Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik Berdampak
Reformasi Birokrasi dan Strategi Kebudayaan
1. RB & STRATEGI KEBUDAYAAN FGD Kajian Penyusunan Manual
Praktis Pengembangan Budaya Kerja
Instansi Pemerintah, PKP2A II LAN
Makassar, 30 Agustus 2013
2. KRITIK THD RB
Birokrasi kita sudah rusak karena memang mewarisi mentalitas usang yg telah
terpola lama dalam praktik politik otoritarian. Gagasan RB belum mencetus
tindakan praktis yg betul2 mendekonstruksi mentalitas birokrat lama sehingga
ramah melayani publik. Di segala lapis pada semua institusi publik hampir pasti
bercokol penyakit birokrasi: angkuh, lamban, korup.
Sejauh ini RB hanya menyentuh aspek manajerial & teknis operasional
pemerintahan, tentang bagaimana mewujudkan GG, tapi tidak pernah dibarengi
dengan dekonstruksi budaya untuk mendobrak mentalitas lama. Gerakan
dekonstruksi budaya birokrasi lama merupakan keharusan mutlak untuk
mentransformasikan habitus baru di lingkungan birokrasi. Hanya dengan begitu
kita bisa menyembuhkan penyakit kronis di birokrasi, sehingga akan tampil
habitus baru yaitu birokrasi yg ramah, responsif & transparan.
Mahfud MD dalam seminar nasional dalam rangka Hari Amal Bhakti Kementerian Agama (Kompas, 2/2/2012)
3. BUDAYA DAN RB
Reformasi kultural perlu ditempuh untuk mempercepat proses
reformasi birokrasi budaya sebagai prakondisi bagi
reformasi.
Reformasi yang dilakukan secara konsisten akan melahirkan
nilai-nilai budaya baru yang jauh lebih baik budaya sebagai
hasil tidak langsung (by-product) dari rangkaian proses
reformasi.
Program RB saat ini cenderung memakai logika ke-2 dan
mengabaikan yg pertama (?)
4. BUDAYA DAN RB
Program RB saat ini hanya menjadikan Dimensi Budaya (mindset dan
cultureset) sebagai salah satu area perubahan, bukan fondasi yg
menjiwai perubahan pada setiap area perubahan cultural change
mesti menjadi grand strategy dalam RB.
Program RB saat ini masih bersifat instrumental & nominal, yakni dengan
memperbanyak aturan dan pedoman2 kerja, belum bersifat substansial
Tanpa adanya strong leadership (konsistensi dan keteladanan), hal ini
akan sangat sia-sia. Yang timbul justru adalah “inflasi aturan, defisit
ketaatan”.
Program RB saat ini juga masih berpihak pada status quo (misal aturan
yg serba bernada negatif), serta belum beranjak dari comfort zone
(misal Diklat).
5. BUDAYA DAN RB
Program RB saat ini kurang memperhatikan local wisdom dan nilai-nilai
asli masyarakat Indonesia. Contoh:
o Karakteristik masyarakat paternal (orientasi senioritas), tiba-tiba
diterapkan sistem merit, open competition, dll;
o Masyarakat yg guyub (gemeinschaft), tiba-tiba berlaku prinsip
penghargaan individual (gesselschaft), seperti uji kompetensi, remunerasi
yang “berkasta”, dll;
o Masyarakat yg pasif, serba menunggu instruksi, sami’na wa atha’na, tiba-
tiba harus membuat SKP/kontrak kinerja. Konsep “pegawai” seolah
tereduksi menjadi “pekerja”, sementara semangat RB membuat employee
menjadi owner;
o Masyarakat yg meyakini larangan meminta jabatan, justru harus
“melamar”.
6. REFORM BERBASIS BUDAYA
Kereta perang/kereta bangsawan jaman Romawi biasa ditarik oleh 2
kuda yg jarak antar media kuda tsb adalah 4 kaki (8,5 inchi/1,44 m).
Ternyata ukuran 1,44 m ini sama persis dengan jarak rel kereta api,
bahkan jarak antara 2 sumbu mesin peluncur roket juga memiliki
ukuran yg sama.
Birokrasi Korea saat ini terdiri dari 9 jenjang, dari yg tertinggi Asisten
Menteri, hingga yg terendah CPNS (Asisten Klerk). 9 jenjang ini
ternyata diadopsi dari model birokrasi yg pernah diterapkan oleh
Dinasti Chosun, dimana 3 tingkat teratas adalah golongan yg berhak
menggunakan jubah/kostum berwarna merah, 3 tingkat menengah
berpakaian warna biru, dan 3 tingkat terendah berwarna hijau.
7. REFORM BERBASIS BUDAYA
RB seyogyanya tidak bersifat top-down, namun dikembalikan
kepada kebutuhan masung-masing daerah/instansi yg disesuaikan
dengan values yang ada di daerah/instansi tsb;
RB tidak cukup ditempuh semata2 dengan mengubah aturan2
kedisiplinan & kehadiran yg sering berupa pemaksaan yg
menimbulkan ketakutan, namun hrs ada proses internalisasi yg
menumbuhkan kesukarelaan untuk taat.
Esensi & urgensi pengembangan budaya kerja melalui
internalisasi organizational values Agar efektif,
proses internalisasi ini perlu manual yg practical.
8. ISSU DALAM INTERNALISASI VALUES
Bagaimana mengagregasikan individual values menjadi
organizational values? Atau, bagaimana menginjeksikan
organizational values menjadi individual values? Dari mana
mulainya?
Materi apa yg perlu didesain untuk bisa mensimulasikan
seseorang keluar dari status quo dan comfort zone? Dan
beranikah kita mendesain hal itu?
Metode dan Media apa saja yang perlu dikembangkan? Diklat/
Bimtek? Self Learning? KBK dengan TAM tertentu? Forum Sharing?
yg terpenting ada proses repetisi secara berkesinambungan
untuk menghasilkan efek yg juga sustain.
9. FUTURE DIRECTION
Hasil kajian PKP2A II perlu di-expose di tingkat nasional untuk
mengikat komitmen Pusat.
Program pengembangan budaya kerja wajib dikaitkan dengan
revisi Permenpan No. 20/2010 dan penyusunan RM-RB baru
2015-2019.
Akan lebih baik untuk melanjutkan inisiatif menyusun Perkalan
(atau Permenpan) tentang Manual Praktis Pengembangan Budaya
Kerja Instansi Pemerintah. Pusdiklat TMKP dan Pusat Kajian
Reformasi Administrasi (Perpres No. 57/2013) bisa menjadi
leading unit dengan dukungan PKP2A II.