Buku ini membahas temuan riset neurosains terhadap pengalaman spiritual para biarawati Karmelit di Université de Montréal yang menunjukkan bahwa kondisi kesadaran mistikal itu nyata ada dan melibatkan kompleksitas aktivitas otak, bukan sekadar ilusi atau aktivitas otak sederhana."
3. Daftar Isi
Prakata vii
Pendahuluan ix
satu Menuju Neurosains Spiritual 1
dua Apakah Program Tuhan Itu Ada? 51
tiga Apakah Modul Tuhan Benar Ada? 71
empat Kasus Ganjil Helm Tuhan 97
lima Apakah Pikiran dan Otak Identik? 123
enam Menuju Sains Pikiran Nonmaterialis 151
tujuh Siapa yang Memperoleh Pengalaman Mistikal
dan Apa Pemicunya? 219
delapan Apakah Pengalaman Religius, Spiritual,
atau Mistikal Mengubah Hidup? 279
sembilan Studi Karmelit: Sebuah Arah Baru? 309
sepuluh Apakah Tuhan Menciptakan Otak,
Ataukah Otak Menciptakan Tuhan? 349
Daftar Istilah 357
Catatan Akhir 365
Daftar Pustaka 427
4. Prakata
T erima kasih pada mahasiswa doktoral saya: Johanne Lévesque,
Élisabeth Perreau-Linck, dan Vincent Paquette. Riset mereka
tentang pencitraan otak mereka tersaji dalam buku ini.
Terima kasih pada The Natural Sciences and Engineering Research
Council of Canada (NSERC), The Metanexus Institute, dan John Templeton
Foundation, yang telah memberikan dukungan finansial. Tanpa
dukungan tersebut, riset Karmelit ini akan sulit terlaksana.
Susan Arellano, agen literatur kami, pantas mendapatkan ucapan
terima kasih kami karena efisiensinya yang begitu tinggi.
Kami ingin berterima kasih pada Eric Brandt, editor kami di
HarperOne, atas saran editorialnya yang bijak, juga pada editor
produksi Laurie Dunne dan editor bahasa Ann Moru atas keteram
pilan, kesabaran, dan pengertian mereka. Kami juga memuji karya
Pierre-Alexandre Lévesque seputar visual otak manusia.
Terakhir, saya berterima kasih pada istri saya Johanne dan anak-
anak saya, Audrey dan Marc-Antoine, atas cinta serta pengertian
mereka.
—Mario Beauregard
vii
5. S aya berterima kasih pada ayah saya, John Patrick O’Leary, yang se
panjang hayatnya mempertahankan gagasan pentingnya seputar
peradaban, mendorong saya untuk terjun ke dalam proyek ini dan
proyek-proyek sejenis, juga pada ibu saya, Blanche O’Leary, yang tidak
pernah sedikit pun mengeluh karena hidup bersama seorang penulis
yang sedang bergiat menggarap buku, serta telah memberikan bantuan
yang tiada terkira.
—Denyse O’Leary
viii | T H E S PI R I T UA L BR A I N
6. Pendahuluan
P ada awal saya dan mahasiswa doktoral saya Vincent Paquette
mempelajari pengalaman spiritual para biarawati Karmelit di
Université de Montréal, kami sadar ada kemungkinan besar motif
kami disalahpahami.
Kami harus terlebih dulu meyakinkan mereka betapa kami tidak
sedang berupaya membuktikan bahwa pengalaman religius mereka
tidak sungguh terjadi, bahwa semua itu hanya delusi, atau bahwa ada
yang tidak beres dengan otak mereka. Lalu, kami harus mengubur
harapan kaum ateis profesional dan ketakutan para rohaniwan bahwa
kami sedang mencoba mengurangi bobot dari pengalaman ini menjadi
semacam ”saklar Tuhan” di dalam otak.
Banyak ahli saraf ingin melakukannya. Namun, saya dan Vincent
termasuk minoritas—ahli saraf nonmaterialis. Sebagian besar saintis
sekarang ini adalah kaum materialis yang percaya bahwa dunia fisik
adalah satu-satunya realitas. Semua hal lainnya—pikiran, perasaan,
akal budi, dan kehendak bebas—bisa dianggap sebagai materi dan
fenomena fisik, tanpa menyingkirkan kemungkinan bahwa peng
alaman religius dan spiritual bukanlah ilusi. Kaum materialis itu
ibarat tokoh rekaan Charles Dicken, yaitu Ebeneezer Scrooge, yang
menganggap pengalamannya dengan Marley hantu hanya sebagai
”sepotong bistik tak tercerna, seciprat monster, sebongkah keju,
sepotong kentang kurang matang”.
Di lain pihak, saya dan Vincent tidak melandaskan riset pada pan
dangan materialis seperti itu. Karena kami bukan materialis, secara
prinsip kami tidak meragukan bahwa seorang yang berkontemplasi
ix
7. bisa mengontak realitas di luar dirinya melalui pengalaman mistikal.
Bahkan, saya terjun ke dalam neurosains sebagian karena memahami
bahwa hal-hal semacam itu bisa sungguh terjadi. Saya dan Vincent
hanya ingin tahu apa saja yang berkaitan dengan neural (aktivitas sel
saraf) selama pengalaman mistikal terjadi. Dengan adanya dominasi
materialisme di dalam neurosains dewasa ini, kami beruntung para
biarawati itu memercayai ketulusan kami dan bersedia membantu,
dan bahwa Templeton Foundation melihat nilai penting dari pendanaan
atas riset kami.
Tentu Anda bisa bertanya, Apakah riset neurosains terhadap para
biarawati kontemplatif itu dapat membuktikan bahwa Tuhan ada? Tidak,
tetapi riset neurosains bisa—dan sungguh bisa—menunjukkan bahwa
kondisi kesadaran mistikal itu nyata ada. Dalam kondisi ini, seorang
yang berkontemplasi berpeluang besar mengalami aspek-aspek
realitas yang tidak ada di dalam kondisi lainnya. Temuan riset ini
menyingkirkan tesis materialis bahwa seorang yang berkontemplasi
telah memalsukan atau mengarang pengalamannya. Saya dan Vincent
membuktikan pengalaman mistikal juga bersifat kompleks—penemuan
yang menantang berbagai penjelasan materialis simplistik seperti ”gen
Tuhan”, ”ranah Tuhan”, atau ”saklar Tuhan” di dalam otak kita.
Saya dan Denyse O’Leary, jurnalis dari Toronto, menulis buku ini
guna membahas arti penting riset ini, dan secara umum melakukan
pendekatan yang lebih neurosaintifik untuk memahami pengalaman
religius, spiritual, dan mistikal. Saat ini neurosains bersifat materialis,
yakni mengasumsikan bahwa pikiran hanyalah salah satu aktivitas
fisik otak. Untuk memahami artinya, pikirkan kalimat sederhana ini:
”Aku menetapkan pikiranku untuk membeli sebuah sepeda” (I made
up my mind to buy a bike). Orang tidak akan berkata, ”Aku menetapkan
otakku untuk membeli sebuah sepeda” (I made up my brain to buy
a bike). Sebaliknya, orang bisa berkata, ”Helm sepeda mencegah
kerusakan otak” (Bike helmets prevent brain damage), tetapi ia tidak
berkata, ”Helm sepeda mencegah kerusakan pikiran” (Bike helmets
prevent mind damage). Namun, kaum materialis menilai perbedaan
yang Anda tetapkan antara pikiran sebagai entitas nonmaterialis dan
| T H E S PI R I T UA L BR A I N
8. otak sebagai organ tubuh, tidak memiliki dasar riil. Pikiran dianggap
ilusi belaka yang dihasilkan oleh aktivitas otak. Beberapa materialis
bahkan beranggapan Anda tidak boleh menggunakan istilah yang
mengimplikasikan bahwa pikiran Anda ada.
Di buku ini, kami ingin menunjukkan bahwa pikiran Anda ada,
bahwa pikiran itu bukan sekadar otak. Pikiran dan perasaan Anda tidak
dapat disingkirkan atau dijelaskan begitu saja sebagai sinaps-sinaps
yang bekerja dan sebagai fenomena fisik. Di dunia yang hanya materi
saja ini, ”kehendak bebas (free will)” atau ”pikiran yang mengendalikan
materi (mind over matter)” adalah ilusi; tidak ada yang namanya tujuan
atau makna, tidak ada ruang untuk Tuhan. Hanya saja, banyak orang
telah mengalaminya, dan kami menyajikan bukti bahwa pengalaman
itu nyata.
Sebaliknya, kaum materialis berkata bahwa pemikiran-pemikiran
semisal makna atau tujuan tidak sesuai dengan realitas; semua itu
hanyalah adaptasi demi pertahanan hidup manusia. Lain kata, kalau
bukan merupakan evolusi sirkuit-sirkuit di dalam otak, maka semua
itu tidak ada. Salah seorang penemu kode genetika, Francis Crick,
menulis di buku The Astonishing Hypothesis, ”Bagaimanapun, otak
kita yang telah sangat berkembang ini tidak dikembangkan cukup
keras untuk mencari kebenaran yang ilmiah, melainkan hanya agar
kita cukup terampil bertahan hidup dan menghasilkan keturunan.”
Namun, apakah pertanyaan tentang makna dan tujuan hidup itu
hanyalah bagian dari pertahanan hidup? Jika pengabaian kecil atas
hasil proses intelektual selama ribuan tahun itu terdengar agak kurang
meyakinkan, yah, mungkin memang begitu.
Katakanlah, seorang sehat menyumbangkan ginjalnya cuma-cuma
pada seorang yang sekarat. Kaum materialis mungkin mencari-cari
analogi di seputar tikus mondok, tikus rumah, atau simpanse sebagai
cara terbaik untuk memahami motif si donor. Mereka yakin pikiran si
donor bisa seutuhnya dijelaskan dengan hipotesis bahwa otaknya ber
kembang (ber-evolusi) dengan amat lambat dan susah payah dari otak
makhluk hidup yang setara tikus dan simpanse. Karena itu, pikirannya
hanyalah ilusi yang diciptakan oleh aktivitas otak yang kurang berkem
Pe nd a h u l ua n | xi
9. bang, dan kesadarannya akan situasinya sebenarnya tidak relevan untuk
dijadikan penjelasan atas tindakannya.
Buku ini berpandangan: Fakta bahwa otak manusia berkembang me
nunjukkan bahwa pikiran manusia tidak dapat diabaikan dengan cara
demikian. Sebaliknya, otak manusia bisa memampukan pikirannya,
sedangkan otak tikus mondok tidak bisa (mohon maaf pada spesies
tikus mondok). Namun, otak bukanlah pikiran; otak adalah satu organ
yang sesuai untuk menghubungkan pikiran dengan seisi alam semesta.
Jika diibaratkan, lomba renang Olimpiade membutuhkan sebuah
kolam berskala Olimpiade. Namun, kolam itu tidak menciptakan
lomba renang Olimpiade; kolam itu hanya membuat lomba itu dapat
terlaksana di lokasi tertentu.
Dari sudut pandang materialis, kesadaran pikiran dan kehendak be
bas manusia adalah masalah yang harus dijelaskan. Untuk memahami
maknanya, simak komentar saintis kognitif Harvard, Steven Pinker,
mengenai kesadaran dalam artikel ”The Mystery of Consciousness” di
harian Times (19 Januari 2007). Mengenai dua masalah utama yang
dihadapi saintis, ia menulis:
Walau kedua masalah itu belum bisa diselesaikan, para ahli saraf
sepakat dalam banyak hal, dan hal yang mereka anggap paling tidak-
kontroversial justru dianggap paling mengejutkan oleh orang-orang
di luar neurosains. Francis Crick menyebutnya ”the astonishing
hypothesis” (hipotesis yang mencengangkan)—gagasan bahwa
pikiran, sensasi, sukacita, dan rasa sakit kita sepenuhnya dihasilkan
dari aktivitas fisiologis di dalam jaringan otak. Kesadaran tidak berada
di dalam jiwa yang menggunakan otak ibarat perangkat PDA (personal
digital assistant); kesadaran adalah aktivitas otak.
Karena Pinker sendiri mengakui bahwa tidak satu pun masalah
kesadaran itu tuntas atau hampir tuntas, bagaimana ia bisa begitu yakin
bahwa kesadaran itu hanyalah ”aktivitas otak” yang mengimplikasikan
tidak adanya jiwa?
Salah satu ”kenikmatan” di dalam materialismenya Pinker adalah
bahwa pada intinya, keraguan apa pun boleh dilabeli ”tidak ilmiah”.
Pelabelan itu menangkal diskusi mengenai nalar-tidaknya material
xii | T H E S PI R I T UA L BR A I N
10. isme. Jelas, materialisme adalah ”iman” yang tidak akan diragukan
oleh banyak intelektualis. Namun, besarnya keraguan mereka
sendiri menunjukkan bahwa materialisme bukanlah penjelasan yang
tepat mengenai realitas, dan tidak memberikan bukti kuat. Sebuah
pembelaan yang baik dapat kita ajukan melawan pandangan yang
berseberangan ini, seperti akan ditunjukkan oleh buku ini.
Ya, buku ini—menjauhi tren buku-buku neurosains yang ditujukan
bagi pembaca awam—memang mendebat materialisme. Lebih dari
itu, buku ini menyajikan bukti bahwa materialisme tidak sahih. Anda
akan melihat sendiri bahwa materialisme tidak seindah yang Steven
Pinker ingin Anda percayai. Anda hanya dapat mempertahankan
keyakinan atas materialisme dengan asumsi [penuh keyakinan] bahwa
bukti yang berseberangan dengan apa pun yang Anda baca tentang
materialisme pastilah salah.
Sebagai contoh, yang nanti kita bahas, seorang materialis dengan
mudahnya lebih memilih untuk percaya—sekalipun tanpa bukti
kuat—bahwa para pemimpin spiritual mengalami gejala epilepsi lobus
temporal (temporal-lobe epilepsy) ketimbang bahwa mereka memperoleh
pengalaman spiritual yang mengilhami orang lain dan diri sendiri. Jika
masalahnya terkait dengan spiritualitas, data eksperiensial ini justru
mempermalukan materialisme sempit. Itu karena sistem-sistem seperti
materialisme akan remuk melawan bukti apa pun yang melawannya.
Akibatnya, data yang menentang materialisme akan diabaikan begitu
saja oleh banyak saintis. Misalnya, kaum materialis melancarkan
perang tiada henti melawan riset psi (penelitian atas pengetahuan atau
tindakan yang dilakukan dari jarak tertentu, misalnya persepsi indra
keenam, telepati, prakognisi, atau telekinesis) selama puluhan tahun,
karena bukti apa pun seputar kesahihan psi, betapapun kecilnya, bakal
fatal bagi sistem ideologi mereka. Baru-baru ini misalnya, para skep
tikus menyerang mahasiswa neurosains Sam Harris yang ateis, karena
di buku The End of Faith (2004) ia menulis bahwa riset psi mengandung
kesahihan. Harris hanya mengikuti bukti, seperti akan kita bahas.
Namun karena melakukannya, ia jelas-jelas melanggar prinsip penting
materialisme: Ideologi materialis pasti menang melawan bukti.
Pe nd a h u l ua n | xiii
11. Namun, tantangan lain terhadap materialisme masih ada. Kaum
materialis harus percaya bahwa pikiran mereka hanya merupakan ilusi
yang diciptakan oleh aktivitas otak dan, karenanya, kehendak bebas
itu tidak benar-benar ada dan tidak punya andil dalam gangguan
mental. Namun, riset-riset nonmaterialis telah jelas-jelas menunjukkan
manfaat dari kesehatan mental. Berikut ini adalah beberapa contoh
yang dibahas di dalam buku ini.
Neuropsikiater nonmaterialis di UCLA, Jeffrey Schwarts menangani
gangguan obsesif-kompulsif—kelainan neuropsikiatris yang ditandai
oleh pemikiran yang menyusahkan, memaksa, dan tidak diinginkan—
dengan cara membuat para pasiennya memprogram ulang otak
mereka. Pikiran mereka mengubah otak mereka.
Begitu juga melalui teknik pencitraan otak, saya dan beberapa ko
lega ahli saraf di Université de Montréal menunjukkan bahwa:
• Wanita dewasa dan gadis remaja dapat mengendalikan respons
mereka terhadap pikiran sedih, walau gadis remaja lebih sulit
melakukannya;
• Pria yang menonton film erotis cukup mampu mengendalikan
respons mereka terhadap film itu, ketika diminta untuk melaku
kannya; dan
• Penderita fobia, misalnya arachnofobia, dapat memprogram ulang
otak mereka sehingga rasa takut itu lenyap.
Bukti tentang kendali pikiran terhadap otak sebenarnya sudah
diperoleh di dalam penelitian-penelitian ini. ”Pikiran yang mengen
dalikan materi” itu nyata. Kita memiliki kehendak bebas, kesadaran,
dan emosi yang, jika dipadukan dengan rasa tujuan dan makna, akan
menciptakan perubahan.
Di masa lampau, penjelasan materialis tentang agama dan spirit
ualitas layak untuk sekurang-kurangnya dipertimbangkan. Misalnya,
Sigmund Freud berpendapat bahwa kenangan masa kanak-kanak
akan sosok seorang bapa membuat orang-orang religius percaya pada
Tuhan. Penjelasan Freud gagal karena Kristianitas adalah satu-satunya
xiv | T H E S PI R I T UA L BR A I N
12. agama besar yang menekankan aspek kebapaan Tuhan. Namun, walau
salah, ide Freud tidak konyol. Relasi dengan bapa yang bahagia atau
tidak bahagia adalah pengalaman kompleks manusia, yang disertai
sejumlah analogi dengan agama. Selain itu, antropolog J.G. Frazer
berpendapat bahwa agama-agama modern berasal dari berbagai kultus
kesuburan purba yang kemudian dispiritualkan. Sesungguhnya, bukti
yang ada lebih merujuk pada pengalaman spiritual sebagai sumber
dari berbagai keyakinan dan ritual religius yang muncul belakangan.
Namun, ide Frazer tidak bisa dibilang sepele. Ide itu lahir melalui
proses pengenalan yang panjang dan mendalam terhadap sistem
kepercayaan purba.
Dewasa ini, penjelasan materialis tentang agama dan spiritualitas
sudah keterlaluan. Di bawah pengaruh pandangan materialis, media
massa populer berlomba-lomba membahas gen kekerasan, gen kege
mukan, gen monogami, gen ketidaksetiaan, dan bahkan gen Tuhan!
Pandangan itu kira-kira begini: Para psikolog evolusioner ngotot
menjelaskan spiritualitas manusia dan keyakinan akan Tuhan, bahwa
manusia goa di zaman purba yang percaya pada realitas supernatural
jauh lebih berpeluang mewariskan gen-gen mereka ketimbang manusia
goa yang tidak percaya. Kemajuan di bidang genetika dan neurosains
telah mendorong sejumlah orang untuk serius mencari gen Tuhan,
atau bintik, modul, faktor, atau saklar Tuhan di dalam otak manusia.
Pada saat ”helm Tuhan” (sebuah helm mobil salju yang dimodifikasi
dengan solenoid untuk merangsang subjek agar mengalami eksistensi
Tuhan) di Sudbury, Kanada, menjadi magnet bagi para jurnalis sains
pada 1990-an (Dekade Otak), materialisme nyaris dianggap parodi.
Walau begitu, kaum materialis terus mencari saklar Tuhan. Dengan
segala perbedaan pandangan yang konyol itu, tidak ada yang bisa lolos
dari sifat nonmaterialisnya pikiran manusia.
Pada dasarnya, tidak ada yang namanya saklar Tuhan. Seperti
ditunjukkan dalam riset terhadap para biarawati Karmelit dan akan
dirinci oleh buku ini, pengalaman spiritual adalah pengalaman yang
rumit, seperti pengalaman kita dalam hal relasi manusia. Mereka
meninggalkan jejak di banyak area otak. Fakta itu sesuai dengan (walau
Pe nd a h u l ua n | xv
13. tidak dengan sendirinya menunjukkan) pemikiran bahwa orang yang
mengalami pengalaman spiritual tersebut mengontak suatu realitas
di luar dirinya.
Faktanya, materialisme sudah mentok. Materialisme tidak mena
warkan hipotesis apa pun yang berguna atau bahkan mengembangkan
pikiran atau pengalaman spiritual manusia. Ada suatu ranah agung
yang tidak dapat dimasuki, apalagi dipelajari melalui materialisme.
Namun, kabar baiknya adalah dengan tiadanya materialisme, ada
tanda-tanda positif bahwa spiritualitas dapat dimasuki dan dipelajari
melalui neurosains modern.
Neurosains nonmaterialis tidak terdorong untuk menolak,
mengingkari, menjelaskan, atau mempermasalahkan semua bukti
yang menentang materialisme. Ini sangat bagus, karena riset terbaru
melahirkan bukti yang kian kuat. Tiga contoh yang dibahas dalam buku
ini adalah efek psi, pengalaman dekat-ajal (near death experience/NDE),
dan efek plasebo.
Efek psi, seperti yang terlihat dalam fenomena-fenomena seperti
persepsi indra keenam (extrasensory perception) dan psikokinesis,
memang berkadar rendah, tetapi upaya untuk membuatnya tidak
absah telah gagal. Pengalaman dekat-ajal juga kian sering diteliti
beberapa tahun belakangan ini, mungkin karena teknik resusitasi
telah banyak membuat orang kembali dari kematian dan menceritakan
pengalaman mereka. Dengan adanya para saintis seperti Pim van
Lommel, Sam Parnia, Peter Fenwick, dan Bruce Greyson, kini kita
memiliki basis informasi yang lebih luas. Hasilnya tidak mendukung
pandangan materialis tentang pikiran dan kesadaran, sebagaimana
Pinker ajukan dalam Times: ”Ketika aktivitas fisiologis otak berhenti,
yang diketahui sejauh ini adalah kesadaran orang itu keluar dari
keberadaannya.”
Banyak dari kita mungkin belum pernah mengalami efek-efek tak
lazim semisal efek psi atau pengalaman dekat-ajal, tetapi kita semua
pasti pernah mengalami efek plasebo: Pernahkah Anda pergi ke
dokter untuk minta surat keterangan bahwa Anda tidak dapat pergi
bekerja karena flu berat—dan tiba-tiba Anda merasa lebih baikan
xvi | T H E S PI R I T UA L BR A I N
14. saat duduk membaca majalah di klinik. Memang memalukan, tetapi
mudah dijelaskan: Pikiran menghasilkan pesan untuk memulai proses
analgesik atau penyembuhan, ketika Anda menyadari bahwa Anda
berada di jalan menuju kesembuhan. Meskipun neurosains materialis
telah lama menganggap efek plasebo sebagai masalah, efek ini adalah
salah satu fenomena paling gamblang dalam kedokteran. Sementara
bagi neurosains nonmaterialis, efek ini adalah efek normal yang bisa
memiliki nilai terapeutik besar jika digunakan secara tepat.
Materialisme tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan pen
ting seputar natur manusia dan kurang dapat memberikan jawaban
yang mudah dipahami. Materialisme juga telah meyakinkan jutaan
orang bahwa mereka tidak perlu mencoba mengembangkan natur
spiritual mereka, karena mereka tidak memilikinya.
Beberapa orang menilai bahwa solusinya adalah terus mendukung
materialisme dengan lebih diam-diam. Dewasa ini, kaum materialis
melancarkan perang ”anti-Tuhan” secara terang-terangan. Karya-karya
antiteistik seperti Breaking the Spell: Religion as a Natural Phenomenon
(Daniel Dennett), The God Delusion (Richard Dawkins), God: The
Failed Hypothesis—How Science Shows that God Does Not Exist (Victor J.
Stenger), God Is Not Great (Christopher Hitchens), dan Letters to a
Christian Nation (Sam Harris) didukung konferensi seperti ”Beyond
Belief” oleh Science Network dan kampanye seperti You-Tube Blasphemy
Challenge.
Yang mengagumkan, tidak ada yang baru dalam gagasan mereka.
Para filsuf abad ke-18 telah menyampaikannya sejak dahulu dengan
maksud yang kurang lebih sama. Memang, karya-karya modern ini
telah diperciki berbagai asumsi mengenai psikologi evolusioner—
upaya mengasalmuasalkan agama dan spiritualitas dari praktik yang
telah memungkinkan segelintir nenek moyang kita di zaman purba
Pleistosin untuk mewariskan gen mereka. Namun, nenek moyang
kita itu sudah lama tiada, dan tidak banyak yang bisa didapatkan dari
disiplin ilmu yang kekurangan subjek. Selain itu, ada banyak penegasan
terhadap sifat ilusif dari natur pikiran, kesadaran, dan kehendak bebas,
serta ketidakbergunaan sekaligus bahaya spiritualitas.
xvii
15. Para pakar di pertengahan abad ke-20 meramalkan bahwa perlahan
tapi pasti, spiritualitas akan lenyap. Setelah dibanjiri materi, manusia
akan berhenti memikirkan Tuhan. Namun, mereka salah. Saat
ini, spiritualitas menjadi lebih beraneka ragam dan bertumbuh di
seluruh dunia. Vitalitas tersebut menciptakan rasa takut dan spekulasi
liar—tetapi yang paling kuat adalah rasa ingin tahu yang mendorong
keinginan untuk menyelidiki.
Namun, bagaimana kita bisa menelaah spiritualitas secara ilmiah?
Untuk memulainya, kita dapat menemukan kembali warisan non
materialis kita. Warisan itu memang ada, hanya saja sudah lazim
diabaikan. Pada kenyataannya, ahli-ahli saraf ternama seperti Charles
Sherrington, Wilder Penfield, dan John Eccles bukanlah kaum
materialis yang suka mereduksi, dan mereka selalu mengajukan
dasar-dasar yang kuat. Dewasa ini, neurosains nonmaterialis ber
kembang subur, terlepas dari segala batasan akibat kesalahpahaman
yang telanjur mendarah daging dan, dalam beberapa kasus, akibat
kekerasan. Pembaca diimbau untuk menanggapi semua pertanyaan
dan bukti yang disajikan dalam buku ini dengan pikiran terbuka. Inilah
saat bagi eksplorasi, bukan dogma.
Buku ini akan membahas tiga gagasan penting. Pertama, pendekat
an nonmaterialis terhadap pikiran manusia yang memperhitungkan
bukti yang jauh lebih baik daripada pendekatan materialis yang sudah
mentok saat ini. Kedua, pendekatan nonmaterialis terhadap pikiran
membuahkan manfaat dan penyikapan pada tataran praktis, demikian
pula pendekatan terhadap fenomena-fenomena yang tidak sanggup
ditangani oleh pendekatan materialis. Terakhir, dan mungkin juga ter
penting bagi banyak pembaca, buku ini menunjukkan bahwa manakala
pengalaman spiritual memengaruhi kehidupan, penjelasan yang pa
ling masuk akal dan paling mampu menerangkan semua bukti adalah
bahwa setiap orang yang memperoleh pengalaman itu benar-benar
mengontak suatu Realitas di luar diri mereka, suatu Realitas yang telah
membawa mereka lebih dekat kepada natur sejati dari alam semesta.
—Mario Beauregard
Montreal, Kanada, 1 Februari 2007
xviii | T H E S PI R I T UA L BR A I N
16. s at u
Menuju Neurosains Spiritual
J uni 2005, konferensi World Summit on Evolution diselenggarakan di
Pulau San Cristobal, Kepulauan Galápagos, lepas pantai Ekuador.
Lokasi sederhana Frigatebird Hill dipilih karena di sinilah Charles
Darwin pertama kali mendarat pada 1835 untuk menyelidiki ”induk
dari segala rahasia”—asal-usul dan natur spesies, termasuk (dan
mungkin terutama) spesies manusia.
Kepulauan terpencil di Pasifik ini kemudian menjadi tempat per
hentian bajak laut, pemburu paus, dan pemburu anjing laut, yang
membuat bentuk-bentuk kehidupan (life forms) yang pernah dipelajari
Darwin nyaris punah. Namun, di bawah perlindungan pemerintah abad
ke-20, kepulauan itu menjadi ”kuil” bagi materialisme—keyakinan bah
wa semua bentuk kehidupan, termasuk manusia, hanyalah produk dari
kekuatan alam yang buta.1 Menurut pandangan materialis, ”pikiran”
kita—jiwa, roh, kehendak bebas—hanyalah ilusi yang tercipta oleh
arus listrik di dalam neuron-neuron (sel-sel saraf) otak kita. Menurut
zoolog Oxford, Richard Dawkins, alam semesta itu ibarat seorang
”pembuat jam yang buta (a blind watchmaker)”.2
Konferensi di Galápagos itu langsung dielu-elukan sebagai Wood
stock-nya Evolusi. Para saintis yang hadir, ”dedengkotnya teori evo
lusi”,3 sangat memahami peran penting mereka dan signifikansi dari
seluruh proses itu. ”Kami tertegun berada di sini,” tulis seorang jurnalis
sains, mengenang ketika para hadirin elite tersebut menyimak kisah
17. evolusi yang terkenal itu dengan sikap ”terpesona seperti anak-anak
yang sedang menyimak pemaparan ulang sebuah dongeng favorit”.4
Menurut kisah itu, dan mengutip kata-kata salah satu hadirin,
manusia hanyalah ”klad (clade) kecil yang aneh”.5 Dan misi pertemuan
berikutnya adalah menyampaikan kisah itu ke seluruh dunia.6 Bagai
manapun, dengan memuncaknya ketidaksepakatan dalam pengajaran
evolusi, dunia pasti sudah tahu.
Serangkaian Peristiwa Dimana Pikiran Tidak Ada?
Salah satu tokoh penting di dalam konferensi itu adalah filsuf
Amerika Daniel Dennett. Dennett yang secara fisik mirip Charles
Darwin adalah seorang filsuf pikiran terkemuka. Ia merupakan
filsuf favorit bagi orang-orang yang menganggap komputer dapat
menyimulasi proses mental manusia. Anehnya, sebagai filsuf
pikiran, ia justru ingin meyakinkan dunia bahwa dalam pengertian
tradisional, yang namanya pikiran itu tidak ada. Mungkin ia paling
dikenal karena mengatakan bahwa ”ide Darwin yang berbahaya”
adalah ide terbaik yang pernah dimiliki manusia, karena menjadi
akar bagi materialisme. Menurutnya, manusia itu ibarat ”robot besar
yang memesona” dan bagusnya lagi:
Jika Anda memiliki jenis proses yang tepat dan ada cukup waktu,
Anda dapat menciptakan hal-hal besar yang indah, bahkan hal-hal
yang memiliki pikiran, melampaui proses-proses yang secara kasus
per kasus terbilang bodoh, tanpa pikiran, sederhana. Sekumpulan
peristiwa kecil tanpa pikiran yang terjadi selama jutaan tahun saja
dapat menciptakan bukan hanya keteraturan, tetapi juga rancangan;
bukan sekadar rancangan, tetapi pikiran, mata, dan otak.7
Dennett bersiteguh bahwa jiwa atau roh tidak berasosiasi dengan
otak manusia, unsur supernatural apa pun, atau kehidupan-setelah-
kematian. Maka, fokus kariernya adalah menjelaskan bagaimana
”makna, fungsi, dan tujuan bisa ada di dalam suatu dunia yang pada
dasarnya tanpa makna dan fungsi”.8 Ia hadir di Galápagos untuk
menyatakan pandangan itu.
| T H E S PI R I T UA L BR A I N
18. dua
Apakah Program Tuhan Itu Ada?
Spiritualitas berasal dari dalam diri. Benihnya harus sudah ada
sejak awal. Dan benih itu menjadi bagian dari gen mereka.1
—Dean Hamer, ahli genetika perilaku
P ada musim panas 2005, keriuhan London Zoo benar-benar
mengalahkan pantai. Kebun binatang itu menciptakan sensasi
yang melanda media massa internasional laksana badai. Selama
empat hari, 26–29 Agustus 2005, di habitat berhutan Bear Mountain,
tiga laki-laki dan empat perempuan Homo sapiens dipertontonkan.
Secarik label dipasang: ”PERINGATAN: Manusia di Habitat Alaminya”.
Jurubicara kebun binatang, Polly Wills menerangkan bahwa pameran
itu ”mengajarkan pada masyarakat bahwa manusia itu tidak lebih dari
sekadar primata”.2
Bagaimanapun, para sapiens itu tidak didapatkan oleh kebun
binatang tersebut dengan cara biasa. Para pelamar yang tertarik harus
bisa melenguhkan 50 kata berbentuk nada suara persuasif. Masing-
masing satu orang apoteker, calon aktor, dan penggemar fitnes lolos
tes, serta dipertontonkan dengan ”hanya selembar daun ara menutupi
aurat”. Ya, aurat. Seorang pengunjung menyatakan kekecewaannya
karena para sapiens itu memakai baju renang di bawah daun ara
kertas.
19. Perbedaan lainnya dengan hewan adalah bahwa, setelah mema
merkan bisep dan lekuk tubuh di depan orang banyak [dan sepanjang
waktu dilindungi dari kerabat hewan mereka yang buas dengan
kawat listrik], para sapiens itu pulang tiap malam—bukan ke sarang
dedaunan, melainkan ke apartemen masing-masing. Yang menarik,
salah satu peserta berkomentar, ”Banyak orang menganggap derajat
manusia berada di atas hewan. Ketika melihat manusia sebagai hewan
di sini, mereka jadi agak teringat bahwa kita tidak seistimewa itu.”3
Komentar yang ironis; sesungguhnya aksi publisitas itu hanya bisa
terlaksana karena justru sebaliknyalah yang terjadi. Para manusia
goa itu dengan sukarela mempertontonkan diri pada manusia lain
hanya untuk bersenang-senang dan semoga bisa menunjang karier.
Jadi mengapa, tepatnya, kita dibujuk untuk meyakini gagasan bahwa
manusia adalah hewan yang sama dengan makhluk tunawicara di dalam
kerangkeng lain, yang tidak bisa menulis, tidak bisa menyampaikan
pemikiran mereka pada jurnalis, atau (mungkin yang paling jelas)
tidak ”pulang” setiap malam?
Ya, secara fisik kita adalah anggota kerajaan hewan yang sama-sama
berbagi risiko dan kesempatan. Namun, komentar si peserta (”Kita
tidak seistimewa itu”) menunjukkan betapa mengakarnya materialisme
filosofis dalam masyarakat. Walau dihadapkan pada perbedaan nyata
antara manusia dan para penghuni kebun binatang lainnya, banyak
orang berasumsi telah benar-benar melihat persamaannya. Tidak
terlalu mengherankan. Dihadapkan pada pilihan antara apa yang
mereka lihat dan apa yang mereka dengar, banyak orang memilih
untuk percaya pada apa yang mereka dengar.
Siapa yang lebih kamu percayai, aku atau matamu?
—Chico Marx, Duck Soup (1933)
Pola pikir materialis semacam ini mewarnai upaya-upaya paling
baru untuk memahami spiritualitas. Banyak peneliti mencari
spiritualitas di salah satu bagian otak atau gen, atau mungkin di salah
satu sejarah hipotetis atau meme (persamaan gen). Lain kata, mereka
52 | T H E S PI R I T UA L BR A I N
20. tiga
Apakah Modul Tuhan Benar Ada?
Walau sudah jamak diketahui dewasa ini, saya selalu terpesona
melihat bahwa segenap kehidupan mental kita—sentimen religius
dan bahkan apa yang kita sebut diri pribadi yang terdalam—
hanyalah aktivitas bintik-bintik kecil di dalam kepala Anda, di
dalam otak Anda. Tak ada yang lain.1
—V.S. Ramachandran, ahli saraf
Sains sangat menakjubkan untuk menjelaskan apa yang sangat
menakjubkan untuk dijelaskan dengan sains, tetapi di luar itu,
sains cenderung ‘mencari kunci mobilnya di tempat terang’.2
—Jonah Goldberg, Jewish World Review
D alam novel mencekam karya Mark Salzman, Lying Awake, Suster
Yohanes dari Salib menghadapi keputusan sulit. Beberapa
puluh tahun sebelumnya, ia mengisi masa kanak-kanaknya yang
minim kepuasan emosional dengan aturan ketat seputar kehening
an, kesederhanaan, dan doa di sebuah biara Karmelit dekat Los
Angeles. Kehidupan biara memang memberikan keteraturan dan
kedamaian, tetapi tahun-tahun berlalu dengan perasaan kering dan
tak terpenuhkan. Suster Yohanes mulai mengalami visiun-visiun
(penglihatan-penglihatan) aneh yang ia tuangkan dalam bentuk
21. tulisan indah dan menghasilkan buku populer Sparrow on a Roof. Buku
itu membantu berbagai biaya biara dan bahkan menarik seorang suster
lain ke ordo tersebut. Suster Yohanes yang gemuk pendek itu menjadi
”bintang” spiritual, berlimpah dengan karunia.
Namun, seiring munculnya visiun-visiun itu, ia mulai mengalami
sakit kepala parah. Awalnya, Suster Yohanes menyambut sakit kepala
itu dengan pikiran bahwa ia harus menderita sesuatu sebagai balasan
atas kasih Allah. Hanya saja, sakit kepala itu kian parah hingga akhir
nya ia kejang-kejang. Ia berkonsultasi dengan seorang ahli saraf dan
mengetahui kebenarannya. Ia mengalami epilepsi lobus temporal
(temporal-lobe epilepsy, selanjutnya disebut TLE) akibat tumor kecil di
bagian atas telinga kanannya. Ia diberi tahu bahwa:
Epilepsi lobus temporal terkadang menyebabkan perubahan perilaku
dan pikiran, bahkan ketika pasien tidak mengalami kejang-kejang.
Perubahan-perubahan ini mencakup hipergrafia, peningkatan
tetapi juga penyempitan respons emosional, serta minat yang obsesif
terhadap agama dan filsafat.3
Suster Yohanes juga diberi tahu bahwa Rasul Paulus dan pendiri
Ordo Karmelit, St. Theresia dari Avila, kemungkinan besar adalah
penderita TLE.
Tumor itu dapat diangkat dengan mudah, jadi diperkirakan visiun-
visiun itu takkan muncul lagi. Hanya saja, apakah visiun itu tidak lebih
dari sekadar penyakit? Suster Yohanes menilai bahwa, dari sudut
pandang materialis, seluruh hidupnya bisa dianggap sebagai patologi
semata, sejenis penyakit mental:
Berdoa sepanjang waktu: hiperreligiositas. Pilihan untuk hidup
selibat (tanpa pasangan): hiposeksualitas. Kendali niat melalui
kendali tubuh dengan puasa secara teratur: anoreksia. Membuat
jurnal spiritual secara terinci: hipergrafia.4
Haruskah Suster Yohanes menyetujui dilakukannya pembedahan
yang bakal mengakhiri visiun-visiun itu?
72 | T H E S PI R I T UA L BR A I N
22. e m pat
Kasus Ganjil Helm Tuhan
Dengan menciptakan perangkat kepala penuh kabel yang meng
hasilkan pengalaman ”religius” pada pemakainya, neuroteolog
Michael Persinger di Sudbury, telah menggoyahkan fondasi iman
dan sains.1
—Robert Hercz, Saturday Night
Siapa pun yang masih meragukan kemampuan otak untuk meng
hasilkan pengalaman religius hanya perlu mengunjungi ahli saraf
Michael Persinger di Laurentian University di kota tambang nikel
Sudbury, Ontario. Ia berkata hampir semua orang bisa bertemu
Tuhan, hanya dengan memakai helm istimewa buatannya.2
—Bob Holmes, New Scientist
Mr. Dawkins akan berminat untuk mengalami agama pada kali
pertama dengan helm buatan Mr. Persinger. Hal ini akan mem
buktikan bahwa akhirnya visiun mistikal dapat dikendalikan oleh
sains, dan bukan lagi hasil dari kemurahan hati sesosok entitas
supernatural.3
—Raj Persaud, London Daily Telegraph
A pakah ”imam besar” ateisme Inggris, Richard Dawkins, dapat me
nemukan Tuhan hanya dengan memakai helm lobus temporal
yang dibuat di laboratorium neurosains di Kanada? Dawkins terkenal
23. karena menyebut agama sebagai ”virus pikiran” dan ”kemunduran yang
kekanak-kanakan”.4 Tahun 2003, pada sesuatu yang disebut sebagai tes
puncak oleh program Horizon-nya BBC, ”God on the Brain”, penghulu
ateis (archatheist) itu berusaha mencari Tuhan dengan memakai ”helm
Tuhan” buatan ahli saraf Kanada Michael Persinger.
”Akankah Dr. Persinger berhasil, padahal Paus, Uskup Agung
Canterbury, dan Dalai Lama telah gagal?” pekik pendukungnya.
Program itu merekam sesi-40 menit Dawkins memakai helm Tuhan,
di mana lobus temporal-nya dirangsang dengan medan magnet lemah.
Dikatakan bahwa peluang terjadinya RSME bagus. Menurut Persinger,
80% orang yang memakai helmnya mengalami sejenis RSME. Tertulis
pada naskah ”God on the Brain”:
PROF. RICHARD DAWKINS (University of Oxford): Jika saya beralih
memegang keyakinan religius, istri saya mengancam minta
cerai. Saya selalu penasaran bagaimana rasanya memperoleh
pengalaman mistikal. Saya menanti-nantikan upaya sore ini.
…
DAWKINS: Saya agak pusing.
NARATOR: Pertama, Dr. Persinger menempelkan sebuah medan
magnet pada sisi kanan kepala Richard Dawkins.
DAWKINS: Cukup aneh.
NARATOR: Lalu untuk memperbesar peluang merasakan adanya
suatu kehadiran, Dr. Persinger mulai menempelkan medan
magnet itu pada kedua sisi kepala.
DAWKINS: Sepertinya napas saya agak tersengal-sengal. Saya tidak
tahu ada apa. Kaki kiri seperti bergerak-gerak, kaki kanan
berkedut-kedut.
…
NARATOR: Jadi setelah 40 menit, apakah Richard Dawkins telah
dibawa lebih dekat pada Tuhan? 5
Sepertinya tidak. Ia tidak merasakan sesuatu yang tidak lazim
dan mengaku ”sangat kecewa”. Ia benar-benar ingin mengalami apa
yang orang-orang religius akui telah alami. Persinger menawarkan
98 | T H E S PI R I T UA L BR A I N
24. lima
Apakah Pikiran dan Otak Identik?
Mempelajari otak berarti mempelajari diri kita sendiri, tetapi
dengan suatu cara yang membuat kita menjadi subjek sekaligus
objek. Ibaratnya, kita mencoba melihat baik ke dalam dan ke luar
jendela secara bersamaan.1
—Greg Peterson, dosen agama
Jika orang harus mempelajari otak sendirian, tanpa mengindah
kan perilaku manusia dan kondisi sadar yang subjektif, ia tidak
akan pernah belajar apa pun mengenai kesadaran atau fenomena
mental apa pun lainnya.2
—B. Alan Wallace, filsuf pikiran
T anggal 17 Juli 1990, presiden George H.W. Bush dan Kongres
AS mengumumkan era 1990-an sebagai Dekade Otak. Alasan
positif bagi pendanaan publik atas riset otak itu diungkapkan
dengan sepatutnya. Namun, sejak awal sudah jelas Bush dan para
pendukungnya ingin tahu lebih banyak mengenai otak karena alasan
pribadi. Memang pengetahuan yang lebih tepat akan membantu kita
memerangi penyakit dan kecanduan, tetapi pengetahuan itu sendiri
mahal. Bush berkata:
Otak manusia—sebuah massa sel-sel saraf seberat 3 pound
yang mengendalikan aktivitas kita—adalah salah satu keajaiban
25. penciptaan yang paling mengagumkan… dan misterius. Sebagai
tempat bersemayamnya kecerdasan manusia, penafsir indera-indera,
dan pengendali gerakan kita, organ ini senantiasa menggugah rasa
ingin tahu para saintis dan kaum awam.3
Pemilihan waktu dekade ini sangat baik. Setelah lebih dari satu
abad melakukan riset otak secara sistematik dengan berbagai metode,
teknik-teknik baru seperti positron emission tomography (PET) dan
magnetic resonance imaging (MRI) memungkinkan para ahli saraf untuk
melihat ke dalam otak manusia yang sehat dan berfungsi. Mereka
tidak perlu lagi mengandalkan hewan percobaan atau kasus langka
kerusakan otak dan pembedahan yang tidak biasa.
Pada intinya, penelitian tentang bagaimana tikus yang rusak-
otak menemukan makanan, tidak dapat membantu kita memahami
kesadaran manusia. Bahkan penelitian atas manusia yang rusak-otak
tidak memberikan gambaran jelas tentang seperti apa sistem yang
berfungsi—atau sistem yang telah berhasil memperbaiki dirinya sendiri
atau mengatasi suatu masalah—dengan baik itu. Namun, semua itu
sedang berubah dengan cepat. Neurosains sedang menjadi isu panas.
Pembawa acara televisi Larry King menyebut dekade 1990-an sebagai
dekade otak. Tahun 1998, William J. Bennett yang merupakan ”tsar”
obat-obatan George H.W. Bush bertanya, ”Apakah ahli saraf adalah
Penguasa Alam Semesta yang baru?”4
Neurosains Saat Ini
Otak mengandung 100 miliar sel—hampir sama banyaknya
dengan jumlah bintang di galaksi Bima Sakti. Dan tiap-tiap sel
dihubungkan oleh sinaps pada 100.000 sel lainnya. Sinaps-sinaps
antar-sel terendam dalam hormon dan neurotransmiter yang
mengubah transmisi sinyal-sinyal, dan sinaps-sinaps itu terus
mewujud dan melarut, melemah dan menguat, sebagai respons
terhadap pengalaman baru.5
—John Horgan, Discover
124 | T H E S PI R I T UA L BR A I N
26. enam
Menuju Sains Pikiran
Nonmaterialis
Dasar pikiran fundamental saya tentang otak adalah bahwa
aktivitasnya—yang terkadang kita sebut ”pikiran”—merupakan
konsekuensi dari anatomi dan fisiologinya; tidak lebih.1
—Carl Sagan, astronom dan penulis sains populer
Kita menganggap materialisme-perjanjian sebagai takhayul tanpa
fondasi rasional. Kian banyak yang kita pelajari tentang otak,
kian jelas kita membedakan antara aktivitas otak dan fenomena
mental, dan kian mengagumkan pula aktivitas otak dan fenomena
mental itu. Materialisme-perjanjian hanyalah semacam keyakinan
religius yang dipegang oleh kaum materialis dogmatik… yang
sering merancukan agama mereka dengan sains mereka.2
—John Eccles dan Daniel N. Robinson,
The Wonder of Being Human
D apatkah sains pikiran nonmaterialis menjelaskan fakta-fakta
hasil pengamatan, lebih baik daripada sains pikiran materialis?
Pada titik ini, kita dapat menjelaskan beberapa aspek pandangan
nonmaterialis tentang pikiran. Walau tidak satu pun pandangan saat
ini yang dapat menjawab semua pertanyaan, pandangan nonmaterialis
27. setidaknya dapat menjelaskan aspek-aspek pengalaman manusia yang
kita ketahui, yang—sebagaimana kita lihat—tidak dapat dijelaskan dan
sering diingkari oleh pandangan materialis.
Misalnya, pandangan nonmaterialis dapat menjelaskan riset
neuroimaging yang memperlihatkan subjek manusia dalam tindakan
mengatur emosi diri dengan berkonsentrasi pada emosi itu. Hal
itu dapat menjelaskan efek plasebo (pil gula yang menyembuhkan
pasien, jika si pasien yakin pil itu adalah obat mujarab). Pandangan
nonmaterialis juga dapat memberikan penjelasan ilmiah atas berbagai
fenomena membingungkan yang diabaikan oleh pandangan materialis.
Pertama adalah psi, kemampuan beberapa manusia untuk terus meraih
angka di atas rata-rata dalam penelitian terarah mengenai pengaruh
mental terhadap berbagai peristiwa. Kedua adalah pernyataan, yang
secara mengejutkan kerap dijumpai pada pasien trauma atau pasien
bedah, bahwa mereka mengalami suatu keawasan (kesadaran) mistikal
yang mengubah hidup, ketika mereka berada dalam kondisi tidak
sadar.
Jika suatu pandangan nonmaterialis benar, pandangan itu pasti
berguna di bidang terapan semisal kedokteran. Mari kita lihat
beberapa buktinya.
Neurosains Nonmaterialis di Dalam Kedokteran
Otak selalu melakukan sesuatu yang berangkat dari gangguan-
gangguan tidak sadar.3
—Daniel Dennet, filsuf materialis
Sudah tiba waktunya bagi sains untuk menghadapi implikasi serius
dari fakta bahwa aktivitas mental yang diarahkan dan dikehendaki
dapat mengubah fungsi otak secara jelas dan sistematis.4
—Jeffrey M. Schwartz, psikiater
Pendekatan nonmaterialis atas pikiran bukan hanya bisa di
pertahankan secara filsafat; pendekatan itu juga penting untuk
152 | T H E S PI R I T UA L BR A I N
28. tujuh
Siapa yang Memperoleh
Pengalaman Mistikal dan
Apa Pemicunya?
Studi mistikal—betapapun sederhananya, dan membawa apa yang
dibawa oleh musik atau puisi, tetapi dengan tingkatan yang jauh
lebih tinggi, yaitu suatu sukacita ganjil di mana kita seolah-olah
dibawa mendekat pada Sang Sumber—pada akhirnya berada di
ambang rahasia yang selama ini kita coba ungkap. Simbol-simbol
yang digunakan, kata-kata aktual yang dipakai, ketika kita analisis,
tidak cukup untuk menjelaskan efek semacam itu. Malahan,
pesan-pesan dari diri transendental entitas lain yang terbangun,
justru membangunkan diri kita yang lebih dalam.1
—William James, psikolog perintis di Amerika
M istisisme termasuk kata yang paling disalahgunakan dalam ko
sakata populer. Lebih dari seabad yang lalu, psikolog William
James berkomentar bahwa kata mistisisme adalah julukan kejam
yang dikenakan pada ”opini mana pun yang kita anggap tidak jelas,
terlalu luas, sentimental, serta tanpa dasar fakta dan logika.”2 Lebih
buruk lagi, menurut peneliti mistisisme Inggris Evelyn Underhill,
mistisisme dianggap sebagai ”pembenaran untuk segala jenis okultisme
29. (kepercayaan kepada kekuatan gaib, red.), transendentalisme rapuh,
simbolisme hambar, sentimentalitas religius atau estetik, dan metafisika
yang buruk. Di sisi lain, kata ini digunakan dengan bebas sebagai
hinaan oleh mereka yang mengkritik semua itu.”3
Jadi, apa sejatinya mistisisme itu? Untungnya abad lalu, sejumlah
ilmuwan nonmistikus mulai mempelajarinya dengan serius.
Mistisisme Sebagai Jalan Pengenalan
Manfaat dari mengalihkan kemanusiaan kepada persepsi yang
tepat tentang dunia adalah sukacita dari menemukan natur
mental Alam Semesta. Kita tidak tahu apa yang diimplikasikan
oleh natur mental ini, tetapi—hebatnya—implikasi tersebut benar
adanya.4
—Richard Conn Henry, fisikawan
Pakar mistisisme pertengahan abad ke-20, W.T. Stace (1886–1967),
bertanya-tanya apa ada kerancuan karakteristik khayali antara
”berkabut” dan ”mistisisme”. Kata mistisisme berasal dari kata Yunani
(muo) yang artinya ”menutupi”. Kabut menutupi, karena menghalangi
penglihatan. Dalam pengertian itu, tidak ada yang berkabut tentang
mistisisme.5 Mistikus serius akan mencari akses menuju level-level
kesadaran yang ”tertutup” dalam kehidupan sehari-hari. Atau, mung
kin lebih cocok disebut terabaikan ketimbang tertutup. Level-level
kesadaran yang tidak membantu kita berkembang dalam karier atau
relasi cenderung tidak digunakan. Kita tidak akan tahu apakah akses
menuju level-level ini dapat mengubah kita.
Bagaimanapun, mengutip kalimat G.K. Chesterton, sesuatu yang
secara kontradiktif banyak tidak diakui pasti memiliki beberapa nilai
positif. Jadi, apa sesungguhnya mistisisme itu? Stace menjelaskan:
Yang paling penting—karakteristik utama yang diamini oleh semua
pengalaman mistikal yang sudah berkembang penuh, dan yang pada
analisis terakhir sifatnya final dan berfungsi untuk membedakannya
dari pengalaman jenis lain—adalah bahwa pengalaman itu
220 | T H E S PI R I T UA L BR A I N
30. del a pa n
Apakah Pengalaman Religius,
Spiritual, atau Mistikal
Mengubah Hidup?
Jadi, apa bukti eksperimental bahwa Tuhan itu buruk untuk
Anda? Menurut Dawkins, telah diterima luas dalam komunitas
ilmiah bahwa agama melumpuhkan manusia, mengurangi potensi
pertahanan hidup dan kesehatan. Walau begitu, riset empiris
baru-baru ini menunjukkan adanya interaksi positif antara agama
dan kesehatan. Bahwa ada jenis-jenis patologis dari keyakinan
religius memang sudah diketahui; walau begitu, hal ini tidak
menafikan perkiraan yang biasanya positif tentang pengaruh
agama terhadap kesehatan mental, yang mengemuka dalam studi-
studi berbasis bukti.1
—Alister McGrath, teolog
D iwarnai gegap-gempita, direktur Center for Cognitive Studies di
Tufts University, Daniel Dennett, menerbitkan buku Breaking the
Spell: Religion as a Natural Phenomenon (2006). Pembahasannya tentang
psikologi evolusioner dan meme disambut dengan puja-puji2 dan ratap-
kutuk. Namun, ada perbedaan menarik dari apa yang mungkin terjadi
satu dekade silam. Tentu saja, ia dikecam oleh kalangan sayap kanan.
Misalnya, editor buku Adam Kirsch menantangnya di New York Sun:
31. Pada inti agama yang sistematis, entah orang menerima atau
menolaknya, ada kebenaran bahwa pengalaman metafisik merupakan
bagian dari kehidupan manusia. Laporan memadai apa pun tentang
agama harus bermula dari fakta fenomenologis ini. Karena Mr.
Dennet mengabaikannya, memperlakukan agama sebaik-baiknya
sebagai pengisi waktu orang bodoh, dan seburuk-buruknya sebagai
sebuah sel penahan bagi kaum fanatik, ia tidak pernah benar-benar
menemukan apa yang menurutnya ia tuliskan.3
Namun, dalam sebuah titik balik yang mengejutkan, upaya Dennett
juga mengundang kritik dari sumber yang seharusnya jadi sekutunya. Ia
dikecam dari sayap kiri. Leon Wieseltier, editor sastra The New Republic,
menyebut karyanya sebagai ”evo-psychobabble” (omong kosong psikologi
evolusioner—red.): ”Akhirnya nanti, penyangkalannya terhadap agama
adalah penyangkalan terhadap filsafat…. Kesimpulan yang diambil
oleh buku dangkal dan memuji diri sendiri ini adalah bahwa ada
banyak mantera yang perlu dipatahkan.”4
Begitu juga pada 2006, pakar materialisme Inggris Richard Dawkins
memproduseri sebuah program televisi istimewa di Channel 4 tentang
agama, The Root of All Evil? Dawkins menyatakan ketercengangannya
bahwa agama memperoleh pijakan pada abad ke-21, dan menghubung
kannya dengan fakta bahwa para orangtua dan guru menyampaikan
keyakinan mereka pada anak-anak tentang Realitas Utama.
Lagi-lagi, dalam Dawkins diserang dari sayap kiri dan sayap kanan.
Roger Scruton mengkritik Dawkins dalam Spectator, bahwa…
…lompatan iman itu sendiri—penyerahan hidup ke dalam pelayanan
Tuhan—adalah lompatan yang melampaui batas rasionalitas. Ini
tidak membuatnya tidak rasional, seperti halnya jatuh cinta itu
tidak rasional. Sebaliknya, ini adalah penyerahan hati pada sebuah
keyakinan, dan merupakan tawaran bagi kasih, kedamaian, dan
pengampunan yang juga dicari oleh Dawkins, karena ia, seperti
halnya kita semua, diciptakan seperti itu.5
Namun, Madeleine Bunting, dari Guardian yang sayap kiri, tidak
semurah hati Scruton. Mencemooh upaya TV Dawkins sebagai
280 | T H E S PI R I T UA L BR A I N
32. sembil an
Studi Karmelit:
Sebuah Arah Baru?
Lebih dari disiplin-disiplin ilmu lainnya, neurosains berada di titik
temu antara filsafat modern dan sains. Jangan beri peluang pada
siapa pun untuk memanfaatkan neurosains guna mendukung
pandangan transenden terhadap dunia.1
—Zvani Rossetti, ahli saraf, menentang kuliah Dalai Lama
Riset ini adalah kunci pertama bagi topik baru, dan Anda
memang tidak bisa menghasilkan sains yang sempurna dalam
kesempatan pertama. Anda ingin tahu tentang sesuatu, dan justru
mengacaukannya. Itulah sains pada kesempatan pertama; Anda
mengacaukannya.2
—Robert Wyman, neurobiolog, mendukung kuliah Dalai Lama
Keyakinan saya untuk menjelajahi ranah sains terletak pada
keyakinan saya bahwa seperti halnya di dalam sains, demikian
pula di dalam Buddhisme, pemahaman akan natur realitas dicari
dengan menggunakan sarana-sarana investigasi analitis.3
—Dalai Lama, The Universe in a Single Atom
D alam newsletter musim semi 2005, Society for Neuroscience (komunitas
neurosains) menyampaikan kabar menarik untuk pertemuan
33. tahunan 2005 mendatang di Washington D.C.. Dalai Lama bersedia
menjadi pembicara untuk pertama kalinya dalam mata kuliah tahunan
”Dialogues Between Neuroscience and Society”.
Dalai Lama mendukung studi ilmiah mengenai kesadaran. Ini
tidak mengejutkan karena kaum Buddhis telah mengolah topik
ini selama dua setengah milenium.4 Lama yang sekarang selalu
tertarik pada sains; ia menikmati persahabatan dengan orang-orang
termasyhur seperti filsuf sains Karl Popper serta fisikawan Carl von
Weizsäcker dan David Bohm. Dengan penuh semangat ia menerima
alat-alat bantu riset neurosains yang baru. Ia juga turut mendirikan
dan bertindak sebagai ketua kehormatan Mind and Life Institute,
yang mensponsori riset neurosains dan dialog mendalam antara
Buddhisme dan sains. Ia bahkan mendorong para bikkhunya untuk
bersedia menjadi subjek riset. Tampaknya lama berusia 70 tahun ini
merupakan pilihan yang tepat untuk membawakan kuliah neurosains
dan masyarakat.
Protes politis sudah diperkirakan bakal muncul. Dalai Lama,
yang menerima Hadiah Nobel Perdamaian pada 1989, bukan hanya
merupakan pemimpin Buddhisme Tibet, tetapi juga tokoh penting
yang dihormati dalam gerakan pemerdekaan Tibet dari Tiongkok. (Ia
melarikan diri dari tentara Tiongkok pada 1959 dan sejak itu berdiam
di India.) Namun, presiden komunitas itu, Carol Barnes, dilanda
gelombang protes yang tidak sekadar berbau politis.
Sejumlah ahli saraf mendesak komunitas itu untuk menghapus
kuliah tersebut, membatalkan studi neurosains seputar meditasi
Buddhisme karena dinilai ”tidak lebih dari omong kosong belaka”.5
Sebuah petisi diajukan:
Sungguh ironis melihat para ahli saraf menyediakan forum bagi
pengesahan terselubung atas seorang pemimpin religius yang
keabsahannya bergantung pada reinkarnasi—doktrin yang ber
tentangan dengan landasan utama neurosains. Dalai Lama (yang
sekarang) dengan jelas-jelas menyatakan keterpisahan antara pikiran
dan tubuh, yang penting bagi diakuinya Dalai Lama sebagai seorang
pemimpin religius dan politik.6
310 | T H E S PI R I T UA L BR A I N
34. sepuluh
Apakah Tuhan Menciptakan Otak,
Ataukah Otak Menciptakan Tuhan?
Emosi terindah yang dapat kita alami adalah yang mistikal.
Ini merupakan inti dari semua seni dan sains.
Orang yang tidak memiliki emosi ini, yang tidak bisa lagi
bertanya-tanya serta tertegun kagum, sama saja sudah mati.1
—Albert Einstein, fisikawan
S ebagaimana telah kita baca di buku ini, para ahli saraf dan filsuf
materialis berpendapat bahwa pikiran, kesadaran, dan diri adalah
produk-samping dari berbagai proses elektrikal dan kimiawi otak, dan
bahwa RSME ”bukanlah apa-apa kecuali” kondisi otak atau delusi
yang diciptakan oleh aktivitas neural. Dengan demikian, mereka
percaya bahwa tidak ada sumber spiritual bagi RSME—artinya, me
reka menganggap otak manusialah yang menciptakan pengalam
an-pengalaman ini, dan seiring melakukannya, otak manusialah
yang menciptakan Tuhan. Karena buku ini menyajikan sanggahan
atas pandangan-pandangan seperti itu, adil rasanya jika kini saya
memaparkan pandangan saya sendiri.
Sudah kita lihat bahwa RSME dan korelasi-korelasi neuralnya
bukan merupakan bukti langsung dari eksistensi Tuhan dan dunia
35. spiritual. Kemungkinan besar tidak ada yang dapat menyajikan bukti
semacam itu pada seseorang yang memang bertekad menyangkal
eksistensi Tuhan dan dunia spiritual. Bagaimanapun, mengungkap
bahwa kondisi otak tertentu ada hubungannya dengan RSME tidak
menunjukkan bahwa pengalaman tersebut ”sekadar” kondisi otak
biasa. Dan fakta bahwa RSME mengandung unsur-unsur neural
bukan berarti pengalaman itu hanyalah ilusi. Pikiran dan emosi juga
diasosiasikan dengan beberapa area dan sirkuit otak tertentu, tetapi
hanya kaum materialis radikal yang akan berkata semua itu merupakan
ilusi hanya karena memiliki pijakan neural.
Neurosains materialis tidak bisa mereduksi pikiran, kesadaran,
diri, dan RSME menjadi ”sekadar neurobiologi”. Saya pikir bukti
yang ada mendukung pandangan bahwa mereka yang mengalami
RSME sungguh mengontak suatu ”kuasa” di luar diri mereka yang
riil-objektif.
Besar kemungkinan, bahkan hampir pasti, laporan-laporan lama
ini (tentang pengalaman mistikal), yang diungkapkan dalam
konteks perwahyuan supernatural, pada dasarnya merupakan
pengalaman puncak manusia yang sepenuhnya alami, dari jenis
yang bisa dengan mudahnya diuji pada masa kini.2
—Abraham Maslow, psikolog
Natur Psikologis Manusia
Impuls transendental untuk berhubungan dengan Tuhan dan dunia
spiritual mencerminkan salah satu kuasa paling mendasar dan kuat
dalam diri Homo sapiens. Karena itu, RSME menunjuk pada suatu
dimensi fundamental dari eksistensi manusia. Pengalaman tersebut
berada di jantung agama-agama besar dunia. Tak heran, RSME
sering dilaporkan terjadi di banyak budaya.3 Misalnya, jajak pendapat
Gallup tahun 19904 yang meneliti fenomena RSME pada populasi
dewasa Amerika mengungkapkan bahwa lebih dari separuh (54%)
responden menjawab ya untuk pertanyaan: Pernahkah Anda menyadari,
350 | T H E S PI R I T UA L BR A I N
36. Daftar Pustaka
AAftanas, L. I., A.A. Varlamov, S.V. Pavlov, V.P. Makhnev, dan N.V. Reva. ”Affective
Picture Processing: Event-Related Synchronization Within Individually Defined
Human Theta band Is Modulated by Valence Dimension”. Neuroscience Letters
303 (2001): 115–118.
Alper, Matthew. The ”God” Part of the Brain: A Scientific Interpretation of Human Spirituality
and God. New York: Rogue, 2001.
Antony, M.M., dan R.P. Swinson. ”Specific Phobia”. Dalam M.M. Antony dan R.P.
Swinson, editor, Phobic Disorder and Panic in Adults: A Guide to Assessment and
Treatment. Washington, D.C. : American Psychological Association, 2000, hlm.
79–104.
Arzy, S., M. Idel, T. Landis, dan O. Blanke. ”Why Have Revelation Occurred on
Mountains? Linking Mystical Experiences and Cognitive Neuroscience”. Medical
Hypotheses 65 (2005): hlm. 841–845.
Aunger, Robert C., ed. Darwinizing Culture: The Status of Memetics as a Science. Oxford:
Oxford Univ. Press, 2001.
Bandura, A. ”Social Cognitive Theory: An Agentic Perspective”. Annual Review of
Psychology 52 (2001): hlm. 1–26.
Beauregard, M., J. Levésque, dan P. Bourgouin. ”Neural Correlates of Conscious Self-
Regulation of Emotion”. Journal of Neuroscience 21(2001): RC165 (1–6).
Beauregard, M., J. Levésque, dan V. Paquette. ”Neural Basis of Conscious and Voluntary
Self-Regulation of Emotion”. Dalam M. Beauregard, ed., Consciousness, Emotional
Self-Regulation and the Brain. Amsterdam: John Benjamins, 2004, hlm. 163–194.
Beauregard, M., V. Paquette, M. Poulliot, dan J. Levésque. ”The Neurobiology of the
Mystical Experience: A Quantitative EEG Study”. Society for Neuroscience 34th
Annual Meeting, 23–27 October, 2004. San Diego, CA.
Bell, J.S. Speakable and Unspeakable in Quantum Mechanics. Cambridge: Cambridge
Univ. Press, 2004.
Benson H., J.A. Dusek, B.Sherwood, P. Lam, C.F. Bethea, W. Carpenter, S. Levitsky, P.C.
Hill, D.W. Clem, Jr., M.K. Jain, D. Drumel, S.L. Kopecky, P.S. Mueller, D. Marek,
S. Rollins, dan P.L. Hibberd. ”Study of the Therapeutic Effects of Intercessory
Prayer (STEP) in Cardiac Bypass Patients: A Multicenter Randomized Trial of
Uncertainty and Certainty of Receiving Intercessory Prayer”. American Heart
Journal 151.4 (April 2006): hlm. 934–942.
427
37. Benson, Herbert, dan Marg Stark, Timeless Medicine: The Power and Biology of Belief. New
York, Scribner, 1996.
Berdyaev, Nicolas”.Freedom from Fear”. Times of India, 8 February, 2007.
Berger, Peter. The Desecularization of the World. Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1999.
Bibby, Reginald. The Poverty and Potential of Religion in Canada. Toronto: Irwin, 1987.
Blanke, O., S. Ortigue, T. Landis, dan M. Seeck. ”Stimulating Illusory Own-Body
Perceptions: The Part of the Brain That Can Induce Out-of-Body Experiences
Has Been Located”. Nature 419 (2002): hlm. 269–270.
Bloom, Howard. The Lucifer Principle: A Scientific Expedition into the Forces of History. New
York: Atlantic Monthly Press, 1995.
Blum, Deborah. Sex on the Brain: The Biological Differences Between Men and Women. New
York: Viking, Penguin, 1997.
Bobrow, Robert S. ”Paranormal Phenomena in the Medical Literature: Sufficient Smoke
to Warrant a Search for Fire”. Medical Hypotheses 60.6 (2003): hlm. 864–868.
Boswell, James. Life of Johnson. Diedit oleh R.W. Chapman dan J.D. Fleeman. Edisi
lengkap. Oxford: Oxford Univ. Press, 1998, hlm. 929.
Boyer, Pascal. Religion Explained: The Evolutionary Origins of Religious Thought. New York:
Basic Books, 2001.
Brodie, Richard. Virus of the Mind: The New Science of the Meme. Seattle: Integral Press,
1996.
Brody, A.L., S. Saxena, P. Stoessel, L.A. Gillies, L.A. Fairbanks, S. Alborzian, M.E.
Phelps, S.C. Huang, H.M. Wu, M.L. Ho, M.K. Ho, S.C. Au, K. Maidment, dan I.R.
Baxter, Jr. ”Regional Brain Metabolic Changes in Patients with Major Depression
Treated with Either Paroxetine or Interpersonal Therapy: Preliminary Findings”.
Archives of General Psychiatry 58 (2001): hlm. 631–640.
Brown, Geoffrey. Minds, Brains and Machines. New York: St. Martin’s Press, 1989.
Buchanan, Mark. ”Charity Begins at Homo sapiens”. New Scientist, 12 Maret, 2005.
Bucke, R.M. Cosmic Consciousness: A Study in the Evolution of the Human Mind. New Hyde
park, NY: Univ. Books, 1961. Aslinya diterbitkan pada 1901.
Buller, D.J. ”Evolutionary Psychology: The Emperor’s New Paradigm”. Trends in Cognitive
Science 9.6 (Juni 2005): hlm. 277–283.
Byrd, R.C. ”Positive Therapeutic Effects of Intercessory Prayer in a Coronary Care Unit
Population”. Southern Medical Journal 81.7 (Juli 1988): hlm. 826–829.
Cairn-Smith, A.G. Seven Clues to the Origin of Life. Cambridge: Cambridge Univ. Press,
1985.
Changeux, Jean-Pierre. Neuronal Man: The Biology of Mind. Diterjemahkan oleh Laurence
Garey. New York: Oxford Univ. Press, 1985.
Cheyne, J.A. ”The Ominous Numinous: Sensed Presence and ‘Other’ Hallucinations”.
Journal of Consciousness Studies 8, no. 5–7 (2001).
Churchland, Patricia Smith, Brain-Wise: Studies in Neurophilosophy. Cambridge, MA:
MIT Press, 2002.
Cotton, Ian. The Hallelujah Revolution: The Rise of the New Christians. London, Prometheus,
1996.
428 | T H E S PI R I T UA L BR A I N
38. Crick, Francis. The Astonishing Hypothesis: The Scientific Search for the Soul. New York:
Simon Schuster, Touchstone, 1995.
Dawkins, Richard. The Selfish Gene. New York: Oxford Univ. Press, 1989.
De la Fuente-Fernández, R., Thomas J. Ruth, Vesna Rossi, Michael Schulzer, Donald
B. Calne, dan A.J. Stoessl. ”Expectant and Dopamine Release: Mechanism of
the Placebo Effect in Parkinson’s Disease”. Science 293 (10 Agustus 2001): hlm.
1164–1166.
Decety, J. ”Do Imagined and Executed Action Share the Same Substrate?” Brain Research:
Cognitive Brain Research 3 (1996): hlm. 87–93.
Dembski, William A. No Free Lunch: Why Specified Complexity Cannot Be Purchased Without
Intelligence. Lanham, MD: Rowman Littlefield, 2002.
Dennett, Daniel C. Kinds of Minds: Toward an Understanding of Consciousness. New York:
Basic Books, 1996.
Denton, Michael J. Nature’s Destiny: How the Laws of Biology Reveal Purpose in the Universe.
New York: Free Press, 1998.
D’Espagnat, Bernard. Reality and the Physicist: Knowledge, Duration, and the Quantum
World. Cambridge: Cambridge Univ. Press, 1989. Aslinya diterbitkan dalam
bahasa Prancis sebagai Une Incertaine realite.
Devinsky, O. ”Religious Experiences and Epilepsy”. Epilepsy Behavior 4 (2003): hlm.
76–77.
Dewhurst, K. dan A.W. Beard. ”Sudden Religious Conversions in Temporal Lobe
Epilepsy”. Epilepsy Behavior 4 (2003).
Eccles, Sir John, dan Daniel N. Robinson. The Wonder of Being Human: Our Brain and
Our Mind. New York: Free Press, 1984.
Edelman, Gerald M. dan Giulio Tononi. A Universe of Consciousness: How Matter Becomes
Imagination. New York: Basic Books, 2000.
Felician, O., M. Ceccaldi, M. Didic, C. Thinus-Blanc, dan M. Poncet. ”Pointing to
Body Parts: A Double Dissociation Study”. Neuropsychologia 41 (2003): hlm.
1307–1316.
Felten, David L. dan Ralph E. Józefowics. Netter’s Atlas of Human Neuroscience. Teterboro,
NJ: Icon Learning Systems, 2003.
Ferris, Timothy. A State-of-the-Universe(s) Report. New York: Simon Schuster,
Touchstone, 1997.
Flory, Richard W. ”Promoting a Secular Standard: Secularization and Modern
Journalism, 1870–1930”. Dalam Christian Smith, ed., The Secular Revolution: Power,
Interest, and Conflict in the Secualrization of American Public Life. Berkeley dan Los
Angeles: Univ. of California Press, 2003.
Frazer, James George. The Golden Bough. Diedit oleh Mary Douglas. Diringkaskan oleh
Sabine McCormack. London: Macmillan, 1978.
Gellman, Jerome. ”Mysticism”. Dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy. Diedit oleh
Edward N. Zalta. Musim semi 2005. http://plato.stanford.edu/archives/spr2005/
entries/mysticism/.
Giovannoli, Joseph. The Biology of Belief: How Our Biology Biases Our Beliefs and Perceptions.
New York: Rosetta, 2000.
Da f ta r P u s ta k a | 429
39. Gonzales, Guillermo, dan Jay W. Richards. Privileged Planet: How Our Place in the Cosmos
Is Designed for Discovery. Washington, DC: Regnery, 2004.
Gorman, J. M., J. M. Kent, G. M. Sullivan, dan J.D. Kaplan. ”Neuroanatomical Hypothesis
of Panic Disorder, Revised”. American Journal of Psychiatry 157 (2000): hlm.
493–505.
Granqvist, Pehr, Mats Fredrikson, Dan Larhammer, Marcus Larsson, dan Sven Valind.
”Sensed presence and mystical experiences are predicted by suggestibility, not
by application of transcranial magnetic fields”. Neuroscience Letters, doi:10.1016/j.
Neulet.2004.10.057 (2004).
Grant, George. Lament for a Nation: The Defeat of Canada Nationalism. Don Mills: Oxford
Univ. Press Kanada, 1970.
Greyson, Bruce dan Nancy E. Bush. ”Distressing Near-Death Experiences”. Psychiatry
55.1 (Februari 1992): hlm. 95–110.
Gross, Francis L., Jr. bersama Toni L. Gross. The Making of a Mystic: Seasons in the Life
of Teresa of Avila. Albany: State Univ. of New York Press, 1993.
Grossman, N. ”Who’s Afraid of Life After Death?” Journal of Near-Death Studies 21.1
(Musim gugur 2002).
Halgren E., R.D. Walter, D.G. Cherlow, dan P.H. Crandall. ”Mental Phenomena Evoked
by Electrical Stimulation of the Human Hippocampal Formation and Amygdala”.
Brain 101.1 (1978): hlm. 83–117.
Hamer, Dean. The God Gene: How Faith Is Hardwired into Our Genes. New York: Doubleday,
2004.
Hanscomb, Alice dan Liz Hughes. Epilepsy. London: Ward Lock, 1995.
Hansen, B.A., dan E. Brodtkorb. ”Partial Epilepsy with ‘Ecstatic’ Seizures”. Epilepsy
Behaviour 4 (2003): hlm. 667–673.
Hardy, Alister. The Spiritual Nature of Man. Oxford: Clarendon, 1979.
Harris, Sam. The End of Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason. New York: Norton,
2004.
Harris, William S., Manohar Gowda, Jerry W. Kolb, Christopher P. Strychaz, James L.
Hacek, Phillip G. Jones, Alan Forker, James H. O’Keefe, dan Ben D. McCallister.
”A Randomized, Controlled Trial of the Effects of Remote, Intercessory Prayer on
Outcomes in Patients Admitted to the Coronary Care Unit”. Archives of Internal
Medicine 159 (1999): hlm. 2273–2278.
Harth, Erich. The Creative Loop: How the Brain Makes a Mind. Reading, MA: Addison-
Wesley, 1993.
Hawkings, Stephen. The Illustrated A Brief History of Time. Rev. ed. New York: Bantam,
1996.
Hawkley, L., dan J. Cacioppo. ”Loneliness Is a Unique Predictor of Age-Related
Differences in Systolic Blood Pressure”. Psychology and Aging 21.1 (Maret 2006):
hlm. 152–164.
Helm H.M., J.C. Hays, E.P. Flint, H.G. Koenig, dan D.G. Blazer. ”Does Private Religious
Activity Prolong Survival: A Six-Year Follow-up Study of 3.851 Older Adults”.
Journals of Gerontology. Series A, Biological and Medical Sciences. 55 (2000):
hlm. M400–405.
430 | T H E S PI R I T UA L BR A I N
40. Hobson, J. Allan. The Chemistry of Conscious States: How the Brain Changes Its Mind. Boston:
Little, Brown, 1994.
Hofstadter, Douglas R., dan Daniel C. Dennett. The Mind’s I: Fantasies and Reflections
on Self and Soul. New York: Basic Books, 2000.
Hooper, Judith, dan Dick Teresi. The 3-Pound Universe. New York: Macmillan, 1986.
Horgan, John. The Undiscovered Mind: How the Human Brain Defies Replication, Medication
and Explanation. New York: Free Press, 1999.
Hróbjartsson, A., dan P. Götzsche. ”Is the Placebo Powerless? An Analysis of Clinical
Trials Comparing Placebo with No Treatment”. New England Journal of Medicine
344, no. 21 (24 Mei 2001).
Hughes, J.R. ”Emperor Napoleon Bonaparte: Did He Have Seizures? Psychogenic or
Epileptic or Both?” Epilepsy Behavior 4 (2003): hlm. 793–796.
________, ”Dictator Perpetuus: Julius Caesar: Did He Have Seizures? If So, What Was
the Etiology?” Epilepsy Behavior 5 (2004): hlm. 756–764.
________, ‘Alexander of Macedon: The Greatest Warrior of All Times: Did He Have
Seizures? Epilepsy Behavior 5 (2004): hlm. 765–767.
_________, ”Did All Those Famous People Really Have Epilepsy?” Epilepsy Behavior
6 (2005): hlm. 115–139.
_________, ”A Reappraisal of the Possible Seizures of Vincent van Gogh”. Epilepsy
Behavior 6 (2005): hlm. 504–510.
_________, ”The Idiosyncratic Aspects of the Epilepsy of Fyodor Dostoevsky”. Epilepsy
Behavior 7 (2006): hlm. 531.
Huxley, Aldous. The Perennial Philosophy. New York: Harper and Brothers, 1945.
______, The Doors of Perception. New York: Harper Row, 1954.
Ingram, Jay. The Theatre of the Mind: Raising the Curtain on Consciousness. Toronto:
HarperCollins, 2005.
Isaacson, Walter. ”In Search of the Real Bill Gates”. Time, 5 January 1997.
James, William. The Varieties of Religious Experience. New York: Random House, 1902.
Jeans, J. The Mysterious Universe. London: AMS Press, 1933.
Johnson, Phillip E. Darwin on Trials. Downer’s Grove, IL: InterVarsity Press, 1993.
Kimura, Doreen. Sex and Cognition. Cambridge, MA: MIT Press, 2000.
Kubota, Y., W. Sato, M. Toichi, T. Murai, T. Okada, A. Hayashi, dan A. Sengoku.
”Frontal Midline Theta Rythm Is Correlated with Cardiac Autonomic Activities
During the Performance of an Attention Demanding Meditation Procedure”.
Brain Research: Cognitive Brain Research 11.2 (2001): hlm. 281–287.
Kuhn, Thomas. The Structure of Scientific Revolution. Ed. Ke-2. Chicago: Univ. of Chicago
Press, 1970.
Larson, Edward J., dan Larry Witham. ”Leading Scientists Still Rejects God”. Nature
394 (1998): hlm. 313.
Levésque, J., F. Eugene, Y. Joanette, V. Paquette, M. Boualem, G. Beaudoin, J-M. Leroux,
P. Bourgouin, dan M. Beauregard. ”Neural Circuitry Underlying Voluntary
Suppression of Sadness”. Biological Psychatry 53 (2003): hlm. 502–510.
Da f ta r P u s ta k a | 431
41. Levésque, J., F. Eugene, Y. Joanette, B. Mensour,G. Beaudoin, J-M. Leroux, P.
Bourgouin, dan M. Beauregard. ”Neural Basis of Emotional Self-Regulation in
Childhood”. Neuroscience 129 (2004): hlm. 361–369.
Levin, Jeff, dan Harold G. Koenig, ed. Faith, Medicine, and Science: A Fetschrift in Honor
of Dr. David B. Larson. York: New Haworth, 2005.
Lewis, C.S. The Abolition of Man. London: Collins, 1978.
Lewis, C.S. The Four Loves. Glasgow: William Collins Sons Co., [1960] 1979, hlm.
67.
Lewis, C.S. The Problem of Pain. New York: Simon Schuster, Touchstone, 1996.
Lusting, Abigail, Robert J. Richards, dan Michael Ruse. Darwinian Heresies. Cambridge,
MA: Cambridge Univ. Press, 2004.
Lutz Antoine, Lawrence L. Greischar, Nancy B. Rawlings, Matthieu Ricard, dan Richard
J. Davidson. ”Long-Term Meditators Self-Induce High-Amplitude Gamma
Synchrony During Mental Practice”. Proceedings of the National Academy of Sciences,
USA 101, no. 46 (16 November 2004): hlm. 16369–16373.
Malin, Shimon. Nature Loves to Hide: Quantum Physics and the Nature of Reality, a Western
Perspective. Oxford: Oxford Univ. Press, 2001.
Marks, Jonathan, What It Means to Be 98 Percent Chimpanzee: Apes, People, and Their Genes.
Berkeley dan Los Angeles: Univ. of California Press, 2002.
Maslow, Abraham. Religious Aspects of Peak-Experiences. New York: Harper Row,
1970.
May, Gerald G. The Dark Night of the Soul. San Francisco: HarperSanFrancisco, 2004.
McGrath, Alister. Dawkins’s God: Genes, Memes, and the Meaning of Life. Oxford: Blackwell,
2005.
McGreal, Wilfrid. John of the Cross. London: HarperCollins, 1996.
McRae, C., E. Cherin, T.G. Yamazaki, G. Diem, A.H. Vo, D. Russel, J.H. Ellgring dkk.
”Effects of Perceived Treatment on Quality of Life and Medical Outcomes in
a Double-Blind Placebo Surgery Trial”. Archives of General Psychiatry 61 (2004):
ha;. 412–420.
Merton, Robert K. ”Science and the Social Order”. Philosophy of Science 5 no. 3 (Juli
1938): hlm. 321–337.
Midgeley, Mary. The Myths We Live By. London: Routledge, 2003.
Minsky, Marvin. Society of Mind. New York: Simon Schuster, 1988, hlm. 306.
Mitcham, Carl, dan Alois Huning, ed. Philosophy and Technology II: Information Technology
and Computers in Theory and Practice. Vol. 2, Hasil terseleksi dari suatu Konferensi
Internasional yang diadakan di New York, 3–7 September, 1983, dan diorganisir
oleh Philosophy Technology Studies Center of the Polytechnic Institute of
New York bersama Society for Philosophy and Technology. New York: Springer,
1986, hlm. 169.
Morse, M., dan P. Perry, Transformed by the Light. New York: Ballantine, 1992.
Neggers, S. F., R.H. Van der Lubbe, N.F. Ramsey, dan A. Postma. ”Interactions Between
Ego- and Allocentric Neuronal Representations of Space”. Neuroimage (2006).
432 | T H E S PI R I T UA L BR A I N
42. Newberg, A., A. Alai, M. Baime, M. Pourdehnad, J. Santana, dan E.G. D’Aquili. ”The
Measurement of Regional Cerebral Blood Flow During the Comlex Cognitive
Task of Meditation: A Preliminary SPECT Study”. Psychiatry Research: Neuroimaging
106 (2001): hlm. 113–122.
Newberg, A., M. Pourdehnad, A. Alavi, dan E.G. D’Aquili. ”Cerebral Blood Flow During
Meditative Prayer: Preliminary Findings and Methodological Issues”. Perceptual
and Motor Skills 97 (2003): hlm. 625–630.
Newberg, Andrew, Eugene D’Aquili, dan Vincent Rause. Why God Won’t Go Away: Brain
Science and the Biology of Belief. New York: Ballantine, 2001.
O’Leary, Denyse. By Design or By Chance? The Growing Controversy on the Origins of Life in
the Universe. Minneapolis: Ausburg, 2004.
Ornstein, Robert. The Evolution of Consciousness: The Origins of the Way We Think. New
York: Simon Schuster, 1991.
_______, The Right Mind: Making Sense of the Hemispheres. New york: Harcourt, Brace,
1997.
Otto, Rudolf. The Idea of the Holy. Diterjemahkan oleh John W. Harvey. London: Oxford
Univ. Press, 1971.
Paquette, V., J. Levésque, B. Mensour, J-M Leroux, G. Beaudoin, P. Bourgouin, dan M.
Beauregard. ”Change the Mind and You Change the Brain: Effects of Cognitive-
Behavioral Therapy on the Neural Correlates of Spider Phobia”. Neuroimage 18.2
(Februari 2003): hlm. 401–409.
Pargament, Kenneth I., H.G. Koenig, N. Tarakeshwar, J. Hahn. ”Religious Struggle as
a Predictor of Mortality Among Medically Ill Elderly Patients”. Archives of Internal
Medicine 161 (13/27 Agustus 2001): hlm. 1881–1885.
Parnia, S. dan P. Fenwick. ”Near-Death Experiences in Cardiac Arrest: Visions of a
Dying Brain or Visions of a New Science of Consciousness”. Resuscitation 52
(2002): hlm. 5–11.
Peacock, Judith. Epilepsy. Mankato, MN: Capstone, 2000.
Pelletier, M., A. Bouthillier, J. Levésque, S. Carrier, C. Breault, V. Paquette, B. Mensour,
J-M Leroux, G. Beaudoin, P. Bourgouin, dan M. Beauregard. ”Separate Neural
Circuits for Primary Emotions? Brain Activity During Self-Induced Sadness
and Happiness in Professional Actors”. Neuroreport 14.8 (11 Juni 2003): hlm.
1111–1116.
Penfield, Wilder. Second Thoughts: Science, the Arts, and the Spirit. Toronto: McClelland
and Stewart, 1970.
Persinger, M. ”Religious and Mystical Experience as Artifacts of Temporal-Lobe
Function: A General Hypothesis”. Perceptual and Motor Skills 57 (1983): hlm.
1255–1262.
Persinger, M.A., dan F. Healey. ”Experimental Facilitation of the Sensed Presence:
Possible Intercalation Between the Hemispheres Induced by Complex Magnetic
Fields”. Journal of Nervous and Mental Diseases 190 (2002): hlm. 533–541.
Pettit, Paul. ”When Burial Begins”. British Archaeology 66 (Agustus 2002).
Pinker, Steven. How the Mind Works. New York: Norton, 1997.
Da f ta r P u s ta k a | 433
43. Radin, Dean. The Conscious Universe: The Scientific Truth of Psychic Phenomena. San
Francisco: HarperSanFrancisco, 2007.
Ramachandran, V.S., dan Sandra Blakeslee. Phantoms in the Brain: Probing the Mystery
of the Human Mind. New York: Morrow, 1998.
Ratzsch, Del. The Battle of Beginnings: Why Neither Side Is Winning the Creation-Evolution
Debate. Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 1996.
Restak, Richard. The Brain Has a Mind of Its Own: Insight from a Practicing Neurologist.
New York: Harmony, 1991.
Ring, K., dan M. Lawrence. ”Further Evidence for Veridical Perception During Near-
Death Experiences”. Journal of Near-Death Studies 11.4 (1993): hlm. 223–229.
Rohrbach, Peter-Thomas. Journey to Carith: The Story of the Carmelite Order. Garden City,
NY: Doubleday, 1966.
Rose, Hilary, dan Steven Rose. Alas, Poor Darwin: Arguments Against Evolutionary
Psychology. London: Random House, Vintage, 2001.
Ruse, Michael. The Evolution Wars: A Guide to the Debate. Santa Barbara, CA: ABC-CLIO,
2000.
Russel, Bertrand. ”Quotes on Determinism”, The Society of Natural Science, http://
www.determinism.com/quotes.shtml (diakses 27 Mei 2007).
Sabom, Michael. Light and Death: One Doctor’s Fascinating Account of Near-Death Experiences.
Grand Rapids, MI: Zondervan, 1998.
Sagan, Carl. The Dragons of Eden: Speculations on the Nature of Human Intelligence. New
York: Random House, 1977.
_______, The Demon Haunted World: Science as a Candle in the Dark. New York: Ballantine,
1996.
Salzman, Mark. Lying Awake. New York: Knopf, 2000.
Saver, J. L., dan John Rabin. ”The Neural Substrates of Religious Experience”. Journal
of Neuropsychiatry and Clinical Neurosciences 9 (1997): hlm. 498–510.
Sawyer, Robert J. The Terminal Experiments. New York: HarperCollins, 1995.
Schwartz, J.M., H. Stapp, dan M. Beauregard. ”Quantum Theory in Neuroscience and
Psychology: A Neurophysical Model of Mind/Brain Interaction”. Philosophical
Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences 360 (2005): hlm. 1309–1327.
Schwartz, Jeffrey M., dan Sharon Begley. The Mind and the Brain: Neuroplasticity and the
Power of Mental Force. New York: HarperCollins, Regan Books, 2003.
Searle, John R. Mind: A Brief Introduction. Oxford: Oxford Univ. Press, 2004.
Smith, A., dan C. Tart. ”Cosmic Consciousness Experience and Psychedelic Experiences:
A First-Person Comparison”. Journal of Consciousness Studies 5, no. 1 (1998): hlm.
97–107.
Soeling, Casper, dan Eckert Voland. ”Toward an Evolutionary Psychology of Religiosity”.
Neuroendocrinology Letters, Human Ethology Evolutionary Psychology 23, suppl. 4
(Desember 2002).
Spiegel, Herbert, dan David Spiegel. Trance and Treatment: Clinical Use of Hypnosis. New
York, Basic Books: 1978.
434 | T H E S PI R I T UA L BR A I N
44. Spilka, B., B. Hunsberger, R. Gorsuch, dan R.W. Hood, Jr. The Psychology of Religion:
An Empirical Approach. Ed. Ke-3. New York: Guilford, 2003.
Stace, W.T. The Teachings of the Mystics. New York: Macmillan, 1960.
Stove, David. Darwinian Fairytales. Aldershot, UK: Avebury, 1995.
Takahashi, T., T. Murata, T. Hamada, M. Omori, H. Kosaka, M. Kikuchi, H. Yoshida,
dan Y. Wada. ”Changes in EEG and Autonomic Nervous Activity During
Meditation and Their Association with Personality Traits”. International Journal
of Psychophysiology 55.2 (Februari 2005): hlm. 199–207.
Temple, R. ”Implications of Effects in Placebo Groups”. Journal of the National Cancer
Institute 95, no. 1, 2–3 (1 Januari 2003).
Teresa of Avila. The Interior Castle. Diterjemahkan oleh Mirabai Starr. New York:
Riverhead, 2003.
Tierney, Patrick. Darkness in El Dorado: How Scientists and Journalists Devastated the Amazon.
New York: Norton, 2000.
Underhill, Evelyn. Mysticism: A Study in the Nature and Development of Man’s Spiritual
Consciousness. New York: New American Library/Meridian, 1974.
Van Lommel, P. ”About the Continuity of Our Consciousness”. Dalam Brain Death and
Disorders of Consciousness. Diedit oleh Calixto Machado dan D. Alan Shewmon.
New York: Kluwer Academic/Plenum, 2004.
Vercors [Jean Bruller], You Shall Know Them. Diterjemahkan oleh Rita Barisse dari
aslinya Les Animaux Denatures. Toronto: McClelland Stewart, 1953.
Wackermann, Jiøí, Christian Seiter, Holger Keibel, dan Harald Wallach. ”Correlations
Between Brain Electrical Activities of Two Spatially Separated Human Subjects”.
Neuroscience Letters 336 (2003): hlm. 60–64.
Wager, Tor D., James K. Rilling, Edward E. Smith, Alex Sokolik, Kenneth L. Casey,
Richard J. Davidson, Stephen M. Kosslyn, Robert M. Rose, dan Jonathan D.
Cohen. ”Placebo Induced Changes in fMRI in the Anticipation and Experience
of Pain”. Science 303, no. 5661 (20 Februari 2004): hlm. 1162–1167.
Wallace, B. Alan. The Taboo of Subjectivity: Toward a New Science of Consciousness. Oxford:
Oxford Univ. Press, 2000.
Wallach, Harald, dan Stefan Schmidt. ”Repairing Plato’s Life Boat with Ockham’s
Razor: The Important Function of Research in Anomalies for Consciousness
Studies”. Journal of Consciousness Studies 12, no. 2 (2005): hlm. 52–70.
Wildman, Derek E., Monica Uddin, Guozhen Liu, Lawrence I. Grossman, dan Morris
Goodman. ”Implications of Natural Selection in Shaping 99.4% Nonsynonymous
DNA Identity Between Human and Chimpanzees: Enlarging Genus Homo”.
Proceedings of the National Academy of Sciences 100 (2003): hlm. 7181–7188.
Wilson, David Sloan. Darwin’s Cathedral: Evolution, Religion, and the Nature of Society.
Chicago: Univ. of Chicago Press, 2002.
Wilson, Edward O. Sociobiology. Ed. Ringkas. Cambridge, MA: Harvard Univ. Press, 1980.
_______, Consilience: The Unity of Knowledge. New York: Random House, 1998.[]
Da f ta r P u s ta k a | 435