Dokumen tersebut membahas implementasi Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia. Secara singkat, dokumen tersebut menjelaskan bahwa: (1) pencantuman HAM dalam UUD 1945 dimotivasi oleh tuntutan demokrasi dan supremasi hukum, (2) terdapat perdebatan panjang soal HAM bersumber Barat dan budaya Indonesia, dan (3) implementasi HAM membutuhkan peran negara dan masyarakat sipil dalam pendidikan
1. Konsekuensi Implementasi HAM dalam UUD 1945
18FEB
13 Votes
Oleh: Hamdan Zoelva, S.H., M.H.
Pada kesempatan ini perkenankan saya menyampaikan beberapa catatan tambahan melengkapi apa
yang telah dikemukakan dan diuraikan oleh Pak Albert Hasibuan dalam makalahnya yang baru saja
disampaikan. Dalam banyak hal saya sependapat dengan apa yang telah disampaikan Pak Albert.
Hanya beberapa catatan yang perlu saya kemukakan untuk menanggapi Pak Albert yang akan
disampaikan pada bagian akhir pandangan saya. Pada kesempatan awal ini saya ingin memberikan
beberapa catatan yang saya anggap penting berkaitan dengan pencantuman 10 Pasal HAM pada
perubahan UUD 1945.
Pertama, seperti juga secara sekilas telah dikemukakan oleh Pak Albert bahwa pencantuman HAM
dalam perubahan UUD 1945 dari Pasal 28A s/d Pasal 28J UUD 1945, tidak lepas dari situasi serta
tuntutan perubahan yang terjadi pada masa akhir pemerintahan Orde Baru, yaitu tuntutan untuk
mewujudkan kehidupan demokrasi, penegakkan supremasi hukum, pembatasan kekuasaan negara
serta jaminan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia sebagai antitesa dari berbagai
kebijakan pemerintahan Orde Baru yang mengabaikan aspek-aspek tersebut.
Sebenarnya, sebelum perubahan UUD 1945, pada tahun 1988-1990 yaitu pada masa pemerintahan
Presiden BJ Habibie, telah dikeluarkan Ketetapan MPR RI No. XVII/1998 mengenai Hak Asasi Manusia
yang didalamnya tercantum Piagam HAM Bangsa Indonesia dalam Sidang Istimewa MPR RI 1998,
dan dilanjutkan dengan UU No. 39 Tahun 1999. Kedua peraturan perundang-undangan tersebut
telah mengakomodir Universal Declaration of Human Right. Apa yang termuat dalam perubahan
UUD 1945 (Pasal 28A s/d Pasal 28J) adalah merujuk pada kedua peraturan perundang-undangan
tersebut, dengan perumusan kembali secara sistematis.
Pada saat itu, perdebatan diantara kalangan anggota PAH I adalah apakah perlu ketentuan mengenai
HAM yang sebenarnya sudah ada dalam ketetapan MPR dan undang-undang dicantumkan kembali
dalam Perubahan UUD ini.Sebagian besar anggota PAH I dan pada akhirnya disepakati secara bulat
bahwa ketentuan mengenai HAM ini perlu dicantumkan secara lengkap dalam UUD dan tidak cukup
2. hanya diatur dalam ketetapan MPR dan undang-undang, dengan pertimbangan bahwa HAM adalah
sesuatu yang sangat prinsip bagi jaminan terselenggaranya sebuah negara hukum, seperti apa yang
telah dikutip oleh Pak Alber dari pendapat Stahlbahwa penghormatan terhadap HAM adalah salah
satu ciri atau prinsip negara hukum.
Kedua; Terjadi perdebatan panjang mengenai adanya kecurigaan dari sebagian anggota MPR bahkan
sebagian anggota masyarakat kita bahwa konsep HAM yang bersumber dari barat, tidak sesuai
dengan budaya bangsa Indonesia yang berdasarkan prinsip-prinsip koletivitas dan menjunjung tinggi
nilai-nilai agama, karena HAM yang berasal dari barat mengandung nilai-nilai kebebasan yang
berdasarkan individualisme. Perdebatan mengenai masalah ini mencapai titik temu ketika disetujui
adanya pembatasan HAM yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Karena itu, pemahaman terhadap
Pasal 28J pada saat itu adalah pasal mengenai pembatasan HAM yang bersifat sangat bebas dan
indvidualistis itu dan sekaligus pasal mengenai kewajiban asasi. Jadi tidak saja hak asasi tetapi juga
kewajiban asasi. Karena itulah, dengan undang-undang, hak dan kebebasan yang telah dicantumkan
dalam pasal-pasal sebelumnya dapat dibatasi dengan maksud semata-mata :
- untuk menjamin pengakuan serta penghormatan dan pembatasan terhadap hak dan kebebasan
orang lain dan
- untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Pada saat itu rumusan pasal 28I ayat (1) (yang terkenal dengan pasal retroaktif)
hampir deadlock karena ada yang tidak setuju terhadap rumusan Pasal 28I ayat (1) itu. Akhirnya
rumusan Pasal 28I ayat (1) dapat diterima dan disahkan dengan pengertian yang utuh dengan
rumusan Pasal 28J. Jadi pasal 28I, tidak dapat ditafsirkan secara independen. Hal ini ditegaskan
kembali dalam buku sosialisasi hasil Perubahan UUD yang dikeluarkan oleh MPR RI. Sedangkan
kekhawatiran tidak terakomodirnya prinsip-prinsip kolektivitas dan menjunjung tinggi nilai-nilai
agama terjawab dengan rumusan bagian akhir dari pasal 28J itu. Berdasarkan pertimbangan itulah
dalam hal-hal tertentu rektroaktive itu dimungkinkan sebagaimana yang diatur dalah undang-
undang pengadilan HAM.
Ketiga; Pasal lain yang menyita waktu perdebatan dan loby yang melelahkan adalah rumusan Pasal
28E ayat (1). Terkait dengan “aliran kepercayaan”. Semula tiga baris pertama rumusan ayat (1)
tersebut kata “dan kepercayaannya itu” setelah kata agama, yang mengikuti rumusan Pasal 29 ayat
(2). Penambahan kata “kepercayaannya itu” ditentang oleh sebagian anggota dan meminta agar dua
kata tersebut dihapuskan. Pada sisi lain anggota yang sangat keberatan dengan penghapusan dua
kata itu, karena dua kata tersebut tercantum juga dalam pasal 29 ayat (2). Jalan keluar atas
perbedaan ini yang disetujui bersama adalah mengenai aliran kepercayaan diakomodir pada ayat (2)
Pasal 28E ini yaitu hak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai
dengan hati nurananinya.
Keempat; Pasal-pasal lainnya mengenai HAM disetujui dengan tanpa perdebatan yang lama dan
termasuk pasal-pasal perubahan UUD 1945 yang disetujui dengan mulus dibanding dengan
perubahan pasal yang lainnya. Hanya ketiga soal itulah yang menjadi perdebatan panjang atas
sepuluh pasal mengenai HAM ini di MPR pada saat itu. Selanjutnya saya sependapat dengan
Pak Albert bahwa ketentuan HAM dalam UUD 1945 yang menjadi basic law adalah norma tertinggi
3. yang harus dipatuhi oleh negara. Karena letaknya dalam konstitusi, maka ketentuan-ketentuan
mengenai HAM harus dihormati dan dijamin pelaksanaanya oleh negara. Karena itulah pasal 28I ayat
(4) UUD 1945 menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan HAM
adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.
Bidang Legislasi
Terkait dengan implementasi HAM, ada dua aspek yang harus diperhatikan dalam pembentukan
perundang-undangan yaitu pertama berkaitan dengan proses dan kedua berkaitan dengan substansi
yang diatur peraturan perundang-undangan. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan
harus dilakukan dengan transparan dan melibatkan rakyat untuk memenuhi hak asasi warga negara
untuk memperoleh informasi dan hak warga negara berpatisipasi dalam pemerintahan.
Kedua; sehubungan dengan substansi peraturan perundang-undangan, maka ada dua hal yang harus
diperhatikan oleh pembentuk peraturan perundang-undangan. Pertama; pengaturan yang
membatasi HAM hanya dapat dilakukan dengan undang-undang dan terbatas yang diperkenankan
sesuai ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Karena itu Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden
dan seterusnya pada tingkat bawah tidak dapat membatasi HAM. Kedua; substansi peraturan
perundang-undangan harus selalu sesuai atau sejalan dengan ketentuan-ketentuan HAM yang ada
dalam UUD 1945.
Pelanggaran terhadap salah satu saja dari kedua aspek tersebut dapat menjadi alasan bagi
seseorang, badan hukum atau masyarakat hukum adat untuk menyampaikan permohonan
pengujian terhadap undang-undang tersebut kepada Mahkamah Konstitusi dan jika bertentangan
dengan UUD dapat saja undang-undang tersebut sebahagian atau seluruh dinyatakan tidak
berkekuatan mengikat. Jadi mekanisme kontrol terhadap kekuasaan negara pembentuk undang-
undang dilakukan oleh rakyat melalui Mahkamah Konstitusi. Dengan proses yang demikian
menjadikan UUD kita menjadi UUD yang hidup, dinamis dan memiliki nilai praktikal yang mengawal
perjalanan bangsa yang demokratis dan menghormati HAM.
Saya kurang setuju dengan langkah meratifikasi berbagai konvensi internasional mengenai HAM.
Penerimaan konvensi atau perjanjian internasional lainnya dalam bentuk ratifikasi kadang-kadang
menimbulkan masalah dalam implementasi karena tidak seluruh ketentuan-ketentuan dalam
konvensi sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut bangsa Indonesia. Akan lebih baik jika proses
penerimaan nilai-nilai HAM itu melalui proses internalisasi pada saat pembentukan undang-undang
terkait. Penerimaan dalam bentuk ratifikasi hanya dapat dilakukan dalam hal-hal sangat urgen
terkait dengan kepentingan nasional yang mendesak dan setalah dilakukan kajian menyeluruh.
Demikian juga pandangan agar dilakukan penyelidikan dan pengkajian secara khusus terhadap
berbagai undang-undang dan peraturan lainnya yang tidak sejalan dengan HAM sesuai usul Pak
Albert, menurut saya tidaklah mendesak. Karena pengujian dan peninjauan terhadap berbagai
undang-undang dan peraturan lainnya akan hidup dengan sendirinya dan terus menerus dilakukan
oleh masyarakat sipil melalui mekanisme pengujian undang-undang. Disini pulalah peranan KOMNAS
HAM sangat diharapkan untuk mengkaji perundang-perundangan yang tidak sejalan dengan HAM itu
untuk diajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk dibatalkan. Jadi proses legislasi sekarang ini tidak
4. lagi monopoli DPR dan Pemerintah (khususnya untuk menyatakan tidak berlakunya satu atau bagian
dari satu undang-undang), tetapi juga oleh Mahkamah Konstitusi.
Sebagian besar permohonan pengujian terhadap undang-undang yang diajukan kepada Mahkamah
Konstitusi hingga sekarang ini didasarkan pada ketentuan pasal-pasal HAM itu. Karena itu, dalam
setiap pembentukan undang-undang pemerintah dan DPR harus memperhatikan dengan seksama
ketentuan-ketentuan HAM yang diatur dalam UUD 1945, agar tidak menimbulkan masalah yang
komplek ketika jika Mahkmah Konstitusi menyatakan tidak berlakuanya suatu undang-undang
karena bertentangan dengan konstitusi.
Masalah Implementasi
Jika dibandingkan dengan implementasi hak-hak sipil dan politik, maka implementasi hak-hak sosial
dan ekonomi jauh lebih sulit. Aspek inilah yang banyak terabaikan di Indonesia baik diakibatkan
karena masalah kemampuan ekonomi negara maupun karena kesadaran warga negara atas haknya
yang dijamin konstitusi.
Berbeda dengan hak-hak sipil dan politik yang dengan mudah bisa dilihat dan dirasakan adanya
pelanggaran hak itu melalui legislasi yaitu adanya pembatasn dan pelarangan atas peleksanaan hak,
yang dapat segera direhabilitasi dengan mengajukan pengujian terhadap undang tersebut kepada
Mahkamah Konstitusi atau peradilan lainnya. Sedangkan untuk penggaran terhadap hak-hak sosial-
ekonomi melalui legislasi lebih sulit terdeteksi adanya pembatasan-pembatasn yang secara tegas
dilakukan yang melanggar hak-hak sosial eknomi. Hak-hak sosial ekonomi lebih banyak meminta
perhatian dan tanggung jawab negara terutma pemerintah untuk implemntasinya. Misalnya hak
memperoleh pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, hak
membentuk keluarga, hak kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, hak hidup sejahtera lahir
dan bathin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, adalah hak-
hak yang implementasinnya meminta perhatian dan tanggung jawab pemerintah. Disinilah peranan
masyarakat sipil dan sosialisasi pemahaman dan kesadaran atas hak-hak tersebut menjadi sangat
penting. Pendidikan dan edukasi terhadap hak-hak sosial dan ekonomi tidak mungkin diharapkan
dari pemerintah, karena pemerintah selalu mencari alasan untuk menghindari tanggung jawab
karena komplesitas masalah yang dihadapi.
Penyelasaian Pelanggaran HAM Berat
Saya sependapat dengan pandangan Pak Albert bahwa peradilan terhadap pelanggaran HAM berat
harus berdasarkan keadilan hukum atau justice according to law. Apalagi sekarang ini pelanggaran
HAM berat adalah termasuk pelanggaran atas huku pidana internasional yang dapat menjadi
kewenangan Mahkamah Pidana Internasional dan suka atau tidak suka masyarakat internasional
memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan serta mengadili perkara tersebut, Karena itu, ketika
sebuah perkara pelanggaran HAM berat dibawa kepada pengadilan, maka peradilan HAM kita harus
bekerja secara professional dan tidak memutuskan perkara-perkara tersebut dengan pertimbangan
politik dan kompromi serta impunity.
5. Walaupun demikian, dengan adanya undang-undang komisi kebenaran dan rekonsiliasi yang kita
miliki, penyelesaian perkara-perkara pelanggaran HAM berat pada masa lalu tidak selalu harus
dengan proses ajudikasi berdasarkan prinsip-prinsip aliran Kantian. Kita juga perlu
mempertimbangan penyelesaian non-ajudikasi dengan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
mengikuti prinsip-prinsip utilitarian dari Jeremy Bentham, dengan mempertimbangkan kesatuan
nasional dan keseimbangan (equalibrum).
Saya tidak sependapat dengan pandangan Pak Albert bahwa DPR tidak dapat melakukan interpretasi
politik dalam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti kasus Trisakti dan Semanggi. Menurut
pandangan kami, secara prinsip suatu pelanggaran pidana tidak dapat diadili secara retroaktif, akan
tetapi dalam hal-hal tertentu misalnya dalam hal pelanggaran HAM berat prinsip pemberlakuan
surut itu dimungkin dengan syarat-syarat dan batasan tertentu. Disinilah asal usul lahirnya Pasal 43
ayat (2) UU No.26 Tahun 2000, yang memberikan kewenangan kepada DPR untuk mengusulkan
suatu kasus pelanggaran HAM berat yang berlaku surut. Dengan penyerahan kewenangan
pengusulan ini kepada DPR, berarti penyerahan kepada institusi politik yang tidak bisa dihindari akan
melakukan interpretasi politik. Jadi menurut kami, pemebentuk undang-undang dengan sengaja
memberikan peluang interpretasi politik apakah layak atau tidak layak suatu pelanggaran HAM berat
masa lalu diajukan ke pengadilan HAM.
Terkahir saya berkesimpulan bahwa masih banyak yang harus kita lakukan dalam rangka
implementasi HAM dalam UUD ini, akan tetapi saya yakin bahwa dengan perangkat yang disediakan
oleh UUD saya selalu optmis bahwa ke depan impelementasi HAM di Indonesia akan terus lebih baik
walupun harus dengan proses panjang, karena HAM itu sendiri selalu dinamis berkembang sesuai
kondisi dan situasi masyarakat.
Disampaikan untuk Seminar Pengkajian Hukum Nasional 2005, Komisi Hukum Nasional tanggal 21-22
November 2005, sebagai Pembahas pandangan DR. Albert Hasibuan, SH.