1. Kemitraan merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi tantangan pengelolaan hutan berkelanjutan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
2. Kunci keberhasilan kemitraan meliputi perencanaan partisipatif, keterlibatan aktor dan masyarakat, serta motivasi aktor untuk bekerja sama.
3. Pengalaman program kemitraan di berbagai negara menunjukkan pentingnya pemetaan masalah secara terstru
Kunci sukses kemitraan dalam mendekatkan legitimasi tata kelola hutan e
1. 1
Kunci Sukses Kemitraan
dalam Mendekatkan Legitimasi Tata Kelola Hutan
Oleh: Widyananto Basuki Aryono
Pemerhati SDA
INTISARI
Kerusakan ekologi, krisis penyediaan
sumberdaya dan isu keprihatinan mengenai
desentralisasi dan demokratisasi, permasalahan
mengenai land tenure yang memerlukan
keterlibatan masyarakat yang terpinggirkan
secara efektif untuk mendekatkan legitimasi tata
kelola hutan dirasa para ahli untuk menemukan
program yang tepat untuk alternatif solusi
masalah tersebut dalam keberlangsungan
pembangunan berkelanjutan. Program kemitraan
sebagai lembaga merupakan hasil desain dari
voluntary, tidak terbatas dan berorientasi
terhadap implementasi. Kemitraan merupakan
sistem hubungan principal-agen. Dan ini mulai
dilembagakan untuk mengatasi masalah-masalah
yang terjadi, disamping juga mendorong
keterlibatan aktif para aktor, dan program
sertifikasi dalam instrumen voluntary. Hal ini
menciptakan ruang politik baru telah muncul
keterlibatan aktor privat dalam otoritas
pengambilan keputusan untuk regulasi urusan
publik, seiring dengan regulasi yang diatur oleh
pemerintah. Paradigma perubahan dari struktur
yang tunggal (sentrik) menjadi struktur tampak
lebih kompleks dan beragam dengan keterlibatan
masyarakat sipil dan bisnis dalam proses
pengaturan tersebut.
Program kemitraan ditinjau dari waktu yang
panjang dari pengalaman negara yang
melaksanakan kemitraan, terdapat program yang
berhasil dan ada juga yang tidak. Informasi yang
dihimpun mengenai keberhasilan, awalnya dari
pemetaan struktur situasi masalah dalam
perencanaan partisipatif, keterlibatan aktif para
aktor dan masyarakat kemudian motivasi aktor
dalam menjaga hubungan yang positif, faktor fisik
dan sifat sumberdaya, serta sifat barang atau jasa
yang dipertukarkan dan minimal biaya transaksi
yang membebani. Ada temuan dalam
pengelolaan sumberdaya alam bahwasannya luas
lahan untuk berpartisipasi tampaknya berbanding
terbalik dengan kemungkinan partisipasi. Ini
menandakan indikasi faktor bentuk aset dan
akses sumberdaya dan sifat barang berpengaruh
terhadap motivasi dalam kemitraan.
Pengalaman-pengalaman diatas dirasa
sangat penting dalam melaksanakan program
kemitraan untuk keberlangsungan pembangunan
pengelolaan Sumberdaya Alam (SDA).
Kata kunci : kemitraan, tata kelola hutan,
pembangunan berkelanjutan
I. Pendahuluan
Meletakkan fundamental dasar dalam pola
pikir dalam keberlangsungan hidup sangatlah
krusial. Kerusakan-kerusakan mengenai ekologi
akan membutuhkan waktu yang lama dalam
merestorasi lingkungan dan beban bencana yang
ditimbulkan dari kerusakan ekologi memiliki nilai
dan resiko yang tinggi. Terlebih ditambah dengan
isu mengenai krisis pangan, kemiskinan, energi
yang digantikan dengan bio-energi dan hasil alam
yang menambah daftar permasalahan dalam
lingkup pengelolaan sumberdaya alam. Isu global
tentang krisis ketersediaan pangan dan hasil
hutan sebagai bahan industri terutama kayu
perkakas, rotan, kayu yang berguna untuk bahan
bakar, karet dan non-kayu lainnya serta isu global
tentang peran dan fungsi ekologi yang semakin
minimum seperti terganggunya siklus air
(hidrologi), carbon sequestration merupakan
problematika pengelolaan lahan dewasa ini (ITTO,
2005). Ini menjadi problematika pengelola
sumberdaya alam ditengah-tengah antara
peluang dan tantangan ke depan dalam
mengatasi kerusakan lingkungan dan melanjutkan
pembangunan.
Isu mengenai keprihatinan global untuk
mendesentralisasikan dan demokratisasi akan
memerlukan keterlibatan yang lebih efektif orang
sekarang yang terpinggirkan dan mengatasi
masalah-masalah global (perubahan iklim,
2. 2
kemiskinan, deforestasi dan degradasi hutan dan
hilangnya keanekaragaman hayati) akan
pragmatis memerlukan keterlibatan yang kuat, ini
yang dirasa mendekatkan legitimasi tata kelola
hutan (Colfer, 2011). Selama ini keterlibatan
masyarakat semakin dipinggirkan yang
menimbulkan masalah lingkungan dan
permasalahan mengenai legitimasi tata kelola
hutan. Dalam mengatasi hal tersebut dengan
alternatif program kemitraan untuk mengatasi
tantangan dan peluang pengelolaan hutan ke
depan.
II. Kemitraan dalam Pembangunan
Berkelanjutan
Menurut Mitchell dkk (2010) Istilah
keberlanjutan pertama kali dikenalkan pada
tahun 1987 oleh World Commission on
Environment and Development (Brundtland
Commission) melalui bukunya “Our Common
Future”. Selanjutnya pada tahun 1992 merupakan
puncak dari proses politik, yang akhirnya pada
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de
Jeneiro, Brasil, paradigma pembangunan
berkelanjutan diterima sebagai agenda politik
pembangunan untuk semua negara di dunia
(Keraf, 2010). Pembangunan berkelanjutan
merupakan pembangunan yang dapat memenuhi
kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan
kemampuan generasi mendatang untuk
mencukupi kebutuhan. Selanjutnya
pembangunan berkelanjutan mempunyai dua
konsep kunci yaitu kebutuhan dan keterbatasan
sumberdaya.
Hampir 20 tahun paradigma pembangunan
berkelanjutan diterima sebagai sebuah agenda
politik pembangunan global, banyak ahli
lingkungan hidup mulai menyadari bahwa
paradigma pembangunan berkelanjutan adalah
sebuah kegagalan dari sisi para pejuang
lingkungan hidup (Keraf, 2010). Terpinggirkannya
nilai ekologi dalam pola pikir menjadi
permasalahan yang timbul. Padahal nilai ekologi
memiliki cakupan yang sangat kompleks, dapat
juga luas dan lengkap, dan memungkinkan dapat
membuat pengelola tidak puas karena jawaban-
jawaban yang diberikan akan muncul tidak
seketika atau dalam tempo yang pendek namun
muncul dalam tempo yang panjang besar
(Mitchell dkk, 2010). Ini yang menjawab
mengenai masalah bencana-bencana alam selalu
timbul namun tidak diketahui penyebab secara
kasap mata secara kontras disebabkan perubahan
yang diberikan dalam tempo yang panjang.
Dalam kasus politik pembangunan global
dari tahun 1980 sampai dengan sekarang ini,
menunjukkan bahwa ide-ide baru dan makna
tentang berkelanjutan, keanekaragaman hayati
dan tata kelola hutan telah mulai dilembagakan
dari waktu ke waktu, diwujudkan dengan dalam
bentuk kemitraan, program sertifikasi dalam
instrumen voluntary, dan pemberdayaan para
aktor (Buizer dan Arts, 2009). Bentuk kemitraan
pengelolaan hutan menciptakan konteks
kelembagaan untuk tata kelola hutan yang baik
dan pengelolaan hutan lestari dengan
merangsang keterlibatan masyarakat lokal
(Mirjam dkk, 2008). Pentingnya kemitraan
sebagai lembaga, justru terletak dalam menjadi
konsep wadah yang merupakan hasil langsung
dari desain voluntary, tidak terbatas dan
berorientasi pada implementasi (Mert, 2009).
Walaupun pengembangan kelembagaan
publik berlanjut, ruang politik yang baru untuk
dunia tata kelola hutan telah muncul dengan
keterlibatan para aktor privat dalam otoritas
pengambilan keputusan, yang sebelumnya hak
preogratif negara berdaulat (Ingrid dkk, 2006).
Wacana pembangunan berkelanjutan
sebelumnya membuka pintu koalisi
menggabungkan kepentingan ekonomi dengan
tujuan ekologis, dimana dalam segi aturan
menimbulkan periode terutama voluntary dan
regulasi dan perjanjian privat muncul menjadi ada
yang mampu menerapkan tujuan yang
terintegrasi serta dikombinasikan dari intervensi
pemerintah (Buizer dan Arts, 2009). Keterlibatan
aktor privat membentuk regulasi untuk urusan
publik. Regulasi privat dalam urusan publik telah
mengambil empat bentuk kelembagaan (Ingrid
dkk, 2006) :
1. Inisiatif bisnis
2. Inisiatif masyarakat sipil
3. Kemitraan lintas sektoral swasta (aliansi
strategis antara masyarakat sipil dan bisnis).
3. 3
4. Kemitraan lintas sektoral publik-swasta
(aliansi strategis antara pemerintah dan
usaha dan atau sipil masyarakat).
Dengan munculnya ruang politik baru, tata
kelola hutan global berubah dengan cepat. Dari
stuktur yang tunggal (sentrik) dengan negara
mengatur keseluruhan hutan menjadi struktur
tampak lebih kompleks dan beragam dengan
keterlibatannya masyarakat sipil dan bisnis dalam
proses pengaturannya. Sistem pengaturan privat
ini berbeda dengan pengaturan publik dalam hal
skala (segi waktu, ruang dan ukuran), tujuan
spesifik dan berarti, diskursus dan arsitektur
(Ingrid dkk, 2006).
Kemitraan untuk pembangunan
berkelanjutan muncul pada the world summit on
sustainable development yang diselenggarakan di
Johannesburg tahun 2002 yang merupakan
mekanisme baru tata kelola lingkungan dengan
titik persimpangan tiga wacana penting dalam
politik global yaitu demokrasi partisipatif, tata
kelola privat, dan pembangunan berkelanjutan
(Mert, 2009). Ini menjadi perdebatan bersama
dengan pergeseran wacana pembangunan
berkelanjutan diatas. Selanjutnya Mert (2009)
berpendapat tidak akan mungkin kemitraan akan
menghilang dari tata kelola lingkungan global
yang disebabkan semua orang memanfaatkan
orang lainnya, apabila ada alternatif non
kemitraan dimana artinya tidak menjual atau
memanfaatkan akan lebih baik (Mert, 2009).
III. Kunci Suksesnya Program Kemitraan
Dalam menggali kunci sukses program
kemitraan untuk pembangunan berkelanjutan
pengelolaan hutan dengan mengkaji
implementasi yang sudah ada di dunia dan
menyerap kunci sukses tersebut. Walaupun
nantinya akan sangat spesifik yang syarat
dipengaruhi tempat (adaptif).
Kemitraan merupakan kesadaran bersama
yang saling menguntungkan para pihak yang mau
bermitra dalam tujuan bersama. Para pihak akan
mampu menciptakan aksi bersama dengan
mengabungkan aset, pengetahuan, ketrampilan
dan kekuasaan politik berbagai tingkatan (Mirjam
dkk, 2008). Langkah awal dengan merencanakan
dengan matang suatu perencanaan hutan
partisipatif. Dalam konteks perencanaan hutan
partisipatif, penataan masalah (problem
structuring) dapat membantu untuk mendorong
komitmen yang lebih tinggi di antara pemangku
kepentingan lokal, dan ini memiliki peran penting
dalam mempengaruhi keseimbangan kekuasan
antara berbagai kelompok pemangku
kepentingan dan badan-badan administratif
(Khadka dkk, 2012). Dari sisi aktor industri/bisnis,
motivasi utama yang paling signifikan dalam
pengelolaan ekosistem dengan kemitraan dengan
masyarakat adalah menjaga hubungan yang
positif dan membangun kemitraan dengan
stakeholder lainnya dan juga alternatif motivasi
yang lain yaitu insentif (Brody dkk, 2006).
Selanjutannya, jika terdapat hasil positif
pengelolaan ekosistem dengan kemitraan
tersebut dapat perusahaan memperoleh yang
lebih efektif sebagai tujuan managemen
sumberdaya, sehingga mengakibatkan kinerja
keuangan dan daya saing perusahaan, maka
usaha atau industri kehutanan secara
keseluruhan mungkin lebih bersedia untuk
berpartisipasi (Brody dkk, 2006).
Belajar dari India, Rezim kebijakan
kehutanan India selama dua dekade
memberlakukan ketat akses masyarakat ke dalam
hutan konservasi, namun hasilnya buruk sehingga
memaksa untuk mempertimbangkan kembali
peran masyarakat dalam pemanfaatan
sumberdaya hutan dan konservasi dengan
merumuskan lebih egalitarian distribusi
mekanisme Joint Forest Management (JFM)
untuk pembagian manfaat secara adil di seluruh
sumberdaya (Bhattacharya dkk, 2009; Paul dan
Chakrabarti, 2011). Ini merupakan bentuk
kemitraan dengan pendekatan budaya dan etika
dalam penggunaan sumberdaya hutan. Pengguna
sumberdaya diserahkan tanggung jawab dari
aturan pilihan kolektif yang disepakati bersama
memperlihatkan hasil perlindungan yang efektif
dengan manfaat ekologi dan ekonomi bagi
masyarakat (Paul dan Chakrabarti, 2011).
Program JFM ada yang berhasil namun ada
yang gagal, yang disebabkan perancangan kurang
atau tidak melalui mekanisme resolusi konflik,
rapuh penataan kelembagaan, partisipasi
masyarakat yang tidak memadai, tidak efisien
4. 4
mekanisme akuntabilitas dan kolaborasi antara
para aktor maka program ini menderita
kegagalan (Bhattacharya dkk, 2009). Hal ini yang
dianjurkan untuk melakukan cara dan atau
metoda penataan masalah (Problem Structuring
Methods(PSMs)) untuk digunakan dalam program
kemitraan pengelolaan hutan dan proses
pembangunan kebijakan kehutanan dalam rangka
mewujudkan pemahaman terjamin dan peran
serta jelas (Khadka dkk, 2012). Perencanaan yang
tidak matang dalam pemetaan masalah secara
terstruktur menjadi penyebab kegagalan
kemitraan yang dibangun. Pemetaan terstruktur
tersebut seperti halnya pemetaan alokasi
sumberdaya dan manfaat, transparasi, partisipasi
aktif dan konsultasi dengan masyarakat yang
terlibat dalam perancangannya. Perlu juga dan
sangat penting masyarakat diberi kebebasan
dalam managemen dan perlindungan hutan
tanpa pengaruh dari pemerintah dalam proses
pengambilan keputusan (Bhattacharya dkk,
2009).
Adapun pengalaman dari Brasil,
Karakteristik utama dari kemitraan yang berhasil
di Brasil Amazonia seperti tujuan kemitraan yang
dinegosiasikan, keterlibatan aktif masyarakat dan
perantara, pengaturan kelembagaan yang adil
dan hemat biaya dan manfaat secara adil untuk
semua pihak yang terlibat tingkatan (Mirjam dkk,
2008). Hal ini yang disebut dengan pemetaan
struktur masalah dengan tepat dalam
perencanaan partisipatif.
Tiga atribut penting yang umum untuk
suksesnya pelaksanaan managemen adaptif
untuk pengelolaan konservasi sumberdaya alam
yaitu kolaborasi multi-mitra yang kuat, praktis
dan keputusan informatif dalam kerangka kerja,
dalam proses kegiatan memiliki komitmen
berkelanjutan (Moore dkk, 2010). Dalam sisi
perusahaan, perusahaan dengan staf pengelolaan
sumberdaya yang lebih besar lebih mungkin
untuk berpartisipasi dalam pengelolaan
ekosistem kemitraan dan luas lahan untuk
berpartisipasi tampaknya berbanding terbalik
dengan kemungkinan partisipasi (Brody dkk,
2006). Alasannya adalah ketika luasan kecil-kecil
tidak kompak maka rentan terhadap timbul
masalah dan biaya mahal dalam operasionalnya
dibandingkan luasan kompak, dengan demikian
peluang untuk bermitra dengan masyarakat
sekitar akan tinggi guna menjamin konektifitas
yang baik dan biaya operasional murah. Indikasi
faktor bentuk fisik aset lahan sumberdaya dan
aksesbilitas menjadi berpengaruh terhadap
potensial kemitraan dengan masyarakat. Dengan
cara bermitra maka produktifitas akan tinggi
daerah luasan kecil-kecil yang susah untuk di
managemen. Selain kemitraan bertujuan untuk
produktifitas dalam hutan lestari, kemitraan juga
sebagai kebutuhan politik yang berorientasi pada
koalisi masyarakat sipil yang memiliki fungsi
sebagai pengawas dalam praktik merugikan dan
advokasi untuk tata kelola hutan yang baik dalam
mencapai pengelolaan hutan lestari (Mirjam dkk,
2008).
IV. Praktek Kemitraan di Indonesia
Sejarah kemitraan perusahaan dan
masyarakat setempat pertama kali dilakukan
Perum Perhutani sejak berdirinya tahun 1972
dengan perubahan pengelolaan dari pendekatan
keamanan ke pendekatan kesejahteraan dengan
kegiatan subsidi saprotan dan sarana air bersih
dengan program Mantri-Lurah (Perhutani, 2012).
Selanjutnya tahun 1982 melalui pembangunan
masyarakat desa dengan program pembuatan
sarana prasarana bio-fisik yang bersifat bantuan.
Program pemberdayaan terus diperbaiki sejak
tahun 1984 digulirkan Perhutanan Sosial (PS)
melalui kegiatan pembentukan Kelompok Tani
Hutan (KTH), Agroforestry dan Usaha produktif.
Tahun 1994 penyempurnaan dilakukan melalui
Pembinaan Masyarakat Desa Hutan Terpadu
(PMDHT), yaitu Perhutanan Sosial sebagai salah
satu komponen Pembangunan Wilayah di bawah
Koordinasi Pemda. Tahun 1998 Pemberdayaan
Masyarakat Desa Hutan (PMDH) dengan Lembaga
Masyarakat Yang Mengakar dan Mandiri (LM3)
dan Koperasi Pondok Pesantren. Kemudian baru
tahun 2001 pemberdayaan masyarakat desa
hutan oleh Perum Perhutani dijadikan suatu
sistem yaitu Pengelolaan Sumber Daya Hutan
Bersama Masyarakat (PHBM) merupakan
kerangka dari Perhutanan Sosial dengan prinsip
bersama, berdaya, berbagi dan transparan. Dasar
implementasi PHBM pada awalnya adalah SK
5. 5
Dewan Pengawas Perum Perhutani No.
136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan
Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM),
kemudian disesuaikan kondisi diganti dengan SK
Direksi Perum Perhutani No. 268/KPTS/DIR/2007
tentang Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan
Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)
Plus, setelah itu direvisi kembali dengan SK
Direksi Perum Perhutani No. 682/KPTS/Dir/2009
tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama
Masyarakat (PHBM). Dalam catatan Perum
Perhutani (2012) luas hutan yang dikerjasamakan
menjadi hutan pangkuan desa mencapai
2.216.225 Ha, tergabung dalam 5.727 LMDH dan
995 Koperasi Desa Hutan. Ini melikupi 5.278 desa
hutan atau sekitar 97 % dari total desa hutan di
Pulau Jawa dan Madura.
Pada dasarnya praktek PHBM sebagai
model tata pengurusan hutan dengan kemitraan
dengan aturan main yang disepakati bersama.
Dalamimplementasi kelembagaan sebagai aturan
main, masyarakat sekitar hutan membentuk
organisasi LMDH sebagai wadah dalam proses
kemitraan dengan Perhutani. LMDH memiliki
aturan main secara internal dan keperluan
eksternal misal berhubungan dengan perhutani
dan pihak-pihak lain. Program PHBM secara
prakteknya ada laporan yang menginformasikan
keberhasilan dan ada juga yang tidak. Informasi
yang dihimpun mengenai keberhasilan, awalnya
dari pemetaan struktur situasi masalah dalam
perencanaan partisipatif, kemudian motivasi
aktor dalam menjaga hubungan yang positif dan
faktor fisik dan sifat sumberdaya dan barang yang
diusahakan serta keterlibatan aktif.
Sebelum adanya program PHBM,
masyarakat cenderung takut melakukan aktifitas
di area kawasan hutan disebabkan pengalaman-
pengalaman masa lalu yang Perum Perhutani
melakukan pendekatan keamanan melalui
penegakan hukum. Sekarang ketakutan tersebut
berangsung-angsur mulai memanfaatkan
disebabkan kepastian akses legal. Implikasi
motivasi tersebut menjadikan gangguan
perambahan hutan berkurang seiring dengan
perbaikan kesejahteraan masyarakat ( Iqbal dkk,
2008). Implementasi PHBM memiliki stuktur
aturan main dalam pembagian dan pengaturan
hasil melalui perjanjian. Secara garis besar, aturan
main pengaturan hasil PHBM untuk jenis kayu
dan tumpangsari adalah sebagai berikut (Iqbal
dkk, 2008) :
1. Perum Perhutani memberikan fasilitas
pemanfaatan lahan kehutanan kepada
masyarakat di sekitar hutan untuk dikelola
secara baik sesuai dengan kaidah konservasi.
Pengusahaan lahan dibagi merata antar
peserta dengan prioritas bagi yang tidak
memiliki lahan.
2. Masyarakat berkewajiban menjaga pohon
tegakan/pokok yang pada saat penebangan
sebesar 25% menjadi bagian mereka.
3. Pada saat tanaman pokok masih muda (tahap
penjarangan), masyarakat dapat
mengusahakan jenis tanaman semusim yang
semua hasil panennya menjadi hak
masyarakat yang mengusahakan.
4. Apabila pohon sudah besar dan secara teknis
pengusahaan tanaman semusim tidak layak
lagi, masyarakat dapat mengusahakan jenis
tanaman tahunan yang sesuai dengan
tanaman pokok dan berfungsi sebagai
tanaman pelindung. Pembagian hasil panen
tanaman tahunan yang ditumpangsarikan
dengan tanaman pokok dibagi sebesar 65%
untuk masyarakat, 30% untuk Perum
Perhutani, dan 5% untuk pemerintahan desa.
5. Masyarakat mendapat bimbingan teknis
melalui wadah Kelompok Tani Hutan (KTH)
yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat
Desa Hutan (LMDH). Bimbingan tersebut
difasilitasi oleh Perum Perhutani, LSM,
penyuluh pertanian/kehutanan, penyuluh
swakarsa, dan jajaran instansi terkait.
6. Untuk menambah wawasan masyarakat,
Perum Perhutani juga memfasilitasi kegiatan
studi banding ke lokasi lain.
Hasil Program PHBM yang lain dengan
diusahakan di bawah tegakan adalah kopi,
membawa dampak terhadap masyarakat desa
hutan yaitu perubahan struktur pada masyarakat
pedesaan terjadi mobilitas secara vertikal dari
masyarakat kelas bawah menjadi masyarakat
kelas menengah ke atas (Puspaningrum, 2011).
Keberhasilan juga dilaporkan dengan LMDH juga
mampu membangun kemitraan dengan swasta
6. 6
atau bisnis makanan salah satu contohnya LMDH
Lestari Mulyo Desa Kalangan, Kecamatan
Margomulyo Kabupaten Bojonegoro membangun
kemitraan dengan bahu membahu (interlocking)
dengan PT. Dupon dalam penanaman jagung
pioner untuk bahan industri perusahaan tersebut
dan PT. Indofood juga menawarkan untuk
kerjasama tanaman lombal/cabai (Anonim, 2012).
Ini sekelumit cerita yang dilaporkan mengenai
keberhasilan PHBM di Jawa, dan masih banyak
cerita tidak dilaporkan para pihak yang bermitra
dan tidak dapat diakses oleh penulis baik dalam
program yang berhasil maupun tidak. Pada
dasarnya informasi yang dihimpun mengkaji
informasi menemukenali keberhasilan program
kemitraan berlangsung.
Dalam membangun PHBM, kunci
keberhasilan didasarkan dari struktur formal dan
pembagian kewenangan yang jelas (power
sharing). Keberhasilan PHBM utamanya
ditentukan oleh faktor kepemimpinan (agency)
dan kebijakan pemerintah. Pemimpin lokal
informal terbukti efektif menggerakkan aksi
kolektif di tingkat lokal. Kebijakan yang
menfasilitasi pembentukan communal property
ternyata efektif untuk meningkatkan kapasitas
masyarakat dalam melawan jaringan penebangan
liar (Iqbal dkk, 2008).
Model-model kemitraan lainnya adalah
kemitraan dalam pengelolaan hutan rakyat dan
hutan tanaman rakyat. Model kemitraan tersebut
menjadi alternatif pemenuhan kebutuhan bahan
baku kayu ditengah-tengah semakin melemahnya
pasokan kayu dari hutan alam yang terus
menerus semakin rusak dan lesunya sektor
industri hutan tanaman industri. Model ini sangat
ironi yang dulu kurang dikembangkan dan
nampaknya sangat mendorong usaha skala besar
yaitu melalui hutan tanaman industri.
Keterlanjuran ini menimbulkan pemanfaatan
kawasan hutan produksi yang dimanfaatkan
usaha skala besar dalam perkembangan sekarang
ini. Menurut data perkembangan pemanfaatan di
Kemenhut (2012, 2013) porsi kawasan hutan
untuk pemanfaatan untuk skala komunal atau
masyarakat sangatlah kecil, tidak lebih dari 2%.
Adapun porsi terbesar masih mengandalkan
pemanfaatan hutan alam skala besar dengan
sebesar 32% dari total keseluruhan daratan
Indonesia.
Gambar 1. Distribusi penggunaan dan pemanfaatan daratan Indonesia (diolah dari data Kemenhut
2012, Kemenhut 2013)
Melalui Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.39/Menhut-II/2013 mengenai
pemberdayaan masyarakat setempat melalui
kemitraan, dibukanya akses masyarakat sekitar
melalui kemitraan dengan pemegang izin
pemanfaatan hutan atau pengelolaan hutan,
HL
15.91%
KSA
11.76%
Pemanfaatan
Ht Alam
32.23%
HT
5.20%
RE
0.01%
HTR
0.09%
HKM-HD
0.81%
Pecadangan
1.76%
Kebun
3.99%
lain-lain
28.24%
7. 7
pemegang izin industri usaha industri primer hasil
hutan dan atau Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH) untuk meningkatkan kemandirian dan
kesejahteraan rakyat dengan prinsip kesetaraan
dan saling menguntungkan mulai digalakkan
(Kemenhut, 2013). Ini merupakan terobosan
dalam ruang politik yang baru untuk dunia tata
kelola hutan telah muncul kemitraan yang
memberi kebebasan para aktor privat dalam
otoritas pengambilan keputusan, disamping
selaras dengan intervensi pemerintah. Terobosan
ini akan menjadi pemungkin dominasi
pemanfaatan hutan skala besar bermitra dengan
masyarakat setempat dalam menjaga hubungan
positif dan mendekatkan pada legitimasi tata
kelola hutan. Ini yang menjadi alternatif solusi
dalam mengatasi keterbatasan ruang
pemanfaatan yang ada untuk memasukkan
masyarakat ke dalam pengelolaan dan
pemanfaatan hutan sebagai tujuan bersama.
Usaha ini menjadi pemungkin dalam
mendekatkan pada legitimasi tata kelola hutan.
Adapun dalam pasal 5 Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.39/Menhut-II/2013 prinsip-
prinsip yang digunakan dalam kemitraan
kehutanan meliputi:
1. Kesepakatan: semua masukan, proses dan
keluaran Kemitraan Kehutanan dibangun
berdasarkan kesepakatan antara para pihak
dan bersifat mengikat.
2. Kesetaraan: para pihak yang bermitra
mempunyai kedudukan hukum yang sama
dalam pengambilan keputusan.
3. Saling menguntungkan : para pihak yang
bermitra berupaya untuk mengembangkan
usaha yang tidak menimbulkan kerugian.
4. Lokal spesifik : Kemitraan Kehutanan
dibangun dan dikembangkan dengan
memperhatikan budaya dan karakteristik
masyarakat setempat, termasuk
menghormati hak-hak tradisional masyarakat
adat.
5. Kepercayaan : Kemitraan Kehutanan
dibangun berdasarkan rasa saling percaya
antar para pihak.
6. Transparansi: masukan, proses dan keluaran
pelaksanaan Kemitraan Kehutanan dijalankan
secara terbuka oleh para pihak, dengan tetap
menghormati kepentingan masing-masing
pihak.
7. Partisipasi : pelibatan para pihak secara aktif,
sehingga setiap keputusan yang diambil
memiliki legitimasi yang kuat.
Adapun luasan areal yang diperkenankan tidak
lebih dari 2 ha setiap keluarga bagi kegiatan
pemungutan kayu, sedangkan non kayu misalnya
jasa lingkungan diperkenan lebih dari luasan
tersebut. Dalam peraturan tersebut, pengelola
hutan, pemegang izin dan KPH yang telah
melaksanakan kegiatan kemitraan dapat
diberikan insentif, namun insentifnya ini yang
akan diatur dalam Peraturan Dirjen.
Peranan model kemitraan memberi
pengharapan bagi masyarakat untuk
meningkatkan kesejahteraan melalui kesempatan
dalam berusaha di sektor kehutanan,
pemanfaatan ruang di bawah tegakan dalam
ruang vertikal maupun horisontal. Disamping itu,
kemitraaan dapat memberi peluang peningkatan
produktifitas lahan dan sebagai solusi terhadap
perbaikan nilai ekologi serta alternatif solusi
terhadap krisis penyediaan sumberdaya
(termasuk pangan) dan permasalahan mengenai
land tenure.
V. Penutup
Kebijakan, ada banyak ruang untuk
memanipulasi argumen ilmiah untuk dukungan
ideologis, tetapi ada juga yang realistis dengan
peluangnya untuk menegakkan penggunaan yang
tepat dari wacana untuk pemangku kepentingan
yang lebih lemah dan atau mendukung argumen
ilmiah tertentu dengan pemangku kepentingan
yang kuat jika argumen tersebut menguntungkan
bagi dirinya sendiri (Krott, 2012). Kemitraan
sebagai lembaga merupakan hasil desain dari
voluntary, tidak terbatas dan berorientasi
terhadap implementasi. Dan ini mulai
dilembagakan untuk mengatasi masalah-masalah
yang terjadi, disamping juga mendorong
keterlibatan aktif para aktor, dan program
sertifikasi dalam instrumen voluntary. Hal ini
menciptakan ruang politik baru telah muncul
keterlibatan aktor privat dalam otoritas
pengambilan keputusan untuk regulasi urusan
publik, seiring dengan regulasi yang diatur oleh
8. 8
pemerintah. Program kemitraan ditinjau dari
waktu yang panjang dari pengalaman negara yang
melaksanakan kemitraan, terdapat program yang
berhasil dan ada juga yang tidak. Informasi yang
dihimpun mengenai keberhasilan, awalnya dari
pemetaan struktur situasi masalah dalam
perencanaan partisipatif, keterlibatan aktif para
aktor dan masyarakat, sifat barang atau jasa yang
dipertukarkan, minimal biaya transaksi yang
membebani kemudian motivasi aktor yang
signifikan dengan menjaga hubungan yang positif
dan menguntungkan, selain itu juga insentif.
Daftar Pustaka
Anonim, 2012. LMDH membangun jaringan
kemitraan dengan Industri PT. DUPON.
http://desakalangan.com/lmdh/lmdh-
membangun-jaringan-kemitraan-dengan-pt-
dupon/
Anonim, 2012. Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat (PHBM).
http://perumperhutani.com/csr/phbm/
Anonim, 2012. Statistika Bidang Planologi
Kehutanan Tahun 2012. Kementerian
Kehutanan. Jakarta.
Bhattacharya, P., Pradhan, L., dan Yadav, G.2009.
Joint Forest Management in India:
Experiences of two decades. Journal
Conservation and recycling 54,469-480.
Brody, S.D., Cash, S.B., Dyke, J., dan Thornton, S.
2006. Motivations for the forestry industry to
participate in collaborative ecosystem
management initiatives. Journal Forest Policy
and Economics 8, 123-134.
Buizer, M., dan Arts, B. 2009. Forests, discources,
institutions a discursive-institutional analysis
of global forest governance. Journal Forest
Policy and Economics 11, 340-347.
Colfer, C.J.P. 2011. Marginalized forest peoples’
perceptions of the legitimacy of governance:
an exploration. Journal World Development
vol. 39, No.12, 2147-2164.
Iqbal, M., Nurmanaf, A.R., dan Agustian, A. 2008.
Fenomena Perambahan Hutan dan Perspektif
Program Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat. Journal Sosial Ekonomi Volume
8 Nomor 2, 71-85.
Keraf, A.S. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Penerbit
Kompas. Jakarta.
Khadka, C., Hujala, T., Wolfslehner, B., dan Vacik,
H. 2012. Problem structuring in participatory
forest planning. Journal Forest Policy and
Economics 26, 1-11.
Krott, M. 2012. Value and risks of the use of
analytical theory in science for forest policy.
Journal Forest Policy and Economics 16, 35-
42.
Mert, A. 2009. Partnerships for sustainable
devolepment as discursive practice: Shifts in
discourses of enviroment and democracy.
Journal Policy and economics 11, 326-339.
Mirjam, A.F., Ros-Tonen, van Andel, T., Morsello
C., Atsuki, K., Rosenda, S., dan Scholz, I. 2008.
Forest-related partnerships in Brazillian
Amozonia: There is More to sutainable forest
management than reduced impact logging.
Journal Forest Ecology and Management 256,
1482-1497.
Mitchell, B., Setiawan, B. dan Rahmi, D.H. 2010.
Pengelolaan Sumberdaya dam Lingkungan.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Moore, C.T., Lonsdorf, E.V., Knutson, M.G.,
Laskowski, H.P., dan Lor, S.K. Adaptive
management in the US National Wildlife
refuge System: Science-management
partnership for conservation delivery. Journal
of Environmental Management 92, 1395-
1402.
Paul, S., dan Chakrabarti, S. 2011. Socio-economic
issues in Forest Management in India. Journal
Forest Policy and Econimics 13, 55-60.
Peraturan Menteri Kehutanan nomor
P.39/Menhut-II/2013 tentang pemberdayaan
masyarakat setempat melalui kemitraan
Peraturan Menteri Kehutanan nomor
P.44/Menhut-II/2013 tentang Rencana Kerja
Puspaninrum, D. 2011.Pelembagaan Program
Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama
Masyarakat (PHBM) dan Dampaknya bagi
Masyarakat Desa Hutan. Jurnal SEP Volume 5
nomor 3, 1-14.