Dokumen ini membahas pengenalan penyakit karat daun pada tanaman kedelai yang disebabkan oleh jamur Phakopsora pachyrhizi, serta pengelolaannya. Penyakit ini merupakan salah satu hambatan utama dalam peningkatan produksi kedelai di Indonesia. Pengendalian yang dianjurkan adalah menanam varietas tahan serta menggunakan agens hayati dan bahan nabati."
1. Ramlan Dan Nurjanani : Pengenalan Penyakit Karat Daun (Phakopsora Pachyrhizi) Dan Pengelolaannya Pada Kedelai
PENGENALAN PENYAKIT KARAT DAUN (Phakopsora pachyrhizi) DAN
PENGELOLAANNYA PADA KEDELAI
Ramlan dan Nurjanani
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
ABSTRAK
Di Indonensia, kedelai merupakan komoditas strategis ketiga setelah padi dan jagung, karena setiap hari
dikonsumsi oleh hampir sebagian masyarakat dengan tingkat konsumsi rata-rata 8,12 kg/kapita/tahun. Produksi
kedelai di Indonesia sejak tahun 1995 cederung mengalami penurunan. Produksi kedelai tahun 2006 dan 2007
masing-masing mencapai 795.340 dan 782.530 ton, dan tahun 2009 diperkirakan turun menjadi 757.540 ton. Saat
ini, rata-rata nasional produktivitas kedelai di tingkat petani hanya sekitar 1,3 t/ha dengan kisaran 0,6 -2,0 t/ha,
sedangkan di tingkat penelitian telah mencapai 1,7 – 3,2 t/ha bervariasi menurut kesuburan lahan dan penerapan
teknologinya. Salah satu hambatan dalam peningkatan dan stabilisasi produksi kedelai di Indonesia adalah serangan
penyakit karat daun yang disebabkan oleh cendawan Phakopsora pachyrhizi. Penyakit karat (P. Pachyrhizi)
merupakan penyakit utama pada tanaman kedelai di Indonesia di samping penyakit lain yaitu pustul bakteri yang
disebabkan oleh Xanthomonas axonopodis, antraknose yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum dematium var
truncatum. Penyakit tersebut dapat dikendalikan dengan memadukan berbagai teknik pengendalian, antara lain
menaman varietas tahan, cendawan antagonis (Verticillium sp.), dan fungisida nabati (minyak cengkeh).
Kata Kunci: Pengenalan, penyakit karat, pengelolaan, kedelai
ABSTRACT
In Indonensia, soybean is the third strategic commodity after rice and maize, because every day is consumed by
almost half the people with an average consumption level of 8.12 kg/capita/year. Soybean production in Indonesia
since 1995 tended to decline. Soybean production in 2006 and 2007 each reached 795,340 and 782,530 tons, and
in 2009 is estimated to drop to 757,540 tonnes. Currently, the national average soybean productivity at farm level
is only around 1.3 t/ha with a range of 0.6 - 2.0 t/ha, while at the research level has reached 1.7 to 3.2 t/ha varies
in accordance with the land fertility and application of technology. One obstacle to the improvement and
stabilization of soybean production in Indonesia is to attack the leaf rust disease caused by the fungus
Phakopsora pachyrhizi. Rust disease (P. Pachyrhizi) is a major disease on soybean plants in Indonesia in addition to
other diseases of bacterial pustules caused by Xanthomonas axonopodis, antraknose caused by the fungus
Colletotrichum truncatum var dematium. The disease can be controlled by combining a variety of control
techniques, such as planting resistant varieties, an antagonistic fungus (Verticillium sp.), and botanical fungicides
(clove oil).
Keywords: Introduce, rust disease, management, soybean
PENDAHULUAN
Di Indonensia, kedelai merupakan komoditas strategis ketiga setelah padi dan jagung, karena
setiap hari dikonsumsi oleh hampir sebagian masyarakat dengan tingkat konsumsi rata-rata 8,12
kg/kapita/tahun (Sudaryanto dan Swastika. 2007). Kebutuhan kedelai akan terus meningkat sejalan
dengan bertambahnya jumlah penduduk. Hal ini tercermin dari permintaan kedelai dalam 10 tahun
terakhir yang terus meningkat, jauh melampaui produksi dalam negeri, bahkan pada Januari 2008,
9
2. Superman : Suara Perlindungan Tanaman, Vol.1.,No.4.,2011
kedelai menjadi barang langka sehingga harganya melambung dari Rp 3.500/kg menjadi Rp 8.500/kg.
Kondisi ini menyulitkan banyak industri dan masyarakat yang kesehariannya bergantung pada produk
berbahan baku kedelai, antara lain tempe, tahu dan susu kedelai.
Produksi kedelai di Indonesia sejak tahun 1995 cederung mengalami penurunan. Pada tahun
2007 produksi kedelai hanya 35% dibanding produksi tahun 1995 (BPS, 2008). Sedangkan Yulianto B. et
al. (2008). Mengemukakan bahwa produksi kedelai tahun 2006 dan 2007 masing-masing mencapai
795.340 dan 782.530 ton, dan tahun 2009 diperkirakan turun menjadi 757.540 ton. Konsekwensi dari
penurunan produksi adalah terjadinya defisit kedelai yang terus bertambah, karena konsumsi nasional
cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Saat ini, rata-rata nasional produktivitas kedelai di tingkat
petani hanya sekitar 1,3 t/ha dengan kisaran 0,6 -2,0 t/ha, sedangkan di tingkat penelitian telah
mencapai 1,7 – 3,2 t/ha bervariasi menurut kesuburan lahan dan penerapan teknologinya (Puslitbangtan.
2008).
Salah satu hambatan dalam peningkatan dan stabilisasi produksi kedelai di Indonesia adalah
serangan penyakit karat daun yang disebabkan oleh cendawan Phakopsora pachyrhizi. Penyakit karat
telah tersebar luas di sentra produksi dedelai di dunia. Di Indonesia, penyakit karat terdapat di sentra
produksi kedelai di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan dan Sulawesi (Semangun.
1991).
Penyakit karat (P. Pachyrhizi) merupakan penyakit utama pada tanaman kedelai di Indonesia di
samping penyakit lain yaitu pustul bakteri yang disebabkan oleh Xanthomonas axonopodis, antraknose
yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum dematium var truncatum, penyakit tular tanah dan penyakit
yang disebabkan oleh virus (Semangun. 2008).
Penyakit karat yang disebabkan jamur Phakopspora pachyrhizi merupakan penyakit penting
pada kedelai. Penyakit karat dapat menurunkan hasil karena daun-daun yang terserang akan mengalami
defoliasi lebih awal sehingga akan mengakibatkan berkurangnya berat biji dan jumlah polong yang
bervariasi antara 10-90%, tergantung pada fase perkembangan tanaman, lingkungan dan varietas
kedelai (Sinclair dan Hartman. 1999).
Kehilangan hasil akibat penyakit karat di Indonesia mencapai 90% (Sudjono et al. 1985).
Besarnya kehilangan hasil bergantung pada berbagai faktor antara lain ketahanan tanaman. Pada
varietas Orba, kehilangan hasil dapat mencapai 36%, sedangkan pada varietas TK-5 sebesar 81%
(Sumarno dan Sudjono. 1977).
BIOLOGI PENYAKIT KARAT
Gejala
Gejala kerusakan tanaman akibat serangan penyakit karat kedelai adalah terdapatnya bintik-
bintik kecil yang kemudian berubah menjadi bercak-bercak berwarna coklat pada bagian bawah daun,
yaitu uredium penghasil uredospora. Serangan berat menyebabkan daun gugur dan polong hampa.
Terjadi bercak- bercak kecil berwarna cokelat kelabu atau bercak yang sedikit demi sedikit berubah
menjadi cokelat atau coklat tua. Bercak karat terlihat sebelum bisul- bisul (pustule) pecah. Bercak
tampak bersudut-sudut karena dibatasi oleh tulang-tulang daun tepatnya didekat daun yang terinfeksi.
Biasanya dimulai dari daun bawah baru kemudian ke daun yang lebih muda.
10
3. Ramlan Dan Nurjanani : Pengenalan Penyakit Karat Daun (Phakopsora Pachyrhizi) Dan Pengelolaannya Pada Kedelai
Gambar 1. Gejala serangan karat pada permukaan
bawah daun kedelai
Penyebab Penyakit
Penyakit karat disebabkan oleh cendawan P. pachyrhizi. Spora cendawan dibentuk dalam
uredium dengan diameter 25−50 µm sampai 5−14 µm. Uredospora berbentuk bulat telur, berwarna
kuning keemasan sampai coklat muda dengan diameter 18−34 µm sampai 15−24 µm. Permukaan
uredospora bergerigi. Uredospora akan berkembang menjadi teliospora yang dibentuk dalam telia. Telia
berbentuk bulat panjang dan berisi 2−7 teliospora. Teliospora berwarna coklat tua, berukuran 15−26 µm
sampai 6−12 µm. Stadium teliospora jarang ditemukan di lapangan dan tidak berperan sebagai inokulum
awal. Di Amerika Latin, penyakit karat disebabkan oleh dua spesies, yaitu P. pachyrhizi yang sangat
virulen dan P. meibomiae yang kurang virulen (Sumartini. 2010).
Ekologi
Tanaman Inang cendawan-cendawan tersebut antara lain tanaman komak, bengkuang, kacang
krotok, kacang polong, kacang kapri, kacang panjang, dan kacang asu. Penyakit karat kedelai biasanya
mulai menyerang pada saat tanaman berumur 3-4 minggu setelah tanam.
Siklus penyakit dan epidemiologi
Epidemi didorong oleh panjangnya waktu daun dalam kondisi basah dengan temperatur kurang
dari 280 oC. Perkecambahan spora dan penetrasi spora membutuhkan air bebas dan terjadi pada suhu 8-
280 oC. uredia muncul 9-10 hari setelah infeksi, dan urediospora diproduksi setelah 3 minggu. Kondisi
lembab yang panjang dan periode dingin dibutuhkan untuk menginfeksi daun-daun dan sporulasi.
Penyebaran urediniospora dibantu oleh hembusan angin pada waktu hujan. Patogen ini tidak ditularkan
melalui benih.
Tanaman Inang
Cendawan P. pachyrhizi merupakan parasit obligat. Jika di lapangan tidak terdapat tanaman
kedelai, spora hidup pada tanaman inang lain. Spora hanya bertahan 2 jam pada tanaman bukan inang.
Spora tidak dapat bertahan pada kondisi kering, jaringan mati atau tanah. Jika tidak ada tanaman
kedelai, gulma yang termasuk ke dalam famili Leguminosae dapat menjadi tanaman inang alternatif. Dari
27 jenis tanaman Leguminosae yang diuji, tujuh di antaranya menunjukkan reaksi hipersensitif sehingga
infeksi pada tanaman tersebut tidak menghasilkan spora. Sudjono (1979) menyatakan bahwa dari 17
jenis tanaman kacang-kacangan selain kedelai yang diinokulasi secara buatan, tiga di antaranya
menunjukkan gejala yang bersporulasi, yaitu kacang asu, kacang kratok, dan kacang panjang. Oleh
karena itu, keberadaan tanaman tersebut perlu diwaspadai.
11
4. Superman : Suara Perlindungan Tanaman, Vol.1.,No.4.,2011
PENGENDALIAN
Pengendalian penyakit karat dianjurkan dilakukan dengan memadukan beberapa komponen
pengendalian yang ramah lingkungan untuk mendukung pertanian berkelanjutan. Komponen pengendalian
penyakit karat meliputi penanaman varietas tahan serta penggunaan bahan nabati dan hayati.
Varietas Tahan
Pemantauan penyakit karat dimulai pada saat tanaman kedelai berumur tiga minggu.
Pengendalian penyakit dilakukan apabila intensitas serangan telah mencapai 5% untuk varietas unggul
tahan karat. Untuk varietas rentan, keberadaan satu bercak saja dalam areal pertanaman kedelai sudah
harus dilakukan upaya pengendalian. Menanam varietas kedelai yang tahan penyakit karat merupakan
cara pengendalian yang murah, mudah dilaksanakan, dan tidak mencemari lingkungan. Menanam varietas
tahan dimaksudkan untuk mengurangi jumlah inokulum awal (Zadoks dan Schein. 1979). Ketahanan suatu
varietas terhadap suatu penyakit umumnya tidak berlangsung selamanya. Jika muncul ras baru yang
lebih virulen, ketahanan varietas tersebut akan patah. Oleh karena itu, adanya varietas-varietas baru
kedelai yang tahan terhadap penyakit karat sangat dibutuhkan dalam upaya mengendalikan penyakit
tersebut.
Menanam varietas kedelai yang tahan penyakit karat merupakan cara pengendalian yang murah,
mudah dilaksanakan, dan tidak mencemari lingkungan. Menanam varietas tahan dimaksudkan untuk
mengurangi jumlah inokulum awal (Zadoks dan Schein. 1979).
Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-Umbian (Balitkabi) telah melepas beberapa
varietas unggul kedelai 10 tahun terakhir (1995-2005), dengan ketahanan terhadap penyakit karat yang
bervariasi (Tabel 1) (Balitkabi. 2007).
Varietas yang toleran dapat terinfeksi patogen karat, tetapi masih dapat menghasilkan biji.
Varietas dengan kategori agak tahan memiliki ketahanan terhadap penyakit karat yang berada antara
tahan dan agak rentan. Apabila menanam varietas yang agak tahan, perlu dipadukan dengan cara
pengendalian lain, misalnya dengan fungisida nabati (Sumartini. 2010).
Agens Hayati
Pengendalian dengan agens hayati dimaksudkan mengaplikasikan mikro-penyakit. Menurut
Zadoks dan Schein (1979), cara pengendalian tersebut dapat meminimalkan jumlah inokulum awal dan
mengurangi perkembangan penyakit. Keunggulan cara pengendalian tersebut adalah tidak mencemari
lingkungan dan dengan satu kali aplikasi, efek residunya dapat bertahan lama, sampai beberapa musim
tanam.
Pengendalian menggunakan fungisida memang efektif tetapi untuk menghindari dampak
negatifnya diperlukan cara pengendalian lain yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan potensi
jamur parasit. Jamur parasit Verticillium lecani dilaporkan dapat memparasit jamur karat pada tanaman
kacang tanah (Subrahmanyam dan McDonald, 1987). Penelitian pendahuluan di laboratorium awal tahun
2005 pada daun kedelai yang dipetik menunjukkan bahwa Verticillium sp. mampu memparasit jamur
karat kedelai lebih 40% (Sri Hardaningsih. 2008).
Hasil penelitian Sri Hardaningsih (2008), menunjukkan bahwa Persentase parasitisasi
Verticillium sp. terhadap jamur karat meningkat sejak aplikasi pertama pada 30 hari setelah tanam
(0%) sampai aplikasi terakhir pada 57 hst, yaitu 98,7%. pada perlakuan aplikasi Verticillium sp. 5x.
(Tabel 2.). Demikian juga untuk aplikasi 4x, 3x, 2x, dan tanpa Verticillium sp. menunjukkan peningkatan
persentase parasitisasi sejak pengamatan pertama pada 30 hari, 17%, sampai pengamatan terakhir pada
58 hari. Pada perlakuan tanpa Verticillium persentase parasitisasi 17% pada pengamatan pertama (30
hari), kemudian menurun menjadi 6% pada pengamatan kedua (37 hari) dan 5% pada pengamatan ketiga
12
5. Ramlan Dan Nurjanani : Pengenalan Penyakit Karat Daun (Phakopsora Pachyrhizi) Dan Pengelolaannya Pada Kedelai
(44 hari) dan menjadi 0% pada pengamatan keempat dan kelima berturut-turut pada 41 hari dan 58
hari.
Tabel 1. Karakter unggul varietas kedelai yang dilepas 10 tahun terakhir (1995-2005)
Varietas Umur Poten hasil Ketahanan terhadap
(hari) (t/ha) penyakit karat
Tidar 75 1,40 Agak tahan
Dieng 76 1,70 Agak tahan
Malabar 70 1,30 Agak tahan
Meratus 75 1,40 Agak tahan
Sinabung 88 2,16 Agak tahan
Tanggamus 88 2,50 Agak tahan
Argomulyo 79 2,00 Agak tahan
Burangrang 79 2,00 Toleran
Wilis 85 1,60 Agak tahan
Manglayang 86 1,90 Agak tahan
Kaba 85 2,10 Agak tahan
Sinabung 88 2,20 Agak tahan
Anjasmoro 82 2,0 Agak tahan
Rajabasa 85 3,90 Tahan
Sumber: Balitkabi (2007)
Tabel 2. Presentase parasitisasi jamur karat oleh Verticillium sp. (%)
Perlakuan Apl I Apl II Apl III Apl IV Apl V
(30hst) (37hst) (44hst) (51hst) (58hst)
Verticill ium 5 x 0 100 95,4 100 98,7
Verticillium 4 x 0 100 95,9 100 100
Verticillium 3 x 0 100 95,4 100 100
Verticillium 2 x 0 100 96,9 100 99,3
Tanpa Verticillium 17,00 6,00 5,0 0 0
Difenokonasol 5 -- -- -- -- --
Sumber: Sri Hardaningsih (2008)
13
6. Superman : Suara Perlindungan Tanaman, Vol.1.,No.4.,2011
Fungisida Nabati
Pengendalian dengan fungisida nabati mempunyai keunggulan karena tidak mencemari lingkungan,
bahannya tersedia di lingkungan sekitar, dan lebih murah daripada fungisida sintetis (Kardinan. 1998).
Balitkabi telah melakukan penelitian untuk mengetahui efektivitas minyak cengkih dalam
melindungi tanaman kedelai dari infeksi penyakit karat. Intensitas serangan karat pada tanaman tanpa
perlakuan minyak cengkih cukup tinggi; pada pengamatan umur 65 hari setelah tanam (hst) di rumah
kaca dan pada umur 78 hst
di lapangan, intensitas serangan karat berturut-turut sebesar 73% dan 34%. Intensitas
serangan karat dengan perlakuan minyak cengkih bervariasi dari 5% hingga 21,60% (Tabel 3). Interval
waktu penyemprotan minyak cengkih terendah, baik untuk pertanaman di rumah kaca maupun di
lapangan, adalah 5 hari. Hal ini mengisyaratkan bahwa penyemprotan minyak cengkih akan efektif
apabila dilakukan beberapa kali dengan interval waktu minimum 5 hari sekali.
Tabel 3. Intensitas serangan penyakit karat di rumah kaca dan Kebun Percobaan Jambegede,
Malang, musim kemarau kedua 2008.
Frekuensi penyemprotan Intensitas serangan karat (%)
minyak cengkeh Di rumah kaca Di lapangan
Interval 1 hari 13,30 20,00
Interval 2 hari 7,50 21,60
Interval 3 hari 15,00 19,20
Interval 4 hari 19,15 18,20
Interval 5 hari 5,00 16,60
Interval 6 hari 14,15 17,80
Interval 7 hari 8,30 19,60
Tanpa minyak cengkeh 73,30 33,60
Sumber: Sumartini (2010)
KESIMPULAN
a. Penyakit karat (P. Pachyrhizi) merupakan penyakit utama pada tanaman kedelai di Indonesia di
samping penyakit lain yaitu pustul bakteri yang disebabkan oleh Xanthomonas axonopodis,
antraknose yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum dematium var truncatum.
b. Penyakit tersebut dapat dikendalikan dengan memadukan berbagai teknik pengendalian, antara
lain menaman varietas tahan, cendawan antagonis (Verticillium sp.), dan fungisida nabati (minyak
cengkeh).
c. Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan penyakit karat adalah suhu, kelembapan,
cahaya matahari, dan tanaman inang.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 2007. Panduan umum pengelolaan tanaman terpadu
kedelai. Puslitbangtan. Balitbangtan. 54 hal.
BPS. 2008. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta.
Kardinan, A. 1998. Prospek penggunaan bahan nabati di Indonesia. Jur Penel dan Pengemb Pert. 17(1):
1−8.
14
7. Ramlan Dan Nurjanani : Pengenalan Penyakit Karat Daun (Phakopsora Pachyrhizi) Dan Pengelolaannya Pada Kedelai
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2008. Panduan teknis budidaya kedelai di berbagai
agroekosistem. Badan Litbang Pertanian. Deptan. 29 hal.
Semangun. H. 2008. Penyakit-penyakit tanaman pangan di Indonesia. Gadjah Mada University Press.
475 hal.
Semangun H. 1991. Penyakit-penyakit tanaman pangan di Indonesia. Gadjah Mada University Poress,
Yogyakarta. 449 hal.
Sinclair, J.B. and G.L. Hartman. 1999. Soybean Rust. In G.L. Hartman, J.B. Sinclair, J.C. Rupe (Eds.)
Compendium of Soybean Diseases (Fourth Edition). APS Press The American Phytopathological
Society. p.25-26.
Sudaryanto T dan D.K.S. Swastika. 2007. Kedudukan Indonesia dalam perdagangan internasional
kedelai. p. 28-44. Dalam: Sumarno et al. (Eds.). Kedelai: teknik produksi dan pengembangan
Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.
Sudjono, M.S. 1979. Ekobiologi cendawan karat kedelai dan resistensi varietas kedelai. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 60 hal.
Sumarno dan S. Sudjono. 1977. Breeding for soybean rust resistance in Indonesia. P. 66-70. Report of
Workshop on Rust of Soybean Problem and Research Needs. Manila.
Sumartini. 2010. Penyakit karat pada kedelai dan cara pengendaliannya yang ramah lingkungan. Jurn
Penel dan Pengemb Pert. Indonensian Agricultural Research and Development Journal: 29(3).
Sri Hardaningsih. 2008. Penelitian pendahuluan penyakit karat kedelai Menggunakan jamur hiperparasit
Verticillium sp. Risalah Seminar Hasil 2006, Malang: 445-460.
Zadoks, J.C. dan R.D. Schein. 1979. Epidemiology and plant disease management. Oxford Univ Press.
New York. 427 pp.
Yulianto B., W. Tengkano, dan Marwoto. 2008. Penggerek polong kedelai, Etiella zinckenella Treitschke
(Lepidoptera: Pyralidae), dan strategi pengendaliannya di Indonesia. Jur Penel dan Pengemb
Pert. Indonensian Agricultural Research and Development Journal: 27(4).
15