SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  44
Télécharger pour lire hors ligne
Pembuktian Neurosains
Mengenai Eksistensi Allah




Mario Beauregard, Ph.D.
   & Denyse O’Leary
OB 40809001

                                 The Spiritual Brain
               Pembuktian Neurosains Mengenai Eksistensi Allah
                       Oleh: Mario Beauregard & Denyse O’Leary
                                 Penerjemah: Lily Sutrisna

                   © Edisi Bahasa Indonesia Citta Media LangitBiru,
          Jakapermai, Bekasi Barat 17145; E-mail: redaksi.langitbiru@gmail.com

Diterjemahkan dari buku The Spiritual Brain (2007) by Mario Beauregard & Denyse O’Leary;
    published by arrangement with HarperCollins Publishers, 10 East 53rd Street, New York,
                                        NY 10022.

                                      Diterbitkan oleh:
                            Penerbit OBOR (Anggota IKAPI)
                          Jl. Gunung Sahari 91, Jakarta 10610
                             Telp.: (021) 422 2396 (hunting)
                                   Fax.: (021) 421 9054
                           E-mail: penerbit@obormedia.com;
                  redaksi@obormedia.com; marketing@obormedia.com
                              Website: www.obormedia.com

                                      Cet. 1 – Mei 2009

                          Editor – St. Notoatmodjo, Yon Lesek
                              Setting isi – IAN, Markus M.
                            Perwajahan – Martinus Ferianto



                        Hak cipta dilindungi Undang-Undang.
             Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi
                     buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit OBOR.




                              ISBN 13 : 978-979-565-512-1
                                 ISBN 10 : 979-565-512-4



                      Dicetak oleh Percetakan Grafika Mardi Yuana, Bogor.
Daftar Isi


           Prakata	                                     vii
           Pendahuluan	                                 ix
    satu   Menuju Neurosains Spiritual	                  1
    dua    Apakah Program Tuhan Itu Ada?	               51
    tiga   Apakah Modul Tuhan Benar Ada?	               71
  empat    Kasus Ganjil Helm Tuhan	                     97
   lima    Apakah Pikiran dan Otak Identik?	           123
   enam    Menuju Sains Pikiran Nonmaterialis	         151
  tujuh    Siapa yang Memperoleh Pengalaman Mistikal
           dan Apa Pemicunya?	                         219
delapan    Apakah Pengalaman Religius, Spiritual,
           atau Mistikal Mengubah Hidup?	              279

sembilan   Studi Karmelit: Sebuah Arah Baru?	          309

sepuluh    Apakah Tuhan Menciptakan Otak,
           Ataukah Otak Menciptakan Tuhan?	            349
           Daftar Istilah	                             357
           Catatan Akhir	                              365
           Daftar Pustaka	                             427
Prakata



T    erima kasih pada mahasiswa doktoral saya: Johanne Lévesque,
     Élisabeth Perreau-Linck, dan Vincent Paquette. Riset mereka
tentang pen­ci­tra­an otak mereka tersaji dalam buku ini.
   Terima kasih pada The Natural Sciences and Engineering Research
Council of Canada (NSERC), The Metanexus Institute, dan John Templeton
Foundat­ion, yang telah memberikan dukungan finansial. Tanpa
dukungan tersebut, riset Karmelit ini akan sulit ter­lak­sana.
   Susan Arellano, agen literatur kami, pantas mendapatkan ucapan
terima kasih kami karena efisiensinya yang begitu tinggi.
   Kami ingin berterima kasih pada Eric Brandt, editor kami di
HarperOne, atas saran editorialnya yang bijak, juga pada editor
produksi Laurie Dunne dan editor bahasa Ann Moru atas keteram­
pilan, kesabaran, dan pengertian mereka. Kami juga memuji karya
Pierre-Alexandre Lévesque seputar visual otak manusia.
  Terakhir, saya berterima kasih pada istri saya Johanne dan anak-
anak saya, Audrey dan Marc-Antoine, atas cinta serta pengertian
mereka.
                                                —Mario Beauregard




                                                                    vii
S   aya berterima kasih pada ayah saya, John Patrick O’Leary, yang se­
    pan­jang hayatnya mempertahankan gagasan pentingnya sepu­tar
per­adaban, mendorong saya untuk terjun ke dalam proyek ini dan
proyek-proyek sejenis, juga pada ibu saya, Blanche O’Leary, yang tidak
pernah sedikit pun mengeluh karena hidup bersama seorang penulis
yang se­dang bergiat menggarap buku, serta telah memberikan bantuan
yang tia­da terkira.
                                                   —Denyse O’Leary




viii   | T H E S PI R I T UA L BR A I N
Pendahuluan



P  ada awal saya dan mahasiswa doktoral saya Vincent Paquette
   mem­pelajari pengalaman spiritual para biarawati Karmelit di
Université de Montréal, kami sadar ada kemungkinan besar motif
kami disalahpahami.
     Kami harus terlebih dulu meyakinkan mereka betapa kami tidak
se­­dang ber­upaya membuktikan bahwa pengalaman religius mereka
tidak sungguh terjadi, bahwa semua itu hanya delusi, atau bahwa ada
yang tidak beres dengan otak mereka. Lalu, kami harus mengubur
harapan kaum ateis profesional dan ketakutan para rohaniwan bahwa
kami se­dang mencoba mengurangi bobot dari pengalaman ini menjadi
semacam ”saklar Tuhan” di dalam otak.
    Banyak ahli saraf ingin melakukannya. Namun, saya dan Vincent
ter­masuk minoritas—ahli saraf nonmaterialis. Sebagian besar saintis
sekarang ini adalah kaum materialis yang percaya bahwa dunia fisik
adalah satu-satunya realitas. Semua hal lainnya—pikiran, perasaan,
akal budi, dan kehendak bebas—bisa di­anggap sebagai materi dan
fenomena fisik, tanpa menyingkirkan kemung­kinan bahwa peng­
alaman religius dan spiritual bukanlah ilusi. Kaum materialis itu
ibarat tokoh rekaan Charles Dicken, yaitu Ebeneezer Scrooge, yang
meng­ang­gap pengalam­annya dengan Marley hantu hanya sebagai
”sepotong bistik tak ter­cer­na, seciprat monster, sebongkah keju,
sepotong kentang kurang ma­tang”.
   Di lain pihak, saya dan Vincent tidak melandaskan riset pada pan­
dangan materialis seperti itu. Karena kami bukan materialis, secara
prin­sip kami tidak meragukan bahwa seorang yang berkontemplasi




                                                                 ix
bisa mengontak realitas di luar dirinya melalui pengalaman mistikal.
Bahkan, saya terjun ke dalam neu­rosains sebagian karena memahami
bahwa hal-hal semacam itu bisa sungguh terjadi. Saya dan Vincent
hanya ingin tahu apa saja yang berkaitan dengan neu­ral (aktivitas sel
saraf) selama pengalaman mistikal terjadi. Dengan adanya dominasi
materialisme di dalam neurosains dewasa ini, kami beruntung para
biarawati itu me­mer­cayai ketulusan kami dan bersedia membantu,
dan bahwa Templeton Foundation melihat nilai penting dari pendanaan
atas riset kami.
    Tentu Anda bisa bertanya, Apakah riset neurosains terhadap para
biarawati kontemplatif itu dapat membuktikan bahwa Tuhan ada? Tidak,
tetapi riset neu­rosains bisa—dan sungguh bisa—menunjukkan bahwa
kondisi ke­sa­dar­an mis­tikal itu nyata ada. Dalam kondisi ini, seorang
yang ber­kontemplasi berpeluang besar mengalami aspek-aspek
realitas yang ti­dak ada di dalam kondisi lainnya. Temuan riset ini
menyingkirkan tesis materialis bahwa seorang yang ber­kon­tem­plasi
telah memalsukan atau me­ngarang pengalamannya. Saya dan Vincent
membuktikan peng­alam­an mistikal juga bersifat kompleks—penemuan
yang me­nantang ber­ba­gai penjelasan materialis simplistik seperti ”gen
Tuhan”, ”ra­nah Tu­han”, atau ”saklar Tuhan” di dalam otak kita.
    Saya dan Denyse O’Leary, jurnalis dari Toronto, menulis buku ini
guna mem­bahas arti penting riset ini, dan secara umum melakukan
pen­dekatan yang lebih neurosaintifik untuk memahami pengalaman
religius, spiritual, dan mistikal. Saat ini neurosains bersifat materialis,
yakni mengasumsikan bah­wa pikiran hanyalah salah satu aktivitas
fisik otak. Untuk memahami artinya, pikirkan kalimat sederhana ini:
”Aku menetapkan pikiranku untuk mem­beli sebuah sepeda” (I made
up my mind to buy a bike). Orang tidak akan berkata, ”Aku menetapkan
otakku untuk membeli sebuah sepeda” (I made up my brain to buy
a bike). Seba­lik­nya, orang bisa berkata, ”Helm sepeda mencegah
kerusakan otak” (Bike helmets prevent brain damage), tetapi ia tidak
berkata, ”Helm sepeda mencegah kerusakan pikiran” (Bike helmets
prevent mind damage). Namun, kaum materialis menilai perbedaan
yang Anda tetapkan antara pikiran sebagai entitas nonmaterialis dan



   | T H E S PI R I T UA L BR A I N
otak sebagai organ tubuh, tidak me­miliki dasar riil. Pikiran dianggap
ilusi belaka yang dihasilkan oleh ak­tivitas otak. Beberapa materialis
bahkan beranggapan Anda tidak boleh menggunakan istilah yang
mengimplikasikan bahwa pikiran Anda ada.
    Di buku ini, kami ingin menunjukkan bahwa pikiran Anda ada,
bahwa pi­kiran itu bukan sekadar otak. Pikiran dan perasaan Anda tidak
dapat di­singkirkan atau dijelaskan begitu saja sebagai sinaps-sinaps
yang be­­kerja dan sebagai fenomena fisik. Di dunia yang hanya materi
saja ini, ”kehendak be­bas (free will)” atau ”pikiran yang mengendalikan
materi (mind over matter)” adalah ilusi; tidak ada yang namanya tujuan
atau mak­na, tidak ada ruang untuk Tuhan. Hanya saja, banyak orang
telah meng­alaminya, dan kami menyajikan bukti bahwa pengalaman
itu nyata.
   Sebaliknya, kaum materialis berkata bahwa pemikiran-pemikiran
semisal makna atau tujuan tidak sesuai dengan realitas; semua itu
ha­nyalah adaptasi demi pertahanan hidup manusia. Lain kata, kalau
bukan merupakan evolusi sirkuit-sirkuit di dalam otak, maka semua
itu tidak ada. Salah seorang penemu kode genetika, Francis Crick,
menulis di bu­ku The Astonishing Hypothesis, ”Ba­gai­manapun, otak
kita yang telah sangat berkembang ini tidak dikembangkan cukup
keras untuk mencari kebenaran yang ilmiah, melainkan hanya agar
kita cukup terampil ber­tahan hidup dan menghasilkan keturunan.”
Namun, apakah pertanyaan tentang makna dan tujuan hidup itu
hanyalah bagian dari pertahanan hidup? Jika pengabaian kecil atas
hasil proses intelektual selama ribuan tahun itu terdengar agak kurang
meyakinkan, yah, mungkin memang begitu.
    Katakanlah, seorang sehat menyumbangkan ginjalnya cuma-cuma
pada seorang yang sekarat. Kaum materialis mungkin mencari-cari
ana­logi di seputar tikus mondok, tikus rumah, atau simpanse sebagai
ca­ra terbaik untuk memahami motif si donor. Mereka yakin pikiran si
donor bisa seutuhnya di­jelaskan dengan hipotesis bahwa otaknya ber­
kem­bang (ber-evolusi) dengan amat lambat dan susah payah dari otak
makhluk hidup yang setara tikus dan simpanse. Karena itu, pikirannya
hanyalah ilusi yang diciptakan oleh aktivitas otak yang kurang ber­kem­­



                                                  Pe nd a h u l ua n |   xi
bang, dan kesadarannya akan situasinya sebenarnya tidak relevan untuk
dijadikan penjelasan atas tindakannya.
   Buku ini berpandangan: Fakta bahwa otak manusia berkembang me­
nun­jukkan bahwa pikiran manusia tidak dapat diabaikan dengan cara
demikian. Se­baliknya, otak manusia bisa memampukan pikirannya,
sedangkan otak tikus mondok tidak bisa (mohon maaf pada spesies
tikus mondok). Namun, otak bu­kanlah pikiran; otak adalah satu organ
yang sesuai untuk menghubungkan pikiran dengan seisi alam semesta.
Jika diibaratkan, lomba renang Olimpiade membutuhkan sebuah
kolam berskala Olimpiade. Namun, kolam itu tidak men­ciptakan
lomba renang Olimpiade; kolam itu hanya membuat lomba itu dapat
terlaksana di lokasi tertentu.
    Dari sudut pandang materialis, kesadaran pikiran dan kehendak be­
bas ma­nusia adalah masalah yang harus dijelaskan. Untuk memahami
maknanya, simak komentar saintis kognitif Harvard, Steven Pinker,
me­ngenai kesadaran dalam artikel ”The Mystery of Consciousness” di
ha­rian Times (19 Januari 2007). Mengenai dua masalah utama yang
dihadapi saintis, ia menulis:
      Walau kedua masalah itu belum bisa diselesaikan, para ahli saraf
      sepakat dalam banyak hal, dan hal yang mereka anggap paling tidak-
      kontroversial justru dianggap paling mengejutkan oleh orang-orang
      di luar neurosains. Francis Crick menyebutnya ”the astonishing
      hypothesis” (hipotesis yang mencengangkan)—gagasan bahwa
      pikiran, sensasi, sukacita, dan rasa sakit kita sepenuhnya dihasilkan
      dari aktivitas fisiologis di dalam jaringan otak. Kesadaran tidak berada
      di dalam jiwa yang menggunakan otak ibarat perangkat PDA (personal
      digital assistant); kesadaran adalah aktivitas otak.

   Karena Pinker sendiri mengakui bahwa tidak satu pun masalah
kesadar­an itu tuntas atau hampir tuntas, bagaimana ia bisa begitu yakin
bah­wa kesadaran itu hanyalah ”aktivitas otak” yang mengimplikasikan
tidak adanya jiwa?
   Salah satu ”kenikmatan” di dalam materialismenya Pinker adalah
bahwa pada intinya, keraguan apa pun boleh dilabeli ”tidak ilmiah”.
Pela­belan itu menangkal diskusi mengenai nalar-tidaknya mate­rial­



xii   | T H E S PI R I T UA L BR A I N
isme. Jelas, materialisme adalah ”iman” yang tidak akan diragukan
oleh banyak intelektualis. Namun, besarnya keraguan mereka
sendiri menun­jukkan bahwa materialisme bukanlah penjelasan yang
tepat mengenai realitas, dan tidak memberikan bukti kuat. Sebuah
pembelaan yang baik dapat kita ajukan melawan pandangan yang
berseberangan ini, seperti akan ditunjukkan oleh buku ini.
    Ya, buku ini—menjauhi tren buku-buku neurosains yang ditujukan
bagi pembaca awam—memang mendebat materialisme. Lebih dari
itu, buku ini menyajikan bukti bahwa materialisme tidak sahih. Anda
akan melihat sendiri bahwa materialisme tidak seindah yang Steven
Pinker ingin Anda percayai. An­da hanya dapat mempertahankan
keyakinan atas materialisme dengan asumsi [penuh keyakinan] bahwa
bukti yang berseberangan dengan apa pun yang An­da baca tentang
materialisme pastilah salah.
    Sebagai contoh, yang nanti kita bahas, seorang materialis dengan
mu­dah­nya lebih memilih untuk percaya—sekalipun tanpa bukti
kuat—bahwa para pe­mimpin spiritual mengalami gejala epilepsi lobus
temporal (temporal-lobe epilepsy) ketimbang bahwa mereka memperoleh
pengalaman spiritual yang mengilhami orang lain dan diri sendiri. Jika
masalahnya terkait dengan spi­rit­ualitas, data eksperiensial ini justru
mempermalukan materialisme sempit. Itu karena sistem-sistem seperti
materialisme akan remuk melawan bukti apa pun yang mela­wannya.
Akibatnya, data yang menentang materialisme akan di­abaikan begitu
saja oleh banyak saintis. Misalnya, kaum materialis melan­carkan
perang tiada henti melawan riset psi (penelitian atas pengetahuan atau
tindakan yang dilakukan dari jarak tertentu, misalnya persepsi indra
keenam, telepati, prakognisi, atau telekinesis) selama puluhan tahun,
karena bukti apa pun seputar kesahihan psi, betapapun kecilnya, bakal
fatal bagi sistem ideologi mereka. Baru-baru ini misalnya, para skep­
tikus menyerang mahasiswa neu­rosains Sam Harris yang ateis, karena
di buku The End of Faith (2004) ia menulis bahwa riset psi me­ngan­­dung
kesahihan. Harris hanya mengikuti bukti, seperti akan kita bahas.
Namun karena melakukannya, ia jelas-jelas melanggar prin­sip penting
ma­terialisme: Ideologi materialis pasti menang melawan bukti.



                                                 Pe nd a h u l ua n |   xiii
Namun, tantangan lain terhadap materialisme masih ada. Kaum
materialis harus percaya bahwa pikiran mereka hanya merupakan ilusi
yang diciptakan oleh aktivitas otak dan, karenanya, kehendak bebas
itu tidak benar-benar ada dan tidak punya andil dalam gangguan
mental. Namun, riset-riset nonmaterialis telah jelas-jelas menunjukkan
manfaat dari kesehatan mental. Berikut ini adalah beberapa contoh
yang dibahas di dalam buku ini.
   Neuropsikiater nonmaterialis di UCLA, Jeffrey Schwarts menangani
gang­guan obsesif-kompulsif—kelainan neuropsikiatris yang ditandai
oleh pemikiran yang menyusahkan, memaksa, dan tidak diinginkan—
dengan cara membuat pa­ra pasiennya memprogram ulang otak
mereka. Pikiran mereka mengubah otak mereka.
   Begitu juga melalui teknik pencitraan otak, saya dan beberapa ko­
lega ahli saraf di Université de Montréal menunjukkan bahwa:

•	 Wanita dewasa dan gadis remaja dapat mengendalikan respons
   mereka terhadap pikiran sedih, walau gadis remaja lebih sulit
   melakukannya;
•	 Pria yang menonton film erotis cukup mampu mengendalikan
   respons mereka terhadap film itu, ketika diminta untuk mela­ku­
   kannya; dan
•	 Penderita fobia, misalnya arachnofobia, dapat memprogram ulang
   otak mereka sehingga rasa takut itu lenyap.

    Bukti tentang kendali pikiran terhadap otak sebenarnya sudah
di­peroleh di dalam penelitian-penelitian ini. ”Pikiran yang mengen­
dalikan ma­teri” itu nyata. Kita memiliki kehendak bebas, kesadaran,
dan emosi yang, jika dipadukan dengan rasa tujuan dan makna, akan
menciptakan perubahan.
   Di masa lampau, penjelasan materialis tentang agama dan spirit­
ualitas layak untuk sekurang-kurangnya dipertimbangkan. Misalnya,
Sigmund Freud berpendapat bahwa kenangan masa kanak-kanak
akan sosok seorang bapa membuat orang-orang religius percaya pada
Tuhan. Penjelasan Freud gagal ka­rena Kristianitas adalah satu-satunya



xiv   | T H E S PI R I T UA L BR A I N
agama besar yang menekankan aspek kebapaan Tuhan. Namun, walau
salah, ide Freud tidak konyol. Relasi dengan bapa yang bahagia atau
ti­dak bahagia adalah pengalaman kompleks manusia, yang disertai
sejumlah analogi dengan agama. Selain itu, antropolog J.G. Frazer
ber­­pendapat bahwa agama-agama modern berasal dari berbagai kultus
ke­­su­bur­an purba yang kemudian dispiritualkan. Sesungguhnya, bukti
yang ada lebih merujuk pada pengalaman spiritual sebagai sumber
dari berbagai keya­kinan dan ritual religius yang muncul belakangan.
Namun, ide Frazer tidak bi­sa dibilang sepele. Ide itu lahir melalui
proses penge­nalan yang panjang dan mendalam terhadap sistem
kepercayaan purba.
    Dewasa ini, penjelasan materialis tentang agama dan spiritualitas
sudah keterlaluan. Di bawah pengaruh pandangan materialis, media
massa populer berlomba-lomba membahas gen kekerasan, gen kege­
mukan, gen monogami, gen ketidaksetiaan, dan bahkan gen Tuhan!
Pandangan itu kira-kira begini: Para psikolog evolusioner ngotot
menje­laskan spiritualitas manusia dan ke­yakinan akan Tuhan, bahwa
manusia goa di zaman purba yang percaya pada real­itas supernatural
jauh lebih berpeluang mewariskan gen-gen mereka ketimbang manusia
goa yang tidak percaya. Kemajuan di bidang genetika dan neurosains
telah mendo­rong sejumlah orang untuk serius mencari gen Tuhan,
atau bintik, modul, faktor, atau saklar Tuhan di dalam otak manusia.
Pada saat ”helm Tuhan” (sebuah helm mobil salju yang dimodifikasi
dengan solenoid un­tuk me­rang­sang subjek agar mengalami eksistensi
Tuhan) di Sudbury, Kanada, menjadi magnet bagi para jurnalis sains
pada 1990-an (Dekade Otak), materialisme nyaris dianggap parodi.
Walau begitu, kaum materialis terus mencari saklar Tuhan. Dengan
segala perbedaan pandangan yang konyol itu, tidak ada yang bisa lolos
dari sifat nonmaterialisnya pikiran manusia.
    Pada dasarnya, tidak ada yang namanya saklar Tuhan. Seperti
di­tunjukkan dalam riset terhadap para biarawati Karmelit dan akan
dirinci oleh buku ini, pengalaman spiritual adalah pengalaman yang
rumit, seperti pengalaman kita dalam hal relasi manusia. Mereka
mening­gal­kan jejak di banyak area otak. Fakta itu sesuai dengan (walau



                                                 Pe nd a h u l ua n |   xv
tidak de­­ngan sendirinya menunjukkan) pemikir­an bahwa orang yang
mengalami pengalaman spiritual tersebut me­ngon­tak suatu realitas
di luar dirinya.
   Faktanya, materialisme sudah mentok. Materialisme tidak me­na­
warkan hipotesis apa pun yang berguna atau bahkan mengembangkan
pikiran atau peng­alaman spiritual manusia. Ada suatu ranah agung
yang tidak dapat dimasuki, apalagi dipelajari melalui materialisme.
Na­mun, kabar baiknya adalah dengan tiadanya materialisme, ada
tanda-tanda positif bahwa spiritualitas dapat dimasuki dan dipelajari
melalui neurosains modern.
    Neurosains nonmaterialis tidak terdorong untuk menolak,
mengingkari, menjelaskan, atau mempermasalahkan semua bukti
yang me­nentang materialisme. Ini sangat bagus, karena riset terbaru
melahirkan bukti yang kian kuat. Tiga contoh yang dibahas dalam buku
ini adalah efek psi, pengalaman dekat-ajal (near death experience/NDE),
dan efek plasebo.
    Efek psi, seperti yang terlihat dalam fenomena-fenomena seperti
per­sepsi indra keenam (extrasensory perception) dan psikokinesis,
memang berkadar rendah, tetapi upaya untuk membuatnya tidak
absah telah gagal. Pengalaman dekat-ajal juga kian sering diteliti
beberapa tahun belakangan ini, mungkin karena teknik resusitasi
telah banyak membuat orang kembali dari kematian dan menceritakan
pengalaman mereka. Dengan adanya para saintis seperti Pim van
Lommel, Sam Par­nia, Peter Fenwick, dan Bruce Greyson, kini kita
me­miliki basis informasi yang lebih luas. Hasilnya tidak mendukung
pandangan materialis ten­tang pikiran dan kesadaran, sebagaimana
Pinker ajukan dalam Times: ”Ketika aktivitas fisiologis otak berhenti,
yang diketahui sejauh ini ada­lah kesadaran orang itu keluar dari
keberadaannya.”
    Banyak dari kita mungkin belum pernah mengalami efek-efek tak
lazim semisal efek psi atau pengalaman dekat-ajal, tetapi kita semua
pasti pernah mengalami efek plasebo: Pernahkah Anda pergi ke
dokter untuk minta surat keterangan bahwa Anda tidak dapat pergi
bekerja ka­rena flu berat—dan tiba-tiba Anda merasa lebih baikan



xvi   | T H E S PI R I T UA L BR A I N
saat duduk mem­baca majalah di klinik. Memang memalukan, tetapi
mudah dije­las­kan: Pikiran menghasilkan pesan untuk memulai proses
analgesik atau penyembuhan, ketika Anda menyadari bahwa Anda
berada di jalan me­nuju kesembuhan. Meskipun neurosains materialis
telah lama meng­anggap efek plasebo sebagai masalah, efek ini adalah
salah satu fe­no­mena paling gamblang dalam kedokteran. Sementara
bagi neurosains nonmaterialis, efek ini adalah efek normal yang bisa
memiliki nilai tera­peutik besar jika digunakan secara tepat.
   Materialisme tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan pen­
ting se­putar natur manusia dan kurang dapat memberikan jawaban
yang mudah dipa­hami. Materialisme juga telah meyakinkan jutaan
orang bahwa mereka tidak perlu mencoba mengembangkan natur
spiritual mereka, karena mereka tidak memilikinya.
   Beberapa orang menilai bahwa solusinya adalah terus mendukung
mate­rialisme dengan lebih diam-diam. Dewasa ini, kaum materialis
melan­car­kan perang ”anti-Tuhan” secara terang-terangan. Karya-karya
anti­teistik seperti Breaking the Spell: Religion as a Natural Phenomenon
(Daniel Dennett), The God Delusion (Richard Dawkins), God: The
Failed Hypothesis—How Science Shows that God Does Not Exist (Victor J.
Stenger), God Is Not Great (Christopher Hitchens), dan Letters to a
Christian Nation (Sam Harris) didu­kung konferensi seperti ”Beyond
Belief” oleh Science Network dan kam­panye seperti You-Tube Blasphemy
Challenge.
    Yang mengagumkan, tidak ada yang baru dalam gagasan mereka.
Para filsuf abad ke-18 telah menyampaikannya sejak dahulu dengan
mak­sud yang kurang lebih sama. Memang, karya-karya modern ini
telah diperciki berbagai asumsi mengenai psikologi evolusioner—
upaya meng­asalmuasalkan agama dan spiritualitas dari praktik yang
telah me­mungkinkan segelintir nenek moyang kita di zaman purba
Pleistosin untuk mewariskan gen mereka. Namun, nenek moyang
kita itu sudah lama tiada, dan tidak banyak yang bisa didapatkan dari
disiplin ilmu yang kekurangan subjek. Selain itu, ada banyak penegasan
terhadap sifat ilusif dari natur pikiran, kesadaran, dan kehendak bebas,
serta keti­dak­bergunaan sekaligus bahaya spiritualitas.



                                                                    xvii
Para pakar di pertengahan abad ke-20 meramalkan bahwa perlahan
tapi pasti, spiritualitas akan lenyap. Setelah dibanjiri materi, manusia
akan berhenti memikirkan Tuhan. Namun, mereka salah. Saat
ini, spi­ritualitas menjadi lebih beraneka ragam dan bertumbuh di
seluruh dunia. Vitalitas tersebut mencip­ta­kan rasa takut dan spekulasi
liar—tetapi yang paling kuat adalah rasa ingin ta­hu yang mendorong
keinginan un­tuk menyelidiki.
   Namun, bagaimana kita bisa menelaah spiritualitas secara ilmiah?
Untuk memulainya, kita dapat menemukan kembali warisan non­
materialis kita. Warisan itu memang ada, hanya saja sudah lazim
diabaikan. Pada kenyataannya, ahli-ahli saraf ternama seperti Charles
Sherrington, Wilder Penfield, dan John Eccles bukanlah kaum
materialis yang suka mereduksi, dan mereka selalu meng­ajukan
dasar-dasar yang kuat. De­wasa ini, neurosains nonmaterialis ber­
kembang subur, terlepas dari se­gala batasan akibat kesalahpahaman
yang telanjur mendarah daging dan, dalam beberapa kasus, akibat
kekerasan. Pembaca di­imbau untuk menanggapi semua pertanyaan
dan bukti yang disajikan dalam bu­ku ini dengan pikiran terbuka. Inilah
saat bagi eksplorasi, bukan dogma.
    Buku ini akan membahas tiga gagasan penting. Pertama, pende­kat­
an non­materialis terhadap pikiran manusia yang memperhitungkan
bukti yang jauh le­bih baik daripada pendekatan materialis yang sudah
men­tok saat ini. Kedua, pendekatan nonmaterialis terhadap pikiran
membuahkan manfaat dan pe­nyikapan pada tataran praktis, demikian
pula pendekatan terhadap feno­mena-fenomena yang tidak sanggup
di­tangani oleh pendekatan materialis. Terakhir, dan mungkin juga ter­
penting bagi banyak pembaca, buku ini menunjukkan bah­wa manakala
pengalaman spiritual memengaruhi kehidupan, penjelasan yang pa­
ling masuk akal dan paling mampu menerangkan semua bukti adalah
bahwa setiap orang yang memperoleh pengalaman itu benar-benar
me­ngontak suatu Realitas di luar diri mereka, suatu Realitas yang telah
membawa mereka lebih dekat kepada natur sejati dari alam semesta.
                                                        —Mario Beauregard
                                           Montreal, Kanada, 1 Februari 2007



xviii   | T H E S PI R I T UA L BR A I N
s at u



      Menuju Neurosains Spiritual



J uni 2005, konferensi World Summit on Evolution diselenggarakan di
  Pulau San Cristobal, Kepulauan Galápagos, lepas pantai Ekuador.
Lokasi sederhana Fri­gatebird Hill dipilih karena di sinilah Charles
Darwin pertama kali mendarat pada 1835 untuk menyelidiki ”induk
dari segala rahasia”—asal-usul dan natur spe­sies, termasuk (dan
mungkin ter­uta­ma) spesies manusia.
    Kepulauan terpencil di Pasifik ini kemudian menjadi tempat per­­
henti­an bajak laut, pemburu paus, dan pemburu anjing laut, yang
membuat bentuk-ben­tuk kehidupan (life forms) yang pernah dipelajari
Darwin nyaris punah. Na­mun, di bawah perlindungan pemerintah abad
ke-20, kepulauan itu menjadi ”kuil” bagi materialisme—keyakinan bah­
wa semua bentuk kehidupan, termasuk manusia, hanyalah produk dari
kekuatan alam yang buta.1 Menurut pandangan materialis, ”pikiran”
ki­ta—jiwa, roh, kehendak bebas—hanyalah ilusi yang ter­cipta oleh
arus listrik di dalam neuron-neuron (sel-sel saraf) otak kita. Menurut
zoolog Oxford, Richard Dawkins, alam semesta itu ibarat seorang
”pembuat jam yang buta (a blind watchmaker)”.2
    Konferensi di Galápagos itu langsung dielu-elukan sebagai Wood­
stock-nya Evolusi. Para saintis yang hadir, ”dedengkotnya teori evo­
lusi”,3 sangat memahami peran penting mereka dan signifikansi dari
se­luruh proses itu. ”Kami tertegun berada di sini,” tulis seorang jurnalis
sains, mengenang ketika para hadirin elite tersebut menyimak kisah
evolusi yang terkenal itu dengan sikap ”terpesona seperti anak-anak
yang sedang menyimak pemaparan ulang sebuah dongeng favorit”.4
   Menurut kisah itu, dan mengutip kata-kata salah satu hadirin,
manusia hanyalah ”klad (clade) kecil yang aneh”.5 Dan misi pertemuan
berikutnya adalah menyampaikan kisah itu ke seluruh dunia.6 Bagai­
manapun, dengan memuncak­nya ketidaksepakatan dalam pengajaran
evolusi, dunia pasti sudah tahu.


        Serangkaian Peristiwa Dimana Pikiran Tidak Ada?
Salah satu tokoh penting di dalam konferensi itu adalah filsuf
Amerika Daniel Dennett. Dennett yang secara fisik mirip Charles
Darwin adalah seorang filsuf pikiran terkemuka. Ia merupakan
filsuf favorit bagi orang-orang yang meng­ang­gap komputer dapat
menyimulasi proses mental manusia. Anehnya, sebagai filsuf
pikiran, ia justru ingin meyakinkan dunia bahwa dalam pengertian
tra­disional, yang namanya pikiran itu tidak ada. Mungkin ia paling
dikenal karena me­ngatakan bahwa ”ide Darwin yang berbahaya”
adalah ide terbaik yang pernah dimiliki manu­sia, karena menjadi
akar bagi materialisme. Menu­rutnya, manusia itu ibarat ”robot besar
yang memesona” dan bagusnya lagi:

    Jika Anda memiliki jenis proses yang tepat dan ada cukup waktu,
    Anda dapat menciptakan hal-hal besar yang indah, bahkan hal-hal
    yang memiliki pikiran, melampaui proses-proses yang secara kasus
    per kasus terbilang bodoh, tanpa pikiran, sederhana. Sekumpulan
    peristiwa kecil tanpa pikiran yang terjadi selama jutaan tahun saja
    dapat menciptakan bukan hanya keteraturan, tetapi juga rancangan;
    bukan sekadar rancangan, tetapi pi­kir­an, mata, dan otak.7

   Dennett bersiteguh bahwa jiwa atau roh tidak berasosiasi dengan
otak manusia, unsur supernatural apa pun, atau kehidupan-setelah-
kema­tian. Maka, fokus kariernya adalah menjelaskan bagaimana
”makna, fung­si, dan tujuan bisa ada di dalam suatu dunia yang pada
dasarnya tan­pa makna dan fungsi”.8 Ia hadir di Galápagos untuk
menyatakan pan­dangan itu.



   | T H E S PI R I T UA L BR A I N
dua




 Apakah Program Tuhan Itu Ada?



   Spiritualitas berasal dari dalam diri. Benihnya harus sudah ada
   sejak awal. Dan benih itu menjadi bagian dari gen mereka.1
                                   —Dean Hamer, ahli genetika perilaku




P    ada musim panas 2005, keriuhan London Zoo benar-benar
     mengalah­kan pantai. Kebun binatang itu menciptakan sensasi
yang melanda media massa internasional laksana badai. Selama
empat hari, 26–29 Agustus 2005, di habitat berhutan Bear Mountain,
tiga laki-laki dan empat perempuan Homo sapiens dipertontonkan.
Secarik label dipasang: ”PERINGATAN: Ma­nusia di Habitat Alaminya”.
Jurubicara kebun binatang, Polly Wills me­nerangkan bahwa pameran
itu ”mengajarkan pada masyarakat bahwa manusia itu tidak lebih dari
sekadar primata”.2
    Bagaimanapun, para sapiens itu tidak didapatkan oleh kebun
binatang tersebut dengan cara biasa. Para pelamar yang tertarik harus
bisa melenguhkan 50 kata berbentuk nada suara persuasif. Masing-
masing satu orang apoteker, calon aktor, dan penggemar fitnes lolos
tes, serta di­pertontonkan dengan ”hanya selembar daun ara menutupi
aurat”. Ya, aurat. Seorang pengunjung menyatakan kekecewaannya
karena pa­ra sapiens itu memakai baju renang di bawah daun ara
kertas.
Perbedaan lainnya dengan hewan adalah bahwa, setelah mema­
merkan bisep dan lekuk tubuh di depan orang banyak [dan sepanjang
waktu dilindungi dari kerabat hewan mereka yang buas dengan
kawat listrik], para sapiens itu pulang tiap malam—bukan ke sarang
dedaunan, melainkan ke apartemen masing-masing. Yang menarik,
salah satu pe­serta berkomentar, ”Banyak orang menganggap derajat
manusia berada di atas hewan. Ketika melihat manusia sebagai hewan
di sini, mereka jadi agak teringat bahwa kita tidak seistimewa itu.”3
   Komentar yang ironis; sesungguhnya aksi publisitas itu hanya bisa
terlaksana karena justru sebaliknyalah yang terjadi. Para manusia
goa itu dengan sukarela mempertontonkan diri pada manusia lain
hanya un­tuk bersenang-senang dan semoga bisa menunjang karier.
Jadi meng­apa, tepatnya, kita dibujuk untuk meyakini gagasan bahwa
manusia ada­lah hewan yang sama dengan makhluk tunawicara di dalam
kerang­keng lain, yang tidak bisa menulis, tidak bisa menyampaikan
pemikiran mereka pada jurnalis, atau (mungkin yang paling jelas)
tidak ”pulang” setiap malam?
     Ya, secara fisik kita adalah anggota kerajaan hewan yang sama-sa­ma
berbagi risiko dan kesempatan. Namun, komentar si peserta (”Kita
tidak seistimewa itu”) menunjukkan betapa mengakarnya materialisme
filo­sofis dalam masyarakat. Walau dihadapkan pada perbedaan nyata
an­ta­ra manusia dan para penghuni kebun binatang lainnya, banyak
orang berasumsi telah benar-benar melihat persamaannya. Tidak
ter­lalu meng­herankan. Dihadapkan pada pilihan antara apa yang
mereka lihat dan apa yang mereka dengar, banyak orang memilih
untuk percaya pada apa yang mereka dengar.

     Siapa yang lebih kamu percayai, aku atau matamu?
                                        —Chico Marx, Duck Soup (1933)

   Pola pikir materialis semacam ini mewarnai upaya-upaya paling
baru untuk memahami spiritualitas. Banyak peneliti mencari
spiritualitas di salah satu bagian otak atau gen, atau mungkin di salah
satu sejarah hipotetis atau meme (persamaan gen). Lain kata, mereka




52   | T H E S PI R I T UA L BR A I N
tiga




Apakah Modul Tuhan Benar Ada?



  Walau sudah jamak diketahui dewasa ini, saya selalu terpesona
  melihat bah­wa segenap kehidupan mental kita—sentimen religius
  dan bahkan apa yang kita sebut diri pribadi yang terdalam—
  hanyalah aktivitas bin­tik-bin­tik kecil di dalam kepala Anda, di
  dalam otak Anda. Tak ada yang lain.1
                                      —V.S. Ramachandran, ahli saraf

  Sains sangat menakjubkan untuk menjelaskan apa yang sangat
  menakjub­kan untuk dijelaskan dengan sains, tetapi di luar itu,
  sains cenderung ‘men­cari kunci mobilnya di tempat terang’.2
                                 —Jonah Goldberg, Jewish World Review




D     alam novel mencekam karya Mark Salzman, Lying Awake, Suster
      Yohanes dari Salib menghadapi keputusan sulit. Beberapa
puluh tahun sebelum­nya, ia mengisi masa kanak-kanaknya yang
minim kepuasan emosional dengan aturan ketat seputar kehening­
an, kesederhanaan, dan doa di se­buah biara Karmelit dekat Los
Angeles. Kehidupan biara memang mem­berikan keteraturan dan
kedamaian, tetapi tahun-tahun berlalu dengan perasaan kering dan
tak terpenuhkan. Suster Yohanes mulai meng­alami visiun-visiun
(penglihatan-penglihatan) aneh yang ia tuangkan dalam bentuk
tulisan indah dan menghasilkan buku populer Sparrow on a Roof. Buku
itu mem­bantu berbagai biaya biara dan bahkan menarik seorang suster
lain ke ordo tersebut. Suster Yohanes yang gemuk pendek itu menjadi
”bintang” spiritual, berlimpah dengan karunia.
    Namun, seiring munculnya visiun-visiun itu, ia mulai mengalami
sakit kepala parah. Awalnya, Suster Yohanes menyambut sakit kepala
itu dengan pikiran bahwa ia harus menderita sesuatu sebagai balasan
atas kasih Allah. Hanya saja, sakit kepala itu kian parah hingga akhir­
nya ia kejang-kejang. Ia berkonsultasi dengan seorang ahli saraf dan
me­ngetahui kebenarannya. Ia mengalami epilepsi lobus temporal
(temporal-lobe epilepsy, selanjutnya disebut TLE) akibat tumor kecil di
bagian atas telinga kanannya. Ia diberi tahu bahwa:

     Epilepsi lobus temporal terkadang menyebabkan perubahan perilaku
     dan pikiran, bahkan ketika pasien tidak mengalami kejang-kejang.
     Perubahan-perubahan ini mencakup hipergrafia, pening­kat­an
     tetapi juga penyempitan respons emosional, serta minat yang obsesif
     terhadap agama dan filsafat.3

  Suster Yohanes juga diberi tahu bahwa Rasul Paulus dan pendiri
Ordo Karmelit, St. Theresia dari Avila, kemungkinan besar adalah
penderita TLE.
    Tumor itu dapat diangkat dengan mudah, jadi diperkirakan visiun-
visiun itu takkan muncul lagi. Hanya saja, apakah visiun itu tidak lebih
da­ri sekadar penyakit? Suster Yohanes menilai bahwa, dari sudut
pan­dang materialis, seluruh hidupnya bisa dianggap sebagai patologi
se­ma­ta, sejenis penyakit mental:

     Berdoa sepanjang waktu: hiperreligiositas. Pilihan untuk hidup
     selibat (tanpa pasangan): hiposeksualitas. Kendali niat melalui
     kendali tubuh dengan puasa secara teratur: anoreksia. Membuat
     jurnal spiritual se­cara terinci: hipergrafia.4

   Haruskah Suster Yohanes menyetujui dilakukannya pembedahan
yang bakal mengakhiri visiun-visiun itu?




72   | T H E S PI R I T UA L BR A I N
e m pat




        Kasus Ganjil Helm Tuhan


   Dengan menciptakan perangkat kepala penuh kabel yang meng­
   hasilkan pengalaman ”religius” pada pemakainya, neuroteolog
   Michael Persinger di Sudbury, telah menggoyahkan fondasi iman
   dan sains.1
                                        —Robert Hercz, Saturday Night

   Siapa pun yang masih meragukan kemampuan otak untuk meng­
   hasilkan pengalaman religius hanya perlu mengunjungi ahli saraf
   Michael Persinger di Laurentian University di kota tambang nikel
   Sudbury, Ontario. Ia berkata hampir semua orang bisa bertemu
   Tuhan, hanya dengan memakai helm is­ti­mewa buatannya.2
                                           —Bob Holmes, New Scientist

   Mr. Dawkins akan berminat untuk mengalami agama pada kali
   pertama dengan helm buatan Mr. Persinger. Hal ini akan mem­
   buktikan bahwa akhirnya visiun mistikal dapat dikendalikan oleh
   sains, dan bukan lagi hasil dari kemurahan hati sesosok entitas
   supernatural.3
                                  —Raj Persaud, London Daily Telegraph




A   pakah ”imam besar” ateisme Inggris, Richard Dawkins, dapat me­
    nemu­kan Tuhan hanya dengan memakai helm lobus tem­­po­­ral
yang dibuat di laboratorium neurosains di Kanada? Dawkins terke­nal
karena menye­but agama sebagai ”virus pikiran” dan ”kemunduran yang
kekanak-ka­nakan”.4 Tahun 2003, pada sesuatu yang disebut sebagai tes
puncak oleh program Horizon-nya BBC, ”God on the Brain”, penghulu
ateis (arch­atheist) itu berusaha mencari Tuhan dengan memakai ”helm
Tuhan” buat­an ahli saraf Kanada Michael Persinger.
   ”Akankah Dr. Persinger berhasil, padahal Paus, Uskup Agung
Canterbury, dan Dalai Lama telah gagal?” pekik pendukungnya.
Program itu merekam sesi-40 menit Dawkins memakai helm Tuhan,
di mana lobus temporal-nya dirangsang dengan medan magnet lemah.
Dikatakan bahwa peluang terjadinya RSME bagus. Menurut Persinger,
80% orang yang memakai helmnya mengalami sejenis RSME. Tertulis
pada naskah ”God on the Brain”:

     PROF. RICHARD DAWKINS (University of Oxford): Jika saya beralih
        memegang keyakinan religius, istri saya mengancam minta
        cerai. Saya selalu penasaran bagaimana rasanya memperoleh
        pengalaman mistikal. Saya menanti-nantikan upaya sore ini.
     …
     DAWKINS: Saya agak pusing.
     NARATOR: Pertama, Dr. Persinger menempelkan sebuah medan
        magnet pada sisi kanan kepala Richard Dawkins.
     DAWKINS: Cukup aneh.
     NARATOR: Lalu untuk memperbesar peluang merasakan adanya
        suatu kehadiran, Dr. Persinger mulai menempelkan medan
        magnet itu pada kedua sisi kepala.
     DAWKINS: Sepertinya napas saya agak tersengal-sengal. Saya tidak
        tahu ada apa. Kaki kiri seperti bergerak-gerak, kaki kanan
        berkedut-kedut.
     …
     NARATOR: Jadi setelah 40 menit, apakah Richard Dawkins telah
        dibawa lebih dekat pada Tuhan? 5

   Sepertinya tidak. Ia tidak merasakan sesuatu yang tidak lazim
dan meng­aku ”sangat kecewa”. Ia benar-benar ingin mengalami apa
yang orang-orang religius akui telah alami. Persinger menawarkan



98   | T H E S PI R I T UA L BR A I N
lima




Apakah Pikiran dan Otak Identik?



  Mempelajari otak berarti mempelajari diri kita sendiri, tetapi
  dengan suatu cara yang membuat kita menjadi subjek sekaligus
  objek. Ibaratnya, kita mencoba melihat baik ke dalam dan ke luar
  jendela secara bersamaan.1
                                        —Greg Peterson, dosen agama

  Jika orang harus mempelajari otak sendirian, tanpa mengindah­
  kan perilaku manusia dan kondisi sadar yang subjektif, ia tidak
  akan pernah belajar apa pun mengenai kesadaran atau fenomena
  mental apa pun lainnya.2
                                     —B. Alan Wallace, filsuf pikiran



T   anggal 17 Juli 1990, presiden George H.W. Bush dan Kongres
    AS meng­umumkan era 1990-an sebagai Dekade Otak. Alasan
positif bagi penda­naan publik atas riset otak itu diungkapkan
dengan sepatutnya. Namun, sejak awal sudah jelas Bush dan para
pendukungnya ingin tahu lebih ba­nyak mengenai otak karena alasan
pribadi. Memang pengetahuan yang lebih tepat akan membantu kita
memerangi penyakit dan kecan­duan, tetapi pengetahuan itu sendiri
mahal. Bush berkata:

  Otak manusia—sebuah massa sel-sel saraf seberat 3 pound
  yang mengen­da­likan aktivitas kita—adalah salah satu keajaiban
penciptaan yang pa­ling mengagumkan… dan misterius. Sebagai
   tempat bersemayamnya kecer­dasan manusia, penafsir indera-indera,
   dan pengendali gerakan kita, organ ini senantiasa menggugah rasa
   ingin tahu para saintis dan kaum awam.3

   Pemilihan waktu dekade ini sangat baik. Setelah lebih dari satu
abad melakukan riset otak secara sistematik dengan berbagai metode,
teknik-teknik baru seperti positron emission tomography (PET) dan
magnetic resonance imaging (MRI) memungkinkan para ahli saraf untuk
melihat ke dalam otak manusia yang sehat dan berfungsi. Mereka
tidak perlu lagi mengandalkan hewan percobaan atau kasus langka
kerusakan otak dan pembedahan yang tidak biasa.
   Pada intinya, penelitian tentang bagaimana tikus yang rusak-
otak menemukan makanan, tidak dapat membantu kita memahami
kesadaran manusia. Bahkan penelitian atas manusia yang rusak-otak
tidak mem­berikan gambaran jelas tentang seperti apa sistem yang
berfungsi—atau sistem yang telah berhasil memperbaiki dirinya sendiri
atau meng­atasi suatu masalah—dengan baik itu. Namun, semua itu
sedang ber­u­bah dengan cepat. Neurosains sedang menjadi isu panas.
Pembawa acara televisi Larry King menyebut dekade 1990-an sebagai
dekade otak. Tahun 1998, William J. Bennett yang merupakan ”tsar”
obat-obatan George H.W. Bush bertanya, ”Apakah ahli saraf adalah
Penguasa Alam Semesta yang baru?”4


                            Neurosains Saat Ini

   Otak mengandung 100 miliar sel—hampir sama banyaknya
   dengan jumlah bintang di galaksi Bima Sakti. Dan tiap-tiap sel
   dihubungkan oleh sinaps pada 100.000 sel lainnya. Sinaps-sinaps
   antar-sel terendam dalam hormon dan neurotransmiter yang
   mengubah transmisi sinyal-sinyal, dan sinaps-sinaps itu terus
   mewujud dan melarut, melemah dan menguat, sebagai respons
   terhadap pengalaman baru.5
                                              —John Horgan, Discover




124   | T H E S PI R I T UA L BR A I N
enam




             Menuju Sains Pikiran
               Nonmaterialis



   Dasar pikiran fundamental saya tentang otak adalah bahwa
   aktivitasnya—yang terkadang kita sebut ”pikiran”—merupakan
   konsekuensi dari anatomi dan fisiologinya; tidak lebih.1
                       —Carl Sagan, astronom dan penulis sains populer


   Kita menganggap materialisme-perjanjian sebagai takhayul tanpa
   fondasi rasional. Kian banyak yang kita pelajari tentang otak,
   kian jelas kita membedakan antara aktivitas otak dan fenomena
   mental, dan kian mengagumkan pula aktivitas otak dan fenomena
   mental itu. Materialisme-perjanjian hanyalah semacam keyakinan
   religius yang dipegang oleh kaum materialis dogmatik… yang
   sering merancukan agama mereka dengan sains mereka.2
                                 —John Eccles dan Daniel N. Robinson,
                                         The Wonder of Being Human




D     apatkah sains pikiran nonmaterialis menjelaskan fakta-fakta
      hasil peng­amatan, lebih baik daripada sains pikiran materialis?
Pada titik ini, kita dapat menjelaskan beberapa aspek pandangan
nonmaterialis ten­tang pikiran. Walau tidak satu pun pandangan saat
ini yang dapat men­jawab semua pertanyaan, pandangan nonmaterialis
setidaknya dapat menjelaskan aspek-aspek pengalaman manusia yang
kita ketahui, yang—sebagaimana kita lihat—tidak dapat dijelaskan dan
sering di­ing­kari oleh pandangan materialis.
   Misalnya, pandangan nonmaterialis dapat menjelaskan riset
neuro­imaging yang memperlihatkan subjek manusia dalam tindakan
mengatur emosi diri dengan berkonsentrasi pada emosi itu. Hal
itu dapat men­je­laskan efek plasebo (pil gula yang menyembuhkan
pasien, jika si pasien yakin pil itu adalah obat mujarab). Pandangan
nonmaterialis juga dapat memberikan penjelasan ilmiah atas berbagai
fenomena membingungkan yang diabaikan oleh pandangan materialis.
Pertama adalah psi, kemam­pu­an beberapa manusia untuk terus meraih
angka di atas rata-rata da­lam penelitian terarah mengenai pengaruh
mental terhadap berbagai peristiwa. Kedua adalah pernyataan, yang
secara mengejutkan kerap dijumpai pada pasien trauma atau pasien
bedah, bahwa mereka meng­alami suatu keawasan (kesadaran) mistikal
yang mengubah hidup, ketika mereka berada dalam kondisi tidak
sadar.
   Jika suatu pandangan nonmaterialis benar, pandangan itu pasti
berguna di bidang terapan semisal kedokteran. Mari kita lihat
beberapa buktinya.


        Neurosains Nonmaterialis di Dalam Kedokteran

   Otak selalu melakukan sesuatu yang berangkat dari gangguan-
   gangguan tidak sadar.3
                                         —Daniel Dennet, filsuf materialis

   Sudah tiba waktunya bagi sains untuk menghadapi implikasi serius
   dari fakta bahwa aktivitas mental yang diarahkan dan dikehendaki
   dapat mengubah fungsi otak secara jelas dan sistematis.4
                                           —Jeffrey M. Schwartz, psikiater

    Pendekatan nonmaterialis atas pikiran bukan hanya bisa di­
per­­tahankan secara filsafat; pendekatan itu juga penting untuk




152   | T H E S PI R I T UA L BR A I N
tujuh




         Siapa yang Memperoleh
         Pengalaman Mistikal dan
             Apa Pemicunya?



   Studi mistikal—betapapun sederhananya, dan membawa apa yang
   dibawa oleh musik atau puisi, tetapi dengan tingkatan yang jauh
   lebih tinggi, yai­tu suatu sukacita ganjil di mana kita seolah-olah
   dibawa mendekat pa­da Sang Sumber—pada akhirnya berada di
   ambang rahasia yang selama ini kita coba ungkap. Simbol-simbol
   yang digunakan, kata-kata aktual yang dipakai, ketika kita analisis,
   tidak cukup untuk menjelaskan efek se­macam itu. Malahan,
   pesan-pesan dari diri transendental entitas lain yang terbangun,
   justru membangunkan diri kita yang lebih dalam.1
                            —William James, psikolog perintis di Amerika



M      istisisme termasuk kata yang paling disalahgunakan dalam ko­
       sa­kata populer. Lebih dari seabad yang lalu, psikolog William
James berkomen­tar bahwa kata mistisisme adalah julukan kejam
yang dike­na­kan pada ”opini mana pun yang kita anggap tidak jelas,
terlalu luas, sen­timental, ser­ta tanpa dasar fakta dan logika.”2 Lebih
buruk lagi, me­nurut peneliti mis­tisisme Inggris Evelyn Underhill,
mistisisme dianggap sebagai ”pem­be­naran untuk segala jenis okultisme
(kepercayaan kepada kekuatan gaib, red.), transendentalisme ra­puh,
sim­bol­isme hambar, sentimentalitas religius atau estetik, dan me­tafisika
yang buruk. Di sisi lain, kata ini digunakan dengan bebas se­bagai
hinaan oleh mereka yang mengkritik semua itu.”3
   Jadi, apa sejatinya mistisisme itu? Untungnya abad lalu, sejumlah
ilmuwan nonmistikus mulai mempelajarinya dengan serius.


                Mistisisme Sebagai Jalan Pengenalan

   Manfaat dari mengalihkan kemanusiaan kepada persepsi yang
   tepat tentang dunia adalah sukacita dari menemukan natur
   mental Alam Semesta. Kita tidak tahu apa yang diimplikasikan
   oleh natur mental ini, tetapi—hebat­nya—implikasi tersebut benar
   adanya.4
                                      —Richard Conn Henry, fisikawan

Pakar mistisisme pertengahan abad ke-20, W.T. Stace (1886–1967),
bertanya-tanya apa ada kerancuan karakteristik khayali antara
”berkabut” dan ”mistisisme”. Kata mistisisme berasal dari kata Yunani
(muo) yang ar­tinya ”menutupi”. Kabut menutupi, karena menghalangi
penglihatan. Dalam pengertian itu, tidak ada yang berkabut tentang
mistisisme.5 Mistikus serius akan mencari akses menuju level-level
kesadaran yang ”tertutup” dalam kehidupan sehari-hari. Atau, mung­
kin lebih cocok dise­but terabaikan ketimbang tertutup. Level-level
kesadaran yang tidak mem­bantu kita berkembang dalam karier atau
relasi cenderung tidak digunakan. Kita tidak akan tahu apakah akses
menuju level-level ini da­pat mengubah kita.
    Bagaimanapun, mengutip kalimat G.K. Chesterton, sesuatu yang
se­cara kontradiktif banyak tidak diakui pasti memiliki beberapa nilai
positif. Jadi, apa sesungguhnya mistisisme itu? Stace menjelaskan:

   Yang paling penting—karakteristik utama yang diamini oleh semua
   pengalaman mistikal yang sudah berkembang penuh, dan yang pada
   analisis terakhir sifatnya final dan berfungsi untuk membedakannya
   dari peng­alaman jenis lain—adalah bahwa pengalaman itu




220   | T H E S PI R I T UA L BR A I N
del a pa n




     Apakah Pengalaman Religius,
       Spiritual, atau Mistikal
         Mengubah Hidup?



   Jadi, apa bukti eksperimental bahwa Tuhan itu buruk untuk
   Anda? Menu­rut Dawkins, telah diterima luas dalam komunitas
   ilmiah bahwa agama melumpuhkan manusia, mengurangi potensi
   pertahanan hidup dan kese­hat­­an. Walau begitu, riset empiris
   baru-baru ini menunjukkan adanya in­ter­aksi positif antara agama
   dan kesehatan. Bahwa ada jenis-jenis patologis dari keyakinan
   religius memang sudah diketahui; walau begitu, hal ini tidak
   menafikan perkiraan yang biasanya positif tentang pengaruh
   agama terhadap kesehatan mental, yang mengemuka dalam studi-
   studi berbasis bukti.1
                                              —Alister McGrath, teolog




D      iwarnai gegap-gempita, direktur Center for Cognitive Studies di
       Tufts University, Daniel Dennett, menerbitkan buku Breaking the
Spell: Religion as a Natural Phenomenon (2006). Pembahasannya tentang
psikologi evo­lusioner dan meme disambut dengan puja-puji2 dan ratap-
kutuk. Namun, ada perbedaan menarik dari apa yang mungkin terjadi
satu dekade si­lam. Tentu saja, ia dikecam oleh kalangan sayap kanan.
Misalnya, editor buku Adam Kirsch menantangnya di New York Sun:
Pada inti agama yang sistematis, entah orang menerima atau
   menolaknya, ada kebenaran bahwa pengalaman metafisik merupakan
   bagian dari ke­hi­dupan manusia. Laporan memadai apa pun tentang
   agama harus bermula dari fakta fenomenologis ini. Karena Mr.
   Dennet mengabaikannya, mem­perlakukan agama sebaik-baiknya
   sebagai pengisi waktu orang bodoh, dan seburuk-buruknya sebagai
   sebuah sel penahan bagi kaum fanatik, ia tidak pernah benar-benar
   menemukan apa yang menurutnya ia tuliskan.3

   Namun, dalam sebuah titik balik yang mengejutkan, upaya Dennett
juga mengundang kritik dari sumber yang seharusnya jadi sekutunya. Ia
dikecam dari sayap kiri. Leon Wieseltier, editor sastra The New Republic,
menyebut karyanya sebagai ”evo-psychobabble” (omong kosong psikologi
evolusioner—red.): ”Akhirnya nanti, penyangkalannya terhadap agama
adalah penyangkalan terhadap filsafat…. Kesimpulan yang diambil
oleh buku dangkal dan memuji diri sendiri ini adalah bahwa ada
banyak man­tera yang perlu dipatahkan.”4
   Begitu juga pada 2006, pakar materialisme Inggris Richard Dawkins
memproduseri sebuah program televisi istimewa di Channel 4 tentang
agama, The Root of All Evil? Dawkins menyatakan ketercengangannya
bahwa agama memperoleh pijakan pada abad ke-21, dan menghubung­
kan­nya dengan fakta bahwa para orangtua dan guru menyampaikan
keyakinan mereka pada anak-anak tentang Realitas Utama.
  Lagi-lagi, dalam Dawkins diserang dari sayap kiri dan sayap kanan.
Roger Scruton mengkritik Dawkins dalam Spectator, bahwa…

   …lompatan iman itu sendiri—penyerahan hidup ke dalam pelayanan
   Tu­han—adalah lompatan yang melampaui batas rasionalitas. Ini
   tidak mem­buatnya tidak rasional, seperti halnya jatuh cinta itu
   tidak rasional. Seba­liknya, ini adalah penyerahan hati pada sebuah
   keyakinan, dan merupakan tawaran bagi kasih, kedamaian, dan
   pengampunan yang juga dicari oleh Daw­kins, karena ia, seperti
   halnya kita semua, diciptakan seperti itu.5

  Namun, Madeleine Bunting, dari Guardian yang sayap kiri, tidak
semurah hati Scruton. Mencemooh upaya TV Dawkins sebagai



280   | T H E S PI R I T UA L BR A I N
sembil an




               Studi Karmelit:
             Sebuah Arah Baru?


Lebih dari disiplin-disiplin ilmu lainnya, neurosains berada di titik
temu antara filsafat modern dan sains. Jangan beri peluang pada
siapa pun un­tuk memanfaatkan neurosains guna mendukung
pandangan transenden ter­hadap dunia.1
            —Zvani Rossetti, ahli saraf, menentang kuliah Dalai Lama

Riset ini adalah kunci pertama bagi topik baru, dan Anda
memang tidak bisa menghasilkan sains yang sempurna dalam
kesempatan pertama. Anda ingin tahu tentang sesuatu, dan justru
mengacaukannya. Itulah sains pa­da kesempatan pertama; Anda
mengacaukannya.2
         —Robert Wyman, neurobiolog, mendukung kuliah Dalai Lama

Keyakinan saya untuk menjelajahi ranah sains terletak pada
keyakinan saya bahwa seperti halnya di dalam sains, demikian
pula di dalam Bud­dhisme, pemahaman akan natur realitas dicari
dengan menggunakan sa­rana-sarana investigasi analitis.3
                         —Dalai Lama, The Universe in a Single Atom



D alam newsletter musim semi 2005, Society for Neuroscience (komunitas
  neurosains) menyampaikan kabar menarik untuk pertemuan
tahunan 2005 mendatang di Washington D.C.. Dalai Lama bersedia
menjadi pem­bicara untuk pertama kalinya dalam mata kuliah tahunan
”Dialogues Between Neuroscience and Society”.
   Dalai Lama mendukung studi ilmiah mengenai kesadaran. Ini
tidak mengejutkan karena kaum Buddhis telah mengolah topik
ini selama dua setengah milenium.4 Lama yang sekarang selalu
tertarik pada sains; ia menikmati persahabatan dengan orang-orang
termasyhur seperti filsuf sains Karl Popper serta fisikawan Carl von
Weizsäcker dan David Bohm. Dengan penuh semangat ia menerima
alat-alat bantu riset neuro­sains yang baru. Ia juga turut mendirikan
dan bertindak sebagai ketua kehormatan Mind and Life Institute,
yang mensponsori riset neurosains dan dialog mendalam antara
Buddhisme dan sains. Ia bahkan mendorong para bikkhunya untuk
bersedia menjadi subjek riset. Tampaknya lama berusia 70 tahun ini
merupakan pilihan yang tepat untuk membawakan kuliah neurosains
dan masyarakat.
   Protes politis sudah diperkirakan bakal muncul. Dalai Lama,
yang menerima Hadiah Nobel Perdamaian pada 1989, bukan hanya
merupakan pemimpin Buddhisme Tibet, tetapi juga tokoh penting
yang dihormati dalam gerakan pemerdekaan Tibet dari Tiongkok. (Ia
melarikan diri dari tentara Tiongkok pada 1959 dan sejak itu berdiam
di India.) Namun, presiden komunitas itu, Carol Barnes, dilanda
gelombang protes yang tidak sekadar berbau politis.
   Sejumlah ahli saraf mendesak komunitas itu untuk menghapus
kuliah tersebut, membatalkan studi neurosains seputar meditasi
Buddhisme karena dinilai ”tidak lebih dari omong kosong belaka”.5
Sebuah petisi diajukan:

   Sungguh ironis melihat para ahli saraf menyediakan forum bagi
   penge­sah­an terselubung atas seorang pemimpin religius yang
   keabsahannya ber­gan­tung pada reinkarnasi—doktrin yang ber­
   ten­tangan dengan lan­dasan utama neurosains. Dalai Lama (yang
   sekarang) dengan jelas-jelas me­nyatakan keterpisahan antara pikiran
   dan tubuh, yang penting bagi diakuinya Dalai Lama sebagai seorang
   pemimpin religius dan politik.6



310   | T H E S PI R I T UA L BR A I N
sepuluh



 Apakah Tuhan Menciptakan Otak,
 Ataukah Otak Menciptakan Tuhan?



   Emosi terindah yang dapat kita alami adalah yang mistikal.
   Ini merupakan inti dari semua seni dan sains.
   Orang yang tidak memiliki emosi ini, yang tidak bisa lagi
   bertanya-tanya serta tertegun kagum, sama saja sudah mati.1
                                           —Albert Einstein, fisikawan




S   ebagaimana telah kita baca di buku ini, para ahli saraf dan filsuf
    ma­terialis berpendapat bahwa pikiran, kesadaran, dan diri adalah
produk-sam­ping dari berbagai proses elektrikal dan kimiawi otak, dan
bahwa RSME ”bukanlah apa-apa kecuali” kondisi otak atau delusi
yang dicipta­kan oleh aktivitas neural. Dengan demikian, mereka
percaya bahwa tidak ada sumber spiritual bagi RSME—artinya, me­
reka menganggap otak manusialah yang menciptakan pengalam­
an-pengalaman ini, dan se­iring melakukannya, otak manusialah
yang menciptakan Tuhan. Ka­rena buku ini menyajikan sanggahan
atas pandangan-pandangan se­perti itu, adil rasanya jika kini saya
memaparkan pandangan saya sen­diri.
  Sudah kita lihat bahwa RSME dan korelasi-korelasi neuralnya
bukan merupakan bukti langsung dari eksistensi Tuhan dan dunia
spiritual. Kemungkinan besar tidak ada yang dapat menyajikan bukti
semacam itu pada seseorang yang memang bertekad menyangkal
eksistensi Tuhan dan dunia spiritual. Bagaimanapun, mengungkap
bahwa kondisi otak tertentu ada hubungannya dengan RSME tidak
menunjukkan bahwa peng­alaman tersebut ”sekadar” kondisi otak
biasa. Dan fakta bahwa RSME mengandung unsur-unsur neural
bukan berarti pengalaman itu hanyalah ilusi. Pikiran dan emosi juga
diasosiasikan dengan beberapa area dan sirkuit otak tertentu, tetapi
hanya kaum materialis radikal yang akan berkata semua itu merupakan
ilusi hanya karena memiliki pi­jakan neural.
    Neurosains materialis tidak bisa mereduksi pikiran, kesadaran,
diri, dan RSME menjadi ”sekadar neurobiologi”. Saya pikir bukti
yang ada men­dukung pandangan bahwa mereka yang mengalami
RSME sungguh mengontak suatu ”kuasa” di luar diri mereka yang
riil-objektif.

   Besar kemungkinan, bahkan hampir pasti, laporan-laporan lama
   ini (ten­tang pengalaman mistikal), yang diungkapkan dalam
   konteks perwahyuan supernatural, pada dasarnya merupakan
   pengalaman puncak manusia yang sepenuhnya alami, dari jenis
   yang bisa dengan mudahnya diuji pada ma­sa kini.2
                                         —Abraham Maslow, psikolog



                       Natur Psikologis Manusia

Impuls transendental untuk berhubungan dengan Tuhan dan dunia
spi­ritual mencerminkan salah satu kuasa paling mendasar dan kuat
dalam diri Homo sapiens. Karena itu, RSME menunjuk pada suatu
dimensi fundamental dari eksistensi manusia. Pengalaman tersebut
berada di jan­tung agama-agama besar dunia. Tak heran, RSME
sering dilaporkan ter­jadi di banyak budaya.3 Misalnya, jajak pendapat
Gallup tahun 19904 yang meneliti fenomena RSME pada populasi
dewasa Amerika meng­ung­kapkan bahwa lebih dari separuh (54%)
responden menjawab ya un­tuk pertanyaan: Pernahkah Anda menyadari,



350   | T H E S PI R I T UA L BR A I N
Daftar Pustaka


AAftanas, L. I., A.A. Varlamov, S.V. Pavlov, V.P. Makhnev, dan N.V. Reva. ”Affective
     Picture Processing: Event-Related Synchronization Within Individually Defined
     Human Theta band Is Modulated by Valence Dimension”. Neuroscience Letters
     303 (2001): 115–118.
Alper, Matthew. The ”God” Part of the Brain: A Scientific Interpretation of Human Spirituality
      and God. New York: Rogue, 2001.
Antony, M.M., dan R.P. Swinson. ”Specific Phobia”. Dalam M.M. Antony dan R.P.
     Swinson, editor, Phobic Disorder and Panic in Adults: A Guide to Assessment and
     Treatment. Washington, D.C. : American Psychological Association, 2000, hlm.
     79–104.
Arzy, S., M. Idel, T. Landis, dan O. Blanke. ”Why Have Revelation Occurred on
      Mountains? Linking Mystical Experiences and Cognitive Neuroscience”. Medical
      Hypotheses 65 (2005): hlm. 841–845.
Aunger, Robert C., ed. Darwinizing Culture: The Status of Memetics as a Science. Oxford:
     Oxford Univ. Press, 2001.
Bandura, A. ”Social Cognitive Theory: An Agentic Perspective”. Annual Review of
     Psychology 52 (2001): hlm. 1–26.
Beauregard, M., J. Levésque, dan P. Bourgouin. ”Neural Correlates of Conscious Self-
     Regulation of Emotion”. Journal of Neuroscience 21(2001): RC165 (1–6).
Beauregard, M., J. Levésque, dan V. Paquette. ”Neural Basis of Conscious and Voluntary
     Self-Regulation of Emotion”. Dalam M. Beauregard, ed., Consciousness, Emotional
     Self-Regulation and the Brain. Amsterdam: John Benjamins, 2004, hlm. 163–194.
Beauregard, M., V. Paquette, M. Poulliot, dan J. Levésque. ”The Neurobiology of the
     Mystical Experience: A Quantitative EEG Study”. Society for Neuroscience 34th
     Annual Meeting, 23–27 October, 2004. San Diego, CA.
Bell, J.S. Speakable and Unspeakable in Quantum Mechanics. Cambridge: Cambridge
       Univ. Press, 2004.
Benson H., J.A. Dusek, B.Sherwood, P. Lam, C.F. Bethea, W. Carpenter, S. Levitsky, P.C.
     Hill, D.W. Clem, Jr., M.K. Jain, D. Drumel, S.L. Kopecky, P.S. Mueller, D. Marek,
     S. Rollins, dan P.L. Hibberd. ”Study of the Therapeutic Effects of Intercessory
     Prayer (STEP) in Cardiac Bypass Patients: A Multicenter Randomized Trial of
     Uncertainty and Certainty of Receiving Intercessory Prayer”. American Heart
     Journal 151.4 (April 2006): hlm. 934–942.




                                                                                       427
Benson, Herbert, dan Marg Stark, Timeless Medicine: The Power and Biology of Belief. New
     York, Scribner, 1996.
Berdyaev, Nicolas”.Freedom from Fear”. Times of India, 8 February, 2007.
Berger, Peter. The Desecularization of the World. Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1999.
Bibby, Reginald. The Poverty and Potential of Religion in Canada. Toronto: Irwin, 1987.
Blanke, O., S. Ortigue, T. Landis, dan M. Seeck. ”Stimulating Illusory Own-Body
     Perceptions: The Part of the Brain That Can Induce Out-of-Body Experiences
     Has Been Located”. Nature 419 (2002): hlm. 269–270.
Bloom, Howard. The Lucifer Principle: A Scientific Expedition into the Forces of History. New
     York: Atlantic Monthly Press, 1995.
Blum, Deborah. Sex on the Brain: The Biological Differences Between Men and Women. New
     York: Viking, Penguin, 1997.
Bobrow, Robert S. ”Paranormal Phenomena in the Medical Literature: Sufficient Smoke
     to Warrant a Search for Fire”. Medical Hypotheses 60.6 (2003): hlm. 864–868.
Boswell, James. Life of Johnson. Diedit oleh R.W. Chapman dan J.D. Fleeman. Edisi
     lengkap. Oxford: Oxford Univ. Press, 1998, hlm. 929.
Boyer, Pascal. Religion Explained: The Evolutionary Origins of Religious Thought. New York:
      Basic Books, 2001.
Brodie, Richard. Virus of the Mind: The New Science of the Meme. Seattle: Integral Press,
     1996.
Brody, A.L., S. Saxena, P. Stoessel, L.A. Gillies, L.A. Fairbanks, S. Alborzian, M.E.
     Phelps, S.C. Huang, H.M. Wu, M.L. Ho, M.K. Ho, S.C. Au, K. Maidment, dan I.R.
     Baxter, Jr. ”Regional Brain Metabolic Changes in Patients with Major Depression
     Treated with Either Paroxetine or Interpersonal Therapy: Preliminary Findings”.
     Archives of General Psychiatry 58 (2001): hlm. 631–640.
Brown, Geoffrey. Minds, Brains and Machines. New York: St. Martin’s Press, 1989.
Buchanan, Mark. ”Charity Begins at Homo sapiens”. New Scientist, 12 Maret, 2005.
Bucke, R.M. Cosmic Consciousness: A Study in the Evolution of the Human Mind. New Hyde
     park, NY: Univ. Books, 1961. Aslinya diterbitkan pada 1901.
Buller, D.J. ”Evolutionary Psychology: The Emperor’s New Paradigm”. Trends in Cognitive
      Science 9.6 (Juni 2005): hlm. 277–283.
Byrd, R.C. ”Positive Therapeutic Effects of Intercessory Prayer in a Coronary Care Unit
      Population”. Southern Medical Journal 81.7 (Juli 1988): hlm. 826–829.
Cairn-Smith, A.G. Seven Clues to the Origin of Life. Cambridge: Cambridge Univ. Press,
      1985.
Changeux, Jean-Pierre. Neuronal Man: The Biology of Mind. Diterjemahkan oleh Laurence
     Garey. New York: Oxford Univ. Press, 1985.
Cheyne, J.A. ”The Ominous Numinous: Sensed Presence and ‘Other’ Hallucinations”.
     Journal of Consciousness Studies 8, no. 5–7 (2001).
Churchland, Patricia Smith, Brain-Wise: Studies in Neurophilosophy. Cambridge, MA:
     MIT Press, 2002.
Cotton, Ian. The Hallelujah Revolution: The Rise of the New Christians. London, Prometheus,
     1996.




428    | T H E S PI R I T UA L BR A I N
Crick, Francis. The Astonishing Hypothesis: The Scientific Search for the Soul. New York:
      Simon  Schuster, Touchstone, 1995.
Dawkins, Richard. The Selfish Gene. New York: Oxford Univ. Press, 1989.
De la Fuente-Fernández, R., Thomas J. Ruth, Vesna Rossi, Michael Schulzer, Donald
      B. Calne, dan A.J. Stoessl. ”Expectant and Dopamine Release: Mechanism of
      the Placebo Effect in Parkinson’s Disease”. Science 293 (10 Agustus 2001): hlm.
      1164–1166.
Decety, J. ”Do Imagined and Executed Action Share the Same Substrate?” Brain Research:
      Cognitive Brain Research 3 (1996): hlm. 87–93.
Dembski, William A. No Free Lunch: Why Specified Complexity Cannot Be Purchased Without
    Intelligence. Lanham, MD: Rowman  Littlefield, 2002.
Dennett, Daniel C. Kinds of Minds: Toward an Understanding of Consciousness. New York:
    Basic Books, 1996.
Denton, Michael J. Nature’s Destiny: How the Laws of Biology Reveal Purpose in the Universe.
     New York: Free Press, 1998.
D’Espagnat, Bernard. Reality and the Physicist: Knowledge, Duration, and the Quantum
     World. Cambridge: Cambridge Univ. Press, 1989. Aslinya diterbitkan dalam
     bahasa Prancis sebagai Une Incertaine realite.
Devinsky, O. ”Religious Experiences and Epilepsy”. Epilepsy  Behavior 4 (2003): hlm.
     76–77.
Dewhurst, K. dan A.W. Beard. ”Sudden Religious Conversions in Temporal Lobe
    Epilepsy”. Epilepsy  Behavior 4 (2003).
Eccles, Sir John, dan Daniel N. Robinson. The Wonder of Being Human: Our Brain and
      Our Mind. New York: Free Press, 1984.
Edelman, Gerald M. dan Giulio Tononi. A Universe of Consciousness: How Matter Becomes
     Imagination. New York: Basic Books, 2000.
Felician, O., M. Ceccaldi, M. Didic, C. Thinus-Blanc, dan M. Poncet. ”Pointing to
       Body Parts: A Double Dissociation Study”. Neuropsychologia 41 (2003): hlm.
       1307–1316.
Felten, David L. dan Ralph E. Józefowics. Netter’s Atlas of Human Neuroscience. Teterboro,
      NJ: Icon Learning Systems, 2003.
Ferris, Timothy. A State-of-the-Universe(s) Report. New York: Simon  Schuster,
      Touchstone, 1997.
Flory, Richard W. ”Promoting a Secular Standard: Secularization and Modern
      Journalism, 1870–1930”. Dalam Christian Smith, ed., The Secular Revolution: Power,
      Interest, and Conflict in the Secualrization of American Public Life. Berkeley dan Los
      Angeles: Univ. of California Press, 2003.
Frazer, James George. The Golden Bough. Diedit oleh Mary Douglas. Diringkaskan oleh
      Sabine McCormack. London: Macmillan, 1978.
Gellman, Jerome. ”Mysticism”. Dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy. Diedit oleh
     Edward N. Zalta. Musim semi 2005. http://plato.stanford.edu/archives/spr2005/
     entries/mysticism/.
Giovannoli, Joseph. The Biology of Belief: How Our Biology Biases Our Beliefs and Perceptions.
     New York: Rosetta, 2000.




                                                            Da f ta r P u s ta k a |   429
Gonzales, Guillermo, dan Jay W. Richards. Privileged Planet: How Our Place in the Cosmos
     Is Designed for Discovery. Washington, DC: Regnery, 2004.
Gorman, J. M., J. M. Kent, G. M. Sullivan, dan J.D. Kaplan. ”Neuroanatomical Hypothesis
    of Panic Disorder, Revised”. American Journal of Psychiatry 157 (2000): hlm.
    493–505.
Granqvist, Pehr, Mats Fredrikson, Dan Larhammer, Marcus Larsson, dan Sven Valind.
     ”Sensed presence and mystical experiences are predicted by suggestibility, not
     by application of transcranial magnetic fields”. Neuroscience Letters, doi:10.1016/j.
     Neulet.2004.10.057 (2004).
Grant, George. Lament for a Nation: The Defeat of Canada Nationalism. Don Mills: Oxford
     Univ. Press Kanada, 1970.
Greyson, Bruce dan Nancy E. Bush. ”Distressing Near-Death Experiences”. Psychiatry
     55.1 (Februari 1992): hlm. 95–110.
Gross, Francis L., Jr. bersama Toni L. Gross. The Making of a Mystic: Seasons in the Life
      of Teresa of Avila. Albany: State Univ. of New York Press, 1993.
Grossman, N. ”Who’s Afraid of Life After Death?” Journal of Near-Death Studies 21.1
     (Musim gugur 2002).
Halgren E., R.D. Walter, D.G. Cherlow, dan P.H. Crandall. ”Mental Phenomena Evoked
     by Electrical Stimulation of the Human Hippocampal Formation and Amygdala”.
     Brain 101.1 (1978): hlm. 83–117.
Hamer, Dean. The God Gene: How Faith Is Hardwired into Our Genes. New York: Doubleday,
    2004.
Hanscomb, Alice dan Liz Hughes. Epilepsy. London: Ward Lock, 1995.
Hansen, B.A., dan E. Brodtkorb. ”Partial Epilepsy with ‘Ecstatic’ Seizures”. Epilepsy 
     Behaviour 4 (2003): hlm. 667–673.
Hardy, Alister. The Spiritual Nature of Man. Oxford: Clarendon, 1979.
Harris, Sam. The End of Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason. New York: Norton,
      2004.
Harris, William S., Manohar Gowda, Jerry W. Kolb, Christopher P. Strychaz, James L.
      Hacek, Phillip G. Jones, Alan Forker, James H. O’Keefe, dan Ben D. McCallister.
      ”A Randomized, Controlled Trial of the Effects of Remote, Intercessory Prayer on
      Outcomes in Patients Admitted to the Coronary Care Unit”. Archives of Internal
      Medicine 159 (1999): hlm. 2273–2278.
Harth, Erich. The Creative Loop: How the Brain Makes a Mind. Reading, MA: Addison-
     Wesley, 1993.
Hawkings, Stephen. The Illustrated A Brief History of Time. Rev. ed. New York: Bantam,
     1996.
Hawkley, L., dan J. Cacioppo. ”Loneliness Is a Unique Predictor of Age-Related
     Differences in Systolic Blood Pressure”. Psychology and Aging 21.1 (Maret 2006):
     hlm. 152–164.
Helm H.M., J.C. Hays, E.P. Flint, H.G. Koenig, dan D.G. Blazer. ”Does Private Religious
     Activity Prolong Survival: A Six-Year Follow-up Study of 3.851 Older Adults”.
     Journals of Gerontology. Series A, Biological and Medical Sciences. 55 (2000):
     hlm. M400–405.




430    | T H E S PI R I T UA L BR A I N
Hobson, J. Allan. The Chemistry of Conscious States: How the Brain Changes Its Mind. Boston:
     Little, Brown, 1994.
Hofstadter, Douglas R., dan Daniel C. Dennett. The Mind’s I: Fantasies and Reflections
      on Self and Soul. New York: Basic Books, 2000.
Hooper, Judith, dan Dick Teresi. The 3-Pound Universe. New York: Macmillan, 1986.
Horgan, John. The Undiscovered Mind: How the Human Brain Defies Replication, Medication
     and Explanation. New York: Free Press, 1999.
Hróbjartsson, A., dan P. Götzsche. ”Is the Placebo Powerless? An Analysis of Clinical
     Trials Comparing Placebo with No Treatment”. New England Journal of Medicine
     344, no. 21 (24 Mei 2001).
Hughes, J.R. ”Emperor Napoleon Bonaparte: Did He Have Seizures? Psychogenic or
    Epileptic or Both?” Epilepsy  Behavior 4 (2003): hlm. 793–796.
________, ”Dictator Perpetuus: Julius Caesar: Did He Have Seizures? If So, What Was
     the Etiology?” Epilepsy  Behavior 5 (2004): hlm. 756–764.
________, ‘Alexander of Macedon: The Greatest Warrior of All Times: Did He Have
     Seizures? Epilepsy  Behavior 5 (2004): hlm. 765–767.
_________, ”Did All Those Famous People Really Have Epilepsy?” Epilepsy  Behavior
     6 (2005): hlm. 115–139.
_________, ”A Reappraisal of the Possible Seizures of Vincent van Gogh”. Epilepsy 
     Behavior 6 (2005): hlm. 504–510.
_________, ”The Idiosyncratic Aspects of the Epilepsy of Fyodor Dostoevsky”. Epilepsy
      Behavior 7 (2006): hlm. 531.
Huxley, Aldous. The Perennial Philosophy. New York: Harper and Brothers, 1945.
______, The Doors of Perception. New York: Harper  Row, 1954.
Ingram, Jay. The Theatre of the Mind: Raising the Curtain on Consciousness. Toronto:
     HarperCollins, 2005.
Isaacson, Walter. ”In Search of the Real Bill Gates”. Time, 5 January 1997.
James, William. The Varieties of Religious Experience. New York: Random House, 1902.
Jeans, J. The Mysterious Universe. London: AMS Press, 1933.
Johnson, Phillip E. Darwin on Trials. Downer’s Grove, IL: InterVarsity Press, 1993.
Kimura, Doreen. Sex and Cognition. Cambridge, MA: MIT Press, 2000.
Kubota, Y., W. Sato, M. Toichi, T. Murai, T. Okada, A. Hayashi, dan A. Sengoku.
     ”Frontal Midline Theta Rythm Is Correlated with Cardiac Autonomic Activities
     During the Performance of an Attention Demanding Meditation Procedure”.
     Brain Research: Cognitive Brain Research 11.2 (2001): hlm. 281–287.
Kuhn, Thomas. The Structure of Scientific Revolution. Ed. Ke-2. Chicago: Univ. of Chicago
     Press, 1970.
Larson, Edward J., dan Larry Witham. ”Leading Scientists Still Rejects God”. Nature
     394 (1998): hlm. 313.
Levésque, J., F. Eugene, Y. Joanette, V. Paquette, M. Boualem, G. Beaudoin, J-M. Leroux,
      P. Bourgouin, dan M. Beauregard. ”Neural Circuitry Underlying Voluntary
      Suppression of Sadness”. Biological Psychatry 53 (2003): hlm. 502–510.




                                                          Da f ta r P u s ta k a |   431
Levésque, J., F. Eugene, Y. Joanette, B. Mensour,G. Beaudoin, J-M. Leroux, P.
     Bourgouin, dan M. Beauregard. ”Neural Basis of Emotional Self-Regulation in
     Childhood”. Neuroscience 129 (2004): hlm. 361–369.
Levin, Jeff, dan Harold G. Koenig, ed. Faith, Medicine, and Science: A Fetschrift in Honor
      of Dr. David B. Larson. York: New Haworth, 2005.
Lewis, C.S. The Abolition of Man. London: Collins, 1978.
Lewis, C.S. The Four Loves. Glasgow: William Collins Sons  Co., [1960] 1979, hlm.
      67.
Lewis, C.S. The Problem of Pain. New York: Simon  Schuster, Touchstone, 1996.
Lusting, Abigail, Robert J. Richards, dan Michael Ruse. Darwinian Heresies. Cambridge,
      MA: Cambridge Univ. Press, 2004.
Lutz Antoine, Lawrence L. Greischar, Nancy B. Rawlings, Matthieu Ricard, dan Richard
      J. Davidson. ”Long-Term Meditators Self-Induce High-Amplitude Gamma
      Synchrony During Mental Practice”. Proceedings of the National Academy of Sciences,
      USA 101, no. 46 (16 November 2004): hlm. 16369–16373.
Malin, Shimon. Nature Loves to Hide: Quantum Physics and the Nature of Reality, a Western
      Perspective. Oxford: Oxford Univ. Press, 2001.
Marks, Jonathan, What It Means to Be 98 Percent Chimpanzee: Apes, People, and Their Genes.
     Berkeley dan Los Angeles: Univ. of California Press, 2002.
Maslow, Abraham. Religious Aspects of Peak-Experiences. New York: Harper  Row,
     1970.
May, Gerald G. The Dark Night of the Soul. San Francisco: HarperSanFrancisco, 2004.
McGrath, Alister. Dawkins’s God: Genes, Memes, and the Meaning of Life. Oxford: Blackwell,
    2005.
McGreal, Wilfrid. John of the Cross. London: HarperCollins, 1996.
McRae, C., E. Cherin, T.G. Yamazaki, G. Diem, A.H. Vo, D. Russel, J.H. Ellgring dkk.
    ”Effects of Perceived Treatment on Quality of Life and Medical Outcomes in
    a Double-Blind Placebo Surgery Trial”. Archives of General Psychiatry 61 (2004):
    ha;. 412–420.
Merton, Robert K. ”Science and the Social Order”. Philosophy of Science 5 no. 3 (Juli
     1938): hlm. 321–337.
Midgeley, Mary. The Myths We Live By. London: Routledge, 2003.
Minsky, Marvin. Society of Mind. New York: Simon  Schuster, 1988, hlm. 306.
Mitcham, Carl, dan Alois Huning, ed. Philosophy and Technology II: Information Technology
     and Computers in Theory and Practice. Vol. 2, Hasil terseleksi dari suatu Konferensi
     Internasional yang diadakan di New York, 3–7 September, 1983, dan diorganisir
     oleh Philosophy  Technology Studies Center of the Polytechnic Institute of
     New York bersama Society for Philosophy and Technology. New York: Springer,
     1986, hlm. 169.
Morse, M., dan P. Perry, Transformed by the Light. New York: Ballantine, 1992.
Neggers, S. F., R.H. Van der Lubbe, N.F. Ramsey, dan A. Postma. ”Interactions Between
     Ego- and Allocentric Neuronal Representations of Space”. Neuroimage (2006).




432    | T H E S PI R I T UA L BR A I N
Newberg, A., A. Alai, M. Baime, M. Pourdehnad, J. Santana, dan E.G. D’Aquili. ”The
    Measurement of Regional Cerebral Blood Flow During the Comlex Cognitive
    Task of Meditation: A Preliminary SPECT Study”. Psychiatry Research: Neuroimaging
    106 (2001): hlm. 113–122.
Newberg, A., M. Pourdehnad, A. Alavi, dan E.G. D’Aquili. ”Cerebral Blood Flow During
    Meditative Prayer: Preliminary Findings and Methodological Issues”. Perceptual
    and Motor Skills 97 (2003): hlm. 625–630.
Newberg, Andrew, Eugene D’Aquili, dan Vincent Rause. Why God Won’t Go Away: Brain
    Science and the Biology of Belief. New York: Ballantine, 2001.
O’Leary, Denyse. By Design or By Chance? The Growing Controversy on the Origins of Life in
     the Universe. Minneapolis: Ausburg, 2004.
Ornstein, Robert. The Evolution of Consciousness: The Origins of the Way We Think. New
     York: Simon  Schuster, 1991.
_______, The Right Mind: Making Sense of the Hemispheres. New york: Harcourt, Brace,
     1997.
Otto, Rudolf. The Idea of the Holy. Diterjemahkan oleh John W. Harvey. London: Oxford
      Univ. Press, 1971.
Paquette, V., J. Levésque, B. Mensour, J-M Leroux, G. Beaudoin, P. Bourgouin, dan M.
     Beauregard. ”Change the Mind and You Change the Brain: Effects of Cognitive-
     Behavioral Therapy on the Neural Correlates of Spider Phobia”. Neuroimage 18.2
     (Februari 2003): hlm. 401–409.
Pargament, Kenneth I., H.G. Koenig, N. Tarakeshwar, J. Hahn. ”Religious Struggle as
     a Predictor of Mortality Among Medically Ill Elderly Patients”. Archives of Internal
     Medicine 161 (13/27 Agustus 2001): hlm. 1881–1885.
Parnia, S. dan P. Fenwick. ”Near-Death Experiences in Cardiac Arrest: Visions of a
      Dying Brain or Visions of a New Science of Consciousness”. Resuscitation 52
      (2002): hlm. 5–11.
Peacock, Judith. Epilepsy. Mankato, MN: Capstone, 2000.
Pelletier, M., A. Bouthillier, J. Levésque, S. Carrier, C. Breault, V. Paquette, B. Mensour,
       J-M Leroux, G. Beaudoin, P. Bourgouin, dan M. Beauregard. ”Separate Neural
       Circuits for Primary Emotions? Brain Activity During Self-Induced Sadness
       and Happiness in Professional Actors”. Neuroreport 14.8 (11 Juni 2003): hlm.
       1111–1116.
Penfield, Wilder. Second Thoughts: Science, the Arts, and the Spirit. Toronto: McClelland
      and Stewart, 1970.
Persinger, M. ”Religious and Mystical Experience as Artifacts of Temporal-Lobe
      Function: A General Hypothesis”. Perceptual and Motor Skills 57 (1983): hlm.
      1255–1262.
Persinger, M.A., dan F. Healey. ”Experimental Facilitation of the Sensed Presence:
      Possible Intercalation Between the Hemispheres Induced by Complex Magnetic
      Fields”. Journal of Nervous and Mental Diseases 190 (2002): hlm. 533–541.
Pettit, Paul. ”When Burial Begins”. British Archaeology 66 (Agustus 2002).
Pinker, Steven. How the Mind Works. New York: Norton, 1997.




                                                          Da f ta r P u s ta k a |   433
Radin, Dean. The Conscious Universe: The Scientific Truth of Psychic Phenomena. San
     Francisco: HarperSanFrancisco, 2007.
Ramachandran, V.S., dan Sandra Blakeslee. Phantoms in the Brain: Probing the Mystery
    of the Human Mind. New York: Morrow, 1998.
Ratzsch, Del. The Battle of Beginnings: Why Neither Side Is Winning the Creation-Evolution
      Debate. Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 1996.
Restak, Richard. The Brain Has a Mind of Its Own: Insight from a Practicing Neurologist.
      New York: Harmony, 1991.
Ring, K., dan M. Lawrence. ”Further Evidence for Veridical Perception During Near-
      Death Experiences”. Journal of Near-Death Studies 11.4 (1993): hlm. 223–229.
Rohrbach, Peter-Thomas. Journey to Carith: The Story of the Carmelite Order. Garden City,
     NY: Doubleday, 1966.
Rose, Hilary, dan Steven Rose. Alas, Poor Darwin: Arguments Against Evolutionary
      Psychology. London: Random House, Vintage, 2001.
Ruse, Michael. The Evolution Wars: A Guide to the Debate. Santa Barbara, CA: ABC-CLIO,
      2000.
Russel, Bertrand. ”Quotes on Determinism”, The Society of Natural Science, http://
      www.determinism.com/quotes.shtml (diakses 27 Mei 2007).
Sabom, Michael. Light and Death: One Doctor’s Fascinating Account of Near-Death Experiences.
     Grand Rapids, MI: Zondervan, 1998.
Sagan, Carl. The Dragons of Eden: Speculations on the Nature of Human Intelligence. New
     York: Random House, 1977.
_______, The Demon Haunted World: Science as a Candle in the Dark. New York: Ballantine,
     1996.
Salzman, Mark. Lying Awake. New York: Knopf, 2000.
Saver, J. L., dan John Rabin. ”The Neural Substrates of Religious Experience”. Journal
      of Neuropsychiatry and Clinical Neurosciences 9 (1997): hlm. 498–510.
Sawyer, Robert J. The Terminal Experiments. New York: HarperCollins, 1995.
Schwartz, J.M., H. Stapp, dan M. Beauregard. ”Quantum Theory in Neuroscience and
     Psychology: A Neurophysical Model of Mind/Brain Interaction”. Philosophical
     Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences 360 (2005): hlm. 1309–1327.
Schwartz, Jeffrey M., dan Sharon Begley. The Mind and the Brain: Neuroplasticity and the
     Power of Mental Force. New York: HarperCollins, Regan Books, 2003.
Searle, John R. Mind: A Brief Introduction. Oxford: Oxford Univ. Press, 2004.
Smith, A., dan C. Tart. ”Cosmic Consciousness Experience and Psychedelic Experiences:
      A First-Person Comparison”. Journal of Consciousness Studies 5, no. 1 (1998): hlm.
      97–107.
Soeling, Casper, dan Eckert Voland. ”Toward an Evolutionary Psychology of Religiosity”.
      Neuroendocrinology Letters, Human Ethology  Evolutionary Psychology 23, suppl. 4
      (Desember 2002).
Spiegel, Herbert, dan David Spiegel. Trance and Treatment: Clinical Use of Hypnosis. New
      York, Basic Books: 1978.




434    | T H E S PI R I T UA L BR A I N
Spilka, B., B. Hunsberger, R. Gorsuch, dan R.W. Hood, Jr. The Psychology of Religion:
      An Empirical Approach. Ed. Ke-3. New York: Guilford, 2003.
Stace, W.T. The Teachings of the Mystics. New York: Macmillan, 1960.
Stove, David. Darwinian Fairytales. Aldershot, UK: Avebury, 1995.
Takahashi, T., T. Murata, T. Hamada, M. Omori, H. Kosaka, M. Kikuchi, H. Yoshida,
     dan Y. Wada. ”Changes in EEG and Autonomic Nervous Activity During
     Meditation and Their Association with Personality Traits”. International Journal
     of Psychophysiology 55.2 (Februari 2005): hlm. 199–207.
Temple, R. ”Implications of Effects in Placebo Groups”. Journal of the National Cancer
    Institute 95, no. 1, 2–3 (1 Januari 2003).
Teresa of Avila. The Interior Castle. Diterjemahkan oleh Mirabai Starr. New York:
     Riverhead, 2003.
Tierney, Patrick. Darkness in El Dorado: How Scientists and Journalists Devastated the Amazon.
      New York: Norton, 2000.
Underhill, Evelyn. Mysticism: A Study in the Nature and Development of Man’s Spiritual
     Consciousness. New York: New American Library/Meridian, 1974.
Van Lommel, P. ”About the Continuity of Our Consciousness”. Dalam Brain Death and
     Disorders of Consciousness. Diedit oleh Calixto Machado dan D. Alan Shewmon.
     New York: Kluwer Academic/Plenum, 2004.
Vercors [Jean Bruller], You Shall Know Them. Diterjemahkan oleh Rita Barisse dari
     aslinya Les Animaux Denatures. Toronto: McClelland  Stewart, 1953.
Wackermann, Jiøí, Christian Seiter, Holger Keibel, dan Harald Wallach. ”Correlations
     Between Brain Electrical Activities of Two Spatially Separated Human Subjects”.
     Neuroscience Letters 336 (2003): hlm. 60–64.
Wager, Tor D., James K. Rilling, Edward E. Smith, Alex Sokolik, Kenneth L. Casey,
     Richard J. Davidson, Stephen M. Kosslyn, Robert M. Rose, dan Jonathan D.
     Cohen. ”Placebo Induced Changes in fMRI in the Anticipation and Experience
     of Pain”. Science 303, no. 5661 (20 Februari 2004): hlm. 1162–1167.
Wallace, B. Alan. The Taboo of Subjectivity: Toward a New Science of Consciousness. Oxford:
      Oxford Univ. Press, 2000.
Wallach, Harald, dan Stefan Schmidt. ”Repairing Plato’s Life Boat with Ockham’s
      Razor: The Important Function of Research in Anomalies for Consciousness
      Studies”. Journal of Consciousness Studies 12, no. 2 (2005): hlm. 52–70.
Wildman, Derek E., Monica Uddin, Guozhen Liu, Lawrence I. Grossman, dan Morris
     Goodman. ”Implications of Natural Selection in Shaping 99.4% Nonsynonymous
     DNA Identity Between Human and Chimpanzees: Enlarging Genus Homo”.
     Proceedings of the National Academy of Sciences 100 (2003): hlm. 7181–7188.
Wilson, David Sloan. Darwin’s Cathedral: Evolution, Religion, and the Nature of Society.
      Chicago: Univ. of Chicago Press, 2002.
Wilson, Edward O. Sociobiology. Ed. Ringkas. Cambridge, MA: Harvard Univ. Press, 1980.
_______, Consilience: The Unity of Knowledge. New York: Random House, 1998.[]




                                                            Da f ta r P u s ta k a |   435

Contenu connexe

En vedette

Degustación de productos de cocina italiana de la firma Menù
Degustación de productos de cocina italiana de la firma Menù  Degustación de productos de cocina italiana de la firma Menù
Degustación de productos de cocina italiana de la firma Menù Komkal
 
Bericht über die Kinder- und Jugendförderung im Kanton Graubünden
Bericht über die Kinder- und Jugendförderung im Kanton GraubündenBericht über die Kinder- und Jugendförderung im Kanton Graubünden
Bericht über die Kinder- und Jugendförderung im Kanton GraubündenMediendienstKtGR
 
GFP 151111 Presentation Greenforce Renewables HPP
GFP 151111 Presentation Greenforce Renewables HPPGFP 151111 Presentation Greenforce Renewables HPP
GFP 151111 Presentation Greenforce Renewables HPPH. Phillip Pulver
 
Montañas de cores
Montañas de coresMontañas de cores
Montañas de coresiesasorey
 
Dioxines, PCB, Furanes et DR-CALUX
Dioxines, PCB, Furanes et DR-CALUXDioxines, PCB, Furanes et DR-CALUX
Dioxines, PCB, Furanes et DR-CALUXVincent PERRET
 
Invest plus user manual
Invest plus user manualInvest plus user manual
Invest plus user manualInvest Plus
 
150 Aniversario de la llegada de Jean Pineau a Rioja Alavesa
150 Aniversario de la llegada de Jean Pineau a Rioja Alavesa150 Aniversario de la llegada de Jean Pineau a Rioja Alavesa
150 Aniversario de la llegada de Jean Pineau a Rioja AlavesaJesús Fernández Ibáñez
 
El novio de_mi_hija_la_maltrata
El novio de_mi_hija_la_maltrataEl novio de_mi_hija_la_maltrata
El novio de_mi_hija_la_maltratainformendebaldea
 
Proyectos y Actividades a Ejecutarse en el Distrito Jose Crespo y Castillo a ...
Proyectos y Actividades a Ejecutarse en el Distrito Jose Crespo y Castillo a ...Proyectos y Actividades a Ejecutarse en el Distrito Jose Crespo y Castillo a ...
Proyectos y Actividades a Ejecutarse en el Distrito Jose Crespo y Castillo a ...Cámara Comercio Leoncio Prado
 
Guia Crea una aplicacion en Vb que Calcule el - imc
Guia Crea una aplicacion en Vb que Calcule el - imcGuia Crea una aplicacion en Vb que Calcule el - imc
Guia Crea una aplicacion en Vb que Calcule el - imcCarlos Alonso
 
World Energy Focus - Ottobre 2014
World Energy Focus - Ottobre 2014World Energy Focus - Ottobre 2014
World Energy Focus - Ottobre 2014WEC Italia
 

En vedette (19)

Código de ética daqu de sonora
Código de ética daqu de sonoraCódigo de ética daqu de sonora
Código de ética daqu de sonora
 
Format endaftaran mgmp
Format endaftaran mgmpFormat endaftaran mgmp
Format endaftaran mgmp
 
¿Qué buscan los clientes de servicios de traducción? Errores que no se deben ...
¿Qué buscan los clientes de servicios de traducción? Errores que no se deben ...¿Qué buscan los clientes de servicios de traducción? Errores que no se deben ...
¿Qué buscan los clientes de servicios de traducción? Errores que no se deben ...
 
Degustación de productos de cocina italiana de la firma Menù
Degustación de productos de cocina italiana de la firma Menù  Degustación de productos de cocina italiana de la firma Menù
Degustación de productos de cocina italiana de la firma Menù
 
Nefropatía por VIH
Nefropatía por VIHNefropatía por VIH
Nefropatía por VIH
 
Bericht über die Kinder- und Jugendförderung im Kanton Graubünden
Bericht über die Kinder- und Jugendförderung im Kanton GraubündenBericht über die Kinder- und Jugendförderung im Kanton Graubünden
Bericht über die Kinder- und Jugendförderung im Kanton Graubünden
 
Le Temps
Le TempsLe Temps
Le Temps
 
Empro
EmproEmpro
Empro
 
2016 NTS-0113
2016 NTS-01132016 NTS-0113
2016 NTS-0113
 
GFP 151111 Presentation Greenforce Renewables HPP
GFP 151111 Presentation Greenforce Renewables HPPGFP 151111 Presentation Greenforce Renewables HPP
GFP 151111 Presentation Greenforce Renewables HPP
 
Montañas de cores
Montañas de coresMontañas de cores
Montañas de cores
 
Dioxines, PCB, Furanes et DR-CALUX
Dioxines, PCB, Furanes et DR-CALUXDioxines, PCB, Furanes et DR-CALUX
Dioxines, PCB, Furanes et DR-CALUX
 
eLearning-webconf
eLearning-webconfeLearning-webconf
eLearning-webconf
 
Invest plus user manual
Invest plus user manualInvest plus user manual
Invest plus user manual
 
150 Aniversario de la llegada de Jean Pineau a Rioja Alavesa
150 Aniversario de la llegada de Jean Pineau a Rioja Alavesa150 Aniversario de la llegada de Jean Pineau a Rioja Alavesa
150 Aniversario de la llegada de Jean Pineau a Rioja Alavesa
 
El novio de_mi_hija_la_maltrata
El novio de_mi_hija_la_maltrataEl novio de_mi_hija_la_maltrata
El novio de_mi_hija_la_maltrata
 
Proyectos y Actividades a Ejecutarse en el Distrito Jose Crespo y Castillo a ...
Proyectos y Actividades a Ejecutarse en el Distrito Jose Crespo y Castillo a ...Proyectos y Actividades a Ejecutarse en el Distrito Jose Crespo y Castillo a ...
Proyectos y Actividades a Ejecutarse en el Distrito Jose Crespo y Castillo a ...
 
Guia Crea una aplicacion en Vb que Calcule el - imc
Guia Crea una aplicacion en Vb que Calcule el - imcGuia Crea una aplicacion en Vb que Calcule el - imc
Guia Crea una aplicacion en Vb que Calcule el - imc
 
World Energy Focus - Ottobre 2014
World Energy Focus - Ottobre 2014World Energy Focus - Ottobre 2014
World Energy Focus - Ottobre 2014
 

Similaire à Pembuktian Neurosains

Vipassana meditation and the scientific worldview
Vipassana meditation and the scientific worldviewVipassana meditation and the scientific worldview
Vipassana meditation and the scientific worldviewandreas saputro Sukendro
 
Tugas pendidikan agama kristen 10
Tugas pendidikan agama kristen 10Tugas pendidikan agama kristen 10
Tugas pendidikan agama kristen 10Abner D Nero
 
Ruang lingkup ilmu jiwa
Ruang lingkup ilmu jiwaRuang lingkup ilmu jiwa
Ruang lingkup ilmu jiwaM Choirun Niam
 
PPT PSIKOLOGI AGAMA.pptx
PPT PSIKOLOGI AGAMA.pptxPPT PSIKOLOGI AGAMA.pptx
PPT PSIKOLOGI AGAMA.pptxAliasSHI
 
01 kuliah agama katolik
01  kuliah agama katolik01  kuliah agama katolik
01 kuliah agama katolikfrewinmario
 
Ketidakpastian melaui kacamata spiritual
Ketidakpastian melaui kacamata spiritualKetidakpastian melaui kacamata spiritual
Ketidakpastian melaui kacamata spiritualIPDC
 
TOPIK 1 PSIKOLOGI PENDIDIKAN.ppt
TOPIK 1 PSIKOLOGI PENDIDIKAN.pptTOPIK 1 PSIKOLOGI PENDIDIKAN.ppt
TOPIK 1 PSIKOLOGI PENDIDIKAN.pptssuserc76bbd
 
Kel 1 Pengantar Filsafat Ilmu.pptx
Kel 1 Pengantar Filsafat Ilmu.pptxKel 1 Pengantar Filsafat Ilmu.pptx
Kel 1 Pengantar Filsafat Ilmu.pptxNurulQomaria9
 
Tertib rohani - terjemahan BAB 5
Tertib rohani - terjemahan BAB 5Tertib rohani - terjemahan BAB 5
Tertib rohani - terjemahan BAB 5sonny sitanggang
 
PUM1 - 7Kesadaran
PUM1 - 7KesadaranPUM1 - 7Kesadaran
PUM1 - 7Kesadaranmfrids
 
Bagaimana Menemukan dan Menciptakan Agama Anda Sendiri
Bagaimana Menemukan dan Menciptakan Agama Anda SendiriBagaimana Menemukan dan Menciptakan Agama Anda Sendiri
Bagaimana Menemukan dan Menciptakan Agama Anda SendiriDaniel Kaunang
 
Makalah pengaruh sosialisasi, nilai budaya terhadap pembentukan kepribadian
Makalah pengaruh sosialisasi, nilai budaya terhadap pembentukan kepribadianMakalah pengaruh sosialisasi, nilai budaya terhadap pembentukan kepribadian
Makalah pengaruh sosialisasi, nilai budaya terhadap pembentukan kepribadianOperator Warnet Vast Raha
 

Similaire à Pembuktian Neurosains (20)

Vipassana meditation and the scientific worldview
Vipassana meditation and the scientific worldviewVipassana meditation and the scientific worldview
Vipassana meditation and the scientific worldview
 
Nutrient_Power
Nutrient_PowerNutrient_Power
Nutrient_Power
 
upsi slide.pptx
upsi slide.pptxupsi slide.pptx
upsi slide.pptx
 
Tugas pendidikan agama kristen 10
Tugas pendidikan agama kristen 10Tugas pendidikan agama kristen 10
Tugas pendidikan agama kristen 10
 
Mind alpha power
Mind alpha powerMind alpha power
Mind alpha power
 
Ruang lingkup ilmu jiwa
Ruang lingkup ilmu jiwaRuang lingkup ilmu jiwa
Ruang lingkup ilmu jiwa
 
PPT PSIKOLOGI AGAMA.pptx
PPT PSIKOLOGI AGAMA.pptxPPT PSIKOLOGI AGAMA.pptx
PPT PSIKOLOGI AGAMA.pptx
 
Evangelism
EvangelismEvangelism
Evangelism
 
Bab 1 .ppt
Bab 1 .pptBab 1 .ppt
Bab 1 .ppt
 
01 kuliah agama katolik
01  kuliah agama katolik01  kuliah agama katolik
01 kuliah agama katolik
 
Ketidakpastian melaui kacamata spiritual
Ketidakpastian melaui kacamata spiritualKetidakpastian melaui kacamata spiritual
Ketidakpastian melaui kacamata spiritual
 
Channeling
ChannelingChanneling
Channeling
 
filsafat
filsafatfilsafat
filsafat
 
TOPIK 1 PSIKOLOGI PENDIDIKAN.ppt
TOPIK 1 PSIKOLOGI PENDIDIKAN.pptTOPIK 1 PSIKOLOGI PENDIDIKAN.ppt
TOPIK 1 PSIKOLOGI PENDIDIKAN.ppt
 
Kel 1 Pengantar Filsafat Ilmu.pptx
Kel 1 Pengantar Filsafat Ilmu.pptxKel 1 Pengantar Filsafat Ilmu.pptx
Kel 1 Pengantar Filsafat Ilmu.pptx
 
Quantum ikhlas
Quantum ikhlasQuantum ikhlas
Quantum ikhlas
 
Tertib rohani - terjemahan BAB 5
Tertib rohani - terjemahan BAB 5Tertib rohani - terjemahan BAB 5
Tertib rohani - terjemahan BAB 5
 
PUM1 - 7Kesadaran
PUM1 - 7KesadaranPUM1 - 7Kesadaran
PUM1 - 7Kesadaran
 
Bagaimana Menemukan dan Menciptakan Agama Anda Sendiri
Bagaimana Menemukan dan Menciptakan Agama Anda SendiriBagaimana Menemukan dan Menciptakan Agama Anda Sendiri
Bagaimana Menemukan dan Menciptakan Agama Anda Sendiri
 
Makalah pengaruh sosialisasi, nilai budaya terhadap pembentukan kepribadian
Makalah pengaruh sosialisasi, nilai budaya terhadap pembentukan kepribadianMakalah pengaruh sosialisasi, nilai budaya terhadap pembentukan kepribadian
Makalah pengaruh sosialisasi, nilai budaya terhadap pembentukan kepribadian
 

Pembuktian Neurosains

  • 1. Pembuktian Neurosains Mengenai Eksistensi Allah Mario Beauregard, Ph.D. & Denyse O’Leary
  • 2. OB 40809001 The Spiritual Brain Pembuktian Neurosains Mengenai Eksistensi Allah Oleh: Mario Beauregard & Denyse O’Leary Penerjemah: Lily Sutrisna © Edisi Bahasa Indonesia Citta Media LangitBiru, Jakapermai, Bekasi Barat 17145; E-mail: redaksi.langitbiru@gmail.com Diterjemahkan dari buku The Spiritual Brain (2007) by Mario Beauregard & Denyse O’Leary; published by arrangement with HarperCollins Publishers, 10 East 53rd Street, New York, NY 10022. Diterbitkan oleh: Penerbit OBOR (Anggota IKAPI) Jl. Gunung Sahari 91, Jakarta 10610 Telp.: (021) 422 2396 (hunting) Fax.: (021) 421 9054 E-mail: penerbit@obormedia.com; redaksi@obormedia.com; marketing@obormedia.com Website: www.obormedia.com Cet. 1 – Mei 2009 Editor – St. Notoatmodjo, Yon Lesek Setting isi – IAN, Markus M. Perwajahan – Martinus Ferianto Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit OBOR. ISBN 13 : 978-979-565-512-1 ISBN 10 : 979-565-512-4 Dicetak oleh Percetakan Grafika Mardi Yuana, Bogor.
  • 3. Daftar Isi Prakata vii Pendahuluan ix satu Menuju Neurosains Spiritual 1 dua Apakah Program Tuhan Itu Ada? 51 tiga Apakah Modul Tuhan Benar Ada? 71 empat Kasus Ganjil Helm Tuhan 97 lima Apakah Pikiran dan Otak Identik? 123 enam Menuju Sains Pikiran Nonmaterialis 151 tujuh Siapa yang Memperoleh Pengalaman Mistikal dan Apa Pemicunya? 219 delapan Apakah Pengalaman Religius, Spiritual, atau Mistikal Mengubah Hidup? 279 sembilan Studi Karmelit: Sebuah Arah Baru? 309 sepuluh Apakah Tuhan Menciptakan Otak, Ataukah Otak Menciptakan Tuhan? 349 Daftar Istilah 357 Catatan Akhir 365 Daftar Pustaka 427
  • 4. Prakata T erima kasih pada mahasiswa doktoral saya: Johanne Lévesque, Élisabeth Perreau-Linck, dan Vincent Paquette. Riset mereka tentang pen­ci­tra­an otak mereka tersaji dalam buku ini. Terima kasih pada The Natural Sciences and Engineering Research Council of Canada (NSERC), The Metanexus Institute, dan John Templeton Foundat­ion, yang telah memberikan dukungan finansial. Tanpa dukungan tersebut, riset Karmelit ini akan sulit ter­lak­sana. Susan Arellano, agen literatur kami, pantas mendapatkan ucapan terima kasih kami karena efisiensinya yang begitu tinggi. Kami ingin berterima kasih pada Eric Brandt, editor kami di HarperOne, atas saran editorialnya yang bijak, juga pada editor produksi Laurie Dunne dan editor bahasa Ann Moru atas keteram­ pilan, kesabaran, dan pengertian mereka. Kami juga memuji karya Pierre-Alexandre Lévesque seputar visual otak manusia. Terakhir, saya berterima kasih pada istri saya Johanne dan anak- anak saya, Audrey dan Marc-Antoine, atas cinta serta pengertian mereka. —Mario Beauregard vii
  • 5. S aya berterima kasih pada ayah saya, John Patrick O’Leary, yang se­ pan­jang hayatnya mempertahankan gagasan pentingnya sepu­tar per­adaban, mendorong saya untuk terjun ke dalam proyek ini dan proyek-proyek sejenis, juga pada ibu saya, Blanche O’Leary, yang tidak pernah sedikit pun mengeluh karena hidup bersama seorang penulis yang se­dang bergiat menggarap buku, serta telah memberikan bantuan yang tia­da terkira. —Denyse O’Leary viii | T H E S PI R I T UA L BR A I N
  • 6. Pendahuluan P ada awal saya dan mahasiswa doktoral saya Vincent Paquette mem­pelajari pengalaman spiritual para biarawati Karmelit di Université de Montréal, kami sadar ada kemungkinan besar motif kami disalahpahami. Kami harus terlebih dulu meyakinkan mereka betapa kami tidak se­­dang ber­upaya membuktikan bahwa pengalaman religius mereka tidak sungguh terjadi, bahwa semua itu hanya delusi, atau bahwa ada yang tidak beres dengan otak mereka. Lalu, kami harus mengubur harapan kaum ateis profesional dan ketakutan para rohaniwan bahwa kami se­dang mencoba mengurangi bobot dari pengalaman ini menjadi semacam ”saklar Tuhan” di dalam otak. Banyak ahli saraf ingin melakukannya. Namun, saya dan Vincent ter­masuk minoritas—ahli saraf nonmaterialis. Sebagian besar saintis sekarang ini adalah kaum materialis yang percaya bahwa dunia fisik adalah satu-satunya realitas. Semua hal lainnya—pikiran, perasaan, akal budi, dan kehendak bebas—bisa di­anggap sebagai materi dan fenomena fisik, tanpa menyingkirkan kemung­kinan bahwa peng­ alaman religius dan spiritual bukanlah ilusi. Kaum materialis itu ibarat tokoh rekaan Charles Dicken, yaitu Ebeneezer Scrooge, yang meng­ang­gap pengalam­annya dengan Marley hantu hanya sebagai ”sepotong bistik tak ter­cer­na, seciprat monster, sebongkah keju, sepotong kentang kurang ma­tang”. Di lain pihak, saya dan Vincent tidak melandaskan riset pada pan­ dangan materialis seperti itu. Karena kami bukan materialis, secara prin­sip kami tidak meragukan bahwa seorang yang berkontemplasi ix
  • 7. bisa mengontak realitas di luar dirinya melalui pengalaman mistikal. Bahkan, saya terjun ke dalam neu­rosains sebagian karena memahami bahwa hal-hal semacam itu bisa sungguh terjadi. Saya dan Vincent hanya ingin tahu apa saja yang berkaitan dengan neu­ral (aktivitas sel saraf) selama pengalaman mistikal terjadi. Dengan adanya dominasi materialisme di dalam neurosains dewasa ini, kami beruntung para biarawati itu me­mer­cayai ketulusan kami dan bersedia membantu, dan bahwa Templeton Foundation melihat nilai penting dari pendanaan atas riset kami. Tentu Anda bisa bertanya, Apakah riset neurosains terhadap para biarawati kontemplatif itu dapat membuktikan bahwa Tuhan ada? Tidak, tetapi riset neu­rosains bisa—dan sungguh bisa—menunjukkan bahwa kondisi ke­sa­dar­an mis­tikal itu nyata ada. Dalam kondisi ini, seorang yang ber­kontemplasi berpeluang besar mengalami aspek-aspek realitas yang ti­dak ada di dalam kondisi lainnya. Temuan riset ini menyingkirkan tesis materialis bahwa seorang yang ber­kon­tem­plasi telah memalsukan atau me­ngarang pengalamannya. Saya dan Vincent membuktikan peng­alam­an mistikal juga bersifat kompleks—penemuan yang me­nantang ber­ba­gai penjelasan materialis simplistik seperti ”gen Tuhan”, ”ra­nah Tu­han”, atau ”saklar Tuhan” di dalam otak kita. Saya dan Denyse O’Leary, jurnalis dari Toronto, menulis buku ini guna mem­bahas arti penting riset ini, dan secara umum melakukan pen­dekatan yang lebih neurosaintifik untuk memahami pengalaman religius, spiritual, dan mistikal. Saat ini neurosains bersifat materialis, yakni mengasumsikan bah­wa pikiran hanyalah salah satu aktivitas fisik otak. Untuk memahami artinya, pikirkan kalimat sederhana ini: ”Aku menetapkan pikiranku untuk mem­beli sebuah sepeda” (I made up my mind to buy a bike). Orang tidak akan berkata, ”Aku menetapkan otakku untuk membeli sebuah sepeda” (I made up my brain to buy a bike). Seba­lik­nya, orang bisa berkata, ”Helm sepeda mencegah kerusakan otak” (Bike helmets prevent brain damage), tetapi ia tidak berkata, ”Helm sepeda mencegah kerusakan pikiran” (Bike helmets prevent mind damage). Namun, kaum materialis menilai perbedaan yang Anda tetapkan antara pikiran sebagai entitas nonmaterialis dan | T H E S PI R I T UA L BR A I N
  • 8. otak sebagai organ tubuh, tidak me­miliki dasar riil. Pikiran dianggap ilusi belaka yang dihasilkan oleh ak­tivitas otak. Beberapa materialis bahkan beranggapan Anda tidak boleh menggunakan istilah yang mengimplikasikan bahwa pikiran Anda ada. Di buku ini, kami ingin menunjukkan bahwa pikiran Anda ada, bahwa pi­kiran itu bukan sekadar otak. Pikiran dan perasaan Anda tidak dapat di­singkirkan atau dijelaskan begitu saja sebagai sinaps-sinaps yang be­­kerja dan sebagai fenomena fisik. Di dunia yang hanya materi saja ini, ”kehendak be­bas (free will)” atau ”pikiran yang mengendalikan materi (mind over matter)” adalah ilusi; tidak ada yang namanya tujuan atau mak­na, tidak ada ruang untuk Tuhan. Hanya saja, banyak orang telah meng­alaminya, dan kami menyajikan bukti bahwa pengalaman itu nyata. Sebaliknya, kaum materialis berkata bahwa pemikiran-pemikiran semisal makna atau tujuan tidak sesuai dengan realitas; semua itu ha­nyalah adaptasi demi pertahanan hidup manusia. Lain kata, kalau bukan merupakan evolusi sirkuit-sirkuit di dalam otak, maka semua itu tidak ada. Salah seorang penemu kode genetika, Francis Crick, menulis di bu­ku The Astonishing Hypothesis, ”Ba­gai­manapun, otak kita yang telah sangat berkembang ini tidak dikembangkan cukup keras untuk mencari kebenaran yang ilmiah, melainkan hanya agar kita cukup terampil ber­tahan hidup dan menghasilkan keturunan.” Namun, apakah pertanyaan tentang makna dan tujuan hidup itu hanyalah bagian dari pertahanan hidup? Jika pengabaian kecil atas hasil proses intelektual selama ribuan tahun itu terdengar agak kurang meyakinkan, yah, mungkin memang begitu. Katakanlah, seorang sehat menyumbangkan ginjalnya cuma-cuma pada seorang yang sekarat. Kaum materialis mungkin mencari-cari ana­logi di seputar tikus mondok, tikus rumah, atau simpanse sebagai ca­ra terbaik untuk memahami motif si donor. Mereka yakin pikiran si donor bisa seutuhnya di­jelaskan dengan hipotesis bahwa otaknya ber­ kem­bang (ber-evolusi) dengan amat lambat dan susah payah dari otak makhluk hidup yang setara tikus dan simpanse. Karena itu, pikirannya hanyalah ilusi yang diciptakan oleh aktivitas otak yang kurang ber­kem­­ Pe nd a h u l ua n | xi
  • 9. bang, dan kesadarannya akan situasinya sebenarnya tidak relevan untuk dijadikan penjelasan atas tindakannya. Buku ini berpandangan: Fakta bahwa otak manusia berkembang me­ nun­jukkan bahwa pikiran manusia tidak dapat diabaikan dengan cara demikian. Se­baliknya, otak manusia bisa memampukan pikirannya, sedangkan otak tikus mondok tidak bisa (mohon maaf pada spesies tikus mondok). Namun, otak bu­kanlah pikiran; otak adalah satu organ yang sesuai untuk menghubungkan pikiran dengan seisi alam semesta. Jika diibaratkan, lomba renang Olimpiade membutuhkan sebuah kolam berskala Olimpiade. Namun, kolam itu tidak men­ciptakan lomba renang Olimpiade; kolam itu hanya membuat lomba itu dapat terlaksana di lokasi tertentu. Dari sudut pandang materialis, kesadaran pikiran dan kehendak be­ bas ma­nusia adalah masalah yang harus dijelaskan. Untuk memahami maknanya, simak komentar saintis kognitif Harvard, Steven Pinker, me­ngenai kesadaran dalam artikel ”The Mystery of Consciousness” di ha­rian Times (19 Januari 2007). Mengenai dua masalah utama yang dihadapi saintis, ia menulis: Walau kedua masalah itu belum bisa diselesaikan, para ahli saraf sepakat dalam banyak hal, dan hal yang mereka anggap paling tidak- kontroversial justru dianggap paling mengejutkan oleh orang-orang di luar neurosains. Francis Crick menyebutnya ”the astonishing hypothesis” (hipotesis yang mencengangkan)—gagasan bahwa pikiran, sensasi, sukacita, dan rasa sakit kita sepenuhnya dihasilkan dari aktivitas fisiologis di dalam jaringan otak. Kesadaran tidak berada di dalam jiwa yang menggunakan otak ibarat perangkat PDA (personal digital assistant); kesadaran adalah aktivitas otak. Karena Pinker sendiri mengakui bahwa tidak satu pun masalah kesadar­an itu tuntas atau hampir tuntas, bagaimana ia bisa begitu yakin bah­wa kesadaran itu hanyalah ”aktivitas otak” yang mengimplikasikan tidak adanya jiwa? Salah satu ”kenikmatan” di dalam materialismenya Pinker adalah bahwa pada intinya, keraguan apa pun boleh dilabeli ”tidak ilmiah”. Pela­belan itu menangkal diskusi mengenai nalar-tidaknya mate­rial­ xii | T H E S PI R I T UA L BR A I N
  • 10. isme. Jelas, materialisme adalah ”iman” yang tidak akan diragukan oleh banyak intelektualis. Namun, besarnya keraguan mereka sendiri menun­jukkan bahwa materialisme bukanlah penjelasan yang tepat mengenai realitas, dan tidak memberikan bukti kuat. Sebuah pembelaan yang baik dapat kita ajukan melawan pandangan yang berseberangan ini, seperti akan ditunjukkan oleh buku ini. Ya, buku ini—menjauhi tren buku-buku neurosains yang ditujukan bagi pembaca awam—memang mendebat materialisme. Lebih dari itu, buku ini menyajikan bukti bahwa materialisme tidak sahih. Anda akan melihat sendiri bahwa materialisme tidak seindah yang Steven Pinker ingin Anda percayai. An­da hanya dapat mempertahankan keyakinan atas materialisme dengan asumsi [penuh keyakinan] bahwa bukti yang berseberangan dengan apa pun yang An­da baca tentang materialisme pastilah salah. Sebagai contoh, yang nanti kita bahas, seorang materialis dengan mu­dah­nya lebih memilih untuk percaya—sekalipun tanpa bukti kuat—bahwa para pe­mimpin spiritual mengalami gejala epilepsi lobus temporal (temporal-lobe epilepsy) ketimbang bahwa mereka memperoleh pengalaman spiritual yang mengilhami orang lain dan diri sendiri. Jika masalahnya terkait dengan spi­rit­ualitas, data eksperiensial ini justru mempermalukan materialisme sempit. Itu karena sistem-sistem seperti materialisme akan remuk melawan bukti apa pun yang mela­wannya. Akibatnya, data yang menentang materialisme akan di­abaikan begitu saja oleh banyak saintis. Misalnya, kaum materialis melan­carkan perang tiada henti melawan riset psi (penelitian atas pengetahuan atau tindakan yang dilakukan dari jarak tertentu, misalnya persepsi indra keenam, telepati, prakognisi, atau telekinesis) selama puluhan tahun, karena bukti apa pun seputar kesahihan psi, betapapun kecilnya, bakal fatal bagi sistem ideologi mereka. Baru-baru ini misalnya, para skep­ tikus menyerang mahasiswa neu­rosains Sam Harris yang ateis, karena di buku The End of Faith (2004) ia menulis bahwa riset psi me­ngan­­dung kesahihan. Harris hanya mengikuti bukti, seperti akan kita bahas. Namun karena melakukannya, ia jelas-jelas melanggar prin­sip penting ma­terialisme: Ideologi materialis pasti menang melawan bukti. Pe nd a h u l ua n | xiii
  • 11. Namun, tantangan lain terhadap materialisme masih ada. Kaum materialis harus percaya bahwa pikiran mereka hanya merupakan ilusi yang diciptakan oleh aktivitas otak dan, karenanya, kehendak bebas itu tidak benar-benar ada dan tidak punya andil dalam gangguan mental. Namun, riset-riset nonmaterialis telah jelas-jelas menunjukkan manfaat dari kesehatan mental. Berikut ini adalah beberapa contoh yang dibahas di dalam buku ini. Neuropsikiater nonmaterialis di UCLA, Jeffrey Schwarts menangani gang­guan obsesif-kompulsif—kelainan neuropsikiatris yang ditandai oleh pemikiran yang menyusahkan, memaksa, dan tidak diinginkan— dengan cara membuat pa­ra pasiennya memprogram ulang otak mereka. Pikiran mereka mengubah otak mereka. Begitu juga melalui teknik pencitraan otak, saya dan beberapa ko­ lega ahli saraf di Université de Montréal menunjukkan bahwa: • Wanita dewasa dan gadis remaja dapat mengendalikan respons mereka terhadap pikiran sedih, walau gadis remaja lebih sulit melakukannya; • Pria yang menonton film erotis cukup mampu mengendalikan respons mereka terhadap film itu, ketika diminta untuk mela­ku­ kannya; dan • Penderita fobia, misalnya arachnofobia, dapat memprogram ulang otak mereka sehingga rasa takut itu lenyap. Bukti tentang kendali pikiran terhadap otak sebenarnya sudah di­peroleh di dalam penelitian-penelitian ini. ”Pikiran yang mengen­ dalikan ma­teri” itu nyata. Kita memiliki kehendak bebas, kesadaran, dan emosi yang, jika dipadukan dengan rasa tujuan dan makna, akan menciptakan perubahan. Di masa lampau, penjelasan materialis tentang agama dan spirit­ ualitas layak untuk sekurang-kurangnya dipertimbangkan. Misalnya, Sigmund Freud berpendapat bahwa kenangan masa kanak-kanak akan sosok seorang bapa membuat orang-orang religius percaya pada Tuhan. Penjelasan Freud gagal ka­rena Kristianitas adalah satu-satunya xiv | T H E S PI R I T UA L BR A I N
  • 12. agama besar yang menekankan aspek kebapaan Tuhan. Namun, walau salah, ide Freud tidak konyol. Relasi dengan bapa yang bahagia atau ti­dak bahagia adalah pengalaman kompleks manusia, yang disertai sejumlah analogi dengan agama. Selain itu, antropolog J.G. Frazer ber­­pendapat bahwa agama-agama modern berasal dari berbagai kultus ke­­su­bur­an purba yang kemudian dispiritualkan. Sesungguhnya, bukti yang ada lebih merujuk pada pengalaman spiritual sebagai sumber dari berbagai keya­kinan dan ritual religius yang muncul belakangan. Namun, ide Frazer tidak bi­sa dibilang sepele. Ide itu lahir melalui proses penge­nalan yang panjang dan mendalam terhadap sistem kepercayaan purba. Dewasa ini, penjelasan materialis tentang agama dan spiritualitas sudah keterlaluan. Di bawah pengaruh pandangan materialis, media massa populer berlomba-lomba membahas gen kekerasan, gen kege­ mukan, gen monogami, gen ketidaksetiaan, dan bahkan gen Tuhan! Pandangan itu kira-kira begini: Para psikolog evolusioner ngotot menje­laskan spiritualitas manusia dan ke­yakinan akan Tuhan, bahwa manusia goa di zaman purba yang percaya pada real­itas supernatural jauh lebih berpeluang mewariskan gen-gen mereka ketimbang manusia goa yang tidak percaya. Kemajuan di bidang genetika dan neurosains telah mendo­rong sejumlah orang untuk serius mencari gen Tuhan, atau bintik, modul, faktor, atau saklar Tuhan di dalam otak manusia. Pada saat ”helm Tuhan” (sebuah helm mobil salju yang dimodifikasi dengan solenoid un­tuk me­rang­sang subjek agar mengalami eksistensi Tuhan) di Sudbury, Kanada, menjadi magnet bagi para jurnalis sains pada 1990-an (Dekade Otak), materialisme nyaris dianggap parodi. Walau begitu, kaum materialis terus mencari saklar Tuhan. Dengan segala perbedaan pandangan yang konyol itu, tidak ada yang bisa lolos dari sifat nonmaterialisnya pikiran manusia. Pada dasarnya, tidak ada yang namanya saklar Tuhan. Seperti di­tunjukkan dalam riset terhadap para biarawati Karmelit dan akan dirinci oleh buku ini, pengalaman spiritual adalah pengalaman yang rumit, seperti pengalaman kita dalam hal relasi manusia. Mereka mening­gal­kan jejak di banyak area otak. Fakta itu sesuai dengan (walau Pe nd a h u l ua n | xv
  • 13. tidak de­­ngan sendirinya menunjukkan) pemikir­an bahwa orang yang mengalami pengalaman spiritual tersebut me­ngon­tak suatu realitas di luar dirinya. Faktanya, materialisme sudah mentok. Materialisme tidak me­na­ warkan hipotesis apa pun yang berguna atau bahkan mengembangkan pikiran atau peng­alaman spiritual manusia. Ada suatu ranah agung yang tidak dapat dimasuki, apalagi dipelajari melalui materialisme. Na­mun, kabar baiknya adalah dengan tiadanya materialisme, ada tanda-tanda positif bahwa spiritualitas dapat dimasuki dan dipelajari melalui neurosains modern. Neurosains nonmaterialis tidak terdorong untuk menolak, mengingkari, menjelaskan, atau mempermasalahkan semua bukti yang me­nentang materialisme. Ini sangat bagus, karena riset terbaru melahirkan bukti yang kian kuat. Tiga contoh yang dibahas dalam buku ini adalah efek psi, pengalaman dekat-ajal (near death experience/NDE), dan efek plasebo. Efek psi, seperti yang terlihat dalam fenomena-fenomena seperti per­sepsi indra keenam (extrasensory perception) dan psikokinesis, memang berkadar rendah, tetapi upaya untuk membuatnya tidak absah telah gagal. Pengalaman dekat-ajal juga kian sering diteliti beberapa tahun belakangan ini, mungkin karena teknik resusitasi telah banyak membuat orang kembali dari kematian dan menceritakan pengalaman mereka. Dengan adanya para saintis seperti Pim van Lommel, Sam Par­nia, Peter Fenwick, dan Bruce Greyson, kini kita me­miliki basis informasi yang lebih luas. Hasilnya tidak mendukung pandangan materialis ten­tang pikiran dan kesadaran, sebagaimana Pinker ajukan dalam Times: ”Ketika aktivitas fisiologis otak berhenti, yang diketahui sejauh ini ada­lah kesadaran orang itu keluar dari keberadaannya.” Banyak dari kita mungkin belum pernah mengalami efek-efek tak lazim semisal efek psi atau pengalaman dekat-ajal, tetapi kita semua pasti pernah mengalami efek plasebo: Pernahkah Anda pergi ke dokter untuk minta surat keterangan bahwa Anda tidak dapat pergi bekerja ka­rena flu berat—dan tiba-tiba Anda merasa lebih baikan xvi | T H E S PI R I T UA L BR A I N
  • 14. saat duduk mem­baca majalah di klinik. Memang memalukan, tetapi mudah dije­las­kan: Pikiran menghasilkan pesan untuk memulai proses analgesik atau penyembuhan, ketika Anda menyadari bahwa Anda berada di jalan me­nuju kesembuhan. Meskipun neurosains materialis telah lama meng­anggap efek plasebo sebagai masalah, efek ini adalah salah satu fe­no­mena paling gamblang dalam kedokteran. Sementara bagi neurosains nonmaterialis, efek ini adalah efek normal yang bisa memiliki nilai tera­peutik besar jika digunakan secara tepat. Materialisme tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan pen­ ting se­putar natur manusia dan kurang dapat memberikan jawaban yang mudah dipa­hami. Materialisme juga telah meyakinkan jutaan orang bahwa mereka tidak perlu mencoba mengembangkan natur spiritual mereka, karena mereka tidak memilikinya. Beberapa orang menilai bahwa solusinya adalah terus mendukung mate­rialisme dengan lebih diam-diam. Dewasa ini, kaum materialis melan­car­kan perang ”anti-Tuhan” secara terang-terangan. Karya-karya anti­teistik seperti Breaking the Spell: Religion as a Natural Phenomenon (Daniel Dennett), The God Delusion (Richard Dawkins), God: The Failed Hypothesis—How Science Shows that God Does Not Exist (Victor J. Stenger), God Is Not Great (Christopher Hitchens), dan Letters to a Christian Nation (Sam Harris) didu­kung konferensi seperti ”Beyond Belief” oleh Science Network dan kam­panye seperti You-Tube Blasphemy Challenge. Yang mengagumkan, tidak ada yang baru dalam gagasan mereka. Para filsuf abad ke-18 telah menyampaikannya sejak dahulu dengan mak­sud yang kurang lebih sama. Memang, karya-karya modern ini telah diperciki berbagai asumsi mengenai psikologi evolusioner— upaya meng­asalmuasalkan agama dan spiritualitas dari praktik yang telah me­mungkinkan segelintir nenek moyang kita di zaman purba Pleistosin untuk mewariskan gen mereka. Namun, nenek moyang kita itu sudah lama tiada, dan tidak banyak yang bisa didapatkan dari disiplin ilmu yang kekurangan subjek. Selain itu, ada banyak penegasan terhadap sifat ilusif dari natur pikiran, kesadaran, dan kehendak bebas, serta keti­dak­bergunaan sekaligus bahaya spiritualitas. xvii
  • 15. Para pakar di pertengahan abad ke-20 meramalkan bahwa perlahan tapi pasti, spiritualitas akan lenyap. Setelah dibanjiri materi, manusia akan berhenti memikirkan Tuhan. Namun, mereka salah. Saat ini, spi­ritualitas menjadi lebih beraneka ragam dan bertumbuh di seluruh dunia. Vitalitas tersebut mencip­ta­kan rasa takut dan spekulasi liar—tetapi yang paling kuat adalah rasa ingin ta­hu yang mendorong keinginan un­tuk menyelidiki. Namun, bagaimana kita bisa menelaah spiritualitas secara ilmiah? Untuk memulainya, kita dapat menemukan kembali warisan non­ materialis kita. Warisan itu memang ada, hanya saja sudah lazim diabaikan. Pada kenyataannya, ahli-ahli saraf ternama seperti Charles Sherrington, Wilder Penfield, dan John Eccles bukanlah kaum materialis yang suka mereduksi, dan mereka selalu meng­ajukan dasar-dasar yang kuat. De­wasa ini, neurosains nonmaterialis ber­ kembang subur, terlepas dari se­gala batasan akibat kesalahpahaman yang telanjur mendarah daging dan, dalam beberapa kasus, akibat kekerasan. Pembaca di­imbau untuk menanggapi semua pertanyaan dan bukti yang disajikan dalam bu­ku ini dengan pikiran terbuka. Inilah saat bagi eksplorasi, bukan dogma. Buku ini akan membahas tiga gagasan penting. Pertama, pende­kat­ an non­materialis terhadap pikiran manusia yang memperhitungkan bukti yang jauh le­bih baik daripada pendekatan materialis yang sudah men­tok saat ini. Kedua, pendekatan nonmaterialis terhadap pikiran membuahkan manfaat dan pe­nyikapan pada tataran praktis, demikian pula pendekatan terhadap feno­mena-fenomena yang tidak sanggup di­tangani oleh pendekatan materialis. Terakhir, dan mungkin juga ter­ penting bagi banyak pembaca, buku ini menunjukkan bah­wa manakala pengalaman spiritual memengaruhi kehidupan, penjelasan yang pa­ ling masuk akal dan paling mampu menerangkan semua bukti adalah bahwa setiap orang yang memperoleh pengalaman itu benar-benar me­ngontak suatu Realitas di luar diri mereka, suatu Realitas yang telah membawa mereka lebih dekat kepada natur sejati dari alam semesta. —Mario Beauregard Montreal, Kanada, 1 Februari 2007 xviii | T H E S PI R I T UA L BR A I N
  • 16. s at u Menuju Neurosains Spiritual J uni 2005, konferensi World Summit on Evolution diselenggarakan di Pulau San Cristobal, Kepulauan Galápagos, lepas pantai Ekuador. Lokasi sederhana Fri­gatebird Hill dipilih karena di sinilah Charles Darwin pertama kali mendarat pada 1835 untuk menyelidiki ”induk dari segala rahasia”—asal-usul dan natur spe­sies, termasuk (dan mungkin ter­uta­ma) spesies manusia. Kepulauan terpencil di Pasifik ini kemudian menjadi tempat per­­ henti­an bajak laut, pemburu paus, dan pemburu anjing laut, yang membuat bentuk-ben­tuk kehidupan (life forms) yang pernah dipelajari Darwin nyaris punah. Na­mun, di bawah perlindungan pemerintah abad ke-20, kepulauan itu menjadi ”kuil” bagi materialisme—keyakinan bah­ wa semua bentuk kehidupan, termasuk manusia, hanyalah produk dari kekuatan alam yang buta.1 Menurut pandangan materialis, ”pikiran” ki­ta—jiwa, roh, kehendak bebas—hanyalah ilusi yang ter­cipta oleh arus listrik di dalam neuron-neuron (sel-sel saraf) otak kita. Menurut zoolog Oxford, Richard Dawkins, alam semesta itu ibarat seorang ”pembuat jam yang buta (a blind watchmaker)”.2 Konferensi di Galápagos itu langsung dielu-elukan sebagai Wood­ stock-nya Evolusi. Para saintis yang hadir, ”dedengkotnya teori evo­ lusi”,3 sangat memahami peran penting mereka dan signifikansi dari se­luruh proses itu. ”Kami tertegun berada di sini,” tulis seorang jurnalis sains, mengenang ketika para hadirin elite tersebut menyimak kisah
  • 17. evolusi yang terkenal itu dengan sikap ”terpesona seperti anak-anak yang sedang menyimak pemaparan ulang sebuah dongeng favorit”.4 Menurut kisah itu, dan mengutip kata-kata salah satu hadirin, manusia hanyalah ”klad (clade) kecil yang aneh”.5 Dan misi pertemuan berikutnya adalah menyampaikan kisah itu ke seluruh dunia.6 Bagai­ manapun, dengan memuncak­nya ketidaksepakatan dalam pengajaran evolusi, dunia pasti sudah tahu. Serangkaian Peristiwa Dimana Pikiran Tidak Ada? Salah satu tokoh penting di dalam konferensi itu adalah filsuf Amerika Daniel Dennett. Dennett yang secara fisik mirip Charles Darwin adalah seorang filsuf pikiran terkemuka. Ia merupakan filsuf favorit bagi orang-orang yang meng­ang­gap komputer dapat menyimulasi proses mental manusia. Anehnya, sebagai filsuf pikiran, ia justru ingin meyakinkan dunia bahwa dalam pengertian tra­disional, yang namanya pikiran itu tidak ada. Mungkin ia paling dikenal karena me­ngatakan bahwa ”ide Darwin yang berbahaya” adalah ide terbaik yang pernah dimiliki manu­sia, karena menjadi akar bagi materialisme. Menu­rutnya, manusia itu ibarat ”robot besar yang memesona” dan bagusnya lagi: Jika Anda memiliki jenis proses yang tepat dan ada cukup waktu, Anda dapat menciptakan hal-hal besar yang indah, bahkan hal-hal yang memiliki pikiran, melampaui proses-proses yang secara kasus per kasus terbilang bodoh, tanpa pikiran, sederhana. Sekumpulan peristiwa kecil tanpa pikiran yang terjadi selama jutaan tahun saja dapat menciptakan bukan hanya keteraturan, tetapi juga rancangan; bukan sekadar rancangan, tetapi pi­kir­an, mata, dan otak.7 Dennett bersiteguh bahwa jiwa atau roh tidak berasosiasi dengan otak manusia, unsur supernatural apa pun, atau kehidupan-setelah- kema­tian. Maka, fokus kariernya adalah menjelaskan bagaimana ”makna, fung­si, dan tujuan bisa ada di dalam suatu dunia yang pada dasarnya tan­pa makna dan fungsi”.8 Ia hadir di Galápagos untuk menyatakan pan­dangan itu. | T H E S PI R I T UA L BR A I N
  • 18. dua Apakah Program Tuhan Itu Ada? Spiritualitas berasal dari dalam diri. Benihnya harus sudah ada sejak awal. Dan benih itu menjadi bagian dari gen mereka.1 —Dean Hamer, ahli genetika perilaku P ada musim panas 2005, keriuhan London Zoo benar-benar mengalah­kan pantai. Kebun binatang itu menciptakan sensasi yang melanda media massa internasional laksana badai. Selama empat hari, 26–29 Agustus 2005, di habitat berhutan Bear Mountain, tiga laki-laki dan empat perempuan Homo sapiens dipertontonkan. Secarik label dipasang: ”PERINGATAN: Ma­nusia di Habitat Alaminya”. Jurubicara kebun binatang, Polly Wills me­nerangkan bahwa pameran itu ”mengajarkan pada masyarakat bahwa manusia itu tidak lebih dari sekadar primata”.2 Bagaimanapun, para sapiens itu tidak didapatkan oleh kebun binatang tersebut dengan cara biasa. Para pelamar yang tertarik harus bisa melenguhkan 50 kata berbentuk nada suara persuasif. Masing- masing satu orang apoteker, calon aktor, dan penggemar fitnes lolos tes, serta di­pertontonkan dengan ”hanya selembar daun ara menutupi aurat”. Ya, aurat. Seorang pengunjung menyatakan kekecewaannya karena pa­ra sapiens itu memakai baju renang di bawah daun ara kertas.
  • 19. Perbedaan lainnya dengan hewan adalah bahwa, setelah mema­ merkan bisep dan lekuk tubuh di depan orang banyak [dan sepanjang waktu dilindungi dari kerabat hewan mereka yang buas dengan kawat listrik], para sapiens itu pulang tiap malam—bukan ke sarang dedaunan, melainkan ke apartemen masing-masing. Yang menarik, salah satu pe­serta berkomentar, ”Banyak orang menganggap derajat manusia berada di atas hewan. Ketika melihat manusia sebagai hewan di sini, mereka jadi agak teringat bahwa kita tidak seistimewa itu.”3 Komentar yang ironis; sesungguhnya aksi publisitas itu hanya bisa terlaksana karena justru sebaliknyalah yang terjadi. Para manusia goa itu dengan sukarela mempertontonkan diri pada manusia lain hanya un­tuk bersenang-senang dan semoga bisa menunjang karier. Jadi meng­apa, tepatnya, kita dibujuk untuk meyakini gagasan bahwa manusia ada­lah hewan yang sama dengan makhluk tunawicara di dalam kerang­keng lain, yang tidak bisa menulis, tidak bisa menyampaikan pemikiran mereka pada jurnalis, atau (mungkin yang paling jelas) tidak ”pulang” setiap malam? Ya, secara fisik kita adalah anggota kerajaan hewan yang sama-sa­ma berbagi risiko dan kesempatan. Namun, komentar si peserta (”Kita tidak seistimewa itu”) menunjukkan betapa mengakarnya materialisme filo­sofis dalam masyarakat. Walau dihadapkan pada perbedaan nyata an­ta­ra manusia dan para penghuni kebun binatang lainnya, banyak orang berasumsi telah benar-benar melihat persamaannya. Tidak ter­lalu meng­herankan. Dihadapkan pada pilihan antara apa yang mereka lihat dan apa yang mereka dengar, banyak orang memilih untuk percaya pada apa yang mereka dengar. Siapa yang lebih kamu percayai, aku atau matamu? —Chico Marx, Duck Soup (1933) Pola pikir materialis semacam ini mewarnai upaya-upaya paling baru untuk memahami spiritualitas. Banyak peneliti mencari spiritualitas di salah satu bagian otak atau gen, atau mungkin di salah satu sejarah hipotetis atau meme (persamaan gen). Lain kata, mereka 52 | T H E S PI R I T UA L BR A I N
  • 20. tiga Apakah Modul Tuhan Benar Ada? Walau sudah jamak diketahui dewasa ini, saya selalu terpesona melihat bah­wa segenap kehidupan mental kita—sentimen religius dan bahkan apa yang kita sebut diri pribadi yang terdalam— hanyalah aktivitas bin­tik-bin­tik kecil di dalam kepala Anda, di dalam otak Anda. Tak ada yang lain.1 —V.S. Ramachandran, ahli saraf Sains sangat menakjubkan untuk menjelaskan apa yang sangat menakjub­kan untuk dijelaskan dengan sains, tetapi di luar itu, sains cenderung ‘men­cari kunci mobilnya di tempat terang’.2 —Jonah Goldberg, Jewish World Review D alam novel mencekam karya Mark Salzman, Lying Awake, Suster Yohanes dari Salib menghadapi keputusan sulit. Beberapa puluh tahun sebelum­nya, ia mengisi masa kanak-kanaknya yang minim kepuasan emosional dengan aturan ketat seputar kehening­ an, kesederhanaan, dan doa di se­buah biara Karmelit dekat Los Angeles. Kehidupan biara memang mem­berikan keteraturan dan kedamaian, tetapi tahun-tahun berlalu dengan perasaan kering dan tak terpenuhkan. Suster Yohanes mulai meng­alami visiun-visiun (penglihatan-penglihatan) aneh yang ia tuangkan dalam bentuk
  • 21. tulisan indah dan menghasilkan buku populer Sparrow on a Roof. Buku itu mem­bantu berbagai biaya biara dan bahkan menarik seorang suster lain ke ordo tersebut. Suster Yohanes yang gemuk pendek itu menjadi ”bintang” spiritual, berlimpah dengan karunia. Namun, seiring munculnya visiun-visiun itu, ia mulai mengalami sakit kepala parah. Awalnya, Suster Yohanes menyambut sakit kepala itu dengan pikiran bahwa ia harus menderita sesuatu sebagai balasan atas kasih Allah. Hanya saja, sakit kepala itu kian parah hingga akhir­ nya ia kejang-kejang. Ia berkonsultasi dengan seorang ahli saraf dan me­ngetahui kebenarannya. Ia mengalami epilepsi lobus temporal (temporal-lobe epilepsy, selanjutnya disebut TLE) akibat tumor kecil di bagian atas telinga kanannya. Ia diberi tahu bahwa: Epilepsi lobus temporal terkadang menyebabkan perubahan perilaku dan pikiran, bahkan ketika pasien tidak mengalami kejang-kejang. Perubahan-perubahan ini mencakup hipergrafia, pening­kat­an tetapi juga penyempitan respons emosional, serta minat yang obsesif terhadap agama dan filsafat.3 Suster Yohanes juga diberi tahu bahwa Rasul Paulus dan pendiri Ordo Karmelit, St. Theresia dari Avila, kemungkinan besar adalah penderita TLE. Tumor itu dapat diangkat dengan mudah, jadi diperkirakan visiun- visiun itu takkan muncul lagi. Hanya saja, apakah visiun itu tidak lebih da­ri sekadar penyakit? Suster Yohanes menilai bahwa, dari sudut pan­dang materialis, seluruh hidupnya bisa dianggap sebagai patologi se­ma­ta, sejenis penyakit mental: Berdoa sepanjang waktu: hiperreligiositas. Pilihan untuk hidup selibat (tanpa pasangan): hiposeksualitas. Kendali niat melalui kendali tubuh dengan puasa secara teratur: anoreksia. Membuat jurnal spiritual se­cara terinci: hipergrafia.4 Haruskah Suster Yohanes menyetujui dilakukannya pembedahan yang bakal mengakhiri visiun-visiun itu? 72 | T H E S PI R I T UA L BR A I N
  • 22. e m pat Kasus Ganjil Helm Tuhan Dengan menciptakan perangkat kepala penuh kabel yang meng­ hasilkan pengalaman ”religius” pada pemakainya, neuroteolog Michael Persinger di Sudbury, telah menggoyahkan fondasi iman dan sains.1 —Robert Hercz, Saturday Night Siapa pun yang masih meragukan kemampuan otak untuk meng­ hasilkan pengalaman religius hanya perlu mengunjungi ahli saraf Michael Persinger di Laurentian University di kota tambang nikel Sudbury, Ontario. Ia berkata hampir semua orang bisa bertemu Tuhan, hanya dengan memakai helm is­ti­mewa buatannya.2 —Bob Holmes, New Scientist Mr. Dawkins akan berminat untuk mengalami agama pada kali pertama dengan helm buatan Mr. Persinger. Hal ini akan mem­ buktikan bahwa akhirnya visiun mistikal dapat dikendalikan oleh sains, dan bukan lagi hasil dari kemurahan hati sesosok entitas supernatural.3 —Raj Persaud, London Daily Telegraph A pakah ”imam besar” ateisme Inggris, Richard Dawkins, dapat me­ nemu­kan Tuhan hanya dengan memakai helm lobus tem­­po­­ral yang dibuat di laboratorium neurosains di Kanada? Dawkins terke­nal
  • 23. karena menye­but agama sebagai ”virus pikiran” dan ”kemunduran yang kekanak-ka­nakan”.4 Tahun 2003, pada sesuatu yang disebut sebagai tes puncak oleh program Horizon-nya BBC, ”God on the Brain”, penghulu ateis (arch­atheist) itu berusaha mencari Tuhan dengan memakai ”helm Tuhan” buat­an ahli saraf Kanada Michael Persinger. ”Akankah Dr. Persinger berhasil, padahal Paus, Uskup Agung Canterbury, dan Dalai Lama telah gagal?” pekik pendukungnya. Program itu merekam sesi-40 menit Dawkins memakai helm Tuhan, di mana lobus temporal-nya dirangsang dengan medan magnet lemah. Dikatakan bahwa peluang terjadinya RSME bagus. Menurut Persinger, 80% orang yang memakai helmnya mengalami sejenis RSME. Tertulis pada naskah ”God on the Brain”: PROF. RICHARD DAWKINS (University of Oxford): Jika saya beralih memegang keyakinan religius, istri saya mengancam minta cerai. Saya selalu penasaran bagaimana rasanya memperoleh pengalaman mistikal. Saya menanti-nantikan upaya sore ini. … DAWKINS: Saya agak pusing. NARATOR: Pertama, Dr. Persinger menempelkan sebuah medan magnet pada sisi kanan kepala Richard Dawkins. DAWKINS: Cukup aneh. NARATOR: Lalu untuk memperbesar peluang merasakan adanya suatu kehadiran, Dr. Persinger mulai menempelkan medan magnet itu pada kedua sisi kepala. DAWKINS: Sepertinya napas saya agak tersengal-sengal. Saya tidak tahu ada apa. Kaki kiri seperti bergerak-gerak, kaki kanan berkedut-kedut. … NARATOR: Jadi setelah 40 menit, apakah Richard Dawkins telah dibawa lebih dekat pada Tuhan? 5 Sepertinya tidak. Ia tidak merasakan sesuatu yang tidak lazim dan meng­aku ”sangat kecewa”. Ia benar-benar ingin mengalami apa yang orang-orang religius akui telah alami. Persinger menawarkan 98 | T H E S PI R I T UA L BR A I N
  • 24. lima Apakah Pikiran dan Otak Identik? Mempelajari otak berarti mempelajari diri kita sendiri, tetapi dengan suatu cara yang membuat kita menjadi subjek sekaligus objek. Ibaratnya, kita mencoba melihat baik ke dalam dan ke luar jendela secara bersamaan.1 —Greg Peterson, dosen agama Jika orang harus mempelajari otak sendirian, tanpa mengindah­ kan perilaku manusia dan kondisi sadar yang subjektif, ia tidak akan pernah belajar apa pun mengenai kesadaran atau fenomena mental apa pun lainnya.2 —B. Alan Wallace, filsuf pikiran T anggal 17 Juli 1990, presiden George H.W. Bush dan Kongres AS meng­umumkan era 1990-an sebagai Dekade Otak. Alasan positif bagi penda­naan publik atas riset otak itu diungkapkan dengan sepatutnya. Namun, sejak awal sudah jelas Bush dan para pendukungnya ingin tahu lebih ba­nyak mengenai otak karena alasan pribadi. Memang pengetahuan yang lebih tepat akan membantu kita memerangi penyakit dan kecan­duan, tetapi pengetahuan itu sendiri mahal. Bush berkata: Otak manusia—sebuah massa sel-sel saraf seberat 3 pound yang mengen­da­likan aktivitas kita—adalah salah satu keajaiban
  • 25. penciptaan yang pa­ling mengagumkan… dan misterius. Sebagai tempat bersemayamnya kecer­dasan manusia, penafsir indera-indera, dan pengendali gerakan kita, organ ini senantiasa menggugah rasa ingin tahu para saintis dan kaum awam.3 Pemilihan waktu dekade ini sangat baik. Setelah lebih dari satu abad melakukan riset otak secara sistematik dengan berbagai metode, teknik-teknik baru seperti positron emission tomography (PET) dan magnetic resonance imaging (MRI) memungkinkan para ahli saraf untuk melihat ke dalam otak manusia yang sehat dan berfungsi. Mereka tidak perlu lagi mengandalkan hewan percobaan atau kasus langka kerusakan otak dan pembedahan yang tidak biasa. Pada intinya, penelitian tentang bagaimana tikus yang rusak- otak menemukan makanan, tidak dapat membantu kita memahami kesadaran manusia. Bahkan penelitian atas manusia yang rusak-otak tidak mem­berikan gambaran jelas tentang seperti apa sistem yang berfungsi—atau sistem yang telah berhasil memperbaiki dirinya sendiri atau meng­atasi suatu masalah—dengan baik itu. Namun, semua itu sedang ber­u­bah dengan cepat. Neurosains sedang menjadi isu panas. Pembawa acara televisi Larry King menyebut dekade 1990-an sebagai dekade otak. Tahun 1998, William J. Bennett yang merupakan ”tsar” obat-obatan George H.W. Bush bertanya, ”Apakah ahli saraf adalah Penguasa Alam Semesta yang baru?”4 Neurosains Saat Ini Otak mengandung 100 miliar sel—hampir sama banyaknya dengan jumlah bintang di galaksi Bima Sakti. Dan tiap-tiap sel dihubungkan oleh sinaps pada 100.000 sel lainnya. Sinaps-sinaps antar-sel terendam dalam hormon dan neurotransmiter yang mengubah transmisi sinyal-sinyal, dan sinaps-sinaps itu terus mewujud dan melarut, melemah dan menguat, sebagai respons terhadap pengalaman baru.5 —John Horgan, Discover 124 | T H E S PI R I T UA L BR A I N
  • 26. enam Menuju Sains Pikiran Nonmaterialis Dasar pikiran fundamental saya tentang otak adalah bahwa aktivitasnya—yang terkadang kita sebut ”pikiran”—merupakan konsekuensi dari anatomi dan fisiologinya; tidak lebih.1 —Carl Sagan, astronom dan penulis sains populer Kita menganggap materialisme-perjanjian sebagai takhayul tanpa fondasi rasional. Kian banyak yang kita pelajari tentang otak, kian jelas kita membedakan antara aktivitas otak dan fenomena mental, dan kian mengagumkan pula aktivitas otak dan fenomena mental itu. Materialisme-perjanjian hanyalah semacam keyakinan religius yang dipegang oleh kaum materialis dogmatik… yang sering merancukan agama mereka dengan sains mereka.2 —John Eccles dan Daniel N. Robinson, The Wonder of Being Human D apatkah sains pikiran nonmaterialis menjelaskan fakta-fakta hasil peng­amatan, lebih baik daripada sains pikiran materialis? Pada titik ini, kita dapat menjelaskan beberapa aspek pandangan nonmaterialis ten­tang pikiran. Walau tidak satu pun pandangan saat ini yang dapat men­jawab semua pertanyaan, pandangan nonmaterialis
  • 27. setidaknya dapat menjelaskan aspek-aspek pengalaman manusia yang kita ketahui, yang—sebagaimana kita lihat—tidak dapat dijelaskan dan sering di­ing­kari oleh pandangan materialis. Misalnya, pandangan nonmaterialis dapat menjelaskan riset neuro­imaging yang memperlihatkan subjek manusia dalam tindakan mengatur emosi diri dengan berkonsentrasi pada emosi itu. Hal itu dapat men­je­laskan efek plasebo (pil gula yang menyembuhkan pasien, jika si pasien yakin pil itu adalah obat mujarab). Pandangan nonmaterialis juga dapat memberikan penjelasan ilmiah atas berbagai fenomena membingungkan yang diabaikan oleh pandangan materialis. Pertama adalah psi, kemam­pu­an beberapa manusia untuk terus meraih angka di atas rata-rata da­lam penelitian terarah mengenai pengaruh mental terhadap berbagai peristiwa. Kedua adalah pernyataan, yang secara mengejutkan kerap dijumpai pada pasien trauma atau pasien bedah, bahwa mereka meng­alami suatu keawasan (kesadaran) mistikal yang mengubah hidup, ketika mereka berada dalam kondisi tidak sadar. Jika suatu pandangan nonmaterialis benar, pandangan itu pasti berguna di bidang terapan semisal kedokteran. Mari kita lihat beberapa buktinya. Neurosains Nonmaterialis di Dalam Kedokteran Otak selalu melakukan sesuatu yang berangkat dari gangguan- gangguan tidak sadar.3 —Daniel Dennet, filsuf materialis Sudah tiba waktunya bagi sains untuk menghadapi implikasi serius dari fakta bahwa aktivitas mental yang diarahkan dan dikehendaki dapat mengubah fungsi otak secara jelas dan sistematis.4 —Jeffrey M. Schwartz, psikiater Pendekatan nonmaterialis atas pikiran bukan hanya bisa di­ per­­tahankan secara filsafat; pendekatan itu juga penting untuk 152 | T H E S PI R I T UA L BR A I N
  • 28. tujuh Siapa yang Memperoleh Pengalaman Mistikal dan Apa Pemicunya? Studi mistikal—betapapun sederhananya, dan membawa apa yang dibawa oleh musik atau puisi, tetapi dengan tingkatan yang jauh lebih tinggi, yai­tu suatu sukacita ganjil di mana kita seolah-olah dibawa mendekat pa­da Sang Sumber—pada akhirnya berada di ambang rahasia yang selama ini kita coba ungkap. Simbol-simbol yang digunakan, kata-kata aktual yang dipakai, ketika kita analisis, tidak cukup untuk menjelaskan efek se­macam itu. Malahan, pesan-pesan dari diri transendental entitas lain yang terbangun, justru membangunkan diri kita yang lebih dalam.1 —William James, psikolog perintis di Amerika M istisisme termasuk kata yang paling disalahgunakan dalam ko­ sa­kata populer. Lebih dari seabad yang lalu, psikolog William James berkomen­tar bahwa kata mistisisme adalah julukan kejam yang dike­na­kan pada ”opini mana pun yang kita anggap tidak jelas, terlalu luas, sen­timental, ser­ta tanpa dasar fakta dan logika.”2 Lebih buruk lagi, me­nurut peneliti mis­tisisme Inggris Evelyn Underhill, mistisisme dianggap sebagai ”pem­be­naran untuk segala jenis okultisme
  • 29. (kepercayaan kepada kekuatan gaib, red.), transendentalisme ra­puh, sim­bol­isme hambar, sentimentalitas religius atau estetik, dan me­tafisika yang buruk. Di sisi lain, kata ini digunakan dengan bebas se­bagai hinaan oleh mereka yang mengkritik semua itu.”3 Jadi, apa sejatinya mistisisme itu? Untungnya abad lalu, sejumlah ilmuwan nonmistikus mulai mempelajarinya dengan serius. Mistisisme Sebagai Jalan Pengenalan Manfaat dari mengalihkan kemanusiaan kepada persepsi yang tepat tentang dunia adalah sukacita dari menemukan natur mental Alam Semesta. Kita tidak tahu apa yang diimplikasikan oleh natur mental ini, tetapi—hebat­nya—implikasi tersebut benar adanya.4 —Richard Conn Henry, fisikawan Pakar mistisisme pertengahan abad ke-20, W.T. Stace (1886–1967), bertanya-tanya apa ada kerancuan karakteristik khayali antara ”berkabut” dan ”mistisisme”. Kata mistisisme berasal dari kata Yunani (muo) yang ar­tinya ”menutupi”. Kabut menutupi, karena menghalangi penglihatan. Dalam pengertian itu, tidak ada yang berkabut tentang mistisisme.5 Mistikus serius akan mencari akses menuju level-level kesadaran yang ”tertutup” dalam kehidupan sehari-hari. Atau, mung­ kin lebih cocok dise­but terabaikan ketimbang tertutup. Level-level kesadaran yang tidak mem­bantu kita berkembang dalam karier atau relasi cenderung tidak digunakan. Kita tidak akan tahu apakah akses menuju level-level ini da­pat mengubah kita. Bagaimanapun, mengutip kalimat G.K. Chesterton, sesuatu yang se­cara kontradiktif banyak tidak diakui pasti memiliki beberapa nilai positif. Jadi, apa sesungguhnya mistisisme itu? Stace menjelaskan: Yang paling penting—karakteristik utama yang diamini oleh semua pengalaman mistikal yang sudah berkembang penuh, dan yang pada analisis terakhir sifatnya final dan berfungsi untuk membedakannya dari peng­alaman jenis lain—adalah bahwa pengalaman itu 220 | T H E S PI R I T UA L BR A I N
  • 30. del a pa n Apakah Pengalaman Religius, Spiritual, atau Mistikal Mengubah Hidup? Jadi, apa bukti eksperimental bahwa Tuhan itu buruk untuk Anda? Menu­rut Dawkins, telah diterima luas dalam komunitas ilmiah bahwa agama melumpuhkan manusia, mengurangi potensi pertahanan hidup dan kese­hat­­an. Walau begitu, riset empiris baru-baru ini menunjukkan adanya in­ter­aksi positif antara agama dan kesehatan. Bahwa ada jenis-jenis patologis dari keyakinan religius memang sudah diketahui; walau begitu, hal ini tidak menafikan perkiraan yang biasanya positif tentang pengaruh agama terhadap kesehatan mental, yang mengemuka dalam studi- studi berbasis bukti.1 —Alister McGrath, teolog D iwarnai gegap-gempita, direktur Center for Cognitive Studies di Tufts University, Daniel Dennett, menerbitkan buku Breaking the Spell: Religion as a Natural Phenomenon (2006). Pembahasannya tentang psikologi evo­lusioner dan meme disambut dengan puja-puji2 dan ratap- kutuk. Namun, ada perbedaan menarik dari apa yang mungkin terjadi satu dekade si­lam. Tentu saja, ia dikecam oleh kalangan sayap kanan. Misalnya, editor buku Adam Kirsch menantangnya di New York Sun:
  • 31. Pada inti agama yang sistematis, entah orang menerima atau menolaknya, ada kebenaran bahwa pengalaman metafisik merupakan bagian dari ke­hi­dupan manusia. Laporan memadai apa pun tentang agama harus bermula dari fakta fenomenologis ini. Karena Mr. Dennet mengabaikannya, mem­perlakukan agama sebaik-baiknya sebagai pengisi waktu orang bodoh, dan seburuk-buruknya sebagai sebuah sel penahan bagi kaum fanatik, ia tidak pernah benar-benar menemukan apa yang menurutnya ia tuliskan.3 Namun, dalam sebuah titik balik yang mengejutkan, upaya Dennett juga mengundang kritik dari sumber yang seharusnya jadi sekutunya. Ia dikecam dari sayap kiri. Leon Wieseltier, editor sastra The New Republic, menyebut karyanya sebagai ”evo-psychobabble” (omong kosong psikologi evolusioner—red.): ”Akhirnya nanti, penyangkalannya terhadap agama adalah penyangkalan terhadap filsafat…. Kesimpulan yang diambil oleh buku dangkal dan memuji diri sendiri ini adalah bahwa ada banyak man­tera yang perlu dipatahkan.”4 Begitu juga pada 2006, pakar materialisme Inggris Richard Dawkins memproduseri sebuah program televisi istimewa di Channel 4 tentang agama, The Root of All Evil? Dawkins menyatakan ketercengangannya bahwa agama memperoleh pijakan pada abad ke-21, dan menghubung­ kan­nya dengan fakta bahwa para orangtua dan guru menyampaikan keyakinan mereka pada anak-anak tentang Realitas Utama. Lagi-lagi, dalam Dawkins diserang dari sayap kiri dan sayap kanan. Roger Scruton mengkritik Dawkins dalam Spectator, bahwa… …lompatan iman itu sendiri—penyerahan hidup ke dalam pelayanan Tu­han—adalah lompatan yang melampaui batas rasionalitas. Ini tidak mem­buatnya tidak rasional, seperti halnya jatuh cinta itu tidak rasional. Seba­liknya, ini adalah penyerahan hati pada sebuah keyakinan, dan merupakan tawaran bagi kasih, kedamaian, dan pengampunan yang juga dicari oleh Daw­kins, karena ia, seperti halnya kita semua, diciptakan seperti itu.5 Namun, Madeleine Bunting, dari Guardian yang sayap kiri, tidak semurah hati Scruton. Mencemooh upaya TV Dawkins sebagai 280 | T H E S PI R I T UA L BR A I N
  • 32. sembil an Studi Karmelit: Sebuah Arah Baru? Lebih dari disiplin-disiplin ilmu lainnya, neurosains berada di titik temu antara filsafat modern dan sains. Jangan beri peluang pada siapa pun un­tuk memanfaatkan neurosains guna mendukung pandangan transenden ter­hadap dunia.1 —Zvani Rossetti, ahli saraf, menentang kuliah Dalai Lama Riset ini adalah kunci pertama bagi topik baru, dan Anda memang tidak bisa menghasilkan sains yang sempurna dalam kesempatan pertama. Anda ingin tahu tentang sesuatu, dan justru mengacaukannya. Itulah sains pa­da kesempatan pertama; Anda mengacaukannya.2 —Robert Wyman, neurobiolog, mendukung kuliah Dalai Lama Keyakinan saya untuk menjelajahi ranah sains terletak pada keyakinan saya bahwa seperti halnya di dalam sains, demikian pula di dalam Bud­dhisme, pemahaman akan natur realitas dicari dengan menggunakan sa­rana-sarana investigasi analitis.3 —Dalai Lama, The Universe in a Single Atom D alam newsletter musim semi 2005, Society for Neuroscience (komunitas neurosains) menyampaikan kabar menarik untuk pertemuan
  • 33. tahunan 2005 mendatang di Washington D.C.. Dalai Lama bersedia menjadi pem­bicara untuk pertama kalinya dalam mata kuliah tahunan ”Dialogues Between Neuroscience and Society”. Dalai Lama mendukung studi ilmiah mengenai kesadaran. Ini tidak mengejutkan karena kaum Buddhis telah mengolah topik ini selama dua setengah milenium.4 Lama yang sekarang selalu tertarik pada sains; ia menikmati persahabatan dengan orang-orang termasyhur seperti filsuf sains Karl Popper serta fisikawan Carl von Weizsäcker dan David Bohm. Dengan penuh semangat ia menerima alat-alat bantu riset neuro­sains yang baru. Ia juga turut mendirikan dan bertindak sebagai ketua kehormatan Mind and Life Institute, yang mensponsori riset neurosains dan dialog mendalam antara Buddhisme dan sains. Ia bahkan mendorong para bikkhunya untuk bersedia menjadi subjek riset. Tampaknya lama berusia 70 tahun ini merupakan pilihan yang tepat untuk membawakan kuliah neurosains dan masyarakat. Protes politis sudah diperkirakan bakal muncul. Dalai Lama, yang menerima Hadiah Nobel Perdamaian pada 1989, bukan hanya merupakan pemimpin Buddhisme Tibet, tetapi juga tokoh penting yang dihormati dalam gerakan pemerdekaan Tibet dari Tiongkok. (Ia melarikan diri dari tentara Tiongkok pada 1959 dan sejak itu berdiam di India.) Namun, presiden komunitas itu, Carol Barnes, dilanda gelombang protes yang tidak sekadar berbau politis. Sejumlah ahli saraf mendesak komunitas itu untuk menghapus kuliah tersebut, membatalkan studi neurosains seputar meditasi Buddhisme karena dinilai ”tidak lebih dari omong kosong belaka”.5 Sebuah petisi diajukan: Sungguh ironis melihat para ahli saraf menyediakan forum bagi penge­sah­an terselubung atas seorang pemimpin religius yang keabsahannya ber­gan­tung pada reinkarnasi—doktrin yang ber­ ten­tangan dengan lan­dasan utama neurosains. Dalai Lama (yang sekarang) dengan jelas-jelas me­nyatakan keterpisahan antara pikiran dan tubuh, yang penting bagi diakuinya Dalai Lama sebagai seorang pemimpin religius dan politik.6 310 | T H E S PI R I T UA L BR A I N
  • 34. sepuluh Apakah Tuhan Menciptakan Otak, Ataukah Otak Menciptakan Tuhan? Emosi terindah yang dapat kita alami adalah yang mistikal. Ini merupakan inti dari semua seni dan sains. Orang yang tidak memiliki emosi ini, yang tidak bisa lagi bertanya-tanya serta tertegun kagum, sama saja sudah mati.1 —Albert Einstein, fisikawan S ebagaimana telah kita baca di buku ini, para ahli saraf dan filsuf ma­terialis berpendapat bahwa pikiran, kesadaran, dan diri adalah produk-sam­ping dari berbagai proses elektrikal dan kimiawi otak, dan bahwa RSME ”bukanlah apa-apa kecuali” kondisi otak atau delusi yang dicipta­kan oleh aktivitas neural. Dengan demikian, mereka percaya bahwa tidak ada sumber spiritual bagi RSME—artinya, me­ reka menganggap otak manusialah yang menciptakan pengalam­ an-pengalaman ini, dan se­iring melakukannya, otak manusialah yang menciptakan Tuhan. Ka­rena buku ini menyajikan sanggahan atas pandangan-pandangan se­perti itu, adil rasanya jika kini saya memaparkan pandangan saya sen­diri. Sudah kita lihat bahwa RSME dan korelasi-korelasi neuralnya bukan merupakan bukti langsung dari eksistensi Tuhan dan dunia
  • 35. spiritual. Kemungkinan besar tidak ada yang dapat menyajikan bukti semacam itu pada seseorang yang memang bertekad menyangkal eksistensi Tuhan dan dunia spiritual. Bagaimanapun, mengungkap bahwa kondisi otak tertentu ada hubungannya dengan RSME tidak menunjukkan bahwa peng­alaman tersebut ”sekadar” kondisi otak biasa. Dan fakta bahwa RSME mengandung unsur-unsur neural bukan berarti pengalaman itu hanyalah ilusi. Pikiran dan emosi juga diasosiasikan dengan beberapa area dan sirkuit otak tertentu, tetapi hanya kaum materialis radikal yang akan berkata semua itu merupakan ilusi hanya karena memiliki pi­jakan neural. Neurosains materialis tidak bisa mereduksi pikiran, kesadaran, diri, dan RSME menjadi ”sekadar neurobiologi”. Saya pikir bukti yang ada men­dukung pandangan bahwa mereka yang mengalami RSME sungguh mengontak suatu ”kuasa” di luar diri mereka yang riil-objektif. Besar kemungkinan, bahkan hampir pasti, laporan-laporan lama ini (ten­tang pengalaman mistikal), yang diungkapkan dalam konteks perwahyuan supernatural, pada dasarnya merupakan pengalaman puncak manusia yang sepenuhnya alami, dari jenis yang bisa dengan mudahnya diuji pada ma­sa kini.2 —Abraham Maslow, psikolog Natur Psikologis Manusia Impuls transendental untuk berhubungan dengan Tuhan dan dunia spi­ritual mencerminkan salah satu kuasa paling mendasar dan kuat dalam diri Homo sapiens. Karena itu, RSME menunjuk pada suatu dimensi fundamental dari eksistensi manusia. Pengalaman tersebut berada di jan­tung agama-agama besar dunia. Tak heran, RSME sering dilaporkan ter­jadi di banyak budaya.3 Misalnya, jajak pendapat Gallup tahun 19904 yang meneliti fenomena RSME pada populasi dewasa Amerika meng­ung­kapkan bahwa lebih dari separuh (54%) responden menjawab ya un­tuk pertanyaan: Pernahkah Anda menyadari, 350 | T H E S PI R I T UA L BR A I N
  • 36. Daftar Pustaka AAftanas, L. I., A.A. Varlamov, S.V. Pavlov, V.P. Makhnev, dan N.V. Reva. ”Affective Picture Processing: Event-Related Synchronization Within Individually Defined Human Theta band Is Modulated by Valence Dimension”. Neuroscience Letters 303 (2001): 115–118. Alper, Matthew. The ”God” Part of the Brain: A Scientific Interpretation of Human Spirituality and God. New York: Rogue, 2001. Antony, M.M., dan R.P. Swinson. ”Specific Phobia”. Dalam M.M. Antony dan R.P. Swinson, editor, Phobic Disorder and Panic in Adults: A Guide to Assessment and Treatment. Washington, D.C. : American Psychological Association, 2000, hlm. 79–104. Arzy, S., M. Idel, T. Landis, dan O. Blanke. ”Why Have Revelation Occurred on Mountains? Linking Mystical Experiences and Cognitive Neuroscience”. Medical Hypotheses 65 (2005): hlm. 841–845. Aunger, Robert C., ed. Darwinizing Culture: The Status of Memetics as a Science. Oxford: Oxford Univ. Press, 2001. Bandura, A. ”Social Cognitive Theory: An Agentic Perspective”. Annual Review of Psychology 52 (2001): hlm. 1–26. Beauregard, M., J. Levésque, dan P. Bourgouin. ”Neural Correlates of Conscious Self- Regulation of Emotion”. Journal of Neuroscience 21(2001): RC165 (1–6). Beauregard, M., J. Levésque, dan V. Paquette. ”Neural Basis of Conscious and Voluntary Self-Regulation of Emotion”. Dalam M. Beauregard, ed., Consciousness, Emotional Self-Regulation and the Brain. Amsterdam: John Benjamins, 2004, hlm. 163–194. Beauregard, M., V. Paquette, M. Poulliot, dan J. Levésque. ”The Neurobiology of the Mystical Experience: A Quantitative EEG Study”. Society for Neuroscience 34th Annual Meeting, 23–27 October, 2004. San Diego, CA. Bell, J.S. Speakable and Unspeakable in Quantum Mechanics. Cambridge: Cambridge Univ. Press, 2004. Benson H., J.A. Dusek, B.Sherwood, P. Lam, C.F. Bethea, W. Carpenter, S. Levitsky, P.C. Hill, D.W. Clem, Jr., M.K. Jain, D. Drumel, S.L. Kopecky, P.S. Mueller, D. Marek, S. Rollins, dan P.L. Hibberd. ”Study of the Therapeutic Effects of Intercessory Prayer (STEP) in Cardiac Bypass Patients: A Multicenter Randomized Trial of Uncertainty and Certainty of Receiving Intercessory Prayer”. American Heart Journal 151.4 (April 2006): hlm. 934–942. 427
  • 37. Benson, Herbert, dan Marg Stark, Timeless Medicine: The Power and Biology of Belief. New York, Scribner, 1996. Berdyaev, Nicolas”.Freedom from Fear”. Times of India, 8 February, 2007. Berger, Peter. The Desecularization of the World. Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1999. Bibby, Reginald. The Poverty and Potential of Religion in Canada. Toronto: Irwin, 1987. Blanke, O., S. Ortigue, T. Landis, dan M. Seeck. ”Stimulating Illusory Own-Body Perceptions: The Part of the Brain That Can Induce Out-of-Body Experiences Has Been Located”. Nature 419 (2002): hlm. 269–270. Bloom, Howard. The Lucifer Principle: A Scientific Expedition into the Forces of History. New York: Atlantic Monthly Press, 1995. Blum, Deborah. Sex on the Brain: The Biological Differences Between Men and Women. New York: Viking, Penguin, 1997. Bobrow, Robert S. ”Paranormal Phenomena in the Medical Literature: Sufficient Smoke to Warrant a Search for Fire”. Medical Hypotheses 60.6 (2003): hlm. 864–868. Boswell, James. Life of Johnson. Diedit oleh R.W. Chapman dan J.D. Fleeman. Edisi lengkap. Oxford: Oxford Univ. Press, 1998, hlm. 929. Boyer, Pascal. Religion Explained: The Evolutionary Origins of Religious Thought. New York: Basic Books, 2001. Brodie, Richard. Virus of the Mind: The New Science of the Meme. Seattle: Integral Press, 1996. Brody, A.L., S. Saxena, P. Stoessel, L.A. Gillies, L.A. Fairbanks, S. Alborzian, M.E. Phelps, S.C. Huang, H.M. Wu, M.L. Ho, M.K. Ho, S.C. Au, K. Maidment, dan I.R. Baxter, Jr. ”Regional Brain Metabolic Changes in Patients with Major Depression Treated with Either Paroxetine or Interpersonal Therapy: Preliminary Findings”. Archives of General Psychiatry 58 (2001): hlm. 631–640. Brown, Geoffrey. Minds, Brains and Machines. New York: St. Martin’s Press, 1989. Buchanan, Mark. ”Charity Begins at Homo sapiens”. New Scientist, 12 Maret, 2005. Bucke, R.M. Cosmic Consciousness: A Study in the Evolution of the Human Mind. New Hyde park, NY: Univ. Books, 1961. Aslinya diterbitkan pada 1901. Buller, D.J. ”Evolutionary Psychology: The Emperor’s New Paradigm”. Trends in Cognitive Science 9.6 (Juni 2005): hlm. 277–283. Byrd, R.C. ”Positive Therapeutic Effects of Intercessory Prayer in a Coronary Care Unit Population”. Southern Medical Journal 81.7 (Juli 1988): hlm. 826–829. Cairn-Smith, A.G. Seven Clues to the Origin of Life. Cambridge: Cambridge Univ. Press, 1985. Changeux, Jean-Pierre. Neuronal Man: The Biology of Mind. Diterjemahkan oleh Laurence Garey. New York: Oxford Univ. Press, 1985. Cheyne, J.A. ”The Ominous Numinous: Sensed Presence and ‘Other’ Hallucinations”. Journal of Consciousness Studies 8, no. 5–7 (2001). Churchland, Patricia Smith, Brain-Wise: Studies in Neurophilosophy. Cambridge, MA: MIT Press, 2002. Cotton, Ian. The Hallelujah Revolution: The Rise of the New Christians. London, Prometheus, 1996. 428 | T H E S PI R I T UA L BR A I N
  • 38. Crick, Francis. The Astonishing Hypothesis: The Scientific Search for the Soul. New York: Simon Schuster, Touchstone, 1995. Dawkins, Richard. The Selfish Gene. New York: Oxford Univ. Press, 1989. De la Fuente-Fernández, R., Thomas J. Ruth, Vesna Rossi, Michael Schulzer, Donald B. Calne, dan A.J. Stoessl. ”Expectant and Dopamine Release: Mechanism of the Placebo Effect in Parkinson’s Disease”. Science 293 (10 Agustus 2001): hlm. 1164–1166. Decety, J. ”Do Imagined and Executed Action Share the Same Substrate?” Brain Research: Cognitive Brain Research 3 (1996): hlm. 87–93. Dembski, William A. No Free Lunch: Why Specified Complexity Cannot Be Purchased Without Intelligence. Lanham, MD: Rowman Littlefield, 2002. Dennett, Daniel C. Kinds of Minds: Toward an Understanding of Consciousness. New York: Basic Books, 1996. Denton, Michael J. Nature’s Destiny: How the Laws of Biology Reveal Purpose in the Universe. New York: Free Press, 1998. D’Espagnat, Bernard. Reality and the Physicist: Knowledge, Duration, and the Quantum World. Cambridge: Cambridge Univ. Press, 1989. Aslinya diterbitkan dalam bahasa Prancis sebagai Une Incertaine realite. Devinsky, O. ”Religious Experiences and Epilepsy”. Epilepsy Behavior 4 (2003): hlm. 76–77. Dewhurst, K. dan A.W. Beard. ”Sudden Religious Conversions in Temporal Lobe Epilepsy”. Epilepsy Behavior 4 (2003). Eccles, Sir John, dan Daniel N. Robinson. The Wonder of Being Human: Our Brain and Our Mind. New York: Free Press, 1984. Edelman, Gerald M. dan Giulio Tononi. A Universe of Consciousness: How Matter Becomes Imagination. New York: Basic Books, 2000. Felician, O., M. Ceccaldi, M. Didic, C. Thinus-Blanc, dan M. Poncet. ”Pointing to Body Parts: A Double Dissociation Study”. Neuropsychologia 41 (2003): hlm. 1307–1316. Felten, David L. dan Ralph E. Józefowics. Netter’s Atlas of Human Neuroscience. Teterboro, NJ: Icon Learning Systems, 2003. Ferris, Timothy. A State-of-the-Universe(s) Report. New York: Simon Schuster, Touchstone, 1997. Flory, Richard W. ”Promoting a Secular Standard: Secularization and Modern Journalism, 1870–1930”. Dalam Christian Smith, ed., The Secular Revolution: Power, Interest, and Conflict in the Secualrization of American Public Life. Berkeley dan Los Angeles: Univ. of California Press, 2003. Frazer, James George. The Golden Bough. Diedit oleh Mary Douglas. Diringkaskan oleh Sabine McCormack. London: Macmillan, 1978. Gellman, Jerome. ”Mysticism”. Dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy. Diedit oleh Edward N. Zalta. Musim semi 2005. http://plato.stanford.edu/archives/spr2005/ entries/mysticism/. Giovannoli, Joseph. The Biology of Belief: How Our Biology Biases Our Beliefs and Perceptions. New York: Rosetta, 2000. Da f ta r P u s ta k a | 429
  • 39. Gonzales, Guillermo, dan Jay W. Richards. Privileged Planet: How Our Place in the Cosmos Is Designed for Discovery. Washington, DC: Regnery, 2004. Gorman, J. M., J. M. Kent, G. M. Sullivan, dan J.D. Kaplan. ”Neuroanatomical Hypothesis of Panic Disorder, Revised”. American Journal of Psychiatry 157 (2000): hlm. 493–505. Granqvist, Pehr, Mats Fredrikson, Dan Larhammer, Marcus Larsson, dan Sven Valind. ”Sensed presence and mystical experiences are predicted by suggestibility, not by application of transcranial magnetic fields”. Neuroscience Letters, doi:10.1016/j. Neulet.2004.10.057 (2004). Grant, George. Lament for a Nation: The Defeat of Canada Nationalism. Don Mills: Oxford Univ. Press Kanada, 1970. Greyson, Bruce dan Nancy E. Bush. ”Distressing Near-Death Experiences”. Psychiatry 55.1 (Februari 1992): hlm. 95–110. Gross, Francis L., Jr. bersama Toni L. Gross. The Making of a Mystic: Seasons in the Life of Teresa of Avila. Albany: State Univ. of New York Press, 1993. Grossman, N. ”Who’s Afraid of Life After Death?” Journal of Near-Death Studies 21.1 (Musim gugur 2002). Halgren E., R.D. Walter, D.G. Cherlow, dan P.H. Crandall. ”Mental Phenomena Evoked by Electrical Stimulation of the Human Hippocampal Formation and Amygdala”. Brain 101.1 (1978): hlm. 83–117. Hamer, Dean. The God Gene: How Faith Is Hardwired into Our Genes. New York: Doubleday, 2004. Hanscomb, Alice dan Liz Hughes. Epilepsy. London: Ward Lock, 1995. Hansen, B.A., dan E. Brodtkorb. ”Partial Epilepsy with ‘Ecstatic’ Seizures”. Epilepsy Behaviour 4 (2003): hlm. 667–673. Hardy, Alister. The Spiritual Nature of Man. Oxford: Clarendon, 1979. Harris, Sam. The End of Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason. New York: Norton, 2004. Harris, William S., Manohar Gowda, Jerry W. Kolb, Christopher P. Strychaz, James L. Hacek, Phillip G. Jones, Alan Forker, James H. O’Keefe, dan Ben D. McCallister. ”A Randomized, Controlled Trial of the Effects of Remote, Intercessory Prayer on Outcomes in Patients Admitted to the Coronary Care Unit”. Archives of Internal Medicine 159 (1999): hlm. 2273–2278. Harth, Erich. The Creative Loop: How the Brain Makes a Mind. Reading, MA: Addison- Wesley, 1993. Hawkings, Stephen. The Illustrated A Brief History of Time. Rev. ed. New York: Bantam, 1996. Hawkley, L., dan J. Cacioppo. ”Loneliness Is a Unique Predictor of Age-Related Differences in Systolic Blood Pressure”. Psychology and Aging 21.1 (Maret 2006): hlm. 152–164. Helm H.M., J.C. Hays, E.P. Flint, H.G. Koenig, dan D.G. Blazer. ”Does Private Religious Activity Prolong Survival: A Six-Year Follow-up Study of 3.851 Older Adults”. Journals of Gerontology. Series A, Biological and Medical Sciences. 55 (2000): hlm. M400–405. 430 | T H E S PI R I T UA L BR A I N
  • 40. Hobson, J. Allan. The Chemistry of Conscious States: How the Brain Changes Its Mind. Boston: Little, Brown, 1994. Hofstadter, Douglas R., dan Daniel C. Dennett. The Mind’s I: Fantasies and Reflections on Self and Soul. New York: Basic Books, 2000. Hooper, Judith, dan Dick Teresi. The 3-Pound Universe. New York: Macmillan, 1986. Horgan, John. The Undiscovered Mind: How the Human Brain Defies Replication, Medication and Explanation. New York: Free Press, 1999. Hróbjartsson, A., dan P. Götzsche. ”Is the Placebo Powerless? An Analysis of Clinical Trials Comparing Placebo with No Treatment”. New England Journal of Medicine 344, no. 21 (24 Mei 2001). Hughes, J.R. ”Emperor Napoleon Bonaparte: Did He Have Seizures? Psychogenic or Epileptic or Both?” Epilepsy Behavior 4 (2003): hlm. 793–796. ________, ”Dictator Perpetuus: Julius Caesar: Did He Have Seizures? If So, What Was the Etiology?” Epilepsy Behavior 5 (2004): hlm. 756–764. ________, ‘Alexander of Macedon: The Greatest Warrior of All Times: Did He Have Seizures? Epilepsy Behavior 5 (2004): hlm. 765–767. _________, ”Did All Those Famous People Really Have Epilepsy?” Epilepsy Behavior 6 (2005): hlm. 115–139. _________, ”A Reappraisal of the Possible Seizures of Vincent van Gogh”. Epilepsy Behavior 6 (2005): hlm. 504–510. _________, ”The Idiosyncratic Aspects of the Epilepsy of Fyodor Dostoevsky”. Epilepsy Behavior 7 (2006): hlm. 531. Huxley, Aldous. The Perennial Philosophy. New York: Harper and Brothers, 1945. ______, The Doors of Perception. New York: Harper Row, 1954. Ingram, Jay. The Theatre of the Mind: Raising the Curtain on Consciousness. Toronto: HarperCollins, 2005. Isaacson, Walter. ”In Search of the Real Bill Gates”. Time, 5 January 1997. James, William. The Varieties of Religious Experience. New York: Random House, 1902. Jeans, J. The Mysterious Universe. London: AMS Press, 1933. Johnson, Phillip E. Darwin on Trials. Downer’s Grove, IL: InterVarsity Press, 1993. Kimura, Doreen. Sex and Cognition. Cambridge, MA: MIT Press, 2000. Kubota, Y., W. Sato, M. Toichi, T. Murai, T. Okada, A. Hayashi, dan A. Sengoku. ”Frontal Midline Theta Rythm Is Correlated with Cardiac Autonomic Activities During the Performance of an Attention Demanding Meditation Procedure”. Brain Research: Cognitive Brain Research 11.2 (2001): hlm. 281–287. Kuhn, Thomas. The Structure of Scientific Revolution. Ed. Ke-2. Chicago: Univ. of Chicago Press, 1970. Larson, Edward J., dan Larry Witham. ”Leading Scientists Still Rejects God”. Nature 394 (1998): hlm. 313. Levésque, J., F. Eugene, Y. Joanette, V. Paquette, M. Boualem, G. Beaudoin, J-M. Leroux, P. Bourgouin, dan M. Beauregard. ”Neural Circuitry Underlying Voluntary Suppression of Sadness”. Biological Psychatry 53 (2003): hlm. 502–510. Da f ta r P u s ta k a | 431
  • 41. Levésque, J., F. Eugene, Y. Joanette, B. Mensour,G. Beaudoin, J-M. Leroux, P. Bourgouin, dan M. Beauregard. ”Neural Basis of Emotional Self-Regulation in Childhood”. Neuroscience 129 (2004): hlm. 361–369. Levin, Jeff, dan Harold G. Koenig, ed. Faith, Medicine, and Science: A Fetschrift in Honor of Dr. David B. Larson. York: New Haworth, 2005. Lewis, C.S. The Abolition of Man. London: Collins, 1978. Lewis, C.S. The Four Loves. Glasgow: William Collins Sons Co., [1960] 1979, hlm. 67. Lewis, C.S. The Problem of Pain. New York: Simon Schuster, Touchstone, 1996. Lusting, Abigail, Robert J. Richards, dan Michael Ruse. Darwinian Heresies. Cambridge, MA: Cambridge Univ. Press, 2004. Lutz Antoine, Lawrence L. Greischar, Nancy B. Rawlings, Matthieu Ricard, dan Richard J. Davidson. ”Long-Term Meditators Self-Induce High-Amplitude Gamma Synchrony During Mental Practice”. Proceedings of the National Academy of Sciences, USA 101, no. 46 (16 November 2004): hlm. 16369–16373. Malin, Shimon. Nature Loves to Hide: Quantum Physics and the Nature of Reality, a Western Perspective. Oxford: Oxford Univ. Press, 2001. Marks, Jonathan, What It Means to Be 98 Percent Chimpanzee: Apes, People, and Their Genes. Berkeley dan Los Angeles: Univ. of California Press, 2002. Maslow, Abraham. Religious Aspects of Peak-Experiences. New York: Harper Row, 1970. May, Gerald G. The Dark Night of the Soul. San Francisco: HarperSanFrancisco, 2004. McGrath, Alister. Dawkins’s God: Genes, Memes, and the Meaning of Life. Oxford: Blackwell, 2005. McGreal, Wilfrid. John of the Cross. London: HarperCollins, 1996. McRae, C., E. Cherin, T.G. Yamazaki, G. Diem, A.H. Vo, D. Russel, J.H. Ellgring dkk. ”Effects of Perceived Treatment on Quality of Life and Medical Outcomes in a Double-Blind Placebo Surgery Trial”. Archives of General Psychiatry 61 (2004): ha;. 412–420. Merton, Robert K. ”Science and the Social Order”. Philosophy of Science 5 no. 3 (Juli 1938): hlm. 321–337. Midgeley, Mary. The Myths We Live By. London: Routledge, 2003. Minsky, Marvin. Society of Mind. New York: Simon Schuster, 1988, hlm. 306. Mitcham, Carl, dan Alois Huning, ed. Philosophy and Technology II: Information Technology and Computers in Theory and Practice. Vol. 2, Hasil terseleksi dari suatu Konferensi Internasional yang diadakan di New York, 3–7 September, 1983, dan diorganisir oleh Philosophy Technology Studies Center of the Polytechnic Institute of New York bersama Society for Philosophy and Technology. New York: Springer, 1986, hlm. 169. Morse, M., dan P. Perry, Transformed by the Light. New York: Ballantine, 1992. Neggers, S. F., R.H. Van der Lubbe, N.F. Ramsey, dan A. Postma. ”Interactions Between Ego- and Allocentric Neuronal Representations of Space”. Neuroimage (2006). 432 | T H E S PI R I T UA L BR A I N
  • 42. Newberg, A., A. Alai, M. Baime, M. Pourdehnad, J. Santana, dan E.G. D’Aquili. ”The Measurement of Regional Cerebral Blood Flow During the Comlex Cognitive Task of Meditation: A Preliminary SPECT Study”. Psychiatry Research: Neuroimaging 106 (2001): hlm. 113–122. Newberg, A., M. Pourdehnad, A. Alavi, dan E.G. D’Aquili. ”Cerebral Blood Flow During Meditative Prayer: Preliminary Findings and Methodological Issues”. Perceptual and Motor Skills 97 (2003): hlm. 625–630. Newberg, Andrew, Eugene D’Aquili, dan Vincent Rause. Why God Won’t Go Away: Brain Science and the Biology of Belief. New York: Ballantine, 2001. O’Leary, Denyse. By Design or By Chance? The Growing Controversy on the Origins of Life in the Universe. Minneapolis: Ausburg, 2004. Ornstein, Robert. The Evolution of Consciousness: The Origins of the Way We Think. New York: Simon Schuster, 1991. _______, The Right Mind: Making Sense of the Hemispheres. New york: Harcourt, Brace, 1997. Otto, Rudolf. The Idea of the Holy. Diterjemahkan oleh John W. Harvey. London: Oxford Univ. Press, 1971. Paquette, V., J. Levésque, B. Mensour, J-M Leroux, G. Beaudoin, P. Bourgouin, dan M. Beauregard. ”Change the Mind and You Change the Brain: Effects of Cognitive- Behavioral Therapy on the Neural Correlates of Spider Phobia”. Neuroimage 18.2 (Februari 2003): hlm. 401–409. Pargament, Kenneth I., H.G. Koenig, N. Tarakeshwar, J. Hahn. ”Religious Struggle as a Predictor of Mortality Among Medically Ill Elderly Patients”. Archives of Internal Medicine 161 (13/27 Agustus 2001): hlm. 1881–1885. Parnia, S. dan P. Fenwick. ”Near-Death Experiences in Cardiac Arrest: Visions of a Dying Brain or Visions of a New Science of Consciousness”. Resuscitation 52 (2002): hlm. 5–11. Peacock, Judith. Epilepsy. Mankato, MN: Capstone, 2000. Pelletier, M., A. Bouthillier, J. Levésque, S. Carrier, C. Breault, V. Paquette, B. Mensour, J-M Leroux, G. Beaudoin, P. Bourgouin, dan M. Beauregard. ”Separate Neural Circuits for Primary Emotions? Brain Activity During Self-Induced Sadness and Happiness in Professional Actors”. Neuroreport 14.8 (11 Juni 2003): hlm. 1111–1116. Penfield, Wilder. Second Thoughts: Science, the Arts, and the Spirit. Toronto: McClelland and Stewart, 1970. Persinger, M. ”Religious and Mystical Experience as Artifacts of Temporal-Lobe Function: A General Hypothesis”. Perceptual and Motor Skills 57 (1983): hlm. 1255–1262. Persinger, M.A., dan F. Healey. ”Experimental Facilitation of the Sensed Presence: Possible Intercalation Between the Hemispheres Induced by Complex Magnetic Fields”. Journal of Nervous and Mental Diseases 190 (2002): hlm. 533–541. Pettit, Paul. ”When Burial Begins”. British Archaeology 66 (Agustus 2002). Pinker, Steven. How the Mind Works. New York: Norton, 1997. Da f ta r P u s ta k a | 433
  • 43. Radin, Dean. The Conscious Universe: The Scientific Truth of Psychic Phenomena. San Francisco: HarperSanFrancisco, 2007. Ramachandran, V.S., dan Sandra Blakeslee. Phantoms in the Brain: Probing the Mystery of the Human Mind. New York: Morrow, 1998. Ratzsch, Del. The Battle of Beginnings: Why Neither Side Is Winning the Creation-Evolution Debate. Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 1996. Restak, Richard. The Brain Has a Mind of Its Own: Insight from a Practicing Neurologist. New York: Harmony, 1991. Ring, K., dan M. Lawrence. ”Further Evidence for Veridical Perception During Near- Death Experiences”. Journal of Near-Death Studies 11.4 (1993): hlm. 223–229. Rohrbach, Peter-Thomas. Journey to Carith: The Story of the Carmelite Order. Garden City, NY: Doubleday, 1966. Rose, Hilary, dan Steven Rose. Alas, Poor Darwin: Arguments Against Evolutionary Psychology. London: Random House, Vintage, 2001. Ruse, Michael. The Evolution Wars: A Guide to the Debate. Santa Barbara, CA: ABC-CLIO, 2000. Russel, Bertrand. ”Quotes on Determinism”, The Society of Natural Science, http:// www.determinism.com/quotes.shtml (diakses 27 Mei 2007). Sabom, Michael. Light and Death: One Doctor’s Fascinating Account of Near-Death Experiences. Grand Rapids, MI: Zondervan, 1998. Sagan, Carl. The Dragons of Eden: Speculations on the Nature of Human Intelligence. New York: Random House, 1977. _______, The Demon Haunted World: Science as a Candle in the Dark. New York: Ballantine, 1996. Salzman, Mark. Lying Awake. New York: Knopf, 2000. Saver, J. L., dan John Rabin. ”The Neural Substrates of Religious Experience”. Journal of Neuropsychiatry and Clinical Neurosciences 9 (1997): hlm. 498–510. Sawyer, Robert J. The Terminal Experiments. New York: HarperCollins, 1995. Schwartz, J.M., H. Stapp, dan M. Beauregard. ”Quantum Theory in Neuroscience and Psychology: A Neurophysical Model of Mind/Brain Interaction”. Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences 360 (2005): hlm. 1309–1327. Schwartz, Jeffrey M., dan Sharon Begley. The Mind and the Brain: Neuroplasticity and the Power of Mental Force. New York: HarperCollins, Regan Books, 2003. Searle, John R. Mind: A Brief Introduction. Oxford: Oxford Univ. Press, 2004. Smith, A., dan C. Tart. ”Cosmic Consciousness Experience and Psychedelic Experiences: A First-Person Comparison”. Journal of Consciousness Studies 5, no. 1 (1998): hlm. 97–107. Soeling, Casper, dan Eckert Voland. ”Toward an Evolutionary Psychology of Religiosity”. Neuroendocrinology Letters, Human Ethology Evolutionary Psychology 23, suppl. 4 (Desember 2002). Spiegel, Herbert, dan David Spiegel. Trance and Treatment: Clinical Use of Hypnosis. New York, Basic Books: 1978. 434 | T H E S PI R I T UA L BR A I N
  • 44. Spilka, B., B. Hunsberger, R. Gorsuch, dan R.W. Hood, Jr. The Psychology of Religion: An Empirical Approach. Ed. Ke-3. New York: Guilford, 2003. Stace, W.T. The Teachings of the Mystics. New York: Macmillan, 1960. Stove, David. Darwinian Fairytales. Aldershot, UK: Avebury, 1995. Takahashi, T., T. Murata, T. Hamada, M. Omori, H. Kosaka, M. Kikuchi, H. Yoshida, dan Y. Wada. ”Changes in EEG and Autonomic Nervous Activity During Meditation and Their Association with Personality Traits”. International Journal of Psychophysiology 55.2 (Februari 2005): hlm. 199–207. Temple, R. ”Implications of Effects in Placebo Groups”. Journal of the National Cancer Institute 95, no. 1, 2–3 (1 Januari 2003). Teresa of Avila. The Interior Castle. Diterjemahkan oleh Mirabai Starr. New York: Riverhead, 2003. Tierney, Patrick. Darkness in El Dorado: How Scientists and Journalists Devastated the Amazon. New York: Norton, 2000. Underhill, Evelyn. Mysticism: A Study in the Nature and Development of Man’s Spiritual Consciousness. New York: New American Library/Meridian, 1974. Van Lommel, P. ”About the Continuity of Our Consciousness”. Dalam Brain Death and Disorders of Consciousness. Diedit oleh Calixto Machado dan D. Alan Shewmon. New York: Kluwer Academic/Plenum, 2004. Vercors [Jean Bruller], You Shall Know Them. Diterjemahkan oleh Rita Barisse dari aslinya Les Animaux Denatures. Toronto: McClelland Stewart, 1953. Wackermann, Jiøí, Christian Seiter, Holger Keibel, dan Harald Wallach. ”Correlations Between Brain Electrical Activities of Two Spatially Separated Human Subjects”. Neuroscience Letters 336 (2003): hlm. 60–64. Wager, Tor D., James K. Rilling, Edward E. Smith, Alex Sokolik, Kenneth L. Casey, Richard J. Davidson, Stephen M. Kosslyn, Robert M. Rose, dan Jonathan D. Cohen. ”Placebo Induced Changes in fMRI in the Anticipation and Experience of Pain”. Science 303, no. 5661 (20 Februari 2004): hlm. 1162–1167. Wallace, B. Alan. The Taboo of Subjectivity: Toward a New Science of Consciousness. Oxford: Oxford Univ. Press, 2000. Wallach, Harald, dan Stefan Schmidt. ”Repairing Plato’s Life Boat with Ockham’s Razor: The Important Function of Research in Anomalies for Consciousness Studies”. Journal of Consciousness Studies 12, no. 2 (2005): hlm. 52–70. Wildman, Derek E., Monica Uddin, Guozhen Liu, Lawrence I. Grossman, dan Morris Goodman. ”Implications of Natural Selection in Shaping 99.4% Nonsynonymous DNA Identity Between Human and Chimpanzees: Enlarging Genus Homo”. Proceedings of the National Academy of Sciences 100 (2003): hlm. 7181–7188. Wilson, David Sloan. Darwin’s Cathedral: Evolution, Religion, and the Nature of Society. Chicago: Univ. of Chicago Press, 2002. Wilson, Edward O. Sociobiology. Ed. Ringkas. Cambridge, MA: Harvard Univ. Press, 1980. _______, Consilience: The Unity of Knowledge. New York: Random House, 1998.[] Da f ta r P u s ta k a | 435