RUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdf
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
1.
2. POLA PENGELOLAAN
SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN
BERBASIS
PENGETAHUAN DAN
KEARIFAN LOKAL
(LOCAL WISDOM)
DI KALIMANTAN
3. POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN BERBASIS
PENGETAHUAN DAN KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM)
DI KALIMANTAN
171 + xiv halaman, 2006
Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog Dalam Terbitan (KDT)
ISBN 979-1176-02-7
1. Sumber Daya Alam 2. Kearifan Lokal (Local Wisdom)
Tim Peneliti :
Tri Widodo W Utomo, SH.,MA (Peneliti Utama)
Gugum Gumelar, SH (Peneliti)
Said Fadhil, S.IP (Peneliti)
Baharudin, S.Sos,.M.Pd (Peneliti)
Windra Mariani, SH (Peneliti)
Sekretariat:
Santo Adhynugraha, S.Si (Koordinator)
Aryono Mulyono, BBA
Royani,A.Md
Editor :
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA
Said Fadhil, S.IP
Santo Adhynugraha, S.Si
Siti Zakiyah, S.Si.
Mayahayati Kusumaningrum, SE
Veronika Hanna Naibaho, SS
Diterbitkan Oleh:
Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III (PKP2A III)
LAN Samarinda
UNDANG-UNDANG HAK CIPTA NO. 19 TAHUN 2002
Pasal 72
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan /
atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
4. KATA PENGANTAR
Sumber daya alam merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa
yang sengat berperan dalam kehidupan manusia karena berfungsi sangat
penting untuk pengaturan tata air, pencegahan bahaya banjir dan erosi,
pemeliharaan kesuburan tanah dan dan pelestarian lingkungan hidup.
Konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya merupakan upaya
pengelolaan dan pemanfaatan atas sumber daya hayati dan ekosistem
yang dilakukan secara bijaksana, berkesinambungan dan lestari sehingga
ketersedian atas potensi, nilai dan keanekaragaman sumber daya alam
dan ekosistemnya tersebut tetap terjamin.
Dan masyarakat terutama di daerah, masih menggantungkan
hidupnya dari sumber daya alam yang dimiliki karena desakan ekonomi
dan kebutuhan hidup yang semakin meningkat sehingga bila pengelolaan
sumber daya alam tidak dilakukan secara bijaksana akan dapat
mengakibatkan eksploitasi yang mengarah pada perusakan dan dampak
negatifnya akan dirasakan oleh masyarakat itu sendiri.
Melihat pola pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan
dengan pendekatan partisipasi masyarakat akan lebih efektif karena
masyarakat akan mempunyai rasa tanggung jawab dan akan menjaga
sumber daya alam yang ada di sekitarnya. Kegiatan penelitian ini
bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan Sumber Daya Alam
dan lingkungan melalui peningkatan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan sektor ini. Sehingga kedepan, diharapkan pemerintah daerah
maupun masyarakat setempat terlibat dalam satu program yang jelas
dalam pengelolaan SDA dan lingkungan berbasis pengetahuan dan
kearifan lokal (local wisdom) di Kalimantan.
Kepada semua pihak yang telah membantu baik dari persiapan,
masa penelitian hingga penyusunan dan penerbitan laporan penelitian
yang berupa buku ini disampaikan ucapan terima kasih yang sangat
mendalam dan semoga kerja sama yang telah terjalin baik dalam
penelitian ini dapat lebih erat lagi untuk penelitian selanjutnya. Tentunya
laporan hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan
saran membangun sebagai masukan dengan senang hati kami nantikan
demi kemajuan bersama.
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
Iii
5. Akhirnya semoga Tuhan Yang Maha Kuasa menyertai dan
memberkahi usaha kita dan semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat
baik bagi daerah yang menjadi sampel penelitian maupun daerah lainnya
serta bagi semua pihak yang berkepentingan guna lebih meningkatkan
peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam di era
otonomi yang luas saat ini sehingga mengoptimalkan pemberdayaan
masyarakat.
Samarinda, November 2006
Tim Peneliti
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
Iii
6. DAFTAR ISI
Kata Pengantar …..………………………………………………….… I
Daftar Isi ……………………………………………………………...… ii
Daftar Tabel .……………………………………………………….…... vi
Daftar Gambar ………………………………………………….……… vii
Ringkasan Eksekutif ....……………………………………………….. viii
Executive Summary .………………………………………………….. xii
Bab I Pendahuluan .....…………….……………………………… 1
A. Latar Belakang …………………………………………… 1
B. Perumusan Masalah ..…………………………………… 6
C. Kerangka Pikir ...………………………………………..... 7
D. Ruang Lingkup …………………………………………… 10
E. Tujuan dan Kegunaan …………………………………… 11
F. Target/Hasil yang Diharapkan ..………………………… 11
G. Status dan Jangka Waktu .……………………………… 11
Bab II Kerangka Teoretis Pola Pengelolaan Sumber Daya
Alam dan Lingkungan Berbasis Pengetahuan dan
Kearifan Lokal (Local Wisdom) ..................................... 12
A. Konsepsi dan Ruang Lingkup Pengelolaan SDA dan
Lingkungan ................................................................... 12
B. Konsep dan Definisi Sumber Daya Alam ..................... 14
C. Pandangan terhadap Sumber Daya Alam ................... 16
D. Pengelolaan Hutan Sentralistik .................................... 19
E. Kemiskinan di Sekitar Hutan ........................................ 30
F. Konflik Sosial dalam Pengelolaan Hutan ..................... 37
Bab III Arah Kebijakan Pola Pengelolaan SDA dan
Lingkungan Berbasis Pengetahuan dan Kearifan
Lokal (Local Wisdom) ..................................................... 43
A. Pengelolaan Hutan di Era Reformasi ........................... 43
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
iiii
7. B. Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan ................................................................... 53
C. Model Pembangunan Berkelanjutan ....……………….. 55
D. Keterkaitan Model Pembagunan Berkelanjutan
dengan Kearifan Lokal ..............………………………… 60
E. Pola Pengelolaan Sumber Daya Hutan .………….....… 63
Bab IV Pola Pengelolaan SDA dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom)
di Kalimantan ...………………………………….…………. 82
A. Pengelolaan SDA dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom)
di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur ...................... 82
1. Gambaran Umum Daerah ....................................... 82
2. Manajemen Sumber Daya Alam dan Lingkungan,
serta Implementasi Kearifan Lokal .......................... 85
B. Pengelolaan SDA dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom)
di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat ............. 100
1. Gambaran Umum Daerah ....................................... 100
2. Potensi Sumber Daya Alam dan Lingkungan .......... 105
3. Peran/Program Pemerintah Kabupaten Kapuas
Hulu dalam Pengelolaan SDA ................................. 108
4. Peran Serta Masyarakat dan Pemerintah
Dalam Pengelolaan SDA di Kabupaten
Kapuas Hulu ............................................................ 113
5. Strategi Mewujudkan Kabupaten Konservasi .......... 117
6. Kawasan Konservasi di Kabupaten Kapuas Hulu ... 119
C. Pengelolaan SDA dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom)
di Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah ........ 122
1. Gambaran Umum Daerah ....................................... 122
2. Potensi Sumber Daya Alam (SDA)
dan Lingkungan ....................................................... 126
3. Masyarakat Adat Murung Rayat ..............................
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
iiv
8. 1 4. Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
oleh Masyarakat ..................................................... 131
D. Pengelolaan SDA dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom)
di Kabupaten Hulu Sungai Tengah,
Kalimantan Selatan ...................................................... 141
1. Gambaran Umum Daerah ....................................... 141
2. Potensi Sumber Daya Alam dan Lingkungan .......... 143
3. Peran/Program Pemerintah Kabupaten Hulu
Sungai Tengah dalam Pengelolaan SDA ................ 148
4. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat dalam
Pendampingan Masyarakat dan
Pengelolaan SDA .................................................... 150
5. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan SDA .... 152
6. Kearifan Masyarakat Dayak Meratus dalam
Pengelolaan Sumber Daya Hutan ........................... 154
Bab V Penutup ……………………………...………………………. 165
A. Kesimpulan ……………………………………………….. 165
B. Rekomendasi …………………………………………...... 166
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 168
LAMPIRAN
Lampiran 1 SK Tim Pelaksana Kajian Pola Pengelolaan SDA dan
Lingkungan Berbasis Pengetahuan dan Kearifan
Lokal
(Local Wisdom) di Kalimantan
Lampiran 2 Instrumen Penelitian
29
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
iv
9. DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Daerah Sampel/Tujuan Kajian ……………………… 11
Tabel 3.1. Klasifikasi Hubungan Pemerintah, Pemda,
Pengusaha dan Masyarakat ....................................
48
Tabel 4.1 Pemanfaatan Lahan Kab. Berau Berdasarkan
RTRWK 2001 - 2011, RENCANA TATA
RUANG KABUPATEN BERAU ............................... 84
Tabel 4.2. Kontribusi Sembilan Sektor ekonomi terhadap
Perekonomian Kabupaten Murung Raya
................ 125
Tabel 4.3. Struktur Perekonomian Kabupaten Hulu
Sungai Tengah Tahun 2002 - 2004 ......................... 143
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
ivi
10. DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Bagan Pandangan terhadap Sumber Daya Alam ... 18
Gambar 3.1. Gambaran Kerusakan Hutan ................................... 46
Gambar 3.2. Bagan Bidang-bidang Pokok Pengelolaan
Hutan Lokal yang dijadikan Bahan Bahasan
dalam Panduan Kampung ....................................... 73
Gambar 4.1. Peta Administrasi Kabupaten Kapuas Berau .......... 83
Gambar 4.2. Gambaran Umum (visualisasi) Kondisi Hutan
di Kabupaten Berau ................................................. 89
Gambar 4.3. Peta Potensi Perikanan dan Kelautan
Kabupaten Berau ..................................................... 92
Gambar 4.4. Peta Kabupaten Kapuas Hulu ................................. 103
Gambar 4.5. Mendulang Emas Cara Tradisional ......................... 137
Gambar 4.6. Kondisi Kerusakan Lingkungan akibat
Penambangan Emas di Kabupaten
Murung Raya ........................................................... 139
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
ivii
11. RINGKASAN EKSEKUTIF
Sumber daya alam (SDA) seperti hutan, daerah aliran sungai
(DAS), pesisir dan pantai, terumbu karang dan kekayaan laut lainnya,
potensi dan hasil tambang, kekayaan flora dan fauna, udara segar, sumber
mata air yang tidak tercemar, dan sebagainya merupakan sumber daya
alam yang esensial bagi kelangsungan manusia. Berkurang atau
hilangnya pasokan udara dan air misalnya akan sangat mengganggu
kelangsungan hidup umat manusia. Demikian juga dengan hutan, dimana
kelangsungan hidup manusia juga bergantung kepadanya. Rusaknya
hutan akan sangat merugikan umat manusia. Langkanya air pada musim
kemarau dan ancaman banjir pada musim penghujan, merupakan akibat
yang timbul karena rusaknya hutan.
Dalam pemanfaatan sumber daya alam, diperlukan pengelolaan
yang baik dan arif agar kelangsungan sumber daya alam tersebut dapat
menjadi koeksistensi secara suistainable dan saling menguntungkan
(mutualisme) antara sumber daya alam tersebut dapat lestari dan manusia
sebagai pengguna dapat memperoleh manfaat tanpa harus merusak alam
sekitarnya. Karena itulah persoalan fundamental sehubungan dengan
pengelolaan sumber daya alam adalah bagaimana mengelola sumber
daya alam tersebut agar dapat menghasilkan manfaat yang sebesar-
besarnya bagi umat manusia dengan tidak mengorbankan kelestarian
sumber daya alam itu sendiri.
Namun dalam prakteknya berbagai fakta dan data menunjukkan
bahwa keberlangsungan dan kelestarian sumber daya alam dewasa ini
sangat memprihatinkan. Banjir dan longsor kini telah rutin dan menyebar di
seluruh Indonesia. Dalam tahun 2003 saja, telah terjadi 236 kali banjir di
136 kabupaten dan 26 propinsi, disamping itu juga terjadi 111 kejadian
longsor di 48 kabupaten dan 13 propinsi. Dalam tahun yang sama tercatat
78 kejadian kekeringan yang tersebar di 11 Propinsi dan 36 Kabupaten
(KLH, 2004). Dalam periode itu juga, 19 propinsi lahan sawahnya
terendam banjir, 263.071 Ha sawah terendam dan gagal panen, serta
66.838 Ha sawah puso.
Data lain menunjukan bahwa Indonesia tergolong negara yang
kawasan hutan tropisnya hilang salam waktu tercepat di dunia. Dimana
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
iviii
12. laju deforestasi terus meningkat mencapai rata-rata 2 juta ha per tahun.
Tipe hutan tropis ini hampir seluruhnya lenyap di Sulawesi, dan
diprediksikan akan lenyap di Sumatera pada tahun 2005 sedangkan di
Kalimantan diperkirakan akan lenyap pada tahun 2010, jika laju deforestari
tersebut terus berlangsung. Disamping itu hampir setengah dari luas hutan
di Indonesia sudah terfragmentasi oleh jaringan jalan, jalur akses lainnya,
dan berbagai kegiatan pembangunan, seperti pembangunan perkebunan
dan hutan tanaman industri.
Akibat lanjutannya dari kerusakan lingkungan (SDA) adalah fungsi
lingkungan hutan yang mendukung kehidupan manusia terabaikan,
beragam kehidupan flora dan fauna yang membentuk mata rantai
kehidupan yang bermanfaat bagi manusia menjadi rusak dan hilang.
Semua ini mengakibatkan timbulnya ketidakadilan dan kesenjangan
mengakses manfaat pembangunan bagi masyarakat di sekitar kawasan
hutan.
Kajian ini diharapkan dapat mengidentifikasi potensi sumber daya
alam yang dimiliki oleh daerah khusunya di wilayah Kalimantan beserta
praktek pengelolaannya. Selain itu, kajian ini juga diarahkan agar mampu
menghasilkan rekomendasi kebijakan bagi pemerintah daerah dan
pemerintah pusat dalam upaya meningkatkan efektivitas pengelolaan
Sumber Daya Alam dan lingkungan melalui peningkatan partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan sektor ini. Sehingga kedepan, diharapkan
pemerintah daerah maupun masyarakat setempat terlibat dalam satu
program yang jelas dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan
lingkungan berbasis pengetahuan dan kearifan lokal (local wisdom).
Berdasarkan data yang dikumpulkan dari kegiatan penelitian ini
secara umum menggambarkan bahwa keberadaan masyarakat ditengah-
tengah potensi SDA, secara alami telah menciptakan pola hubungan
masyarakat dengan lingkungannya (SDA). Interaksi masyarakat dengan
SDA terutama dalam kehidupan sosial dan ekonomi telah memunculkan
pola interaksi antara alam (SDA) dengan masyarakat setempat yang
kemudian menjadi nilai yang dianut oleh masyarakat. Diantara nilai-nilai
tersebut ternyata sangat banyak bentu-bentuk kearifan lokal (local
wisdom) yang sejak turun-temurun dimiliki masyarakat dalam berinteraksi
dengan ekosistem hutan yang menurut mereka sebagai bagian dari
matapencaharian lestari. Masyarakat menilai berbagai potensi yang ada
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
Iix
13. dalam hutan akan menyelamatkan generasi masa mendatang dan karena
hutan masyarakat setempat bisa hidup dan menyelematkan generasi yang
akan datang.
Di era reformasi ini sebenarnya sudah terlihat tumbuhnya niat baik
(good will) dari beberapa pemerintah daerah dalam hal pengelolaan SDA.
Dimana dengan kewenangan yang dimiliki diera desentralisasi ini
beberapa Kabupaten di Kalimantan telah menjadikan daerahnya sebagai
daerah konservasi dan meningkatkan status hutan yang ada didalam
wilayah administratifnya menjadi hutan lindung. Disamping juga, upaya-
upaya pencegahan dan penegakan hukum terhadap praktek illegal
logging, illegal mining, illegal fishing dan praktek-praktek eksploitasi dan
pengrusakan SDA yang telah berlangsung lama. Namun upaya tersebut
masih dirasakan belum optimal dibandingkan dengan dampak kerusakan
yang telah ditimbulkan. Salah satu faktor yang menyebabkan kurang
optimalnya pola pengelolaan SDA selama ini adalah minimnya pelibatan
masyarakat disekitar lingkungan SDA. Masyarakat hanya menjadi
penonton bahkan sering kali mendapat imbas dari kebijakan yang
dikeluarkan, sehingga pada akhirnya memposisikan masyarakat di sekitar
lingkungan SDA dipihak yang berlawanan dengan pemerintah.
Padahal berdasarkan data lapangan yang dikumpulkan dari
kegiatan penelitian ini, sangat banyak bentuk-bentuk kearifan lokal yang
diterapkan dalam kehidupan masyarakat terutama komunitas masyarakat
adat di Kalimantan. Bahkan nilai-nilai tersebut telah terintegrasi menjadi
nilai religius yang dianut oleh masyarakat. Bentuk-bentuk kearifan lokal
tersebut diantaranya; Larangan beserta dengan sanksi terhadap
penebang kayu secara sembarangan, pengklasifikasian hutan berserta
aturan-aturan pemanfaatannya, tata cara bercocok tanam, tata ruang
pemanfaatan hutan, cara pengolahan tambang dan berbagai kearifan-
kearifan lain yang sebenarnya menjadi bukti bahwa kerusakan terhadap
SDA selama ini sesungguhnya dipengaruhi oleh motif ekonomis yang lebih
besar dibandingkan motif masyarakat setempat untuk memenuhi hajat
hidupnya dengan memanfaatkan hasil hutan terutama hasil hutan non
kayu.
Penelitian ini pada akhirnya menawarkan sebuah pola
pengelelolaan lingkungan (SDA) dalam sebuah konsep pembangunan
berkelanjutan dengan memperhatikan prinsip kesinambungan,
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
ix
14. keseimbangan dan kelestarian, yang ditunjang oleh penerapan
pengetahuan tradisional dan kearifan masyarakat lokal. Lebih lanjut
konsep ini menawarkan sebuah model keseimbangan antara pengelolaan
sumber daya alam yang mempertimbangkan aspek jangka panjang
(generasi masa depan) di satu sisi, dengan menjadikan masyarakat
sebagai bagian yang tidak terpisahkan, baik dalam tahap perencanaan,
pelaksanaan maupun pengawasan. Namun konsep ini tidak akan bisa
terwujud tanpa diikuti oleh perubahan paradigma pembangunan yang
bertumpu pada ekstraksi sumber daya alam untuk mendapatkan dana
pembangunan atau orientasi pada produksi maksimum (maximum yield
principle) ke paradigma pembangunan yang melihat sumber daya alam
sebagai bagian dari pembangunan itu sendiri atau orientasi pada
keberlanjutannya (Suistainable Development).
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
ixi
15. EXECUTIVE SUMMARY
Natural resources such as forest, drainage basin, coastal areas,
compose coral and other seas resources, mining potency and products,
flora and fauna resources, fresh and clean air are essential natural
resources for human being. The decrease or lost of clean air and water, for
instance, will harm the persisting human lives; forest destruction will only
make people suffer; lack of water during dry season and threatening flood
during rainy season arise as the effects of forest destruction.
It takes a right and wise management in the make use of natural
resources to keep them sustainable and profitable both for the natural
resources as the product and human as the user. Consequently,
fundamental problem of natural resources management is the way to
manage the natural resources that they can produce the most profit for
human beings without destroying the conservation of natural resource.
In practice, however, various facts and data indicate that the
conservation of natural resources nowadays is very concerning. Floods
and land slides frequently occur and are disseminating all over Indonesia.
In 2003, there were 236 floods in 136 regencies and 26 provinces and 111
land slides in 48 regencies and 13 provinces. In the same year, it is noticed
78 occurences of dryness spread over 11 provinces and 36 regencies
(KLH, 2004). Moreover, in the same period, 263.071 ha of farm areas in 19
provinces were drowned in flood and failed to crop, and not to mention the
66.838 ha of rice field dried up.
Other data shows that Indonesia is regarded as a country with the
fastest time in losing its tropical forest where the deforestration increases 2
million ha in average per year. This kind of tropical forest is almost entirely
vanish in Sulawesi and estimated to be vanished in Sumatera in 2005 while
in Kalimantan, it is estimated will be vanished in 2010 if the deforestration
keeps accelerating. Furthermore, almost half of Indonesia's forest areas
have been fragmented by highway network, other access lane, and other
improvement activities such as plantation and industrial crop forest.
Environmental damage causes the function of forest environment
that support human lives is ignored, the immeasurable of flora and fauna
lives which create life cycle and worthwhile for human beings is destroyed
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
ixii
16. and gone. This also results the unfairness and imbalance in accessing the
benefit of development for the people around the forest areas.
This study is expected to identify the potency and management of
natural resources that exist in some regions especially Kalimantan.
Besides, this study is aimed to yield policy recommendation both for local
and central government in the effort of improving the effectivity of
managing the natural resources and environment by increasing people's
participation in managing this sector that both the government and local
people can involve together and cooperate in a genuine program in order to
manage the natural resources and environment based on the traditional
knowledge and local wisdom in the future.
Based on the data collected from research, the existence among
the potential natural resources naturally has created a pattern of people-
and-environment relationship. The interaction between people and natural
resources has created the interaction pattern which becomes the vales
embraced by the society. Among those values, there are many forms of
local wisdoms that are inherited for years by the society through interaction
with the forest ecosystem that they regard as everlasting resources.
People indicate that the various potencies exist in the forest can save future
generations and guarantee their lives there.
In fact, this reform era is marked with the good will from some local
government in the management of natural resources that some regencies
in Kalimantan become conservation areas and the improvement of some
forests status in the administrative territory to be protected forest. Besides,
prevention efforts and law execution against illegal logging, illegal mining,
illegal fishing, exploitation and harmful practices toward natural resources
have taken place long time ago. Yet the efforts are still considered less
optimal comparing the impact of damage that exists. One of the factors that
cause the less optimum management of natural resources management is
the limited involvement of the people around the natural resources
environment. People are merely the audience and frequently get the
glimpse of the issued policy that in the end become government's
opposition.
In fact, pursuant to field data collected from this research, plenty
forms of local wisdom applied in people's life especially in adat community
in Kalimantan. Even those values have been integrated and become
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
ixiii
17. religius values embraced by the society. The forms of local wisdom among
other things; Interdiction and sanction against promiscuous woodcutter,
forest classification along with the mining procedures and other wisdoms
which can be evidence that the damage of natural resources has been
affected by economic motif more than local people's motif in order to fulfil
their daily needs.
Finally, this research offers a pattern of environmental
management in a sustainable development concept regarding the
principals of continuity, balance, and permanence supported by applying
traditional knowledge and local community wisdom. Furthermore, this
concept offer a balance model toward the management of natural
resources with regard to long-range aspect (future generation) in one side,
making the community as inseparable whether in planning stage,
execution and supervision. However, this concept cannot be come true
unless it is followed by the change of development paradigm focusing on
the extraction of natural resources to get development fund or orientation
on maximum yield principle to development paradigm that consider natural
resources part of the development itself or orientation on sustainable
development.
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
ixiv
18. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bumi beserta isinya yang berupa sumber daya alam (SDA)
merupakan anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia untuk
dapat dimanfaatkan dan dikelola secara arif dan bijaksana guna
menopang kehidupan manusia sehingga perlu dipelihara dan dilestarikan.
Dalam pemanfaatan sumber daya alam tentunya diperlukan pengelolaan
yang baik agar kelangsungan sumber daya alam tersebut dapat menjadi
koeksistensi secara sustainable dan saling menguntungkan (mutualisme)
antara sumber daya alam tersebut dapat lestari dan manusia sebagai
pengguna dapat memperoleh manfaat tanpa harus merusak alam
sekitarnya.
Dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan pada suatu
negara ataupun daerah, secara umum dapat dilakukan melalui dua
pendekatan, yaitu melalui kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah
untuk kemudian diterapkan dilapangan dengan disertai aturan-aturan dan
konsekuensi dalam pelaksanaannya sehingga pemerintah beserta aparat
akan berperan sebagai subjek sedangkan sumber daya alam dan
masyarakat akan menjadi objek yang hanya mengikuti ketetapan
pemerintah, sedangkan pendekatan yang kedua adalah dilakukan
desentralisasi pengelolaan sumber daya alam (SDA) oleh pemerintah
kepada masyarakat, sehingga masyarakat akan turut berperan secara
langsung dan turut menjadi subjek dalam pengelolaannya sehingga akan
tumbuh rasa memiliki dan keinginan turut menjaga kelestariannya.
Berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
yang dilakukan dengan melibatkan masyarakat, dikenal istilah devolusi.
Menurut Katon et al (2001) pengertian devolusi artinya pengalihan baik hak
dan kewajiban-kewajiban pada kelompok dan masyarakat tingkat lokal
dalam mengelola sesuatu. Dalam pengelolaan sumber daya alam
khususnya hutan, devolusi merupakan salah satu alat yang efektif dalam
menjaga dan memelihara kelestarian sumber daya hutan pada tingkat
lokal. Devolusi terbentuk sebagai antisipasi terhadap keterbatasan
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
001
19. pemerintah selaku pengelola sumber daya hutan dalam menjaga dan
mengelola sumber daya hutan pada tingkat lokal. Pada umumnya
pemerintah mendapatkan hambatan dalam melakukan penjagaan dan
pemeliharaan pada lahan-lahan yang sukar dijangkau. Akibatnya banyak
terjadi pencurian kayu dan perambahan hutan yang kondisinya akhir-akhir
ini semakin meningkat. Apabila pengelolaan hutan tersebut diserahkan
kepada masyarakat yang dalam hal ini dimaksudkan adalah dengan
adanya devolusi, maka hutan akan relatif terjamin kelestariannya karena
masyarakat juga mempunyai kearifan lokal untuk mengelola hutan secara
lestari yang dibangun berdasarkan pada pengalaman mereka berinteraksi
dengan hutan selama berpuluh tahun atau berabad-abad lamanya.
Berdasarkan pemikiran di atas adanya devolusi secara tidak
langsung memberikan insentif terhadap masyarakat baik pada
masyarakat setempat maupun anggota masyarakat pendatang dalam
pengelolaan sumber daya hutan secara lestari. Insentif ini akan lebih
dirasakan lagi terutama apabila mereka diberi hak-hak, wewenang dan
kewajiban untuk terlibat dalam penentuan dan pembentukan kearifan
lokal. Adanya proses devolusi pada tingkat lokal juga bisa dijadikan
indikator adanya proses demokrasi yang ditandai dengan adanya
pengalihan otoritas dari tingkat yang tinggi ke tingkat yang lebih rendah
yaitu tingkat lokal masyarakat setempat.
Untuk mendukung pelaksanaan kearifan lokal secara efektif,
kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan aturan-aturan tersebut perlu
dilakukan secara bersama dan adaptif. Pengertian secara "bersama" disini
adalah semua masyarakat terutama yang berada di sekitar adanya
sumber daya alam dan lingkungan maupun pemerintah bekerja bersama-
sama dan saling berbagi pengetahuan dan tanggung jawab masing-
masing terhadap pengelolaan sumber daya alam sehingga fungsi
pemantauan dapat berjalan secara efektif. Pengertian "adaptif" adalah
adanya respon ataupun reaksi secara cepat dan tepat terhadap kegiatan
terdahulu yang dianggap tidak efektif. Respon ini diwujudkan dengan
kegiatan-kegiatan perbaikan terhadap perencanaan, pelaksanaan
maupun pemantauan pada kegiatan bersangkutan. Respon tersebut
dapat berasal dari hasil refleksi kelompok-kelompok masyarakat terhadap
kegiatan-kegiatan yang dilakukan.
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
2
20. Dalam hak-hak adat masyarakat terhadap tanah hutan,
sebenarnya terkandung muatan-muatan kearifan mempertahankan
keberadaan hutan. Misalnya, hutan Tengkawang masyarakat etnis Dayak
Kalimantan Barat, merupakan suatu bentuk mempertahankan
keberadaan hutan. Hutan Tengkawang ini dipelihara dan diatur dengan
aturan adat agar bermanfaat bagi mereka. Demikian juga kewajiban adat
untuk menanam pohon-pohon tertentu di areal perladangan oleh
masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Pohon-
pohon Tengkawang yang menghasilkan buah yang dapat dipungut
masyarakat di Kalimantan Barat dipertahankan dan dipelihara dengan
baik. Di Sumatera terdapat hutan-hutan larangan yang tidak boleh dijamah
oleh masyarakat karena memiliki nilai sakral dan nilai adat yang tinggi dan
masih banyak lagi hak-hak adat yang bersifat positif terhadap kelestarian
hutan dan tanah hutan yang perlu terus digali. Permasalahannya sekarang
adalah bagaimana upaya menjembatani hak-hak tradisional yang sudah
dianut sejak dahulu kala tersebut agar secara berangsur-angsur dapat
mengikuti dan bahkan melebur kedalam hukum pertanahan nasional yang
berlaku. Bagaimana membangun hutan yang dimiliki oleh desa atau
kelompok masyarakat disamping membangun hutan rakyat ditanah
miliknya. Masyarakat lokal diberi hak pengelolaan hutan rakyat dan diatur
oleh pemerintah setempat dengan menggunakan aturan-aturan adat
setempat. Dengan program tersebut diharapkan kesejahteraan
masyarakat didalam dan sekitar hutan yang secara dominan
penghidupannya sebagai petani dapat lebih ditingkatkan lagi. Konsep ini
merupakan kepedulian dan pemberdayaan terhadap masyarakat sekitar
hutan.
Jika kita melihat kembali kepada pengelolaan sumber daya alam
yang telah dilakukan selama ini, sistem pengelolaan sumber daya alam
yang diterapkan di Indonesia pada umumnya dan Kalimantan khususnya,
lebih kepada pendekatan dimana negara ataupun daerah dalam hal ini
pemerintah lah yang mempunyai kewenangan dalam pengelolaan sumber
daya alam tanpa mempertimbangkan dan melibatkan masyarakat sekitar
sehingga pada saatnya terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan di lapangan, masyarakat
disekitarnya tidak akan peduli dan tidak akan bertindak untuk menjaga
kelestariannya bahkan malah akan turut terlibat dalam perusakannya
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
003
21. dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada tanpa
memperhatikan kelestariannya.
Seperti yang banyak dilakukan oleh pemerintah adalah pemberian
HPH kepada para pengusaha besar tanpa memperhatikan masyarakat
sekitar, dimana banyak pengusaha besar yang hanya mengambil
keuntungan dari hasil hutannya sedangkan kelestariannya diabaikan dan
masyarakat pun tidak peduli dengan kerusakan alam yang terjadi bahkan
turut melakukan illegal logging. Adapun akibat yang sering terjadi dari
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang tidak memperhatikan
keseimbangan dan kelestarian alam diantaranya adalah kekeringan dan
kebakaran hutan di musim kemarau, abrasi dan erosi tanah serta banjir
dan tanah longsor di musim hujan, rusaknya daerah aliran sungai dan
sempadan sungai/pantai serta taman nasional dan wisata alam, serta
kerugian akibat hilangnya nilai sumber daya alam yang dieksploitasi tanpa
memperhatikan kelestariannya.
Kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang diterapkan oleh
pemerintah selama ini masih bersifat top down dan struktural, serta belum
mengakomodir kepentingan masyarakat yang tinggal disekitarnya dan
kurang memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi
langsung dalam proses pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
tersebut. Di lain pihak, lemahnya dan makin lunturnya kepedulian
masyarakat (community awareness) untuk mengelola sumber daya alam
dan lingkungan secara lestari dan memecahkan persoalan-persoalan
bersama yang ada berkaitan dengan permasalahan sumber daya alam
dan lingkungan. Dengan kata lain, kebijakan pemerintah dalam hal
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan selama ini belum mampu
menumbuhkan rasa memiliki dan keinginan dari masyarakat disekitar
lingkungan tersebut untuk turut menjaganya. Itulah sebabnya,
implementasi suatu kebijakan yang penerapannya berhubungan langsung
dengan sumber daya alam dan kehidupan masyarakat, justru sering
ditolak dan menimbulkan konflik vertikal yang kontra-produktif. Hal seperti
ini sungguh sangat ironis di era otonomi luas seperti saat ini. Sedangkan
penerapan desentralisasi yang banyak dilakukan pada era otonomi saat ini
hanya merupakan penyerahan wewenang yang semu dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah, sedangkan dalam pelaksanaan
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
4
22. pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, pemerintah daerah tidak
melibatkan masyarakat sekitar, kalaupun ada hanya kegiatan dengan
skala kecil dan untuk daerah tertentu saja.
Bahkan jika diperhatikan dengan adanya era otonomi yang
diharapkan mempercepat pembangunan dan peningkatan perekonomian
secara merata di seluruh daerah, secara tidak langsung justru turut juga
dalam mempercepat kerusakan sumber daya alam dan lingkungan karena
adanya pemegang wewenang baru didaerah-daerah yang berkeinginan
membangun daerahnya masing-masing dengan segera sehingga
melakukan eksploitasi secara besar-besaran terhadap sumber daya alam
tanpa memperhatikan kelangsungan sumber daya alam dan lingkungan
serta masyarakat disekitarnya.
Oleh karena itu, langkah terpenting yang dapat dilakukan adalah
dengan mengembangkan partisipasi masyarakat setempat. Pendekatan
kebijakan yang sifatnya sentralistik dari pemerintah sebagai pemegang
kewenangan kepada masyarakat perlu direvisi dengan metode yang lebih
kolaboratif dan melibatkan peran langsung warga. Dengan metode baru
ini, perlu dibentuk kelompok-kelompok masyarakat di sekitar sumber daya
alam yang kemudian seharusnya menjadi mitra atau "rekanan"
Pemerintah dalam pengelolaan dan penjagaan kelestarian sumber daya
alam dan lingkungan tersebut. Dengan pola pengelolaan seperti ini,
diharapkan dapat menghasilkan output berupa tetap terjaganya sumber
daya alam dan lingkungan tersebut, dan terberdayakannya masyarakat
yang bertempat tinggal disekitarnya sehingga kehidupan sosial ekonomi
masyarakat juga meningkat, serta berkurangnya beban pengawasan oleh
pemerintah untuk secara langsung di lapangan dalam kegiatan penjagaan
yang sesungguhnya bisa diserahkan kepada masyarakat sendiri.
Dengan model "kerjasama" tersebut, peran pemerintah dapat
dikurangi secara signifikan, sehingga sumber daya aparatur yang ada
dapat dimanfaatkan secara lebih produktif untuk sektor-sektor yang lebih
membutuhkan. Ini berarti pula bahwa kebijakan Pemerintah lebih mampu
"memanusiakan" kelompok-kelompok marginal masyarakat yang berada
di sekitar sumber daya alam tersebut. Pada saat yang bersamaan, upaya
ini juga dapat menumbuhkan rasa saling percaya (trust) diantara
masyarakat dengan pemerintah, sekaligus mengembangkan jaringan
kerja (network) yang harmonis serta meningkatkan kehidupan sosial
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
005
23. ekonomi melalui pemberdayaan masyarakat. Dengan kata lain, kebijakan
yang partisipatif dan memperhatikan norma-norma sosial budaya yang
berlaku pada masyarakat akan mengantarkan pada menguatnya
kepedulian dan kontrol sosial masyarakat untuk mengatasi masalah-
masalah pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Dengan demikian, perlunya upaya untuk mendeteksi hal-hal yang
ada dan berkembang di masyarakat mengenai pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan berbasis pengetahuan dan kearifan local (local
wisdom) dimasing-masing daerah untuk kemudian dikembangkan
sehingga hal tersebut dapat diterima oleh masyarakat dan akan dapat
menunjang program pemerintah dalam hal pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan secara baik dan lestari. Ini berarti pula bahwa
kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan tidak boleh
hanya berorientasi pada keuntungan yang besar namun dalam tempo
waktu yang tidak lama kemudian habis dan meninggalkan permasalahan
yang mengancam kelangsungan kehidupan sendiri, tetapi harus pula
mengacu pada pengelolaan sumber daya dan lingkungan secara
berkelanjutan (suistainable) dan lestari.
B. Perumusan Masalah
Dari berbagai fenomena dipaparkan pada latar belakang diatas,
maka dapat dirumuskan adanya 2 (dua) permasalahan utama, yaitu:
1. Masih adanya praktek-praktek pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan yang tidak berbasis pada prinsip kesinambungan,
keseimbangan dan kelestarian, seperti pembukaan hutan dengan cara
pembakaran, illegal logging, penambangan tanpa ijin (PETI),
penangkapan ikan dengan bom, dan sebagainya. Kondisi seperti ini
berdampak pada degradasi mutu lingkungan.
2. Kurang efektifnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan
pemantauan, perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan melalui pemanfaatan pengetahuan yang ada dan partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
3. Kurang efektifnya kebijakan Pemerintah Daerah dalam hal pemberian
ijin, perencanaan serta pengawasan terhadap pengelolaan sumber
daya alam dan lingkungan sehingga maraknya praktek-praktek
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
6
24. pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang tidak berbasis
C. Kerangka Pikir
Pada hirarki konseptual, sumber daya alam merupakan barang
publik (public goods). Konsekuensi atas konsepsi ini adalah bahwa akses
untuk mendapatkannya harus terbuka untuk sebanyak mungkin pelaku
ekonomi dan masyarakat luas. Jenis public goods seperti ini harus dikelola
secara transparan dan diawasi secara terbuka. Dengan demikian, jika
kendali pengelolaannya dilakukan pemerintah saja tanpa kontrol yang
memadai dari pihak masyarakat, maka kemanfaatannya menjadi sangat
terbatas pula. Pengalaman Indonesia selama ini memperlihatkan bahwa
kontrol pemerintah pusat sangat kuat sehingga kemanfaatannya pun
terbatas pada kalangan dekat birokrasi pusat tersebut. Hal ini terbukti dari
alokasi berbagai potensi sumber daya alam seperti pertambangan, hutan,
perikanan dan sebagainya (Rachbini: 2003).
Pola pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, pada umum
dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pertama; melalui kebijakan
yang ditetapkan oleh pemerintah untuk kemudian diterapkan dilapangan
dengan disertai aturan-aturan dan konsekuensi dalam pelaksanaannya
sehingga pemerintah beserta aparat akan berperan sebagai subjek
sedangkan sumber daya alam dan masyarakat akan menjadi objek yang
hanya mengikuti ketetapan pemerintah, sedangkan pendekatan yang
kedua; adalah dilakukan desentralisasi pengelolaan SDA oleh pemerintah
kepada masyarakat, sehingga masyarakat akan turut berperan secara
langsung dan turut menjadi subjek dalam pengelolaannya sehingga akan
tumbuh rasa memiliki dan keinginan turut menjaga kelestariannya.
Praktek pola pengelolaan SDA secara sentralistik mewarnai
perjalan sejah pembangunan di Indonesia dan telah memberikan dampak
yang cukup luas. Salah satu dampak yang sangat dahsyat akibat
sentralisasi pemerintahan dan manajemen pemerintahan Orde Baru
adalah hilangnya inisiatif lokal dan masyarakat dalam meng-create dan
mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya seperti potensi hutan
yang dimilikinya. Masyarakat seperti terhipnotis oleh lakon pejabat -- mulai
dari pusat hingga daerah -- yang secara semena-mena dan tanpa
mempertimbangkan ekosistem dan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom)
pada prinsip kesinambungan, keseimbangan dan kelestarian.
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
007
pada prinsip kesinambungan, keseimbangan dan kelestarian.
25. yang sejak turun-temurun dimiliki masyarakat dan telah berinteraksi
dengan ekosistem hutan yang menurut mereka sebagai bagian dari mata
pencaharian lestari.
Pada era tersebut para penyelenggara negara selalu memandang
sumber daya alam, termasuk hutan sebagai sumber daya sebagai engine
of growth atau sebagaimana pandangan yang dianut oleh ilmuwan
ekonomi konvensional seperti Adam Smith dan David Ricardo. Akibat cara
pandang yang cenderung eksploitatif tersebut, maka sumber daya alam
(hutan) termasuk sumber daya alam yang 'dikuasai' oleh pemerintah pusat
yang dikelola secara sentralistis. Sedangkan masyarakat tidak
memandang hutan sebagaimana cara pandang pengusaha dan
pemerintah pusat pada saat itu, dimana hutan sebagai potensi ekonomi
yang dilihat sebagai potensi kayu yang memiliki nilai ekspor tinggi.
Masyarakat menilai berbagai potensi yang ada dalam hutan akan
menyelamatkan generasi masa mendatang karena hutan masyarakat bisa
hidup dan menyelematkan generasi yang akan datang.
Dengan sistem pemerintahan yang sentralistik, pengelolaan
sumber daya alam khususnya sumber daya hutan sangat ditentukan oleh
pemerintah pusat. Kebijakan pemerintah untuk mengelola hutan secara
legal mendorong praktek ekstraksi sumber daya hutan. Artinya penerima
manfaat yang besar adalah pemerintah pusat dan pengusaha, sementara
daerah mendapat bagian yang sangat kecil bahkan untuk daerah
penghasil khususnya masyarakat hanya menjadi penonton dan penerima
dampak langsung yang ditimbulkan oleh pengusahaan hutan. Bahkan
masyarakat seringkali menjadi kambing hitam sebagai penyebab dampak
negatif yang ditimbulkan oleh praktek-praktek swasta (pengusaha hutan)
dan kebijakan pemerintah
Praktek sentralisme dan ketertutupan birokrasi tersebut juga
berdampak buruk pada pola pengelolaan sumber-sumber potensi
ekonomi yang cenderung mengabaikan kepentingan masyarakat banyak
dan tidak memperhitungkan dampak yang ditimbulkan akibat rusaknya
ekosistem yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di masa
datang. Bukti-bukti empiris seperti yang terjadi saat ini seperti banjir
bandang di berbagai pelosok republik yang terjadi secara terus menerus,
peristiwa tanah longsor, dan terjadinya kekeringan yang selalu menjadi
momok dimusim kemarau adalah akibat dari pola-pola pengelolaan
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
8
26. lingkungan atas dasar kepentingan sesaat yang tidak berorientasi
kedepan dan menafikan kepentingan generasi yang akan datang. Bahkan
Menteri Lingkungan Hidup (2006) mengeluarkan angka laju deforestasi
hutan di Indonesia yaitu mencapai 2 juta hektar pertahun, dan apabila tidak
ada upaya serius untuk menghentikan deforestasi ini, diperkirakan tipe
hutan tropis ini akan dalam waktu dekat akan lenyap di Sulawesi dan
Sumatera serta pada tahun 2010 akan lenyap di Kalimantan.
Sedangkan secara global menurut Emil Salim, rusaknya SDA bisa
dilihat dari (1) telah menciutnya hutan sehingga keanekaragaman hayati
mulai berkurang; (2) suhu bumi meningkat drastis, sehingga iklim cepat
berubah-ubah, permukaan air naik sedangkan volumenya menurun dan
kualitasnya pun makin memburuk; (3) tanah bergurun pasir meluas; dan
(4) fungsi ekosistem sebagai sistem penunjang kehidupan makin
terganggu.
Memperhatikan kondisi tersebut, perubahan paradigma
pembangunan khususnya pola pengelolaan sumber daya alam secara
berkelanjutan dan berkesinambungan dengan mengacu kepada prinsip
kesinambungan, keseimbangan dan kelestarian merupakan pilihan yang
harus dipilih oleh pemerintah.
Menurut Komisi Brudtland definisi pembangunan berkelanjutan
adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa
mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhan mereka Sementara Emil Salim mendefinisikan pembangunan
yang bekelanjutan adalah suatu proses pembangunan yang
mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alam dan sumberdaya
manusia, dengan menyerasikan sumber daya alam dengan manusia
dalam pembangunan.
Terlepas dari perdebatan interpretasi pendefinisian pembangunan
berkelanjutan tersebut, menurut Emil Salim, terdapat tiga langkah, sebagai
implikasi kebijakan yang penting untuk dipikirkan para pengambil
keputusan pembangunan, sebagai berikut:
Pertama, berkenaan dengan pengelolaan sumber daya alam
(resource management) dengan tekanan pada pengelolaan hutan, tanah
dan air. Pengelolaan hutan harus mencakup sumber hayati plasma nuftah,
yang merupakan sumber alam genetik (genetic resource), sehingga
pengelolaan hutan itu tidak hanya memperhatikan kayu-kayunya,
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
9
27. melainkan juga sumber genetik tersebut. Hal ini penting karena pada awal
abad 21, sumber alam genetik akan menjadi sumber daya alam yang amat
menentukan pembangunan yang akan datang (Salim, 1992 dan Rachbini,
2001).
Kebijakan kedua berkenaan dengan pengelolaan dampak
pembangunan terhadap lingkungan yang mencakup penerapan analisis
dampak pembangunan terhadap lingkungan, pengendalian pencemaran,
khususnya bahan berbahaya dan beracun, maupun pengelolaan
lingkungan binaan manusia (man made environment) seperti kota, waduk
dan lain sebagainya.
Kebijakan ketiga, berkenaan dengan pembangunan sumberdaya
manusia (human resources development), yang mencakup pengendalian
jumlah penduduk atau kualitasnya (tingkat kelahiran, tingkat kematian,
dan tingkat kesakitan); pengelolaan mobilitas perpindahan penduduk
kedaerah dan ke kota, pengembangan kualitas penduduk, baik secra fisik
maupun non fisik yang menyangkut kualitas pribadi maupun kualitas
bermasyarakat, serta pengembangan keserasian kuantitatif, keserasian
kualitatif dan keserasian wawasan.
Yang menjadi landasan utama dari konsep pembangunan
berkelanjutan ini adalah suatu paradigma pembangunan yang melihat
sumber daya alam sebagai bagian dari pembangunan itu sendiri atau
orientasi pada keberlanjutannya (Suistainable Development) bukan
pembanguunan yang bertumpu pada ekstraksi sumber daya alam untuk
mendapatkan dana pembangunan atau orientasi pada produksi
maksimum (maximum yield principle). Dengan kata lain, sumber daya
alam yang ada dikelola dan dimanfaatkan dengan tetap menerapkan
prinsip-prinsip pelestarian alam sehingga terjadi keseimbangan antara
konservasi dan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam untuk
menunjang pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
D. Ruang Lingkup
Kajian ini mencoba menggali alternatif pengelolaan Sumber Daya
Alam (SDA) dan lingkungan berbasis pengetahuan dan kearifan lokal
(local wisdom) yang ada di masyarakat. Sedangkan ruang lingkup
kegiatan penelitian ini yaitu daerah tingkat dua (Kabupaten/Kota) yang
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
10
28. mempunyai potensi yang besar di sektor Sumber Daya Alam (SDA) namun
dalam pengelolaan selama ini sangat minim adanya partisipasi
masyarakat setempat, dimana setiap kota mewakili 1 Propinsi di
Kalimantan.
Adapun penentuan sampelnya dilakukan secara random bertujuan
(purposive random sampling) dengan daerah-daerah yang diteliti:
No. Wilayah Daerah Sampel
1 Kalimantan Timur Kab. Berau
2 Kalimantan Barat Kab. Kapuas Hulu
3 Kalimantan Tengah Kab. Murung Raya
4 Kalimantan Selatan Kab. Hulu Sungai Tengah
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
011
E. Tujuan dan Kegunaan
Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas
pengelolaan Sumber Daya Alam dan lingkungan melalui peningkatan
partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sektor ini. Sehingga kedepan,
diharapkan pemerintah daerah maupun masyarakat setempat terlibat
dalam satu program yang jelas dalam pengelolaan Sumber Daya Alam
(SDA) dan lingkungan berbasis pengetahuan (traditional knowledge) dan
kearifan lokal (local wisdom) di Kalimantan.
F. Target / Hasil yang Diharapkan
Hasil akhir yang ingin dicapai dari kajian ini adalah tersusunnya
sebuah laporan dan rekomendasi tentang strategi pemerintah daerah
untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Sumber
Daya Alam (SDA) dan lingkungan berbasis pengetahuan tradisional
(traditional knowledge) dan kearifan lokal (local wisdom) di Kalimantan.
G. Status dan Jangka Waktu
Kajian ini merupakan program baru yang dilaksanakan untuk
wilayah Kalimantan. Adapun jangka waktu yang dibutuhkan untuk
pelaksanaan kajian ini adalah 9 bulan, yakni periode April - Desember
2006.
Tabel 1.1
Daerah Sampel/Tujuan Kajian
29. BAB II
KERANGKA TEORETIS POLA PENGELOLAAN SUMBER
DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN BERBASIS
PENGETAHUAN DAN KEARIFAN LOKAL
(LOCAL WISDOM)
A. Konsepsi dan Ruang Lingkup Pengelolaan SDA dan Lingkungan
Sumber daya alam seperti air, udara, lahan minyak, ikan, hutan dan
lain-lain merupakan sumber daya yang esensial bagi kelangsungan
manusia. Berkurang atau hilangnya pasokan udara dan air misalnya akan
sangat mengganggu kelangsungan hidup umat manusia. Demikian juga
dengan hutan, dimana kelangsungan hidup manusia juga bergantung
kepadanya. Rusaknya hutan akan sangat merugikan umat manusia.
Langkanya air pada musim kemarau dan ancaman banjir pada musim
penghujan adalah ancaman yang ditimbulkan oleh rusaknya hutan
terhadap kehidupan umat manusia.
Karenanya pengelolaan sumber daya alam yang baik akan
meningkatkan kesejahteraan umat manusia, dan sebaliknya pengelolaan
sumber daya alam yang buruk akan merugikan umat manusia. Karena
itulah persoalan fundamental sehubungan dengan pengelolaan sumber
daya alam adalah bagaimana mengelola sumber daya alam tersebut agar
dapat menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi umat manusia
1
dengan tidak mengorbankan kelestarian sumber daya alam itu sendiri .
Mungkin karena itulah Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan
sumber daya alam sebagai kekayaan yang harus dilindungi negara.
“ (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas
kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara; (3) Bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".
1 Fauzi, Akhmad. Ekonomi Sumber daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta. 2004: 2.
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
12
30. Demikian pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang Dasar
1945. Di dalam penjelasan pasal 33 disebutkan bahwa "dalam pasal 33
tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua,
untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota
masyarakat. Kemakmuran masyarakat-lah yang diutamakan, bukan
kemakmuran orang seorang". Selanjutnya dikatakan bahwa "Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok
kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".
Penafsiran dari kalimat "dikuasai oleh negara" dalam ayat (2) dan
(3) tidak selalu dalam bentuk kepemilikan tetapi utamanya dalam bentuk
kemampuan untuk melakukan kontrol dan pengaturan serta memberikan
pengaruh agar perusahaan tetap berpegang pada azas kepentingan
2
mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat .
Jiwa pasal 33 berlandaskan semangat sosial, yang menempatkan
penguasaan barang untuk kepentingan publik (seperti sumber daya alam)
pada negara. Pengaturan ini berdasarkan anggapan bahwa pemerintah
adalah pemegang mandat untuk melaksanakan kehidupan kenegaraan di
Indonesia. Untuk itu, pemegang mandat ini seharusnya memiliki legitimasi
yang sah dan ada yang mengontrol tidak tanduknya, apakah sudah
menjalankan pemerintahan yang jujur dan adil, bertanggungjawab
(accountable), dan transparan (transparent).
Penguasaan Negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya tersebut secara luas dijabarkan lebih jauh
setidaknya oleh 11 undang-undang yang mengatur sektor-sektor khusus
yang memberi kewenangan luas bagi Negara untuk mengatur dan
menyelenggarakan penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber
daya alam serta mengatur hubungan hukumnya. Kesebelas undang-
undang tersebut adalah sebagai berikut: (a) UU No. 5 Tahun 1960 tentang
Pokok-Pokok Agraria; (b) UU No. 5 Tahun 1967 tentang Pokok Kehutanan;
(c) UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pokok Pertambangan; (d) UU No. 1
Tahun 1973 tentang Landasan Kontinen; (e) UU No. 11 Tahun 1974
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
013
31. tentang Ketentuan Pokok Pengairan; (f) UU 13 Tahun 1980 tentang Jalan;
(g) UU No. 20 Tahun 1989 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertahanan Keamanan; (h) UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup; (i) UU No. 9 Tahun 1985
tentang Ketentuan Pokok Perikanan; (j) UU No. 5 Tahun 1984 tentang
Perindustrian; dan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya
Hayati.
Lahirnya berbagai UU terkait dengan pengaturan dan
penyelenggaraan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber
daya alam serta pengaturan hubungan hukumnya, menjadi penjelas
kepada kita bahwa telah ada political-will dari penyelenggara negara untuk
menguasai sumber daya alam untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Sedangkan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Pengelolaan adalah proses yang memberikan pengawasan pada semua
hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian
tujuan; proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakan tenaga
orang lain. Sedangkan Sumber Daya Alam diartikan sebagai potensi alam
yang dapat dikembangkan untuk proses produksi. Menurut Undang-
Undang Lingkungan Hidup No.23 tahun 1997 Lingkungan hidup adalah
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk
hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk
hidup lain. Sedangkan Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya
terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi
kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan,
pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.
B. Konsep dan Definisi Sumber Daya Alam
Pengertian sumber daya dalam ilmu ekonomi sudah dikenal
hampir 2,5 abad yang lalu, ketika Adam Smith menerbitkan bukunya
Wealth of Nation -nya pada 1776, dimana dalam bukunya tersebut sumber
daya telah digunakan dalam kaitannya dengan proses produksi. Menurut
Adam Smith, sumber daya didefinisikan sebagai seluruh faktor produksi
yang diperlukan untuk menghasilkan output. Konsep ekonomi klasik yang
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
14
32. dipelopori Adam Smith ini menganggap sumber daya identik dengan input
produksi. Penyetaraan ini memiliki keterbatasan karena sumber daya
diartikan secara terbatas dalam peranannya untuk menghasilkan utilitas
(kepuasan) melalui proses produksi. Dengan perkataan lain, sumber daya
diperlukan bukan karena faktor dirinya sendiri, melainkan diperlukan
sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Padahal sumber daya bisa juga
3
menghasilkan utilitas tanpa melalui proses produksi . Hutan yang memiliki
panorama indah, misalnya, bisa saja tidak dijadikan faktor produksi,
namun memberikan utilitas berupa pemandangan (scenery) yang dapat
dinikmati masyarakat.
Pendefinisian terhadap sumber daya menurut Adam Smith
tersebut, cenderung mengabaikan aspek intrinsik dari sumber daya itu
sendiri. Nilai intrinsik adalah nilai yang terkandung dalam sumber daya,
terlepas apakah sumber daya tersebut dikonsumsi atau tidak. Bahkan
menurut Fauzi (2004), lebih ekstrim lagi, terlepas apakah manusia itu ada
4
atau tidak . Dan dalam ilmu ekonomi konvensional, sebagaimana Adam
Smith melihat sumber daya, aspek intrinsik ini sering diabaikan sehingga
kebanyakan negara, memilih alat ekonomi konvensional untuk memahami
pengelolaan sumber daya alam tanpa melihat dimensi intrinsik. Akibatnya
adalah over-exploitation yang mengabaikan kemanfaatan sumber daya
bagi generasi yang akan datang.
5
Ensiklopedia Webster sebagaimana dikutip Fauzi (2004)
mendefinisikan sumber daya antara lain sebagai (a) kemampuan untuk
memenuhi atau menangani sesuatu; (b) sumber persediaan, penunjang
atau bantuan; (c) sarana yang dihasilkan oleh kemampuan atau pemikiran
seseorang.
Judith Rees (1990) dalam bukunya yang berjudul Natural
Resources: Allocation, Economics and Policy, sebagaimana yang dikutip
oleh Fauzi (2004) menjelaskan bahwa sesuatu yang dapat dikatakan
sebagai sumber daya harus memiliki dua kriteria: (a) harus ada
pengetahuan, teknologi atau keterampilan (skill) untuk memanfaatkannya;
(b) harus ada permintaan (demand) terhadap sumber daya tersebut.
3 Fauzi, Akhmad.Op.cit. hal 3.
4 Ibid.
5 Ibid. hal 2.
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
015
33. Kalau kriteria tersebut tidak dimiliki, maka sesuatu itu kita sebut
barang netral. Jadi tambang emas yang terkandung di dalam bumi
misalnya, jika kita belum memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk
memanfaatkannya dan tidak ada demand untuk komoditas tersebut,
tambang emas tersebut masih dalam kriteria barang netral. Namun pada
saat permintaan ada dan teknologi tersedia, ia menjadi sumber daya atau
resource. Dengan demikian, dalam pengertian ini, sumber daya
didefinisikan terkait dengan kegunaan (usefulness), baik untuk masa kini
maupun masa yang akan datang bagi umat manusia.
Menurut Fauzi (2004), selain dua kriteria di atas, definisi sumber
daya juga terkait dengan dua aspek, yakni aspek teknis yang
memungkinkan bagaimana sumber daya dimanfaatkan, aspek
kelembagaan yang menentukan siapa yang mengendalikan sumber daya
dan bagaimana teknologi digunakan. Aktifitas ekstrasi sumber daya hutan,
misalnya, melibatkan aspek teknis menyangkut alat pemotong kayu, alat
transportasi, tenaga kerja dan alat pengolah kayu, serta aspek
kelembagaan yang menentukan pengaturan siapa saja yang boleh
mengelola dan memanfaatkan hasil hutan. Jika misalnya, aspek
kelembagaan tidak berfungsi secara baik, sumber daya hutan akan
terkuras habis tanpa memberi manfaat yang berarti bagi umat manusia,
bahkan yang ada adalah ancaman terhadap keselamatan umat manusia
sepebagaimana yang saat ini sedang melanda Indonesia seperti banjir,
tanah longsor dan bencana alam lainnya.
C. Pandangan terhadap Sumber Daya Alam
Dalam memahami sumber daya alam, terdapat dua pandangan
6
yang berbeda . Pertama, pandangan konservatif atau sering disebut
sebagai pandangan pesimis atau perspektif Malthusian. Dalam
pandangan ini, resiko akan terkurasnya sumber daya alam menjadi
perhatian utama. Dalam pandangan ini, sumber daya alam harus
dimanfaatkan secara hati-hati karena karena ada faktor ketidakpastian
terhadap apa apa yang akan terjadi terhadap sumber daya alam untuk
generasi yang akan datang.
6 Ibid. hal 4.
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
16
34. Pandangan ini berakar pada pemikiran Malthus yang dikemukakan
sejak tahun 1879 ketika bukunya yang tersohor itu, Principle of Population
diterbitkan. Dalam perspektif Malthus, sumber daya alam yang jumlahnya
terbatas ini tidak akan mampu mendukung pertumbuhan penduduk yang
cenderung tumbuh secara eksponensial. Sementara produksi dari sumber
daya alam akan mengalami apa yang disebut dalam teori konvensional
sebagai diminishing return dimana output perkapita akan mengalami
kecenderungan yang menurun sepanjang waktu. Menurut Malthus, ketika
proses diminishing return ini terjadi, standar hidup juga akan menurun
sampai ke tingkat subsisten yang pada gilirannya akan mempengaruhi
reproduksi manusia.
Pandangan kedua, adalah pandangan eksploitatif atau sering juga
disebut sebagai perspektif Ricardian. Dalam pandangan ini dikemukakan
antara lain:
‘ Sumber daya alam diangap sebagai mesin pertumbuhan (engine of
growth) yang mentransformasikan sumber daya ke dalam man-made
capital yang pada gilirannya akan menghasilkan produktifitas yang
lebih tinggi di masa datang.
‘ Keterbatasan supply dari sumber daya untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi dapat disubstitusikan dengan cara intensifikasi (eksploitasi
sumber daya secara intensif) atau dengan cara ekstensifikasi
(memanfaatkan sumber daya yang belum dieksploitasi).
‘ Jika sumber daya menjadi langka, hal ini akan tercermin dalam dua
indikator ekonomi, yakni meningkatnya baik itu harga output maupun
biaya ekstraksi per satuan output. Meningkatnya harga output akibat
meningkatnya biaya per satuan output akan menurunkan permintaan
terhadap barang dan jasa yang dihasilkan sumber daya alam. Di sisi
lain, peningkatan harga output menimbulkan insentif kepada produsen
sumber daya alam untuk berusaha meningkatkan supply. Namun,
karena ketersediaan sumber daya alam sangat terbatas, kombinasi
dampak harga dan biaya akan menimbulkan insentif untuk mencari
sumber daya substitusi dan peningkatan daur ulang. Selain itu, untuk
mengembangkan inovasi-inovasi seperti pencarian deposit baru,
peningkatan efisiensi produksi, dan peningkatan teknologi daur ulang
sehingga dapat mengurangi tekanan terhadap pengurasan sumber
daya alam.
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
017
35. Kedua pandangan tersebut, secara diagramatis, dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.
Sumber Daya Alam
Eksploitasi / Pemanfaatan
Ekstraksi
Daya
Dukung
Pengurangan Tingkat
Pengurasan
Pemanfaatan
Lestari
Tidak
Pengurasan SDA
Ya
Kelangkaan
Peningkatan Biaya
Ekstaksi
Peningkatan
Harga SDA
Penurunan
Permintaan
Peningkatan
Penawaran
‘ Pencarian SDA
pengganti
‘ Peningkatan Daur
Ulang
Inovasi
‘ Pencarian SDA baru
‘ Peningkatan Efisiensi
‘ Perbaikan teknologi daur ulang
‘ Perbaikan konservasi
Sumber: Fauzi, Akhmad. Ekonomi Sumber daya Alam dan Lingkungan:
Teori dan Aplikasi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2004: 7.
Gambar 2.1.
Bagan Pandangan terhadap Sumber daya Alam
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
18
36. D. Pengelolaan Hutan Sentralistik
Sejak berdirinya negara Republik Indonesia, pengelolaan sumber
daya hutan tidak dapat dilepaskan dari cara pandang dan pola pikir para
penyelenggara negara terhadap sumber daya tersebut pada eranya
masing-masing. Pada era Orde Baru misalnya, para penyelenggara
negara selalu memandang sumber daya alam, termasuk hutan sebagai
sumber daya sebagai engine of growth atau sebagaimana pandangan
yang dianut oleh ilmuwan ekonomi konvensional seperti Adam Smith dan
David Ricardo. Akibat cara pandang yang cenderung eksploitatif tersebut,
maka sumber daya alam (hutan) termasuk sumber daya alam yang
7 8
'dikuasai' oleh pemerintah pusat yang dikelola secara sentralistis .
Cara pandang inilah yang menjadi penyebab rusak dan hancurnya
lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan Indonesia, terutama
9
hutan di Indonesia. Menurut Aida Vitayala (2004) penyebabnya adalah
karena over-ekplorasi untuk memenuhi kebutuhan industri kehutanan,
konversi lahan hutan menjadi lahan non-hutan (misalnya, perkebunan,
transmigrasi, jalan raya), timber ekstraksion, illegal logging, kebakaran
hutan, penegakan hukum yang lemah, pemberian fasilitas konsesi hutan
yang tidak terkontrol, korupsi dan inefisiensi pelaksanaan PP (Peraturan
Pemerintah) dalam proses pengusahaan dan pengelolaan hutan.
Menurut, Aida (2004), sebagaimana mengutip data DepHutBun
(2000), laju degradasi hutan di Indonesia mencapai rataan 1-1,5 juta
hektar yang sekaligus mengancam seluruh tipe habitat, dari hujan dataran
rendah sampai alpin dan menyebabkan penyusutan sebanyak 20 persen
sampai 70 persen (barber, et.al, 1997). Akibat lanjutannya adalah fungsi
lingkungan hutan yang mendukung kehidupan manusia terabaikan,
beragam kehidupan flora dan fauna yang membentuk mata rantai
kehidupan yang bermanfaat bagi manusia menjadi rusak dan hilang.
7 Anwar, Wahyudi K. Desentralisasi Pengelolaan Sumber daya Hutan: Jalan Berliku Yang Tak Juga
Berujung. Biro Penerbitan Arupa. Yogyakarta. 2002. hal 11.
8 Fauzi, Akhmad. Op.cit. hal: 140.
9 Aida Vitayala Hubeis. Pemiskinan Masyarakat Sekitar Hutan. Makalah ini disampaikan pada acara
Sarasehan dan Kongres LEI Menuju CBO: Sertifikasi Di Simpang Jalan: Politik Perdagangan, Kelestarian
dan Pemberantasan Kemiskinan; Ruang BinaKarna Auditorium Ruang Rama, Hotel Bumi Karsa
Komp.Bidakara dan Karna, Jakarta, 19-22 Oktober 2004.
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
019
37. Semua ini mengakibatkan timbulnya ketidakadilan dan kesenjangan
mengakses manfaat pembangunan bagi masyarakat di sekitar kawasan
hutan.
Berlakunya otonomi daerah dengan tidak disertai tanggung jawab
dan tanggung gugat dari penyelenggara negara, mengakibatkan rakyat
semakin miskin. Keadaan ini semakin memperburuk kondisi masyarakat
sekitar hutan. Sebuah gambaran nyata kebijakan salah urus potensi
sumber daya alam yang sangat potensial ditengah era reformasi yang
setengah hati yang mengakibatkan salah urus berbagai aspek vital
kehidupan termasuk hutan.
Menurut Walhi, salah urus ini terjadi akibat paradigma
pembangunanisme dan pendekatan sektoral yang keliru. Sumber
penghidupan diperlakukan sebagai aset dan komoditi yang bisa
dieksploitasi untuk keuntungan sesaat dan kepentingan kelompok
tertentu. Masalah ketidakadilan dan jurang sosial dianggap sebagai harga
dari pembangunan. Pembangunan dianggap sebagai suatu proses yang
perlu kedisplinan dan kerja keras, dan tidak dipandang sebagai salah satu
cara dan proses untuk mencapai kemerdekaan. Sumber daya hutan
disempitkan menjadi kayu, sumber daya laut hanya ikan dan sebagainya.
Akibatnya pendekatan yang digunakan dengan kerangka eksploitasi
tersebut, maka negara menghegemoni rakyat dalam pengaturan sumber-
sumber kehidupan. Eskalasi konflik yang terkait dengan sumber-sumber
penghidupan belakangan ini menjadi contoh nyata dari salah urus yang
terjadi.
Berikut ini adalah catatan penting pengelolaan sumber daya alam
yang difokuskan pada pengelolaan hutan, terutama pada era Orde Baru
yang hampir 32 tahun mengelola aset potensial yang menjadi paru-paru
dunia ini.
Setahun setelah Suharto resmi menjadi presiden, tepatnya pada
27 Maret 1968, Sokarno mengambil langka-langkah mendasar dan
melakukan berbagai perubahan besar-besaran terhadap tata kehidupan
ekonomi dan politik yang pada zaman presiden terdahulunya dijadikan
10
arah kebijakan pembangunannya . Dalam bidang politik, Soeharto
10 Wibawa, Samudra. Negara-negara di Nusantara dari Negara-Kota hingga Negara-Bangsa, dari
Modernisasi hingga Reformasi Administrasi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 2001.
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
20
38. mengalihkan arah politik luar negeri Indonesia dari pro-Soviet/Cina
menjadi pro Amerika dan bahkan hubungan dengan Unisoviet dan Cina
dibekukan. Sementara itu, dalam bidang ekonomi, Soeharto juga
melakukan berbagai langkah yang searah dengan arus politik (luar negeri)
Soeharto. Setelah menasionalisasikan perusahaan-perusahaan milih
Soviet dan Cina, Soeharto mengundang investasi asing, menawarkan
keringanan pajak dan insentif lain. Dan setelaah Irian Jaya diakui PBB
sebagai salah satu provinsi Indonesia pada tahun 1969, jadilah Indonesia
sebagai surga bagi para pengusaha Amerika, Jepang dan Amerika. Dan
sejak itu pula dan kapital asing mulai berdatangan sejak 1970, termasuk
bantuan dari IMF, Bank Dunia, UNDP, ADB, OECD. Terbentuklah sebuah
forum negara-negara pemberi utang yang bernama IGGI (Inter
Governmental Group on Indonesia), keberhasilan Indonesia mengatasi
masalah ekonomi dalam negerinya melalui perluasan dan penguatan
kepercayaan, hubungan dan dukungan luar negerinya -suatu
keberhasilan semu yang nantinya harus ditebus dengan kebangkrutan di
11
penghujung abad .
Setelah sukses membangun citra Orde Baru dan mengubah arah
kebijakan pembangunan luar negeri dan kebijakan ekonomi nasional,
perlahan tapi pasti, presiden Soeharto kembali mempertegas komitmen
politiknya dengan melakukan konsolidasi internal untuk membangun
model pemerintahan presidensiil, mengeliminasi peran partai politik dalam
12
menentukan kebijakan publik .
13
Dalam catatan Miftah Thoha upaya presiden Soeharto
membungkam partai politik tergolong sukses besar. Dia belajar benar dari
era sistem parlementer yang menyebabkan distabilisasi politik dan
ekonomi nasional yang menyebabkan sering berubah dan bergantinya
11 Ibid.
12 Partai-partai politik dipaksa untuk melakukan penggabungan diri hingga menjadi sembilan buah saja
pada pemilu 1971 dan bahkan tinggal dua pada pemilu 1977, sementara pemerintah sendiri memiliki
partai sendiri bernama Golkar (Golongan Karya) yang berisi para teknokrat, pegawai negeri dan militer
dengan sejumlah organisasi-anaknya di semua segmen masyarakat mulai dari pemuda, perempuan,
buruh, petani, nelayan hingga kiyai. Lebih dari itu, hanya organisasi kepentingan yang terwadahi
dalam Golkar-lah yang diakui oleh pemerintah dan oleh karena itu memiliki akses pembuatan
kebijakan publik.
13 Thoha, Miftah, Birokrasi dan Politik di Indonesia. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003:133.
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
021
39. kabinet pemerintahan. Pola presidensil ini sangat efektif untuk
mempertahankan kepemimpinan presiden Soeharto yang setiap kali
pemilu selalu ditetapkan dikukuhkan sebagai Presiden dan yang
memimpin kabinet. Kabinet ini yang dikenal dengan kabinet pemerintahan
Golkar yang selalu memenangkan pemilu dengan mayoritas tunggal -
padahal Golkar bukan menamakan dirinya sebagai partai politik, akan
tetapi setiap pemilu ikut sebagai kontestan pemilu dan selalu
14
memenangkan suara terbanyak .
Stabilitas ekonomi politik semakin mantap. Ketersediaan dana
lewat utang luar negeri maupun pajak minyak -yang harganya melonjak
pada 1973-dan eksploitasi sumber alam lain (yang semuanya diklaim
sebagai milik negara alias pemerintah pusat), mendorong keyakinan
pemerintahan Soeharto makin memantapkan pemerintahan terpusat
(sentralisasi pemerintahan) dan menyeragamkan struktur pemerintahan
daerah, bahkan hingga ke level desa sejak 1979. Keseragaman struktur
pemerintahan provinsi dan terutama kabupaten ini kadang-kadang dikritik
karena dibeberapa lokasi dibentuk suatu Dinas yang tidak memiliki aktifitas
sama sekali karena memang obyeknya tidak ada. Kritik yang lebih keras
ditujukan pada penyeragaman struktur pemerintahan desa, yang terutama
di luar Jawa, mengabaikan tradisi politik lokal.
Secara keseluruhan, praktik penyelenggaraan pemerintahan
terpusat seperti ini berimplikasi luas, antara lain pada: hilangnya
kemajemukan struktur politik lokal, hilangnya inisiatif daerah, lemahnya
pertanggungjawaban pemerintah daerah maupun Pusat kepada
masyarakat lokal (karena semua pertanggungjawaban kepala daerah
tidak kepada DPRD sebagai perwakilan rakyat di parlemen, tetapi kepada
presiden atau mendagri), dan terjadinya kolusi antar berbagai lembaga
15
pemerintah maupun pemerintah swasta .
14 Kabinet pemerintahan Golkar ini menteri-menterinya selalu berasal dari para teknokrat bukan politisi.
Karena Golkar sebagai pemenang pemilu mengutamakan kekaryaan, maka karya itu hanya bisa
dilakukan oleh orang-orang profesional dari kalangan teknokrat. Dengan demikian peranan partai politik
sama sekali tidak ada, dan bahkan partai politik acapkali dijadikan dalih yang membuat tidak ada
stabilitas pembangunan bangsa dan negara. Dua partai politik, yakni PPP dan PDI sama sekali tidak lagi
bisa menyentuh pemerintahan (Thoha, 2003:134).
15 Samudra Wibawa. Op.cit. hal: 147.
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
22
40. Salah satu dampak yang sangat dahsyat akibat sentralisasi
pemerintahan dan manajemen pemerintahan Orde Baru adalah hilangnya
inisiatif lokal dan masyarakat dalam meng-create dan mengembangkan
berbagai potensi yang dimilikinya seperti potensi hutan yang dimilikinya.
Masyarakat seperti terhipnotis oleh lakon pejabat --mulai dari pusat hingga
daerah-- yang secara semena-mena dan tanpa mempertimbangkan
ekosistem dan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) yang sejak turun-
temurun dimiliki masyarakat dan telah berinteraksi dengan ekosistem
hutan yang menurut mereka sebagai bagian dari matapencaharian lestari.
Masyarakat tidak memandang hutan sebagaimana cara pandang
pengusaha dan pemerintah pusat pada saat itu -dimana hutan sebagai
potensi ekonomi yang dilihat sebagai potensi kayu yang memiliki nilai
ekspor tinggi. Masyarakat menilai berbagai potensi yang ada dalam hutan
akan menyelamatkan generasi masa mendatang karena hutan
masyarakat bisa hidup dan menyelematkan generasi yang akan datang.
Salah satu kritik yang tajam dari berbagai kalangan baik daerah,
nasional maupun internasional terhadap hasil pemerintahan era orde baru
adalah pengelolaan hutan yang tidak terkendali. Konflik lahan yang
banyak bermunculan di daerah, penyalahgunaan dana reboisasi sampai
pada prasyarat dari IMF sebagai pemberi pinjaman kepada Indonesia
untuk mencegah degradasi hutan agar pinjaman Indonesia dapat segera
16
dicairkan oleh IMF .
Secara khusus Revrisond Baswir menilai bahwa dibalik ketatnya
prasarat IMF itu, dalam setiap agendanya, ada intervensi terselubung:
dimana setiap negara anggota IMF yang menguasai saham terbesar
seperti AS, Inggris, Jepang, Canada, Jerman, Perancis dan Italia, selalu
membawa titipan dari transnational company, TNC untuk terlibat dalam
pelaksanaan agenda kebijakan perekonomian nasional yang disetujui
17
IMF . Dan dampaknya pun dipastikan bahwa dominasi TNC dalam
pengelolaan ekonomi Indonesia semakin nyata. Dan parahnya, kontribusi
TNC dalam perusakan lingkungan hidup semakin besar.
16 M. Amin Panto. "Kontribusi pengelolaan Hutan terhadap PAD Provinsi Sulawesi Tengah dalam Prospek
Otonomi Daerah". Jurnal Intip Hutan. Mei-Juli 2003
17 Baswir, Revrisond. Dibawah Ancaman IMF. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2003: 40-41..
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
023
41. Dengan sistim pemerintahan yang sentralistik, pengelolaan
sumber daya alam khususnya sumber daya hutan sangat ditentukan oleh
pemerintah pusat. Kebijakan pemerintah untuk mengelola hutan secara
legal mendorong praktek ekstraksi sumber daya hutan. Artinya penerima
manfaat yang besar adalah pemerintah pusat dan pengusaha, sementara
daerah mendapat bagian yang sangat kecil bahkan untuk daerah
penghasil khususnya masyarakat hanya menjadi penonton dan penerima
18
dampak langsung yang ditimbulkan oleh pengusahaan hutan . Bahkan
masyarakat seringkali menjadi kambing hitam sebagai penyebab dampak
negatif yang ditimbulkan oleh praktek-praktek swasta (pengusaha hutan)
dan kebijakan pemerintah.
Kurangnya wewenang yang berada di tangan pemerintah daerah
juga menjadi penyebab terjadinya perambahan hutan, pendudukan
kawasan hutan serta aktifitas pencurian hasil hutan yang semuanya
bermuara pada lajunya degradasi hutan. Bila upaya pemerintah melalui
kegiatan reboisasi tidak mendapat perhatian yang serius maka laju
kerusakan hutan akan lebih cepat lagi, dan ini bukan hanya lebih
memperburuk pengelolaan hutan, tetapi juga berdampak pada ancaman
bencana banjir dan tanah longsor, kekurangan air bagi kebutuhan
pertanian dan kebutuhan lainnya serta dampak lingkungan lainnya.
Kontrak antara pengusaha pemegang HPH dan pemerintah dalam
pengusahaan hutan alam produksi tidak dapat berjalan secara efektif
19
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
Pertama, pemerintah belum mengetahui secara lengkap kondisi
hutan (batas kawasan, potensi hutan, riap, social ekonomi dll). Pada saat
hutan tersebut diserahkan pengelolaannya kepada pemegang HPH.
Dengan kebijakan tersebut timbul resiko akibat ketidaktepatan informasi
potensi hutan, karena pemegang HPH sebagai sektor swasta lebih
menguasai informasi potensi hutan sebagai barang publik daripada
pemerintah.
Kedua, pemegang HPH yang diberi mandat oleh pemerintah untuk
melaksanakan pengelolaan hutan berjalan tanpa melaksanakan
18 M. Amin Panto. Op.cit.
19 Ibid.
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
24
42. pembelian atau memberikan jaminan atas nilai hutan yang menjadi
haknya. Maka pengusaha yang melaksanakan pengusahaan hutan
hampir tidak memiliki resiko. Kebijakan pengusahaan hutan selama ini
juga belum memenuhi fungsi kontrak sebagai instrumen kebijakan untuk
memasukan pihak free riders ke dalam sistim kontribusi pengamanan dan
rehabilitasi sumber daya hutan.
Ketiga, pelaksanaan kontrak diatur melalui mekanisme transaksi
administratif yang memiliki unsur perintah dan paksaan. Dengan tanpa
ada mekanisme tawar-menawar, organisasi pengelola hutan tidak
mendapat peluang untuk mengembangkan inovasi teknologi dalam
pelaksanaan pengelolaan hutan. Mekanisme transaksi administrasi
terhadap tehnik-tehnik produksi dan rehabilitasi hutan menyebabkan
tingginya campur tangan pemerintah untuk ikut serta memasuki aktivitas-
aktivitas yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemegang hak.
Kondisi tersebut menyebabkan posisi pemerintah dalam melaksanakan
kontrol pemanfaatan sumber daya hutan secara substansial sangat
lemah, karena tidak mempunyai informasi yang lengkap mengenai sumber
daya hutan yang dikelola. Namun, karena pemerintah memegang kendali
atas izin dan sahnya berbagai aktifitas yang mempunyai implikasi
langsung terhadap pendapatan yang diperoleh oleh pemegang hak, maka
yang terjadi adalah hubungan subordinasi bahkan seperti atasan-
bawahan antara pemerintah dan pemegang hak. Pemerintah menjadi
ekslusif, tertutup, dan secara administratif sangat kuat, serta menjadi
penentu utama berjalannya kontrak. Birokrat atas nama pemerintah biasa
melakukan tekanan kepada pemegang kontrak. Tetapi pemerintah
sebagai representasi kepentingan publik menjadi sangat lemah, ketika
pemegang hak melakukan kompensasi tekanan pemerintah dengan cara
menebang kayu di hutan secara berlebihan (over cutting), pemerintah
tidak mampu berbuat apa-apa. Dalam kondisi ikatan seperti itu, pemegang
kontrak tidak mendapat insentif untuk melaksanakan rehabilitasi hutan
dengan baik, dan tidak melindungi hutannya dari berbagai kerusakan
seperti pencurian kayu, perambahan hutan, dll. Intinya, berbagai
persoalan di bidang kehutanan yang terjadi dalam era Orde Baru
disebabkan oleh orientasi ekonomi, dimana pembangunan kehutanan
hanya diarahkan pada peningkatan ekonomi semata sehingga
mengabaikan kepentingan ekologi.
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
025
43. Sebuah kajian yang dilakukan oleh Forest Watch Indonesia yang
20
bekerjasama dengan Global Forest Watch menunjukkan betapa
pengelolaan sumber daya alam (hutan) menimbulkan dampak sosial dan
lingkungan yang mengerikan. Berikut ini disampaikan pokok-pokok
temuan dalam kajian tentang potret kehutanan di Indonesia yang
diselenggarakan oleh Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch
tersebut.
Pertama, Indonesia sedang mengalami kehilangan hutan tropis
yang tercepat di dunia. Setidaknya dari data berikut ini menunjukkan hal
tersebut. Indonesia masih memiliki hutan yang lebat pada tahun 1950.
Sekitar 40 persen dari luas hutan pada tahun 1950 ini telah ditebang dalam
waktu 50 tahun berikutnya. Jika dibulatkan, tutupan hutan di Indonesia
turun dari 162 juta ha menjadi 98 juta ha. Laju kehilangan hutan semakin
meningkat. Pada tahun 1980-an laju kehilangan hutan di Indonesia rata-
rata sekitar 1 juta ha per tahun, kemudian meningkat menjadi sekitar 1,7
juta ha per tahun pada tahun-tahun pertama 1990-an. Sejak tahun 1996,
laju deforestasi tampaknya meningkat lagi menjadi menjadi rata-rata 2 juta
ha per tahun. Hutan-hutan tropis dataran rendah Indonesia yang memiliki
persediaan kayu dan keanekaragaman yang paling tinggi, adalah yang
memiliki resiko paling tinggi. Tipe hutan ini hampir seluruhnya lenyap di
Sulawesi, dan diprediksikan akan lenyap di Sumatera pada tahun 2005
dan di Kalimantan pada tahun 2010, jika kecenderungan seperti saat ini
terus berlangsung. Hampir setengah dari luas hutan di Indonesia sudah
terfragmentasi oleh jaringan jalan, jalur akses lainnya, dan berbagai
kegiatan pembangunan, seperti pembangunan perkebunan dan hutan
tanaman industri.
Kedua, deforestasi di Indonesia sebagian besar merupakan akibat
dari suatu sistem politik dan ekonomi yang korup, yang menganggap
sumber daya alam, khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan yang
bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik dan keuntungan pribadi.
Informasi berikut ini memperjelas proposisi tersebut. Konsesi-konsesi Hak
Pengusahaan Hutan yang mencakup lebih dari setengah luas total hutan
20 FWI/GFW.2001.Keadaan Hutan Indonesia. Bogor. Indonesia : Forest Watch Indonesia dan Washington
D.C.:Global Watch Forest.
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
26
44. Indonesia diberikan oleh mantan Presiden Soeharto, kebanyakan
diantaranya diberikan kepada sanak saudara dan para pendukung
politiknya. Kronisme di sektor kehutanan membuat para pengusaha
kehutanan bebas beroperasi tanpa memperhatikan kelestarian produksi
jangka panjang. Sebagai salah satu cara untuk meningkatkan penerimaan
ekspor Indonesia, dan juga karena keberuntungan yang berpihak kepada
perusahaan, paling sedikit 16 juta ha hutan alam telah disetujui untuk
dikonversi menjadi hutan tanaman industri atau perkebunan. Dalam
banyak kasus, konversi bertentangan dengan persyaratan legal yang
mengharuskan pembangunan hutan tanaman industri dan perkebunan
hanya pada areal lahan yang telah mengalami degradasi, atau pada lahan
hutan yang telah dialokasikan untuk konversi. Pengembangan industri
pulp dan kertas yang sangat agresif di Indonesia dalam dekade terakhir ini
telah menimbulkan tingkat permintaan terhadap serat kayu yang tidak
dapat dipenuhi oleh rejim pengelolaan hutan di dalam negeri pada saat ini.
Pembukaan hutan oleh para petani skala kecil juga cukup penting tetapi
bukan merupakan penyebab utama deforestasi.
Ketiga, Pembalakan ilegal sudah mencapai tingkat epidemik
sebagai akibat ketimpangan struktural antara permintaan dan pasokan
kayu legal yang telah lama terjadi di Indonesia. Pembalakan ilegal,
menurut definisi, tidak didokumentasikan secara akurat. Namun seorang
mantan pejabat senior Departemen Kehutanan baru-baru ini menyatakan
bahwa pencurian dan pembalakan ilegal telah merusak sekitar 10 juta
hektar hutan-hutan Indonesia. Ekspansi secara besar-besaran pada
sektor produksi kayu lapis dan pulp dan kertas selama dua puluh tahun
terakhir ini menyebabkan permintaan terhadap bahan baku kayu pada
saat ini jauh melebihi pasokan legal. Kelebihannya sebanyak 35-40 juta
meter kubik per tahun. Kesenjangan antara permintaan dan pasokan kayu
legal ini dipenuhi dari pembalakan ilegal. Banyak industri pengolahan kayu
secara terbuka mengakui ketergantungan mereka terhadap kayu yang
ditebang secara ilegal. Jumlahnya mencapai sekitar 65 persen dari
pasokan total pada tahun 2000. Penebangan hutan secara legal juga
dilakukan pada tingkat yang tidak berkelanjutan. Menurut statistik terkini
dari Departemen Kehutanan, pasokan kayu legal yang berasal dari hutan
alam produksi berkurang jumlahnya, yaitu dari 17 juta meter kubik pada
tahun 1995 menjadi di bawah 8 juta meter kubik pada tahun 2000.
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
027
45. Penurunan produksi kayu bulat ini sebagian ditutupi oleh produksi kayu
yang diperoleh dari hutanhutan yang dibuka dan dikonversi menjadi
perkebunan atau hutan tanaman industri. Tetapi sumber kayu tambahan
ini sudah mencapi puncaknya pada tahun 1997. Hutan tanaman industri
telah dipromosikan secara besar-besaran dan diberi subsidi sebagai suatu
cara untuk menyediakan pasokan kayu bagi industri pulp yang
berkembang pesat di Indonesia, tetapi cara ini mendatangkan tekanan
terhadap hutan alam. Dalam kenyataannya, jutaan hektar hutan alam
Indonesia sudah ditebang habis untuk dijadikan hutan tanaman industri,
dan dari semua lahan hutan yang telah dibuka tersebut sekitar 75 persen
tidak pernah ditanami.
Keempat, lebih dari 20 juta hektar hutan sudah ditebang habis
sejak tahun 1985 tetapi sebagian besar dari lahan ini belum pernah diolah
menjadi alternatif penggunaan lahan yang produktif. Hampir 9 juta ha
lahan, sebagian besar adalah hutan alam, telah dialokasikan untuk
pembangunan hutan tanaman industri. Lahan ini kemungkinan telah
ditebang habis atau dalam waktu dekat akan ditebang habis. Namun hanya
sekitar 2 juta ha yang telah ditanami dengan jenis kayu yang cepat tumbuh,
utamanya Acacia mangium, untuk menghasilkan kayu pulp. Implikasinya:
7 juta ha lahan yang sebelumnya hutan sekarang dalam keadaan terlantar.
Hampir 7 juta ha hutan sudah disetujui untuk dikonversi menjadi
perkebunan sampai akhir tahun 1997 dan hutan ini hampir dapat
dipastikan telah ditebang habis. Tetapi lahan yang benar-benar dikonversi
menjadi perkebunan kelapa sawit sejak tahun 1985 hanya 2,6 juta ha,
sementara perkebunan baru untuk tanaman keras lainnya kemungkinan
luasnya mencapai 1-1,5 juta ha. Implikasinya, 3 juta ha lahan yang
sebelumnya hutan sekarang dalam keadaan terlantar. Tidak ada perkiraan
akurat yang tersedia mengenai luas hutan yang dibuka oleh para petani
skala kecil sejak tahun 1985, namun ada perkiraan yang dapat dipercaya
pada tahun 1990 yang menghitung luas hutan yang dibuka oleh para
peladang berpindah adalah sekitar 20 persen dari total luas hutan yang
hilang. Ini berarti sekitar 4 juta ha hutan telah ditebang habis antara tahun
1985 sampai 1997. Program transmigrasi untuk memindahkan penduduk
Pulau Jawa yang sangat padat ke pulau-pulau lain di luar Jawa, antara
tahun 1960-an sampai program ini berakhir pada tahun 1999,
menyebabkan pembukaan hutan seluas 2 juta ha. Disamping itu, migrasi
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
28
46. dan pemukiman ilegal oleh para petani pionir di sepanjang jalan operasi
pembalakan HPH, dan bahkan di dalam beberapa Taman Nasional juga
meningkat banyak sekali sejak tahun 1997. Namun demikian, perkiraan
yang dapat dipercaya tentang luas lahan hutan yang telah dibuka oleh para
petani pionir pada tingkat nasional belum pernah dilakukan. Para pemilik
perkebunan skala besar banyak yang menggunakan api sebagai cara
yang mudah dan murah untuk membuka hutan untuk lahan perkebunan
mereka.Pembakaran hutan yang disengaja, yang dikombinasikan dengan
keadaan kemarau panjang akibat pengaruh fenomena El Niño, telah
menimbulkan kebakaran besar yang tidak dapat dikendalikan, dengan
intensitas dan luas kebakaran hutan yang terjadi mencapi tingkat yang
belum pernah terjadi sebelumnya. Lebih dari 5 juta ha hutan terbakar pada
tahun 1994 dan sekitar 4,6 juta ha hutan lainnya juga terbakar pada tahun
1997-1998. Sebagian dari areal yang terbakar ini sekarang mengalami
regenerasi menjadi semak belukar, sebagian telah dihuni oleh para petani
skala kecil, namun upaya secara sistematis untuk memulihkan tutupan
hutan atau memanfaatkannya sebagai lahan pertanian yang produktif
masih belum banyak dilakukan.
Kelima, Pemerintah Indonesia sekarang menghadapi banyak
tekanan dari dalam negeri maupun dari luar negeri untuk segera
mengambil tindakan, tetapi kemajuannya lambat dan tidak semua
reformasi kebijakan yang terjadi merupakan kabar baik untuk memperbaiki
kondisi hutan. Dalam suasana politik yang relatif lebih bebas setelah
lengsernya Presiden Soeharto pada tahun 1998, para aktivis lingkungan
hidup menuntut akuntabilitas yang lebih tinggi dari pihak pemerintah dan
sektor swasta. Akses terhadap informasi resmi sekarang semakin terbuka,
namun usaha-usaha untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan
perusahaan masih belum menunjukkan keberhasilan yang berarti. Banyak
sekali masyarakat yang hidupnya mengandalkan hutan, yang merasakan
semakin lemahnya kekuasaan pusat, melampiaskan kemarahan mereka
kepada para pengelola HPH, perkebunan dan HTI karena mereka
dipandang telah merusak dan menghancurkan sumber-sumber daya
lokal. Masalah ketidakjelasan kepemilikan lahan yang sudah terlalu lama
menjadi akar penyebab berbagai konflik tersebut. Pemerintah tidak lagi
bersedia melindungi kepentingan-kepentingan perusahaan seperti yang
pernah dilakukan sebelumnya, namun pemerintah juga tidak punya usaha
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
029
47. yang terkoordinasi untuk mengatasi permasalahan yang ada. Sejak tahun
1999, negara-negara donor utama Indonesia melakukan koordinasi
bantuan mereka melalui suatu konsorsium yang disebut Consultative
Group on Indonesia (CGI), yang diketuai oleh Bank Dunia. Pengelolaan
hutan yang lebih baik telah dinyatakan sebagai suatu prioritas, dan
pemerintah Indonesia telah memberikan komitmen yang berisi 12 pokok
rencana reformasi kebijakan. Namun demikian, masalah kekacauan politik
yang terus berlanjut tampaknya menyulitkan usaha-usaha untuk
mengimplementasikan komitmen ini. Pada bulan April 2001, Menteri
Kehutanan pada waktu itu mengakui bahwa ada banyak kegagalan dan ia
menyatakan bahwa seharusnya Indonesia tidak menyetujui "target yang
sangat tidak realistis itu". Sebagai sebuah contoh, Pemerintah
memberlakukan moratorium konversi hutan alam pada bulan Mei 2000,
tetapi larangan tersebut tidak dipatuhi di berbagai propinsi.
Indonesia sekarang sedang bergerak cepat dalam pelaksanaan
sistem baru yang disebut "otonomi daerah", tetapi pemerintahan
kabupaten, penerima manfaat dari pelaksanaan desentralisasi, pada
umumnya tidak memiliki kemampuan atau dana untuk menyelenggarakan
pemerintahan secara efektif. Prioritas tertinggi mereka adalah
meningkatkan pendapatan asli daerah, dan intensifikasi eksploitasi
sumber daya hutan sudah terjadi di banyak daerah.
Dua dampak penting yang perlu dijadikan pelajaran terhadap
pengelolaan hutan di era Orde Baru adalah fakta pemiskinan masyarakat
sekitar hutan dan munculnya konflik horisontal antara masyarakat adat
yang selama ini mendiami wilayah hutan dengan masyarakat pendatang
dan pemerintah. Berikut ini diuraikan tentang fakta kemiskinan masyarakat
sekitar hutan dan konflik adat yang terjadi akibat eksploitasi sumber daya
hutan oleh pemerintah pusat.
E. Kemiskinan di Sekitar Hutan
21
Robert Chambers (1987) mendeskripsikan kondisi golongan
masyarakat miskin perdesaan melalui pendekatan kelompok atau
perorangan. Sehingga dapat lebih mewakili kondisi yang sebenarnya.
21 Chambers, Robert. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang. LP3ES. Jakarta. 1983: 140.
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
30
48. Kemiskinan kelompok masyarakat desa dalam istilah Chambers kemudian
22
disebut sebagai kelompok yang tidak beruntung. Chamber (1987)
menyebut dua macam situasi kemiskinan di perdesaan. Pertama,
kemiskinan kelompok masyarakat secara keseluruhan, disebabkan oleh
keberadaannya yang jauh terpencil atau tidak memadainya sumber daya
atau karena kedua-duanya. Kedua, suatu keadaan masyarakat yang
didalamnya terdapat ketimpangan yang mencolok antara orang kaya dan
dan orang miskin. Dengan menilik kedua kondisi kemiskinan tersebut,
maka kemiskinan masyarakat disekitar hutan tergolong miskin karena
terpencil dan tidak memadainya sumber dayanya.
Menurut Chambers, terdapat lima faktor penyebab suatu kelompok
masyarakat dianggap sebagai kelompok yang tidak beruntung, sebagai
berikut:
Pertama, terkait dengan faktor kemiskinan. Umumnya rumah
tangga ini tidak ada atau sedikit sekali memiliki kekayaan. Pondok, rumah
atau tempat tinggalnya kecil, terbuat dari kayu, bambu, tanah liat, jerami,
alang-alang, daun nipah atau kulit binatang; dilengkapi dengan sedikit
perabot rumah tangga, sebuah ranjang tua, tikar, beberapa alat masak,
dan sedikit peralatan lainnya. Tidak memiliki jamban, kalau toh ada kotor
sekali. Tidak mempunyai lahan garapan atau sedikit sekali, sehingga tidak
tidak dapat menunjang kebutuhan hidup. Juga tidak memiliki ternak
piaraan, atau hanya beberapa ekor saja. Rumah tangga selalu dalam
keadaan berutang kepada tetangga, sanak saudara, dan pedagang, baik
itu utang jangka pendek maupun utang jangka panjang. Produktifitas
tenaga kerja keluarga sangat rendah: kalau bertani, lahannya sempit atau
gersang, kalau tidak bertani, tidak atau sedikit sekali menguasai
produksinya, itulah yang pokok, dan seringkali kekayaan produktif satu-
satunya adalah tenaga kerja keluarga.
Kedua, faktor lemah jasmani. Rumah tangga yang lemah jasmani
ini merupkan rumah tangga yang lebih banyak tanggungan keluarga
daripada pencari nafkahnya. Tanggungan keluarga terdiri dari anak-anak,
orang tua renta, penderita sakit cacat. Nisbah ketergantungan yang tinggi
ini disebabkan salah satu dari keadaan berikut: rumah tangga dengan
22 Ibid.
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
031
49. kepala keluarga seorang ibu tanpa anak laki-laki yang bertanggungjawab
mengurus anak, memasak, mengambil air, mencari kayu bakar,
memasarkan; dan tugas-tugas kerumahtanggaan umumnya sambil
mencari kebutuhan hidup keluarga; atau suatu rumah tangga yang
mempunyai banyak anak kecil yang perlu dirawat dan diberi makan tanpa
mendatangkan penghasilan karena belum kuat bekerja; atau rumah
tangga dengan orang dewasa yang sakit-sakitan atau cacat karena
penyakit atau cedera; atau karena kematian anggota keluarga dewasa;
atau suatu rumah tangga yang ditinggalkan oleh anggota keluarga dewasa
yang mencari kerja di tempat lain untuk melepaskan diri dari jeratan utang
atau kehidupan yang sulit.
Ketiga, faktor terisolasi dari arus kehidupan. Rumah tangga
tersosialisasi dari dunia luar. Tempat tinggalnya di daerah pinggiran,
terpencil dari pusat keramaian dan jalur komunikasi, atau jauh dari pusat
perdagangan, pusat informasi dan pusat diskusi di desa. Sering buta huruf
dan tanpa radio, anggota keluarga tidak mendapat informasi tentang
segala sesuatu yang terjadi di luar lingkungan tetangganya. Anak-anak
tidak bersekolah, atau kalau pun masuk sekolah, umumnya putus sekolah.
Anggota keluarga tidak pernah ikut rapat atau pertemuan, dan kalau pun
hadir, tidak pernah ikut bicara. Mereka tidak pernah menerima penyuluhan
dari petugas lapangan pertanian atau petugas kesehatan. Kalau pun
bebergian, hanya untuk mencari kerja atau minta pertolongan kepada
sanak-keluarga. Mereka terikat pada tetangganya karena terikat pada
tetangganya karena terikat kewajiban terhadap seseorang yang menajdi
sumber kehidupan, atau terikat utang, kebutuhan yang mendesak, atau
karena memang tidak mempunyai uang untuk bepergian.
Keempat, faktor kerentanan. Rumah tangga sedikit sekali memiliki
penyangga untuk menghadapi kebutuhan yang mendadak. Kebutuhan
kecil sehari-hari dipenuhi dari sedikit uang persediaan, atau dengan
mengurangi konsumsi, menukarkan barang, atau dengan meminjam dari
kawan, keluarga atau pedagang. Musibah dan kewajiban sosial -
kegagalan panen, kelaparan, pondok terbakar, kecelakaan, penyakit,
kematian, pembayaran mahar dan mas kawin, biaya perkawinan, biaya
perkara atau denda - menjadikan rumah tangga tersebut semakin melarat.
Ini sering berarti harus menjual atau menggadaikan harta kekayaan -
lahan, ternak, pohon-pohonan, alat dapur, perkakas dan perlengkapan,
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis
Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di Kalimantan
32