terutama kecukupan gizinya (Kurniasih,
2010). Masalah gizi terutama stunting pada balita dapat menghambat
perkembangan anak, dengan dampak negatif yang akan berlangsung dalam
kehidupan selanjutnya seperti penurunan intelektual, rentan terhadap penyakit
tidak menular, penurunan produktivitas hingga menyebabkan kemiskinan dan
risiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (UNICEF, 2012; dan WHO,
2010).
.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan Umum
1. Agar mahasiswa lebih memahami tentang Kejadian Stunting pada anak
usia balita 0-5 tahun
4. Tujuan Khusus
1. Agar mahasiswa dapat menambah wawasannya terhadap Kejadian
Stunting pada anak usia balita 0-5 tahun
2. Agar mahasiswa dapat menambah pengetahuan tentang Kejadian Stunting
pada anak usia balita 0-5 tahun
C. Rumusan Masalah
1. Untuk mengetahui definisi Kejadian Stunting pada anak usia balita 0-5
tahun
2. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi Kejadian Stunting pada
anak usia balita 0-5 tahun
5. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau
tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur
dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi
median standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting termasuk
masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial
ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi
pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan mengalami
kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal.
Kejadian balita stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama yang
dihadapi Indonesia. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama
tiga tahun terakhir, pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan
dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi
balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi
29,6% pada tahun 2017.
B. Faktor yang mempengaruhi Kejadian Stunting pada anak usia balita 0-5
tahun
1. Status gizi ibu hamil
Status gizi ibu hamil sangat memengaruhi keadaan kesehatan dan
perkembangan janin. Gangguan pertumbuhan dalam kandungan dapat
6. menyebabkan berat lahir rendah (WHO, 2014). Penelitian di Nepal
menunjukkan bahwa bayi dengan berat lahir rendah mempunyai risiko
yang lebih tinggi untuk menjadi stunting (Paudel, et al., 2012). Panjang
lahir bayi juga berhubungan dengan kejadian stunting. Penelitian di
Kendal menunjukkan bahwa bayi dengan panjang lahir yang pendek
berisiko tinggi terhadap kejadian stunting pada balita (Meilyasari dan
Isnawati, 2014).
Faktor lain yang berhubungan dengan stunting adalah asupan ASI
Eksklusif pada balita. Penelitian di Ethiopia Selatan membuktikan bahwa
balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan berisiko
tinggi mengalami stunting (Fikadu, et al., 2014).
2. Status sosial ekonomi
Status sosial ekonomi keluarga seperti pendapatan keluarga,
pendidikan orang tua, pengetahuan ibu tentang gizi, dan jumlah anggota
keluarga secara tidak langsung dapat berhubungan dengan kejadian
stunting. Hasil Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa kejadian stunting
balita banyak dipengaruhi oleh pendapatan dan pendidikan orang tua yang
rendah.
Keluarga dengan pendapatan yang tinggi akan lebih mudah
memperoleh akses pendidikan dan kesehatan sehingga status gizi anak
dapat lebih baik (Bishwakarma, 2011). Penelitian di Semarang
menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga merupakan faktor risiko
9. BAB IV
ANALISIS DARI DATA
Prevalensi balita pendek di Indonesia merupakan masalah gizi utama dan
cenderung statis yang dihadapi Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan prevalensi balita pendek di Indonesia
sebesar 36,8%. Pada tahun 2010, terjadi sedikit penurunan menjadi 35,6%.
Namun prevalensi balita pendek kembali meningkat pada tahun 2013 yaitu
menjadi 37,2%.
Prevalensi balita pendek selanjutnya akan diperoleh dari hasil Riskesdas
tahun 2018 yang juga menjadi ukuran keberhasilan program yang sudah
diupayakan oleh pemerintah (Kemenkes RI, 2018).
10. BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Indonesia memiliki berbagai macam masalah dalam perkembanagan gisi
seperti kekerdilan atau balita pendek, pemberian ASI, dan berbagai negosiasu
lainynya yang menunda keselamatan dan kesehatan anak bayi dan balita.
Untuk mengatasi hal tersebut perlu keberadaan upaya pencegahana dari
pemerintah juga masyarakat seperti memberikan penyuluhan pentingnuya gizi
dan sosialisasi tentang dampak negatif kurangnya gizi masyarakat.
B. Saran
Dari makalah ini kami harap pembaca dapat memahami tentang kejadian
stunting pada anak balita 0-5 tahun di indonesia, sehingga para pembaca
dapat mengambil manfaatnya. Semoga bisa menjadi acuan pemerintah dalam
upaya menangani kejadian stunting di indonesia.