1. WAHYU DHYATMIKA
[ R E D A K T U R P E L A K S A N A T E M P O ]
[ D I V I S I E K S T E R N A L A L I A N S I J U R N A L I S
I N D E P E N D E N ( A J I ) J A K A R T A ]
Membangun Media yang
Berpihak pada Publik
2. Overview
Mengapa media harus memberitakan kepentingan
publik
Bagaimana mengukur keberpihakan media
Apa saja faktor yang mempengaruhi keberpihakan
media
Contoh kasus
3. Mengapa Media Harus Membela Publik
Jurnalistik pada dasarnya adalah proses pencarian,
pengolahan dan penyebarluasan informasi.
Informasi apa yang dicari, diolah dan disebarkan
itu? Jelas informasi yang dinilai penting oleh
khalayak. Karena itu, proses jurnalistik sudah
seharusnya sejalan dengan kepentingan orang
banyak/publik.
Media yang tidak membela kepentingan publik,
seharusnya tidak bertahan hidup karena tidak punya
alasan untuk terbit.
4. Mengapa Jurnalis Harus Membela Publik
Jurnalis memperoleh mandatnya untuk bekerja dari
publik/rakyat. Adalah publik yang memiliki hak untuk
menuntut akuntabilitas dari pejabat publik, hak itulah
yang diwakilkan pada jurnalis.
Dilihat dari sejarah pers dan media massa, pada awalnya
media adalah kepanjangan tangan dari proses
percakapan khalayak ramai. Jadi pada esensinya, media
adalah sebuah lembaga publik, meskipun juga
merupakan sebuah institusi bisnis/komersial.
Tarik menarik antara kepentingan publik dan
kepentingan komersial media ini yang biasanya
disalahkan ketika media berpihak. Padahal, ketegangan
itu seharusnya tidak terjadi.
5. Jurnalisme Advokasi
Genre jurnalisme yang secara tegas menyatakan bahwa
pemberitaan adalah bagian dari advokasi untuk sebuah
tujuan tertentu.
Biasanya bersifat investigatif.
Jurnalisme advokasi misalnya dengan sadar dan sengaja,
memilih membongkar isu-isu korupsi, isu lingkungan,
isu HAM, atau apa pun yang menurut redaksi media
penting untuk diadvokasi.
Belum banyak media di Indonesia yang menerapkan
jurnalisme advokasi. Sebagian besar masih bersembunyi
di balik prinsip ‘netralitas’ atau ‘imparsialitas’ yang
sebenarnya ambigu dan tidak bebas nilai.
6. Mengukur Keberpihakan Media
Cara paling mudah untuk mengukur keberpihakan
media adalah mencermati tajuk
rencana/editorial/opini media tersebut.
Editorial merupakan ekspresi sikap dan posisi resmi
redaksi mengenai suatu topik/isu.
Keberpihakan akan lebih sulit diukur, jika media
tersebut sama sekali tidak menulis sikap apapun
mengenai topik/isu yang kontroversial.
Beberapa metode penelitian media juga bisa dipakai
untuk mengukur keberpihakan, misalnya analisis isi,
framing, dan lain-lain.
7. Faktor yang mempengaruhi
Dalam pemberitaan, ada banyak faktor yang
mempengaruhi nada, arah, maupun sudut pandang
suatu media. Faktor tersebut antara lain: (1) kelengkapan
informasi yang dimiliki redaksi media, (2) persepsi
redaksi terhadap isu/topik tersebut dan (3) kebijakan
editorial.
Ketiga faktor ini seharusnya bisa dinilai/diukur dan bisa
berkembang sesuai dengan perkembangan/dinamika
peristiwa di lapangan.
Permainan suap/sogokan, kepentingan pemilik media
dan tawaran iklan biasanya mempengaruhi ketiga faktor
ini.
8. Kasus 1: Cicak vs Buaya
Media memberitakan sengketa antara KPK dan Mabes
Polri dengan berpihak pada KPK.
Keberpihakan media disebabkan oleh beberapa faktor:
(1) redaksi media dan narasumber memiliki informasi
yang sama soal apa yang terjadi, (2) redaksi media dan
sebagian besar narasumber mempunyai persepsi yang
sama atas informasi itu, (3) Redaksi media dan sebagian
besar narasumber memiliki sasaran dan tujuan yang
sama dari advokasi kasus itu (kebijakan editorial media
mendukung KPK) dan (4) tidak ada upaya intervensi dari
mereka yang dirugikan (polisi) dalam bentuk
suap/sogok/iklan.
9. Kasus 2: Advokasi Pengendalian Tembakau
Dalam kasus industri tembakau vs aktivis pengendalian
tembakau, sikap media cenderung terbelah. Informasi
yang mereka miliki sama, namun persepsi redaksi
media-media atas informasi yang tersedia, berbeda.
Misalnya soal ratifikasi FCTC, pihak yang pro menilainya
penting untuk menjaga kesehatan publik, sementara
yang kontra menilainya bisa mematikan petani
tembakau.
Ini diperunyam oleh adanya lobi dan kekuatan modal
industri tembakau yang membuat media tergantung
pada kucuran iklan mereka.
10. Kasus 3: Industri Otomotif vs Transportasi Publik
Advokasi publik untuk memberdayakan transportasi
umum tidak terlalu berhasil di media karena beberapa
faktor.
(1) Informasi yang dimiliki redaksi berbeda-beda. Isu
industri otomotif ditangani kompartemen Ekonomi
Bisnis, sementara isu transportasi publik masuk wilayah
Kompartemen Metro/Kota. (2) Dengan demikian,
persepsi juga berbeda. (3) Sasaran dan tujuan
pemberitaan jadi berbeda juga. (4) iklan yang demikian
gencar dari industri otomotif membuat kompetisi untuk
mengubah persepsi redaksi juga semakin sulit.
11. Kasus 4: Korupsi di Daerah
Seringkali berita tentang korupsi di daerah –terutama
yang menyangkut kepala daerah-- tidak muncul ke
media massa, karena hasil pemeriksaan kejaksaan/polisi
atas satu kasus tidak dilaporkan oleh wartawan.
Sebagian besar terjadi karena banyak wartawan
dipelihara dan mendapat upah rutin dari anggaran
daerah. Praktek macam ini menyulitkan upaya
mendorong transparansi anggaran dan gerakan
antikorupsi.
Artinya dari faktor informasi saja, akses redaksi media
sudah diblokir, sehingga tak memiliki peluang
membangun persepsi yang sebangun soal kasus tersebut.
12. Kunci Advokasi Publik di Media
Ketika menghadapi sebuah isu yang kontroversial
atau sensitif pada kepentingannya, kita sering
menemukan media yang memillih (1) tidak
memberitakan sama sekali, (2) memberitakan
dengan angle/sudut pandang yang tidak berpihak
pada publik, (3) memberitakan dengan nada
pemberitaan yang berpihak (4) memberitakan
dengan narasumber yang tidak seimbang.
Jika ini yang terjadi, maka advokat kebijakan publik
harus mencoba menelisik 3 faktor yang
mempengaruhi keberpihakan media tadi.
13. Kunci Advokasi Publik di Media
Jika dari informasi dan persepsi tidak ada masalah,
berarti kuncinya ada pada kebijakan editorial. Nah,
di sinilah pengaruh modal/iklan, kepentingan
pemilik dan suap/sogokan bermain.
Untuk advokasi publik yang berhasil, ketiga faktor
itu harus ditangkal. Caranya: mendorong media
menghormati garis api antara iklan dan redaksi,
mendorong jurnalis membangun serikat pekerja di
media dan membangun ombudsman di media
sebagai penghubung antara publik dan redaksi.
14. Kesimpulan
Media adalah lembaga publik, sehingga publik berhak
menuntut agendanya mendapat ruang pemberitaan dan
dukungan yang memadai.
Keberpihakan media adalah hal yang niscaya, didorong 3
faktor ‘teknis’: informasi, persepsi dan garis kebijakan
editorial.
Ketiga faktor itu harus dipengaruhi untuk membangun
keberpihakan media.
Di luar itu, ada tiga faktor ‘non-teknis’: iklan, pemilik
dan suap/sogokan.
Faktor non-teknis ini juga harus dipengaruhi dengan
berbagai strategi untuk memastikan keberpihakan media
pada kepentingan publik.