Dokumen tersebut membahas tentang peran penting kebijakan energi nasional Indonesia. Secara ringkas, dokumen menjelaskan bahwa (1) Indonesia sangat bergantung pada energi fosil yang mencapai 95%, (2) cadangan energi fosil semakin menipis sehingga perlu beralih ke energi terbarukan, dan (3) tujuan kebijakan energi nasional adalah meningkatkan keamanan pasokan energi dalam negeri dengan mengurangi ketergantungan
1. DISUSUN OLEH :
M. ROMADHON FAHLEVI
2013 11 290
KELAS G
STT-PLN Jakarta
2014
2. Peran Penting Kebijakan Energi Nasional
• Selama beberapa tahun terakhir, pertumbuhan energi
Indonesia mencapai angka 7 – 8 persen per tahun.
Meskipun demikian, masih tingginya elastisitas energi
Indonesia yang berada pada kisaran 1,6, mencerminkan
belum efisiennya penggunaan energi di Indonesia.
Sebagai perbandingan, Thailand dan Singapura memiliki
elastisitas energi sebesar 1,4 dan 1,1. Sementara
negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika
memiliki elastisitas energi yang berkisar antara 0,1 dan
0,2. Namun pertumbuhan energi yang tinggi ini tidak
pula ditunjang dengan kebijakan penyediaan energi
yang baik. Data menunjukkan, pada tahun 2011, minyak
masih menjadi energi dengan pangsa terbesar yang
mencapai 49,5 persen dari jumlah total energi sebesar
1,176 miliar Setara Barel Minyak (SBM)/Barrel Oil
Equivalent (BOE). Pangsa terbesar selanjutnya adalah
Batubara dan Gas dengan jumlah proporsi masing-
masing sebesar 26 persen dan 20,4 persen (Gambar 1).
Hal ini menunjukkan sangat tingginya ketergantungan
Indonesia terhadap energi fosil yang mencapai 95
persen.
3. Gambar 1. Kondisi Bauran Energi Indonesia
Kondisi ini perlu mendapat perhatian serius mengingat
dari tahun ke tahun kondisi cadangan energi fosil
semakin menipis. Berdasarkan data neraca energi
diperkirakan potensi minyak bumi Indonesia akan habis
sekitar 23 tahun dari sekarang, sementara gas bumi
dan batubara diperkirakan akan habis masing-masing
pada 55 dan 83 tahun dari sekarang. Kondisi tersebut
mengisyaratkan keharusan untuk mengoptimalkan
pemanfaatan energi baru dan terbarukan. Dengan
4. kondisi geologis dan letak geografisnya, Indonesia
memiliki potensi sumber daya energi terbarukan yang
sangat besar.
Tabel Neraca Energi
Perkembangan Kebijakan Energi
5. • Sampai dengan tahun tujuh puluhan, sumber daya
energi dianggap masih sangat melimpah.
Persoalan utama pada masa itu adalah usaha
pemerintah untuk meningkatkan produksi minyak
bumi melalui kontrak bagi hasil. Dengan
meningkatnya produksi minyak maka penerimaan
negara yang masih bertumpu pada ekspor
komoditas ini diharapkan semakin besar.
• Gagasan penyusunan kebijakan energi di Indonesia
itu sendiri pertama kali muncul pada tahun 1976.
Tujuan dari kebijakan tersebut adalah untuk
memaksimalkan pemanfaatan sumber daya
energi. Pemerintah kemudian membentuk Badan
Koordinasi Energi Nasional (BAKOREN) yang
setingkat dengan departemen dan bertanggung
jawab memformulasikan kebijakan energi serta
mengkoordinasikan implementasi kebijakan ini.
BAKOREN untuk pertama kalinya mengeluarkan
Kebijaksanaan Umum Bidang Energi (KUBE) pada
tahun 1981. Kebijakan ini terus menerus
diperbarui sesuai dengan perkembangan strategis
lingkungan yang mempengaruhi pembangunan
energi di Indonesia.
6. • Pada tahun 1998, BAKOREN menyusun KUBE
(Kebijakan Umum Bidaang Energi) KUBE ini
bertujuan untuk menciptakan iklim yang
mendukung terlaksananya strategi pembangunan
bidang energi dan memberikan kepastian kepada
pelaku ekonomi dalam kaitannya dengan
pengadaan, penyediaan dan penggunaan energi.
Dalam KUBE ini mulai diindikasikan adanya
keterbatasan sumber daya energi, terutama
minyak bumi. Minyak bumi diarahkan secara
bertahap untuk digunakan di dalam negeri sebagai
bahan bakar dan bahan baku industri yang dapat
meningkatkan nilai tambah yang tinggi. Kebijakan
energi yang perlu ditempuh mencakup lima
kebijakan utama dan sembilan kebijakan
pendukung (BAKOREN 1998).
Kebijakan utama tersebut adalah:
7. • a. Diversifikasi, yaitu penganekaragaman
pemanfaatan energi, baik yang terbarukan
maupun yang tidak terbarukan. Untuk energi fosil
tidak menutup kemungkinan untuk melakukan
impor sejauh menguntungkan secara ekonomis
dan tidak merusak lingkungan.
• b. Intensifikasi, yaitu pencarian sumber energi
melalui kegiatan survei dan eksplorasi agar dapat
meningkatkan cadangan baru terutama energi
fosil. Pencarian sumber daya energi diarahkan di
daerah yang belum pernah disurvei dan untuk
daerah yang terindikasi dilakukan upaya untuk
peningkatan status cadangan menjadi lebih pasti.
• c. Konservasi, yang dilakukan mulai dari sisi hulu
sampai ke hilir.
• d. Penetapan harga rata-rata energi yang secara
bertahap diarahkan mengikuti mekanisme pasar.
• e. Memperhatikan aspek lingkungan dalam
pembangunan di sektor energi termasuk
didalamnya memberikan prioritas dalam
pemanfaatan energi bersih.
Berdasarkan Perpres No 5 Tahun 2006 tersebut, tujuan
kebijakan energi nasional adalah untuk mengarahkan
8. upaya-upaya dalam mewujudkan keamanan pasokan
energi dalam negeri. Sementara sasaran kebijakan
energi nasional adalah:
• a. Tercapainya elastisitas energi lebih kecil dari
satu pada tahun 2025.
• b. Terwujudnya bauran energi primer dengan
peranan masing-masing jenis energi pada tahun
2025 adalah:
- Minyak bumi menjadi kurang dari 20 persen.
- Gas Bumi menjadi lebih dari 30 persen.
- Batubara menjadi lebih dari 33 persen.
- Bahan bakar nabati menjadi lebih dari 5 persen.
- Panasbumi menjadi lebih dari 5 persen.
- Biomassa, nuklir, mikrohidro, tenaga surya, dan
tenaga angin menjadi5 persen.
- Batubara yang dicairkan menjadi lebih dari 2 persen.
9. • Perumusan KEN sebagai kebijakan publik haruslah
mempertimbangkan faktor-faktor strategis, di
antaranya :
a. Faktor politik
b. Faktor ekonomi dan finansial
c. Faktor kelembagaan dan administratif
d. Faktor teknologi
e. Faktor sosial dan budaya
f. Faktor keamanan dan pertahanan
• Setiap kebijakan publik, sebagaimana juga KEN,
akan memiliki tiga aspek yaitu input, proses dan
output. Sebagai input dalam hal ini adalah
permasalahan energi yang timbul karena faktor
lingkungan dan keadaan yang melatarbelakangi
suatu peristiwa yang menyebabkan timbulnya
“masalah kebijakan” tersebut, yang berupa
tuntutan masyarakat atau tantangan dan peluang,
dan diharapkan dapat diatasi melalui suatu
kebijakan publik. Sementara itu, proses
perumusan KEN telah berjalan dengan mengikuti
tata kerja DEN yang ditetapkan melalui Permen
10. ESDM. Untuk output, KEN masih menunggu
persetujuan DPR. Penyusunan KEN harus juga
memperhatikan siklus kebijakan yaitu dapat
dirumuskan, dapat diimplementasikan, dapat
dimonitoring dan dapat dievaluasi.