2. OVERVIEW
Desentralisasi dengan Dekonsentrasi?
Daerah Otonom dengan Wilayah Administratif?
Otonomi Daerah dengan Daerah Otonom?
Pemerintah Daerah dengan Pemerintahan Daerah?
Pemerintahan Daerah dengan Pemerintahan di
Daerah?
Apa Bedanya:
3. Desentralisasi vs Dekonsentrasi
Desentralisasi: penyerahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem NKRI.
Dekonsentrasi: pelimpahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur
sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi
vertikal di wilayah tertentu.
4. Otonomi Daerah vs Daerah Otonom
Otonomi Daerah: hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Daerah Otonom: kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam
sistem NKRI.
5. Daerah Otonom vs Wil. Administratif
Daerah Otonom: implikasi asas Desentralisasi
hak / wewenang mengatur dan mengurus
sendiri urusan RT-nya.
Wilayah Administratif: implikasi asas
Dekonsentrasi hak / wewenang mengatur dan
mengurus urusan Pemerintah Pusat di daerah;
oleh aparat Pusat di daerah; dengan sumber
daya Pusat di daerah.
6. Pemerintah Daerah vs
Pemerintahan Daerah
Pemerintah Daerah: unsur penyelenggara
pemerintahan daerah yang terdiri dari Gubernur,
Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah.
Pemerintahan Daerah: penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip NKRI.
7. Pemerintahan Daerah vs
Pemerintahan di Daerah
Pemerintahan Daerah: UU No. 22 / 1999 dan UU
No. 32 / 2004
Propinsi Daerah Otonom dan “Wakil Pemerintah”
Kab/Kota Daerah Otonom saja.
Kecamatan & Kelurahan adalah perangkat Daerah.
Pemerintahan di Daerah: UU No. 5 / 1974
Propinsi dan Kab/Kodya memiliki 2 (dua) kedudukan
sebagai Daerah Otonom sekaligus Wilayah Administratif.
Kecamatan & Kelurahan adalah instansi vertikal /
perangkat Pusat di daerah.
8. Isu-isu Aktual Desentralisasi dan Otonomi Daerah
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
1
Jumlah
Pilkada
Pemekaran Wilayah
Pendidikan
Kesehatan
Pelayanan Publik
Terorisme
Good Governance
Kerjasama Antar Daerah
Sumber: Data diolah dari berbagai media massa (2005 – 2007)
9. MASALAH2 OTDA
Pemekaran Wilayah
Kelembagaan Perangkat Daerah
SDM (pegawai)
Keuangan (kapasitas fiskal)
Akselerasi Pembangunan Daerah
(pendidikan, kesehatan, pengentasan
kemiskinan, pelayanan publik, dll)
(Sumber : Karhi Nisjar, Orasi Ilmiah pada Dies Natalis XIX
Universitas Dr. Soetomo, Surabaya)
10. UNDP … (2000: 60-61)
Decentralized governance, when carefully planned, effectively
implemented, and appropriately managed, can lead to significant
improvement in the welfare of people at the local level, the
cumulative effect of which can lead to enhanced human
development. In addition, if decentralization involves real
devolution of power to local levels, the enabling environment for
poverty reduction is likely to be stronger. On the contrary,
badly planned decentralization can worsen regional
inequalities. Left to their own devices, richer regions are likely
to develop faster than poor ones. And a system of matching
grants, intended by central government to motivate local
government to raise funds, typically exacerbates regional
disparities.
11. Postulat:
Otonomi Daerah memiliki korelasi POSITIF terhadap
peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan
masyarakat.
Jika pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat
tidak semakin baik, berarti ada kesalahan dalam
menafsirkan dan menjalankan Otonomi Daerah.
Otonomi Daerah perlu dikawal oleh seluruh pihak untuk
menjamin tercapainya pelayanan publik dan
kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.
12. 1. Decentralization can be a means of overcoming the severe limitations of
centrally controlled national planning.
2. Decentralization can cut through the enormous amounts of red tape and the
highly structured procedures.
3. Officials’ knowledge of and sensitivity to local problems and needs can be
increased.
4. Decentralization can allow better political and administrative “penetration” of
national government policies into areas remote from the national capital.
5. Decentralization might allow greater representation for various political,
religious, ethnic, and tribal groups in development decision making that lead
to greater equity in the allocation of resources.
6. Decentralization could expand local governments’ and private institutions’
capacity to take over functions that are not usually performed well by central
ministries.
7. The efficiency of the central government could be increased.
Manfaat Desentralisasi (1)
13. Manfaat Desentralisasi (2)
8. Decentralization can provide a structure through which activities of various
central government ministries and agencies could be coordinated more
effectively.
9. Decentralization is needed to institutionalize participation of citizens in
development planning and management.
10. Decentralization might offset the influence or control over development
activities by entrenched local elites.
11. Decentralization can lead to more flexible, innovative, and creative
administration.
12. Decentralization allows local leaders to locate services and facilities more
effectively within communities.
13. Decentralization can increase political stability and national unity by giving
groups the ability to participate more directly in development decision-
making.
14. Decentralization can increase the number of public goods and services and
the efficiency with which they are delivered at lower cost.
14. Manfaat Desentralisasi (3)
Desentralisasi meningkatkan level transparansi dan
akuntabilitas serta berkembangnya praktek good
governance.
Kebutuhan daerah akan terpenuhi secara lebih baik
sebagai akibat diberikannya otonomi.
Para penguasa akan dapat diawasi secara langsung oleh
masyarakat setempat.
Inisiatif penduduk lokal dan kreativitas publik akan
berkembang bebas karena mengendornya pengawasan
Pusat yang terlalu kuat pada berbagai aspek kehidupan
masyarakat
Hadiz (2003: 16)
15. 1. Makin tingginya disparitas antar daerah
Bahaya Desentralisasi
(Prud’Homme, 1985)
Potensi dan kemampuan setiap daerah berbeda-beda, terutama
dalam pemilikan sumber daya, sementara desentralisasi berarti
memberikan kewenangan yang luas kepada daerah dalam
mengurusi aktivitasnya termasuk aktivitas ekonomi. Daerah bebas
dalam mengolah sumber daya, menerapkan kebijakan fiskal.
Karena potensi dan kemampuan daerah berbeda-beda, maka
disparitas antar daerah akan semakin tinggi. Daerah yang kaya dan
memiliki struktur ekonomi yang lebih seimbang akan melaju cepat,
sementara itu Daerah yang miskin akan ketinggalan.
16. 2. Inefisiensi produksi dan alokasi.
Bahaya Desentralisasi .. cont.
Daerah akan memaksakan diri dalam melakukan produksi
suatu komoditas tertentu meskipun secara ekonomis tidak
terlalu menguntungkan, sehingga secara nasional dapat
dinilai sebagai inefisiensi dalam alokasi sumber daya.
Sumber daya yang seharusnya dialokasikan untuk
komoditas lain, karena motivasi kemandirian, akhirnya
dialokasikan kepada komoditas tertentu yang kurang
efisien.
17. 3. Instabilitas yg berpangkal dari luasnya
kewenangan daerah dalam kebijakan fiskal.
Bahaya Desentralisasi .. cont.
“Meskipun desentralisasi fiskal memberikan manfaat di
beberapa negara seperti China, India, negara-negara
Amerika Latin, serta negara-negara lain di belahan di dunia
ini, namun di sisi lain memunculkan 3 masalah utama, yaitu:
meningkatnya ketidakadilan (kesenjangan), instabilitas
makroekonomi, dan adanya resiko kewenangan lokal yang
dapat menyebabkan kesalahan dalam alokasi sumber daya”
(World Development Report: The State in a Changing World, 1997).
18. Cross-country experiences
El Salvador: meningkatnya kemandirian masyarakat /
aktor sekolah dan kualitas pembelajaran. Dengan
meningkatnya partisipasi orang tua, setiap sekolah yang
dikelola masyarakat (community-managed school)
menunjukkan tingkat absensi (meninggalkan kewajiban)
yang semakin rendah.
Nikaragua: dengan melakukan pengawasan terhadap
latar belakang keluarga, murid-murid sekolah diberi hak
membuat sendiri keputusan yang berhubungan dengan
sekolah mereka. Hal ini ternyata berdampak pada raihan
nilai yang lebih baik dalam setiap tes atau ujian.
McLean dan King (1999: 55)
19. Cross-country experiences
Manfaat di bidang kesehatan:
More rational and unified health service that caters to local preferences.
Improvement of health programs implementation.
Lessened duplication of services as the target of populations is defined
more specifically.
Reduction of inequalities between rural and urban areas.
Cost containment from moving to streamlined, targeted programs.
Greater community financing and involvement of local communities.
Greater integration of activities of different public and private agencies.
Improvement of inter-sectoral coordination, particularly in local
government and rural development activities.
Dampak negatif terjadi di Pilipina, Zambia, dan Papua Nugini.
Anne Mills (dalam Kolehmainen-Aitken, 1999: 57)
20. Cross-country experiences
Peningkatan layanan kesehatan di Belo Horizonte, Brazil;
Peningkatan layanan perkotaan di Sinuapa, Honduras;
Keberhasilan pelaksanaan berbagai proyek di Jamunia Tank
Gram Panchayat, India;
Peningkatan layanan pendidikan di Ma’n dan Irbid, Jordan;
Perbaikan kualitas pemukiman di Pakistan;
Peningkatan layanan kesehatan dii 3 kota di Philipina;
Menggerakkan pembangunan ekonomi lokal di 3 kota Polish;
Peningkatan pendapatan rumah tangga di Ivory Park, South
Africa;
Peningkatan jasa-jasa pasar melalui kemitraan dengan sektor
swasta di Jinja, Uganda.
Work (2002)
21. Cross-country experiences
Meningkatnya kepedulian dan penghargaan terhadap
partisipasi masyarakat dalam proses politik di tingkat
lokal.
Perangkat Pemda memiliki komitmen yang makin kuat
dalam pemberian layanan serta merasakan adanya
tekanan yang berat dari masyarakat agar mereka
meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Pemerintah Kab/Kota dan antara Kab/Kota dengan
Propinsi saling bekerjasama dan berbagi informasi
untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi.
Indonesia (IRDA, 2002: 10)
22. Cross-country experiences
Korupsi yang terdesentralisasi dan tersebar,
Aturan yang dijalankan oleh pejabat yang berjiwa
“maling” (predatory local officials),
Merebaknya money politics dan konsolidasi politik
gangster.
Indonesia (Hadiz, 2003: 16)
Uni Soviet
Philipina
Para predator itu …
Thailand
Indonesia
23. Indikator Keberhasilan OTDA
EKONOMI
pendapatan nasional perkapita.
pengurangan jumlah penduduk miskin.
tingkat pengangguran.
gini ratio, luas daerah di bawah kurva lorenz, dll.
SOSIAL
rasio guru terhadap murid.
rasio tenaga kesehatan terhadap penduduk, dll.
PRASARANA DASAR
prasarana perhubungan.
prasarana penerangan, dll.
25. ISSU KRUSIAL PEMEKARAN
ISSU KRUSIAL PEMEKARAN
Alasan pemekaran: meningkatkan pelayanan
publik dan mendekatkan Pemda.
Implikasi Pemekaran:
Sumber daya keuangan makin terbatas.
Meningkatkan overhead-cost.
Memperbanyak aktor (institusi) Pemda.
Mendorong pembentukan lembaga vertikal:
polisi, militer, kejaksaan, PN, dll.
26. APA YANG TERJADI ???
APA YANG TERJADI ???
Pemekaran tanpa analisis komprehensif terhadap
kelayakan teknis, administratif, politik dan potensi
daerah.
Fakta kesenjangan pembangunan dijawab dengan
pemekaran tanpa menyelesaikan masalah
pokoknya.
Pemekaran justru melemahkan kemampuan fiskal
daerah karena adanya pembagian sumber daya.
Ilustrasi pemekaran: sakit kepala diobati dengan
obat sakit perut.
27. Siapa KALAH Siapa MENANG ?
Siapa KALAH Siapa MENANG ?
Penduduk setempat, karena pembangunan di
sekelilingnya: jalan, gedung-gedung baru, dll.
Daerah yg sepi menjadi lebih ramai.
PNS, karena mendapat promosi di daerah yang
baru.
Parpol, karena kadernya memiliki peluang untuk
menjadi anggota DPRD atau Kepala Daerah.
Yang Menang & Senang :
28. Siapa KALAH Siapa MENANG ?
Siapa KALAH Siapa MENANG ?
Sumber penerimaan tergantung pada Pusat (94%), dan harus dibagi
menjadi dua. Akibatnya, kapasitas fiskal semakin melemah.
Menurunnya kapasitas fiskal akan berdampak menurunnya
kemampuan pembiayaan pelayanan publik secara keseluruhan
(secara parsial mungkin menguntungkan daerah baru).
Daerah yg lemah secara ekonomi akan sulit membangun daerahnya
pada jangka panjang.
Menciptakan kendala baru berupa kebutuhan pembiayaan birokrasi
(overhead-cost).
Masyarakat secara umum yg mendapat dampaknya. Kasus: Kaltim
sbg Provinsi terbesar APBD-nya, namun jumlah penduduk miskinnya
terbanyak se Kalimantan (2007).
Yang Kalah :
29. Jumlah Daerah Otonom
Jumlah Daerah Otonom
Sebelum 1999 27 Prov; 292 Kab/Kota
1999 – 2007 7 Prov; 173 Kab/Kota
TOTAL 33 Prov; 465 Kab/Kota
Sumber : Mendagri (Suara Pembaruan, 23 Okt 2007)
31. PEMEKARAN SETELAH
MENCAPAI BATAS MINIMAL
USIA PENYELENGGARAAN
PEMERINTAHAN {Psl 4 (4)}
SUBSTANSI UNDANG-
UNDANG DIMAKSUD
MENCAKUP Psl {4 (2)} :
NAMA
CAKUPAN WILAYAH
BATAS
IBUKOTA
KEWENANGAN
PENJABAT KEPALA DAERAH
PENGISIAN DPRD
PENGALIHAN KEPEGAWAIAN
PENDANAAN
PERALATAN DAN DOKUMEN
PERANGKAT DAERAH
PEMBENTUKAN
DAERAH DAPAT
BERUPA {Psl 4 (3)}:
PENGGABUNGAN BEBERAPA
DAERAH
PENGGABUNGAN SEBAGIAN
DAERAH YANG
BERSANDINGAN
PEMEKARAN DARI SATU DAERAH
MENJADI DUA DAERAH ATAU
LEBIH
PEMBENTUKAN DAERAH:
DITETAPKAN DGN UU
{Pasal 4 (1)}
PROVINSI: 10 TAHUN
KABUPATEN/KOTA: 7 THN
KECAMATAN: 5 TAHUN
33. SYARAT ADMINISTRATIF
A. PEMBENTUKAN PROVINSI
Pasal 5 Ayat (2)
1. Aspirasi masyarakat.
2. Kep. DPRD Kab / Kota & persetujuan Bupati /
Walikota masing2 yg akan menjadi cakupan Prov.
3. Kep. DPRD Prov. induk.
4. Rekomendasi Gubernur.
5. Rekomendasi Menteri Dalam Negeri
1. ASPIRASI MASYARAKAT.
2. KEPUTUSAN DPRD KABUPATEN/KOTA.
3. PERSETUJUAN BUPATI/WALIKOTA.
4. KEPUTUSAN DPRD PROVINSI/INDUK.
5. REKOMENDASI GUBERNUR/INDUK.
6. REKOMENDASI MENTERI DALAM NEGERI
B. PEMBENTUKAN KABUPATEN/KOTA
Pasal 5 Ayat (3)
34. 1. KEMAMPUAN EKONOMI
2. POTENSI DAERAH
3. SOSIAL BUDAYA
4. SOSIAL POLITIK
5. KEPENDUDUKAN
6. LUAS DAERAH
7. PERTAHANAN
8. KEAMANAN dan
9. FAKTOR LAIN YANG MEMUNGKINKAN
TERSELENGGARANYA OTDA (KEMAMPUAN KEUANGAN,
TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT, RENTANG KENDALI
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH)
SYARAT TEKNIS
Pasal 5 Ayat (4)
FAKTOR DASAR
PEMBENTUKAN DAERAH
35. SYARAT FISIK
Pasal 5 Ayat (5)
KOTA
PROVINSI
KABUPATEN
PALING SEDIKIT 4 KECAMATAN
SARANA DAN PRASARANA PEMERINTAHAN
PALING SEDIKIT 5 KECAMATAN
LOKASI CALON IBUKOTA
SARANA DAN PRASARANA PEMERINTAHAN
PALING SEDIKIT 5 KABUPATEN/KOTA
LOKASI CALON IBUKOTA
SARANA DAN PRASARANA PEMERINTAHAN
36. Tentang JUMLAH PENDUDUK
Raymond G. Gettel:
No definite limit can be fixed for the number of persons
necessary to form a state.
Gilchrist:
It is impossible to fix a definite number of men for a state.
“semua orang yang pada suatu waktu bertempat tinggal mendiami
(menetap) di wilayah daerah atau negara tertentu”
RRC : 1,1 milyar
India : 800 juta
Tuvalu dan Nauru : 10 ribu.
37. Tentang LUAS WILAYAH
“daerah teritorial tertentu sebagai tempat kedudukan
suatu daerah atau negara, dalam mana kekuasaan
daerah atau negara berlaku atas seluruh penduduk
yang bertempat tinggal menetap didalam daerah
teritorial tersebut”
RRC : 9.561.000 km2
India : 3.275.198 km2
Tuvalu dan Nauru : 26 km2 dan 21 km2
38. Size and Democracy: Case for Decentralization
(Larry Diamond & Svetlana Tsalik, 1999):
1998 hampir 75% negara berpenduduk dibawah 1 juta jiwa
merupakan negara demokratis; kurang dari 60% negara dengan
populasi > 1 juta jiwa diikategorikan demokratis.
5 dari 6 negara berpenduduk < setengah juta (microstate)
adalah demokratis, dan lebih dari tiga perempatnya menerapkan
demokrasi liberal.
Kesimpulan: jika menginginkan suatu negara / daerah
demokratis, maka harus diupayakan agar jumlah penduduk
tidak berkembang secara dramatis.
Pemekaran
Wilayah
“Microstate”
Pemerintahan
Demokratis
39. Benarkah LOGIKA Diatas?
Jepang memiliki 47 propinsi (prefecture) dan 3.232
daerah otonom setingkat kabupaten / kota (Shi Cho
Son).
Di Thailand terdapat 75 propinsi dengan 1.130
daerah otonom setingkat kabupaten / kota.
INDONESIA ??
BENAR, dengan argumen:
40. Benarkah LOGIKA Diatas? … (2)
Demokrasi tidak hanya dilakukan dengan pemekaran, tapi bisa juga
dengan devolusi kekuasaan (baik dengan sistem federalisme
maupun otonomi luas).
Kasus Indonesia kesenjangan antar wilayah: Jawa saja yg “layak”
dimekarkan dan menjadi demokratis, sedang luar Jawa sulit
dimekarkan karena sedikitnya jumlah penduduk.
Pemekaran membuat rentang kendali semakin panjang, shg
mempersulit mekanisme koordinasi, pengawasan & pembinaan oleh
Pusat terhadap Daerah.
Pemekaran berimplikasi terhadap berkurangnya jumlah dan
kemampuan anggaran (fiscal capacity) baik bagi daerah baru hasil
pemekaran maupun daerah induknya.
Pemekaran memicu orientasi menggali PAD melalui penetapan
Perda retribusi yang menjadikan iklim usaha kurang kondusif.
SALAH, dengan argumen:
41. Itulah Sebabnya …
Di Jepang, 47 propinsi yang ada saat ini secara administratif
dikelompokkan menjadi 12 wilayah saja. Sedang pada level
kedua, amalgamasi dilakukan dengan target pengurangan
municipalities dari 3.232 menjadi hanya 257 (Masahisa Hayashi,
2002).
Thailand menciutkan jumlah daerah otonom tingkat III yg disebut
TAO (Tambol Administrative Organization, di Indonesia setingkat
Kecamatan) dari 7.498 menjadi hanya 5.000 (Bangkok Post,
3/11/02).
Di Swedia, unit pemda berkurang dari 1.006 pada 1960-an
menjadi 284 pada 1980-an. Pada periode yang sama, Belgia
berkurang dari 2.663 menjadi 589; Denmark dari 1.387 menjadi
275; Jerman dari 24.282 menjadi 8.426; & Inggris dari 1.288
menjadi 457 (Hubert Allen, 1990).
Pemekaran tidak lagi menjadi opsi yg disukai:
42. Presiden ttg Pemekaran
(Pidato di depan DPD-RI tg 23 Agustus 2007)
Jika pemekaran daerah tidak berangkat dari tujuan yang benar,
serta tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan
beban kepada keuangan negara, serta memberikan dampak
penurunan anggaran terhadap seluruh pemerintah daerah
lain, karena akan menurunkan alokasi DAU secara proporsional
bagi daerah lain di seluruh tanah air.
Pemekaran juga mempengaruhi penyediaan DAK Bidang
Prasarana Pemerintahan (sarana dan prasarana gedung
kantor instansi vertikal, belanja pegawai, dan belanja
operasional lainnya), serta untuk mendanai urusan-urusan yang
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
“Kita harus tegas dan berani menolak tuntutan pemekaran,
yang sama sekali tidak memiliki urgensi dan tidak memberikan
manfaat nyata bagi rakyat di daerah itu”.
43. Ironisnya …
Ada sebuah dagelan politik tingkat tinggi,
dimana imbauan Presiden pada sidang
paripurna DPD RI 23 Agustus 2007 untuk
moratorium pemekaran justru dibalas politisi
DPR dengan menetapkan 8 UU pemekaran
yang baru.
Ada apa dengan hubungan Eksekutif – Legislatif
di Indonesia?
44. MASALAH2 PEMEKARAN WIL.
MASALAH2 PEMEKARAN WIL.
76 % daerah hasil pemekaran mengalami kemunduran dari
sebelumnya, dengan indikator jumlah masyarakat miskin
meningkat (Priyo Budi Santoso, Suara Pembaruan: 10-4-2007).
Laporan Depdagri 2006: dari 148 daerah otonom baru yang
dievaluasi, sekitar 80 % masuk kategori bermasalah dan gagal.
Data Dep. Keuangan 2007: mayoritas daerah pemekaran
tergolong berkemampuan keuangan rendah. BPK juga
menyebutkan, pemekaran berdampak negatif pada perekonomian,
sebab membebani keuangan negara (Kompas, 31-5-2007 ).
Pemekaran yang tidak terencana menyulitkan penentuan daerah
pemilihan untuk Pemilu 2009 (Mendagri, Kompas, 9-3-2007).
Daerah otonom baru belum mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat secara signifikan (Mendagri, Kompas, 23-10-2007).
"Bukan rahasia lagi, lebih dari 90 % APBD daerah otonom baru
disubsidi dari APBN” (Ryaas Rasyid, Kompas, 23-10-2007).
45. MASALAH2 PEMEKARAN WIL.
MASALAH2 PEMEKARAN WIL.
Letak daerah yang jauh dari pusat pemerintah bukanlah
masalah yang harus diatasi dengan pemekaran. Akibatnya,
banyak daerah baru hasil pemekaran justru menjadi beban
pemerintah (Taliziduhu Ndraha, Kompas, 13-3-2007).
Pemekaran belum menyentuh kesejahteraan publik terutama
dalam bidang pendidikan, kesehatan dan layanan umum.
Pemekaran lebih banyak memberikan keuntungan bagi
segelintir elite dan kelompok birokrasi maupun pengusaha saja
(Suara Karya, 21-5-2007).
Pemekaran menimbulkan ketidakefisienan secara ekonomi. Ini
terlihat dari munculnya banyak perda yang berbeda di tiap
daerah (Kompas, 24-4-2007).
Syarat kewilayahan yang diatur PP No. 129/2000 berbeda
dengan yang diatur UU No. 32/2004. Bagaimana dengan
daerah yang terlanjur terbentuk? Digabung lagi?
46. Pilihan Solusi
Pilihan Solusi
Moratorium, sambil lakukan evaluasi.
Percepat PP pengganti PP No. 129/2000, dengan memperketat
usulan-usulan pemekaran daerah, yang benar-benar sesuai
kebutuhan (bukan karena desakan / motif politik).
Insentif bagi daerah yg mau menggabungkan diri.
Pengetatan pembentukan Perda yg tidak ramah pasar (pro-
investment).
Pembentukan daerah baru harus seiring dengan kebijakan di
bidang lain, misalnya tentang Pemilu (misal: pembentukan
KPUD).
Treatment khusus bagi daerah yang sudah terlanjur
dimekarkan, misalnya dengan mengembangkan kecamatan
(bagi kab/kota), atau kab/kota (bagi provinsi).
Susun Grand Design (RIP) Pemekaran Wilayah.
Pemberdayaan Kec & Kelurahan (Desentralisasi Tahap II).
47. Pengetatan Persyaratan
Pengetatan Persyaratan
Syarat wilayah bagi provinsi sedikitnya terdiri atas 5
kabupaten/kota. Syarat wilayah kabupaten minimal
terdiri atas 5 kecamatan dan kota minimal terdiri atas 4
kecamatan.
Soal batas usia, daerah otonom baru bisa dimekarkan
kembali jika telah berusia 10 tahun untuk provinsi dan
7 tahun untuk kabupaten/kota.
Penambahan kriteria pengukuran kelayakan
pemekaran wilayah dari 7 kriteria (PP 129/2000)
menjadi 11 kriteria pada RPP terbaru.
49. Landasan Hukum
Kerjasama Antar Daerah
Policy Level Operational Level
UU No. 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN).
UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
UU No. 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Daerah.
UU No. 17 tahun 2007 tentang
RPJP Nasional 2005 – 2025.
PP No. 38/2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan.
PP No. 25 tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah
Otonom.
Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005
tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Tahun 2004-2009.
SE Menteri Dalam Negeri No.
120/1730/SJ tanggal 13 Juli 2005.
50. Pasal I s i
Pasal 195 (1) Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan
kerja sama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan
efektivitas pelayanan publik, sinergi, dan saling menguntungkan.
(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwujudkan dalam bentuk
badan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama.
(3) Dalam penyediaan pelayanan publik, daerah dapat bekerjasama dengan pihak
ketiga.
(4) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) yang membebani
masyarakat dan daerah harus mendapatkan persetujuan DPRD.
Pasal 196 (1) Pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah
dikelola bersama oleh daerah terkait.
(2) Untuk menciptakan efisiensi, daerah wajib mengelola pelayanan publik secara
bersama dengan daerah sekitarnya untuk kepentingan masyarakat.
(3) Untuk pengelolaan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
daerah membentuk adan kerjasama.
(4) Apabila daerah tidak melaksanakan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2), pengelolaan pelayanan publik tersebut dapat dilaksanakan oleh
Pemerintah.
Pasal-pasal Kerjasama Antar Daerah
dalam UU No. 32 /2004
51. Urgensi Kerjasama
Antara Daerah
Keterkaitan Antar Daerah (Inter-regional-linkages): ekonomi,
geografis, pemerintahan, sosial
Meningkatkan Efisiensi Dalam Skala Ekonomi (economies
of Scale), Berpotensi Menekan Cost & Optimalisasi Sumber
Daya: pengelolaan air bersih, pemadam kebakaran,
persampahan.
Meningkatkan Efektifitas & Kualitas Pelayanan Publik:
Pendidikan dan Kesehatan.
Ketersediaan Sumber Daya di Masing-Masing Daerah
Bervariasi (plus vs minus).
Menghindarkan Duplikasi Pelayanan Publik di
Kabupaten/Kota Berdekatan.
52. Prinsip-Prinsip KAD
Spesifik: isu yang dibahas atau dikerjasamakan lebih baik
spesifik, agar kerjasama yang dilakukan bisa fokus dan
kelembagaan yang dibentuk bisa efisien.
Penting bagi daerah lokal: isu yang dikerjasamakan memang
penting bagi daerah-daerah yang terkait, atau bisa membawa
keuntungan bagi daerah.
Saling menguntungkan bagi semua pihak.
Skema harus partisipatif: mengingat kerjasama adalah untuk
kepentingan umum, skema harus partisipatif.
Ada kepastian hukum.
Mengikuti kaidah good governance: transparansi &
akuntabilitas terjaga.
53. Prinsip-Prinsip KAD
Politically feasible: kerjasama itu harus menarik secara
politis. Pada akhirnya keputusan & komitmen untuk
melakukan kerjasama itu ada di level pimpinan (leadership),
yang merupakan dunia politis.
Economically feasible: kerjasama itu secara ekonomi atau
keuangan daerah mampu dilakukan, dan membawa
keuntungan secara ekonomi juga.
Geographically feasible: secara geografis memungkinkan,
termasuk apabila diputuskan akan dibentuk semacam
sekretariat bersama yang mudah diakses oleh pihak-pihak
terkait
Linkage antar aktor: adanya jaringan komunikasi yang
cukup kuat di semua stakeholders yang terlibat.
54. Model Penjelasan
Harvey, 2003
Intergovernmental
Service Contact,
suatu daerah membayar daerah yang lain untuk rnelaksanakan
jenis pelayanan tertentu Layanan penjara, pembuangan sampah,
kontrol hewan atau ternak, penaksiran pajak
Joint Service
Agreement
dimana suatu daerah menjalankan fungsi perencanaan, anggaran,
dan pemberian pelayanan tertentu kepada masyarakat daerah
yang terlibat pengaturan perpustakaan wilayah, komunikasi antar
polisi dan pemadam kebakaran, kontrol kebakaran, pembuangan
sampah.
Intergovernmental
Service Transfer
berupa transfer permanen suatu tanggung jawab dari satu daerah
ke daerah lain bidang pekerjaan umum, prasarana dan sarana,
kesehatan dan kesejahteraan, serta pemerintahan dan keuangan
publik.
Model-Model KAD
55. Taylor, 2003
Handshake
Agreement,.
tidak adanya dokumen perjanjian kerjasama yang formal. Kerjasama didasarkan
pada komitmen dan kepercayaan secara politis antar daerah yang terkait.
Biasanya, bentuk kerjasama seperti ini dapat berjalan pada daerah-daerah yang
secara historis memang sudah sering bekerja sama dalam berbagai bidang.
Bentuk kerjasama ini cukup efisien dan lebih fleksibel dalam pelaksanaannya
karena tidak ada kewajiban yang mengikat bagi masing-masing pemerintah
daerah.
Fee for service
contracts
(service agreements).
satu daerah “menjual” satu bentuk pelayanan publik pada daerah lain. Misalnya
air bersih, listrik, dan sebagainya, dengan sistem kompensasi (harga) dan jangka
waktu yang disepakati bersama. Keunggulan sistem ini adalah bisa diwujudkan
dalam waktu yang relatif cepat. Selain itu, daerah yang menjadi “pembeli” tidak
perlu mengeluarkan biaya awal (start-up cost) dalam penyediaan pelayanan.
Akan tetapi, biasanya cukup sulit untuk menentukan harga yang disepakati
kedua daerah.
Joint Agreements
(pengusahaan
bersama).
mensyaratkan adanya partisipasi atau keterlibatan dari daerah-daerah yang
terlibat dalam penyediaan atau pengelolaan pelayanan publik. Pemerintah-
pemerintah daerah berbagi kepemilikan kontrol, dan tanggung jawab terhadap
program. Sistem ini biasanya tidak memerlukan perubahan struktur
kepemerintahan daerah (menggunakan struktur yang sudah ada).
Kelemahannya, dokumen perjanjian (agreement) yang dihasilkan biasanya
sangat rumit dan kompleks karena harus mengakomodasi sistem birokrasi dari
pemda-pemda yang bersangkutan.
56. James A. Coon
Service Agreement : Suatu kerjasama tertulis dalam kontrak antara suatu pemerintah
daerah dengan pemerintah daerah lain untuk penyediaan suatu
layanan dengan harga tertentu yang dinyatakan. Biasanya
berlangsung dimana ada suatu pemerintah daerah yang lebih
berdaya dibandingkan yang lain sehingga bisa memberikan
pelayanan dengan ganti pembayaran kepada pihak yang
membutuhkan
Joint Agreement : Suatu kerjasama tertulis dalam kontrak antar-pemerintah daerah
untuk setuju dalam pengadaan layanan melalui pembangunan dan
operasi suatu fasilitas. Biasanya melibatkan dua atau lebih
pemerintah daerah yang seimbang dalam hal kemampuan
partisipasinya dalam mewujudkan kerjasama tersebut, misal
dalam hal sumberdaya, fasilitas dan target layanan
58. BANYAKNYA
DUK MISKIN
KESEJANGAN
ANTAR DAERAH
KESEMPATAN KERJA
TDK SEBANDING
PENGANGGUR
KURANGNYA
YAN DASAR
LEMAHNYA STRUKTUR
PEREKON DAERAH
RENDAHNYA YAN BLIK
SUPREMASI HUKUM
BLM OPTIMALNYA
LAKS OTDA
BLM OPTIMALNYA
PENGELOLAAN SDA
MASALAH
POKOK
59. Penyelesaian Perselisihan KAD
Penyelesaian Perselisihan KAD
Penyelesaian Perselisihan KAD
Penyelesaian Perselisihan KAD
1. Apabila terjadi perselisihan dalam pelaksanaan kerja sama akan
diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat.
2. Apabila dengan musyawarah untuk mencapai mufakat tidak
terselesaikan, maka penyelesaian perselisihan difasilitasi oleh
Mendagri sesuai ketentuan yang berlaku.
3. Keputusan Mendagri dalam upaya penyelesaian perselisihan
bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang bekerja sama.
4. Apabila penyelesaian perselisihan melalui Mendagri
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) salah satu pihak tidak
dapat menerima, maka dapat mengajukan penyelesaian melalui
MA.
60. Penyelesaian Perselisihan
Apabila terjadi perselisihan dlm
penyeleng fung pemerintahan
antar Kab/Kota dlm satu Prov,
Gub menyelesaikan
perselisihan dimaksud
{Ps. 198(1)}
Apabila terjadi perselisihan
antar Prov, antara Prov dan
Kab/Kota diwilayahnya serta
antara Prov dan Kab/Kota diluar
wilayahnya, Mendagri
menyelesaikan perselisihan
{Ps. 198(2)}
Kept Gub dan
Mendagri bersifat
Final. {Ps. 198(3)}
61. KASUS KAD
Pemprov DKI membangun tanggul di Kali
Mokervart.
Belum ada komunikasi dengan wilayah penyangga
(Bodetabekjur).
Pemkot Tangerang menganggap tanggul tsb berada
di wilayahnya, kemudian membatalkan proyek tsb.
Pokok masalah: lemahnya koordinasi, tidak
jelasnya batas kewenangan, ketiadaan visi yg
sama, lembaga pengelola kerjasama tidak optimal,
dll.
63. KONDISI LEMBAGA PEMERINTAH
SEBELUM OTONOMI
PUSAT :
800 jabatan eselon
I
2.392 eselon II
11.245 eselon III
70.787 eselon IV
208.850 es. V
DAERAH :
27 jabatan eselon
I
788 eselon II
7.964 eselon III
44.372 eselon IV
79.791 eselon V
(Mustopadidjaja, 1999)
64. SETELAH OTONOMI
SETELAH OTONOMI
Komisi Yudisial UU No. 22/2004
Komisi Pemilihan Umum UU No. 12/2003
Komnas HAM UU No. 39/1999
Komisi Pengawas Persaingan Usaha UU No. 5/1999
Komisi Penyiaran Indonesia UU No. 32/2002
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi / KPK UU No 30/2002
Komisi Perlindungan Anak UU No. 23/2002
Komisi Kebenaran & Rekonsiliasi UU No. 27/2004
Komnas Anti Kekerasan Thd Perempuan Keppres No. 181/1998
Komisi Ombudsman Nasional Keppres No. 44/2000
Komisi Kepolisian UU No. 2/2002
Komisi Kejaksaan UU No. 16/2004
Komisi Hukum Nasional Keppres No. 15/2000
Pusat
Inflasi Komisi / Dewan Negara:
65. Dewan Pers UU No. 40/1999
Dewan Pendidikan UU No. 20/2003
Dewan Pembina Industri Strategis Keppres No. 40/1999
Dewan Riset Nasional Keppres No. 94/1999
Dewan Buku Nasional Keppres No. 110/1999
Dewan Maritim Indonesia Keppres No. 161/1999
Dewan Ekonomi Nasional Keppres No. 144/1999
Dewan Pengembangan Usaha Nasional Keppres No. 165/1999
Dewan Gula Nasional Keppres No. 23/2003
Dewan Ketahanan Pangan Keppres No. 132/2001
Dewan Pengembangan Kws Tmr Indonesia Keppres No. 44/2002
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah Keppres No. 151/2000
Dewan Pertahanan Nasional Keppres No. 3/2003
Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Keppres No. 132/1998
Komite Nasional Keselamatan Transportasi UU No. 41/1999
Komite Antar Dept. Bidang Kehutanan Keppres No. 80/2000
Komite Akreditasi Nasional Keppres No. 78/2001
Komite Penilaian Independen Keppres No. 99/1999
Komite Olahraga Nasional Indonesia Keppres No. 72/2001
Komite Kebijakan Sektor Keuangan Keppres No. 89/1999
Komite Standar Nasional Untuk Satuan Ukuran PP No. 102/2000
Inflasi Komisi / Dewan Negara (lanjutan):
66. ORGANISASI PERANGKAT DAERAH
(Dari UU 22/1999 ke UU 32/2004)
UU 22/1999
Psl. 60 s.d Psl. 68, Psl. 66 serta
Psl 120:
• Sekretariat Daerah;
• Dinas Daerah;
• Lembaga Teknis Daerah;
• Camat;
• Satuan Polisi Pamong Praja
PP NO. 8/2003
PP 41/2007
UU 32/2004
Psl. 120 s.d Psl. 128:
PERANGKAT DAERAH PROV:
• Sekretariat Daerah;
• Sekretariat DPRD;
• Dinas Daerah;
• Lembaga Teknis Daerah;
PERANGKAT DAERAH KAB/KOTA:
• Sekretariat Daerah;
• Sekretariat DPRD;
• Dinas Daerah;
• Lembaga Teknis Daerah;
• Kecamatan;
• Kelurahan.
67. UU Keolahragaan
UU KPI
UU Penyuluhan
UU Kepegawaian
UU Keuangan
UU BNN
UU Ketahanan
Pangan
PP Pengawasan
PP Satpol PP PP 38 dan 41 Tahun
2007
Penataan
Organisa
si Pemda
PENATAAN KELEMBAGAAN ORGANISASI
PEMERINTAH DAERAH
PENATAAN KELEMBAGAAN ORGANISASI
PEMERINTAH DAERAH
68. KRITERIA PENATAAN ORGANISASI
Semakin tinggi tingkat pembagian kerja, semakin besar ukuran organisasi.
Semakin tinggi tingkat kompleksitas urusan, maka makin besar organisasi diperlukan.
Semakin tinggi tinggi tingkat rutinitas pekerjaan, maka makin tinggi tingkat sentralistis
sebuah organisasi.
Semakin tinggi tingkat pekerjaan non rutinitas, maka makin tinggi tingkat
desentralisasinya.
Semakin besar suatu organisasi maka makin besar jumlah personilnya.
Semakin besar suatu organisasi maka makin diperlukan banyak sumber daya yang
diperlukan.
Semakin luas wilayah kerja, makin besar ukuran organisasinya.
Semakin tinggi tingkatan teknologi, semakin kecil ukuran organisasinya.
Semakin tinggi variasi budaya, makin besar variasi sebuah organisasi.
Semakin tinggi tingkat kemitraan, makin tinggi tingkat efisiensi kerja.
Semakin banyak hubungan kerja, semakin besar ukuran sebuah organisasi.
Semakin rendah tingkat disiplin pegawai, semakin besar ukuran organisasi
pengawasan / pembinaan.
Makin rendah tingkat stabilitas / keamanan, makin besar ukuran organisasi.
Makin tinggi kompleksitas, makin tinggi tuntutan akan kualitas kepemimpinan.
69. SDM APARATUR
Birokrasi Parkinsonian (Parkinson’s Law)
proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran
struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali.
Pemekaran terjadi bukan karena tuntutan fungsi,
tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan
struktur.
Birokrasi Orwellian proses pertumbuhan
kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga
kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh
birokrasi.
Big bureaucracy
70. Jumlah PNS & Rasio Penduduk
Jumlah PNS: 4,4 juta (2 % dari total
penduduk)
Komparasi AS : 2,7 % (1991)
Jerman Barat : 7,1 % (1980)
Malaysia : 4 % (1980)
Philipina : 2,6 (1990)
Singapura : 2,5 (1990)
√ Problem kualitas,
√ Problem ketimpangan distribusi tugas
√ + Problem mutasi, promosi, penempatan
√ + Problem tour of area (vertical), dll
72. MANAJEMEN PNSD
MANAJEMEN PNSD
Pemerintah laks Pembinaan Manaj
PNSD satu kesatuan penyeleng
Manaj PNS scr Nas. {Ps.129(1)}
Manaj PNSD meliputi penetapan formasi,
pengadaan, pengangkatan, pemindahan,
pemberhentian, penetapan pensiun, gaji,
tunjangan, kesejahteraan, hak & kewajiban
kedudukan hkm, pengemb kapasitas &
pengendalian jml. {Ps.129(2)}
Manaj PNSD meliputi penetapan formasi,
pengadaan, pengangkatan, pemindahan,
pemberhentian, penetapan pensiun, gaji,
tunjangan, kesejahteraan, hak & kewajiban
kedudukan hkm, pengemb kapasitas &
pengendalian jml. {Ps.129(2)}
73. PENGANGKATAN, PEMINDAHAN &
PEMBERHENTIAN DLM JABATAN ES. II
Pengangkatan, pemindahan dan
pemberhentian Es. II Prov
ditetapkan Gub.{Ps.130(1)}
Pengangkatan, pemindahan dan
pemberhentian Es. II Kab/Kota
ditetapkan Bup/Walikota setelah
konsultasi kpd Gub. {Ps.130(2)}
Pengangkatan, pemindahan dan
pemberhentian Es. II Kab/Kota
ditetapkan Bup/Walikota setelah
konsultasi kpd Gub. {Ps.130(2)}
Konsultasi
Pem
Prov
Pem
Kab/Kota
74. PERPINDAHAN PNSD
antar Kab/Kota dlm satu Prov ditetapkan Gub
setelah peroleh pertimbangan Ka.BKN
{Ps.131(1)}
antar Kab/Kota antar Prov, dan antar Prov
ditetapkan Mendagri setelah peroleh
pertimbangan Ka.BKN {Ps.131(2)}
Prov, Kab/Kota ke Dep/LPND dan sebaliknya
ditetapkan Mendagri setelah peroleh
pertimbangan Ka.BKN {Ps.131(3)}
75. KEUANGAN DAERAH
KEUANGAN DAERAH
Dari 229 Kab / Kota:
71,23 % memiliki PAD kurang dari 20%;
22,26 % ber-PAD antara 20,1 % hingga 40 %;
5,83 % memiliki PAD lebih dari 40 % (Sulistyo,
1995).
Kajian serupa oleh Kano (1995):
Penerimaan kotor seluruh Kab / Kota di Indonesia,
sebesar 70 % merupakan grant dan subsidi Pusat dan
Propinsi.
40 % dari pengeluaran tahunannya diperuntukkan
sebagai belanja pegawai.
77. Dapatkan Otda mendorong Demokrasi?
Benarkah keduanya memiliki hubungan konvergen,
atau justru divergen?
Mampukah Pilkada Langsung menjadi instrumen
demokratisasi di tingkat terbawah?
Mengapa banyak konflik terjadi di era demokrasi,
keterbukaan, reformasi, dan otda?
OTONOMI DAERAH &
DEMOKRASI
“OTDA mendorong tumbuhnya demokrasi lokal
(grassroots democracy)”
78. Demokrasi baru dapat
berjalan jika beberapa
kondisi terpenuhi (tingkat
pendidikan & melek huruf,
kelas menengah yg mapan,
masyarakat sipil yg dinamis,
rendahnya kesenjangan
sosial, serta adanya ideologi
sekuler).
Jika ada trade-off berupa
sedikit penurunan laju
pertumbuhan, hal itu dapat
terima (acceptable) sebagai
harga yang harus dibayar
untuk membangun tatanan
politik yang demokratis,
kebebasan warga, dan
perlindungan thd HAM.
2 mainstreams ttg kaitan
DEMOKRASI & PEMBANGUNAN
democracy as outcome of
development
democracy as prerequisite
for development
79. PEMBANGUNAN:
LPE > 4% (1966-1990an)
Kemiskinan menurun menjadi 12%
(1996)
Swasembada beras (1984)
Bank Dunia: Indonesia sbg “miracle”
(1993)
DEMOKRASI:
Pengekangan kebebasan Pers,
Tekanan thd serikat buruh,
Pembatasan jumlah Parpol, dll.
Demokrasi & Pembangunan,
Bisakah berjalan seiring?
“Demokrasi sebagai
HASIL PEMBANGUNAN”
PEMBANGUNAN:
LPE –13,7%, 0,31%, 4,8%, dan 3%
(1998-2001)
Kemiskinan melonjak menjadi >20%
HDI / IPM merosot terus
DEMOKRASI:
Konstitusi di Amandemen
Sistem Multi Partai diperkenalkan
Kebebasan Pers dan Mimbar
Pembentukan Komnas HAM
Otonomi luas, Pilkada Langsung, dll.
“Demokrasi sebagai
PRASYARAT PEMBANGUNAN”
Masa PRA Demokratisasi Masa PASCA Demokratisasi
80. Demokratisasi sbg
penyebab utama
terjadinya konflik
• Terbukanya ruang
demokrasi melahirkan
banyak kelompok dengan
berbagai aliran dan
tuntutan yang berbeda
banyaknya politik aliran ini
berimplikasi pada sulitnya
mengorganisasikan
berbagai kepentingan
secara negotiable.
Demokrasi adalah peredam konflik secara
damai
• Demokrasi memang bukan jaminan tidak
adanya konflik, namun bangsa yang
demokratis akan mampu mambangun
pranata sosial, sumber daya & fleksibilitas
sistem yang lebih baik, sehingga akan lebih
mampu mengelola setiap perbedaan &
sengketa.
• Demokrasi menyediakan metode
pengambilan keputusan yang anti kekerasan,
forum perwakilan untuk mempertemukan
berbagai perbedaan, serta kesempatan
berpartisipasi secara inklusif.
81. Demokratisasi sbg penyebab
utama terjadinya konflik
• Rejim Nyerere (Tanzania), Soekarno,
dan Boigny (Ivory Coast) di masa
lampau; serta Mahathir (Malaysia) &
Museveni (Uganda) pada masa
sekarang.
• Hanya sistem 1 partai / demokrasi
terpimpin yg dibutuhkan untuk
meredam ketegangan & konflik
sosial. Kompetisi multi-partai yg
berlebihan hanya akan menjadikan
demokrasi menjadi tidak stabil.
Demokrasi adalah peredam konflik
secara damai
• International Institute for Democracy
and Electoral Assistance.
• Demokrasi dapat difungsikan sebagai
alat untuk mengelola konflik melalui
tiga teknik analisa konflik yaitu
adversarial (melihat konflik sebagai
“kita melawan mereka”), reflektif
(introspeksi & mempertimbangkan
jalan keluar terbaik), serta integratif
(memahami pandangan &
kepentingan kedua pihak).
82. Demokrasi & Konflik di
Indonesia
Konflik “klasik” seperti
GAM, GPK, RMS.
Konflik “klasik” lain:
PILKADES.
Konflik “klasik” menjadi
internationalized.
Muncul konflik horizontal baru: Poso,
Ambon, Sampit, Sambas, dll.
Konflik kewenangan Eksekutif –
Legislatif.
Konflik antar lembaga publik / antar
daerah.
Konflik vertikal antara kelompok
masyarakat dengan aparat.
PRA Demokratisasi
Masa PASCA Demokratisasi
“Sedikit demokrasi
sedikit Konflik”
“Demokrasi memicu Konflik”
83. Apakah Pilkadasung hanya mrpk hasil dari
proses pembangunan selama ini.
Pilkadasung sbg instrumen
Demokrasi: Sebuah Tantangan
Apakah Pilkadasung mrpk titik awal untuk
menjalankan pembangunan.
Apakah Pilkadasung hanya menghasilkan
konflik yang sebelumnya tidak terjadi.
Apakah Pilkadasung dapat menjadi menjadi
media rekonsiliasi antar elit lokal.
84. Indikasi Awal Pilkadasung
Indikasi Awal Pilkadasung
76 daerah dari 226 daerah yang akan menyelenggarakan
Pilkada sangat berpotensi terjadi konflik karena berbagai
sebab (Depdagri).
Gejala munculnya polarisasi dan fragmentasi di tingkat
grassroot akibat dari adanya kecenderungan preferensi
emosional dan primordial.
Kondisi tadi dapat mempengaruhi stabilitas di daerah dan
pada gilirannya dapat pula mengancam keberlangsungan
pembangunan sosial ekonomi daerah.
Gagal memperkuat demokrasi lokal?
Gagal mengakselerasi pembangunan daerah?
Ada yang salah dengan Pilkadasung?
85. PILKADA & KORUPSI
Unanswered question: Dapatkan Pilkada menekan money
politics?
Calon Independen baru sebatas putusan judicial review MK, shg
rakyat hanya memiliki “hak pilih” dari calon-calon yg telah
ditentukan oleh partai politik.
Parpol masih tetap menjadi “mesin politik” utama menuju
kekuasaan. Peran inilah yang akan menjadi medan magnet
terjadinya money politics.
Pusaran korupsi diperkirakan tidak sekuat 5 tahun y.l. Ada
kecenderungan money politics ini lebih menyebar dan
menjangkau langsung kepada masyarakat.
Logikanya, money politics akan mengikuti dimana “suara”
berada.
Jadi, Pilkada dan Korupsi sementara masih akan tetap menjadi 2
sisi dari 1 mata uang yang sama.
86. Implikasi Lintas Dimensi
Sistem Politik secara makro. Artinya, desain Pilkada sangat
tergantung dengan Paket UU Politik (UU Pemilu, UU Parpol, UU
Susduk) yg biasanya selalu diperbaharui setiap 5 tahun. Artinya, untuk
menghasilkan Pilkada yg benar-benar berbobot, maka sistem politik
makronya juga harus disesuaikan. Tidak mungkin hanya Pilkada-nya
yg dioprek-oprek sementara supra struktur politiknya tidak berubah.
Pengembangan karis PNS di Daerah. Pilkada memberi legitimasi
yang besar sekali kepada KDH terpilih untuk merombak birokrasi karir
sesuai "keinginannya". Sayangnya, seringkali KDH terpilih kurang
menguasai ilmu kepemerintahan, sehingga cenderung berlaku
subyektif. Kondisi ini diperparah dengan "keterjeratan" atau
terperangkapnya KDH kedalam jaring-jaring kroni (cronyism trap)
sehingga banyak pertimbangan politis dalam setiap kebijakan
administratif yg menjadi kewenangannya. Bukti-bukti awal sudah
cukup banyak, misalnya melonjaknya calon peserta Diklatpim II pasca
Pilkada.
87. Implikasi Lintas Dimensi
Netralitas Birokrasi baik pada kadar netralitasnya, maupun
definisi dan kriterianya. Selama ini tidak jelas, apakah mengikuti
(baca: mendengarkan) kampanye seseorang termasuk kampanye.
Atau, jika seorang ajudan masih melaksanakan tugas-tugas rutin
KDH yg kebetulan adalah Calon KDH pada Pilkada, apakah juga
bisa dikategorikan tidak netral. Selama ini tafsir netralitas lebih
banyak melekat pada KDH terpilih, sehingga banyak PNS jadi
korban karena dianggap "tiarap". Kasus di Kutai Kartanegara
sangat unique mengenai hal satu ini.
Pilkada yg tidak dibatasi oleh nilai-nilai yg tegas juga dapat
berdampak pada rendahnya mutu kebijakan publik di daerah. Dan
jika hal ini berlangsung terus, maka masyarakatlah yang menjadi
korban dari sebuah sistem demokrasi bernama Pilkada.
88. PRASYARAT
PILKADA YANG DEMOKRATIS &
BERCIRIKAN GOOD GOVERNANCE
RULE OF LAW & ENFORCEMENT
(KEJELASAN & KETEGASAN ATURAN HUKUM)
VOTERS & CIVIC EDUCATION
(SOSIALISASI ATURAN PILKADA)
STATESMANSHIP
(KENEGARAWANAN KANDIDAT)
89. Kesimpulan & Rekomendasi
Kesimpulan & Rekomendasi
Hubungan antara demokrasi dan pembangunan, serta antara demokrasi
dan resolusi konflik tidak perlu dipahami secara hitam putih.
Divergensi atau konvergensi antar kedua variabel diatas sangat tergantung
pada para pelaku politik dan mapannya sistem yang digunakan.
Desentralisasi harus diperkuat untuk membangun good local governance
kinerja pembangunan akan meningkat dengan sendirinya sementara
rezim demokratis juga dapat ikut terbangun.
Perlu pengembangan kapasitas birokrasi untuk menjalankan program
pembangunan secara efektif tanpa intervensi politis secara berlebihan;
sekaligus meningkatkan akuntabilitas dan efisiensi pemerintahan daerah.
Perlu dibangun proses dan kelembagaan politik yang hati-hati (prudent
politics), serta menyiapkan infrastruktur ekonomi, sosial dan politik untuk
berjalannya demokrasi secara wajar.
Perlu diberi peran kepada otoritas lokal untuk membangun kerangka
penyaluran aspirasi dan kepentingan rakyat.